Teknologi pangan

Revisi sejak 7 Januari 2022 10.07 oleh PutraHP (bicara | kontrib)

Teknologi pangan adalah aplikasi ilmu pangan ke dalam sistem seleksi, pengawetan, pengolahan, pengemasan, distribusi, dan pemanfaatan sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang bersifat baik, aman, dan bergizi.

Dalam teknologi pangan, dipelajari sifat fisik, mikrobiologis, dan kimia dari bahan pangan serta proses yang mengolah bahan pangan tersebut. Spesialisasinya beragam, di antaranya pemrosesan, pengawetan, pengemasan, penyimpanan, dan sebagainya.

Sejarah teknologi pangan dimulai ketika Nicolas Appert mengalengkan bahan pangan, sebuah proses yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Namun, ketika itu Nicolas Appert mengaplikasikannya tidak berdasarkan ilmu pengetahuan terkait pangan. Aplikasi teknologi pangan berdasarkan ilmu pengetahuan dimulai oleh Louis Pasteur ketika mencoba untuk mencegah kerusakan akibat mikroba pada fasilitas fermentasi anggur setelah melakukan penelitian terhadap anggur yang terinfeksi. Selain itu, Pasteur juga menemukan proses yang disebut pasteurisasi, yaitu pemanasan susu dan produk susu untuk membunuh mikroba yang ada di dalamnya dengan perubahan sifat dari susu yang minimal.

Sejarah teknologi pangan di Indonesia menyangkut beberapa aspek. Selain aspek program pendidikan juga berhubungan erat dengan sejarah perkembangan institusi, bidang IPTEK, SDM, prasarana, dan fasilitas, juga menyangkut perkembangan lapangan kerja, industri, dan perdagangan produk pangan serta dinamika masyarakat dan tren konsumsi pangan.

Definisi

Teknologi adalah pengembangan dan aplikasi alat, mesin, material, dan proses yang membantu manusia menyelesaikan masalahnya. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman. Teknologi pangan adalah aplikasi ilmu pangan ke dalam sistem seleksi, pengawetan, pengolahan, pengemasan, distribusi, dan pemanfaatan sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang bersifat baik, aman, dan bergizi.[1][2]

Manfaat teknologi pangan

Adanya teknologi pangan sangat memengaruhi ketersediaan pangan. Alam menghasilkan bahan pangan secara berkala, sementara kebutuhan manusia akan pangan adalah hal yang berlangsung terus menerus tanpa henti. Kita tidak mungkin menunda kebutuhan jasmani hingga masa panen tiba. Oleh karena itu, terciptalah teknologi pengawetan sehingga makanan dapat disimpan untuk jangka waktu yang cukup lama. Teknik pengawetan juga memungkinkan untuk mendistribusikan bahan pangan secara merata ke seluruh penjuru dunia. Dulu, orang-orang di Eropa tidak bisa menikmati makanan-makanan dari wilayah Asia. Namun, sekarang karena teknologi pangan setiap bangsa dapat menikmati makanan khas bangsa lainnya.[3]

Teknologi pangan memungkinkan satu produk memiliki masa kedaluwarsa yang lebih lama dengan mengubah bahan makanan menjadi makanan lain yang lebih tahan lama atau mengubah bentuknya sehingga tidak cepat basi. Sebagai contoh adalah susu sapi. Teknologi pangan memungkinkan perubahan bentuk dari susu cair menjadi susu bubuk yang lebih awet atau mengubah susu menjadi keju sehingga dapat disimpan lebih lama.[4]

Dengan teknologi pangan, zat gizi dari bahan makanan juga dapat dipertahankan sehingga meskipun tidak langsung dikonsumsi, bahan makanan tersebut tidak berbahaya bagi tubuh dan konsumen masih bisa memperoleh zat gizi yang ada.[4][5]

Aplikasi teknologi pangan mampu menghancurkan bakteri yang sebelumnya ada di dalam bahan makanan misalnya dengan menggunakan teknologi pemanasan. Sebagai contoh adalah pasteurisasi susu atau UHT (ultra high temperature). TIndakan ini selain membuat susu menjadi tahan lama juga dapat membunuh bakteri.[4][6]

Bahan pangan yang dihasilkan dalam jumlah besar dapat dimanfaatkan dengan maksimal sehingga tidak mengalami kerusakan hingga harus dibuang. Dengan demikian makin banyak individu yang diberi makan.[7]

Kekurangan

Garam tambahan

Garam berfungsi untuk mencegah kerusakan bahan makanan, menambahkan rasa, dan memperbaiki tekstur dari bahan makanan tersebut. Konsumsi produk teknologi makanan dalam jumlah besar akan meningkatkan asupan garam yang melebihi kebutuhan harian. Sehingfga akan menyebabkan peningkatan risiko terkena hipertensi dan penyakit jantung.[8][9]

Gula tambahan

Seperti halnya garam, gula banyak digunakan untuk pengawetan makanan. Konsumsi gula yang berlebih akan menyebabkan penyakit diabetes melitus tipe 2, obesitas, kerusakan pada gigi, dan penyakit jantung.[8] Hasil penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa sakarin dan siklamat (dua jenis pemanis buatan) dapat menyebabkan kanker meskipun pengujian lebih lanjut terhadap manusia tidak menunjukkan kepastian sifat karsinogenik keduanya.[10][11]

Lemak trans

Sebagian besar lemak yang terkandung dalam produk hasil teknologi makanan adalah lemak trans yang berhubungan erat dengan tingginya angka kolesterol darah, penyakit jantung, serta strok.[8][12]

Hilangnya zat gizi

Meskipun dengan teknologi makanan mampu mempertahankan nilai gizi satu bahan makanan, tetapi tidak semuanya bisa tetap terjaga. Pemanasan tinggi dapat merusak kandungan vitamin C. Padi-padian yang butirannya lebih halus juga kehilangan sebagian serat, vitamin serta mineralnya jika dibandingkan dengan yang butirannya utuh.[6]

Menurut artikel tahun 2004 yang berjudul "Current Opinion in Allerfy and Clinical Immunology" menambahan bahan pemanis, pewarna dan perisa, nitrat sodium, monosodium glutamat pada bahan makanan terbukti lebih bersifat alergenik dibandingkan makanan yang masih segar.[6]

Sampah pengemasan

Bahan makanan yang memiliki ketahanan terhadap kontaminasi dari luar memerlukan proses pengemasan yang lebih kompleks. Mulai dari penggunaan plastik, kaca hingga kaleng. Meskipun dengan penggunaan kemasan kaca kemungkinan untuk dipakai kembali lebih besar, produsen lebih memilih mengemas bahan makanannya dengan plastik atau kaleng karena faktor biaya, distribusinya lebih mudah, dan tidak mudah rusak akibat pecah. Meningkatnya penggunaan plastik akan meningkatkan jumlah sampah. Terlebih dari penelitian yang dilakukan oleh Griffiths di tahun 2015, konsumen lebih menyukai kemasan makanan yang tidak terlalu berat dan besar. Kecenderungan ini menyebabkan berkurangnya penggunaan kemasan yang berukuran besar. Sampah plastik dari pengemasan makanan merupakan sampah yang paling banyak ditemukan di laut melampaui puntung rokok yang sebelumnya berada di urutan pertama.[13][14]

Toksin botulinum

Tujuan utama penyimpanan makanan adalah meminimalisir kadar oksigen di dalam kemasan. Hal ini dilakukan agar kualitas makanan tertap terjaga, tidak terkontaminasi oleh serangga, masa kedaluwarsa yang lebih lama, mampu mencegah perkembangan mikroba patogen, dan menghilangkan penggunaan bahan pengawet seperti BHA (butylated hydroxyanisole) atau butil hidroksi anisol, BHT (butylated hydroxytoluene) ataubutil hidroksi toluena, sulfur dioksida, sorbat, benzoat, dan bahan kimia yang lainnya. Namun, kondisi kemasan rendah oksigen dapat menyebabkan infeksi Clostridium botulinum yang berkembang biak dalam kondisi rendah oksigen (anaerob).[13][15]

Pengembangan di bidang teknologi pangan

Beberapa proses terkait pemrosesan bahan pangan telah memberikan kontribusinya di bidang teknologi pangan, terutama pada rantai produksi dan suplai pangan. Pengembangan tersebut misalnya:

  • Pembuatan susu bubuk telah menjadi dasar untuk pembuatan berbagai produk baru dari benda cair dan semi cair yang dapat diseduh (dapat direhidrasi kembali) setelah dikeringkan menjadi padatan berbentuk serbuk. Hal ini juga yang menjadikan proses distribusi susu menjadi lebih efisien dan cikal bakal berkembangnya industri susu formula. Susu cair melalui proses pendinginan, pasteurisasi, pencampuran, sterilisasi, homogenisasi, evaporasi, dan pengeringan untuk menjadi susu bubuk.[16][17]
  • Dekafeinasi untuk kopi dan teh, tetapi lebih banyak digunakan pada biji kopi demi mengurangi kadar kafeina pada kopi. Biji kopi kering diproses menggunakan uap hingga kadar airnya menjadi sektar 20%. Panas diberikan untuk memisahkan kafeina dari biji kopi ke permukaan kulitnya. Lalu pelarut diberikan untuk memindahkan kafeina dari biji kopi. Hingga tahun 1980-an, pelarut yang digunakan adalah pelarut organik. Karbon dioksida merupakan salah satu pelarut non organik yang digunakan untuk memisahkan kafeina di bawah kondisi super kritis.[18]
  • Pengolahan dengan suhu tinggi yang dapat membantu merusak atau menghilangkan komponen antigizi (misalnya inhibitor tripsin pada produk leguminosa), menyebabkan inaktifnya enzim-enzim perusak, meningkatkan daya cerna protein dan karbohidrat, dan membunuh mikroorganisme. Tiga metode yang dipakai dalam pengolahan dengan suhu tinggi adalah metode blanching (pemanasan pendahuluan), pasteurisasi, dan sterilisasi. Proses blanching banyak digunakan untuk sayur dan buah sebelum diolah lebih lanjut dengan memakai air panas atau uap air panas yang dilakukan pada suhu 82°C-93°C selama 3-5 menit. Pasteurisasi dilakukan dengan menggunakan suhu yang tidak terlalu tinggi (di bawah 100°) sedangkan sterilisasi menggunakan suhu 121°C.[19]
  • Pengawetan dengan suhu rendah dilakukan pada kisaran suhu -2°C hingga -16°C untuk proses pendinginan dan suhu -18°C hingga -40°C. Proses ini akan menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk.[20]

Program studi teknologi pangan

Perguruan tinggi Fakultas Program Studi
Institut Pertanian Bogor Teknologi Pertanian Ilmu dan Teknologi Pangan
Universitas Gadjah Mada Teknologi Pertanian Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian
Universitas Bina Nusantara Teknik Teknologi Pangan
Universitas Pasundan Teknik Teknologi Pangan
Universitas Brawijaya Teknologi Pertanian Ilmu dan Teknologi Pangan
Universitas Udayana Teknologi Pertanian Ilmu dan Teknologi Pangan
Universitas Padjajaran Teknologi Industri Pertanian Teknologi Pangan
Universitas Mercu Buana Yogyakarta Agroindustri Teknologi Pangan
Universitas Bakrie Teknologi dan Ilmu Komputer Ilmu dan Teknologi Pangan
Universitas Pendidikan Indonesia Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Pendidikan Teknologi Agroindustri
Universitas Hasanuddin Pertanian Ilmu dan Teknologi Pangan
Universitas Jenderal Soedirman Pertanian Ilmu dan Teknologi Pangan
Universitas Pelita Harapan Sains dan Teknologi Teknologi Pangan
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Teknologi Industri Teknologi Pangan
Universitas Muhammadiyah Malang Pertanian Peternakan Ilmu dan Teknologi Pangan
Universitas Kristen Satya Wacana Fakultas Ilmu Kesehatan Teknologi Pangan
Universitas Diponegoro Peternakan dan Pertanian Teknologi Pangan
Universitas Sumatra Utara Pertanian Ilmu dan Teknologi Pangan
Universitas Surya Fakultas Ilmu Hayati Nutrisi dan Teknologi Pangan
Universitas Halu Oleo Fakultas Teknologi dan Industri Pertanian Teknologi Pangan
Universitas Dr. Soetomo Surabaya Fakultas Pertanian Teknologi Pangan & Gizi
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Fakultas Teknologi Pertanian Teknologi Pangan
Universitas Katolik Soegijapranata Fakultas Teknologi Pertanian Teknologi Pangan
Universitas Sebelas Maret Fakultas Pertanian Ilmu dan Teknologi Pangan
Universitas Sahid Jakarta Fakultas Teknologi Industri Pertanian Teknologi Pangan
Universitas Tanjungpura Pertanian Ilmu dan Teknologi Pangan
Universitas Ciputra Hospitality International Food Technology
Universitas Djuanda Bogor Ilmu Pangan Halal Teknologi Pangan Halal
Universitas Widya Mataram Yogyakarta Fakultas Teknologi Pertanian Teknologi Pangan

Di Indonesia, Institut Pertanian Bogor menjadi pionir studi teknologi pangan dengan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.[21]

Referensi

  1. ^ "Pengertian Pangan menurut Undang-Undang – Paralegal.id". paralegal.id. Diakses tanggal 1 Januari 2022. 
  2. ^ Syah, Dahrul 2012, hlm. 7-9.
  3. ^ Pemahaman dan Pemanfaatan Teknologi Pangan Secara Bijaksana dalam Upaya Pemberdayaan Pangan Rakyat
  4. ^ a b c "Benefits of Food Technology for People". i3l. 28 Desember 2020. Diakses tanggal 1 Januari 2022. 
  5. ^ Boom, R.M. (26 September 2013). "Food processing - Environmental benefits and high nutritional value". WUR. Diakses tanggal 1 Januari 2022. 
  6. ^ a b c Warjri, Lari (28 Oktober 2019). "Advantages and Disadvantages of Processed Foods / Convenience Foods". Medindia.net. Diakses tanggal 1 Januari 2022. 
  7. ^ "Advantages & Disadvantages". FOOD BIOTECHNOLOGY. Diakses tanggal 1 Januari 2022. 
  8. ^ a b c Bruso, Jessica (27 Desember 2018). "The Disadvantages of Food Processing". Healthy Eating | SF Gate. Diakses tanggal 1 Januari 2022. 
  9. ^ McDonell, Kayla (9 Oktober 2019). "Canned Food: Good or Bad?". Healthline. Diakses tanggal 7 Desember 2022. 
  10. ^ Wijaya, C. Hanny (2010). Bahan Tambahan Pangan: Pemanis Spesifikasi, Regulasi, dan Aplikasi Praktis. Bogor: IPB Press. hlm. 45. ISBN 9789794932384. 
  11. ^ Dray, Tammy (14 Juli 2011). "The Disadvantages of Using Food Additives". Healthfully. Diakses tanggal 7 Januari 2022. 
  12. ^ Richter, Amy (15 Mei 2020). "Processed foods: Health risks and what to avoid". www.medicalnewstoday.com. Diakses tanggal 7 Januari 2022. 
  13. ^ a b Hussien, Muhammad; Miskon, Muhammad; Kamaruddin, Amirah; Ishak, Nursyazwani (20 Maret 2016). "The Impacts of Modern Technology on Food". Nova Journal of Medical and Biological Sciences. 05. doi:10.20286/nova-jmbs-050186. 
  14. ^ "Plastic food packaging now outpaces cigarette butts as most abundant beach trash". Science (dalam bahasa Inggris). 2020-09-08. Diakses tanggal 2022-01-07. 
  15. ^ Pulungan, Ainil Fithri (2019). Dampak Pengawet Nitrit pada Daging Olahan Sosis terhadap Kesehatan Manusia. Yogyakarta: Deepublish. hlm. 19. ISBN 9786232098916. 
  16. ^ "Proses Pengolahan Susu Bubuk". tentangteknikkimia. 16 Desember 2011. Diakses tanggal 6 Januari 2022. 
  17. ^ Parikesit, Anggit Gita (10 April 2016). "Bagaimana Proses Pembuatan Susu Bubuk?". gaya hidup. Diakses tanggal 6 Januari 2022. 
  18. ^ Dayana, Anggit Setiani. "Dekafeinasi Kopi, Proses Metode Hingga Kandungan Gizi". tirto.id. Diakses tanggal 6 Januari 2022. 
  19. ^ Syah, Dahrul 2012, hlm. 229-43.
  20. ^ Syah, Dahrul 2012, hlm. 77.
  21. ^ "Ilmu dan Teknologi Pangan: Program Studi". Inspirasi-insinyur.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 November 2013. Diakses tanggal 9 November 2013. 

Daftar pustaka

Pranala luar