Kesultanan Bima
Kesultanan Bima adalah kerajaan Islam yang didirikan pada tanggal 7 Februari 1621 Masehi. Sultan pertamanya adalah raja ke-27 dari Kerajaan Bima yang bernama La Kai. Wilayah Kesultanan Bima meliputi Pulau Sumbawa. Kesultanan ini telah dipimpin oleh 14 sultan. Sultan terakhirnya adalah Sultan Muhammad Salahuddin.[1]
Kesultanan Bima Mbojo | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1620–1958 | |||||||||
Bima Sultanate palace | |||||||||
Ibu kota | Bima | ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Bima | ||||||||
Agama | Islam | ||||||||
Pemerintahan | Kesultanan | ||||||||
Sultan | |||||||||
Sejarah | |||||||||
• Kerajaan Bima berkonversi menjadi Kesultanan Bima | 1620 | ||||||||
• Status kesultanan dihapus oleh Republik Indonesia | 1958 | ||||||||
| |||||||||
Sekarang bagian dari | Indonesia | ||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Awal Pendirian
Pada awalnya Kesultanan Bima merupakan sebuah kelompok masyarakat Suku Bima yang menganut paham animisme dan dinamisme. Masyarakat ini kemudian disatukan bersama suku-suku lain di sekitarnya. Penyatuan ini dilakukan oleh Sang Bima yang mengajarkan agama Hindu dari Jawa. Setelah itu, ia mendirikan Kerajaan Bima dengan gelar Sangaji.[2]
Kerajaan Bima didirikanpada abad ke-11 Masehi dengan dua nama, yaitu Kerajaan Mbojo dan Kerajaan Bima. Kerajaan Mbojo merupakan nama yang diberikan oleh para pemangku adat yang disebut Ncuhi, sedangkan Kerajaan Bima merupakan nama yang diberikan oleh masyarakat. Setelah membentuk kerajaan, Sang Bima pergi ke Kerajaan Medang. Ia kemudian mengirim kedua putranya yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala ke Kerajaan Bima. Indra Zamrud diangkat menjadi Sangaji di Bima, sedangkan Indra Kumala menjadi Sangaji di Dompu.[3]
Awal Kesultanan
Pada tahun 1540 Masehi, para mubalig dan pedagang dari Kesultanan Demak datang ke Kerajaan Bima untuk menyiarkan Islam. Penyebaran Islam dilakukan oleh Sunan Prapen, tetapi tidak dilanjutkan setelah Sultan Trenggono wafat pada tahun yang sama. Pada tahun 1580, penyebaran Islam dilanjutkan oleh para mubalig dan pedagang dari Kesultanan Ternate yang diutus oleh Sultan Baabullah. Selanjutnya, penyebaran Islam di Kerajaan Bima diteruskan oleh raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin pada tahun 1619. Kerajaan Bima akhirnya menjadi kesultanan setelah rajanya yang bernama La Kai menjadi muslim pada tanggal 15 Rabiul Awal tahun 1030 Hijriyah. Agama Islam kemudian menjadi agama resmi dari para bangsawan dan masyarakat Kerajaan Bima.[4]
Wilayah Kekuasaan
Pada abad ke-19 M, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima meliputi Pulau Sumbawa bagian timur, Manggarai, dan pulau‑pulau kecil di Selat Alas. Wilayah Kesultanan Bima berbatasan langsung dengan Laut Jawa di utara dan Samudera Hindia di selatan. Di Pulau Sumbawa, wilayah Kesultanan Bima dibagi menjadi tiga distrik yaitu Belo, Bolo, dan Sape. Tiap distrik dipimpin oleh seorang pemimpin distrik yang disebut galarang. Distrik kemudian dibagi lagi menjadi perkampungan-perkampungan yang dipimpin oleh kepala kampung. Wilayah Kesultanan Bima di Manggarai dibagi menjadi daerah Reo dan daerah Pota. Pemimpin masing-masing distrik bergelar naib yang bertanggung jawab langsung kepada sultan. Para naib ini memimpin para galarang, dan kepala kampung.[5]
Pada tahun 1938, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima menyempit akibat perjanjian dengan Gubernur Hindia Belanda. Kesultanan Bima berbatasan dengan Laut Jawa di utara dan Samudera Hindia di selatan. Bagian timur berbatasan dengan Manggarai dan bagian barat berbatasan dengan Dompu. Kesultanan Bima juga memperoleh wilayah Kerajaan Sanggar yang berada di pantai barat semenanjung Gunung Tambora pada tahun 1928.[6]
Pemerintahan
Kesultanan Bima menggunakan gelar Ruma kepada para sultannya. Gelar ini melambangkan bahwa sultan adalah khalifah dan wakil Allah di bumi. Sultan diberi wewenang oleh masyarakatnya untuk menjadi pemimpin dan pemerintah. Dalam melaksanakan pemerintahan, sultan mengutamakan kepentingan masyarakat dan tidak mementingkan keperluan pribadinya. Pemerintahan sultan sepenuhnya dilaksanakan sesuai syariat Islam. Nilai-nilai budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dipadukan dan membentuk tradisi pemerintahan.[7]
Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Kesultanan Bima pada tahun 1908 dan menerapkan pemerintahan terpusat. Wilayah Kesultanan Bima dibagi menjadi 5 distrik pemerintahan yaitu Distrik Rasanae, Distrik Donggo, Distrik Sape, Distrik Belo, dan Distrik Bolo. Distrik Rasanae dipimpin oleh Sultan, sedangkan Distrik Donggo dipimpin oleh Sultan Muda. Distrik Sapa dipimpin oleh Raja Bicara, Distrik Bolo dipimpin oleh Raja Sakuru. dan Distrik Bolo dipimpin oleh Rato Parado.[8] Pada tahun 1909, Kesultanan Bima digabung ke dalam Keresidenan Timur Hindia Belanda dengan pusat pemerintahan di Makassar. Semua urusan kesultanan harus mendapat persetujuan pemerintah kolonial Belanda.[9]
Sultan Ismail
Sultan Ismail adalah sultan ke-10 Kesultanan Bima. Ia adalah putra dari Sultan Abdul Hamid. Kekuasaannya dimulai sejak pengangkatannya pada tanggal 26 November 1819.[10] Sultan Ismail berkuasa hingga tahun 1854. Selama masa kekuasaannya, Kesultanan Bima membangun banyak musala dan masjid di seluruh wilayahnya. Pada awal pemerintahannya, masyarakat hidup miskin dan menderita kelaparan akibat letusan Gunung Tambora, serangan bajak laut, dan kemarau panjang. Perekonomian Kesultanan Bima kemudian membaik setelah Sultan Ismail beralih patuh kepada Inggris.[11]
Sultan Abdul Kadi
Sultan Abdul Kadim adalah sultan kedelapan dari Kesultanan Bima. Ia berkuasa sejak tanggal 9 Februari
Sultan Abdul Hamid
Sultan Abdul Hamid adalah putra dari Sultan Abdul Kadim. Ia memerintah mulai tahun 1773 M. Pada masa pemerintahannya, perdagangan di wilayah Kesultanan Bima telah menjadi hak monopoli Belanda. Ia kemudian berperan dalam mempermudah izin pelayaran kapal-kapal di wilayah Kesultanan Bima.[12]
Sultan Muhammad Salahuddin
Sultan Muhammad Salahuddin adalah putra Sultan Ibrahim. Ia berkuasa pada tahun 1915 dan mengubah keadaan politik dan pemerintahan.[8] Selama pemerintahannya, ia mendirikan sekolah Islam di Raba dan Kampo Suntu. Selain itu, masjid-masjid didirikan di tiap desa dalam wilayah Kesultanan Bima. Sultan Muhammad Salahuddin juga mendirikan peradilan urusan agama yang disebut Badan Hukum Syara. Ia juga mulai melepaskan pengaruh Hindia Belanda di kesultanannya dengan melakukan peperangan dan mendirikan berbagai organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.[13]
Kehidupan Masyarakat
Masyarakatnya memiliki tiga sifat yang berasal dari masa awal pendirian Kerajaan Bima, yaitu sifat sabar, malu dan takut. Ketiga sifat ini diwariskan oleh Sang Bima kepada kedua anaknya, yaitu Indra Zamrud dan Indra Kumala. Indra Zamrud dibekali ilmu melaut, sedangkan Indra Kumala dibekali ilmu bertani. Pengetahuan ini kemudian diajarkan kepada masyarakat Bima.[14] Setelahnya, Wilayah Kesultanan Bima telah menjadi kawasan perdagangan sejak abad ke-11 M. Perannya adalah sebagai penghubung antara Kerajaan Medang di Pulau Jawa dan Kepulauan Maluku. Kerajaan Bima menjadi tempat perdagangan dan persinggahan. Hasil bumi yang diperdagangkan berupa soga, sapang dan rotan. Perdagangan dilakukan di pelabuhan Bima Lawa Due dan Nanga Belo. Para pedagang juga singgah untuk mempersiapkan bekal ke Maluku berupa makanan dan air minum.[15]
Struktur Sosial
Penduduk asli di Kesultanan Bima adalah masyarakat Suku Donggo yang menghuni wilayah pegunungan. Wilayah pemukimannya berada di Kecamatan Donggo dan Kecamatan Wawo Tengah.[16] Penduduk yang lainnya adalah Suku Bima. Suku ini awalnya adalah para pendatang dari Suku Makassar dan Suku Bugis yang menghuni wilayah pesisir Bima. Mereka kemudian menikahi penduduk asli dan menetap sebagai penduduk di Bima pada abad ke-14.[17] Para pendatang lain berasal dari Suku Melayu dan Suku Minangkabau. Mereka menetap di wilayah Teluk Bima, Kampung Melayu, dan Benteng. DI Kesultanan Bima juga terdapat pemukiman Arab yang terdiri dari para pedagang dan mubalig.[18]
Keagamaan
Islam pertama kali diperkenalkan ke Kesultanan Bima oleh Sayyid Ali Murtadlo atau Sunan Gisik yang berasal dari Gresik. Ia adalah putra Syekh Maulana Ibrahim Asmara dan kakak dari Sunan Ampel. Penyebaran Islam dilakukan bersamaan dengan kegiatan perdagangan. Penerimaan Islam hanya oleh kelompok kecil pedagang dan masyarakat Kerajaan Bima yang berada di wilayah pesisir.[19]
Islamisasi di Sulawesi Selatan selama periode tahun 1605 hingga 1611 membuat Kesultanan Gowa memperluas penyebaran Islam ke Kepulauan Nusa Tenggara.[20] Kesultanan Gowa memusatkan penyebaran Islam di Pulau Sumbawa setelah hampir seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan diislamkan.[21] Penyebaran Islam dilanjutkan oleh para pedagang dari Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo, Kesultanan Luwu, Kesultanan Bone, dan Kesultanan Ternate. Hubungan politik, budaya dan ekonomi antara Kerajaan Gowa dan Kesultanan Bima akhirnya membuat raja Kerajaan Bima yang bernama La Kai menjadi muslim. Islam yang berkembang di Kesultanan Bima juga dipengaruhi oleh Kesultanan Gowa.[22]
Kesultanan Bima kemudian menerapkan hukum Islam dan hukum adat secara bersamaan. Pemerintahan Kesultanan Bima kemudian membentuk lembaga eksekutif dan yudikatif.[23] Sejak tanggal 14 Agustus 1788, Kesultanan Bima memiliki lembaga peradilan Islam yang bernama Mahkamah Syar'iyyah. Tugas utamanya adalah mengadili dalam urusan syariat Islam. Setelah Belanda memerintah di Kerajaan Bima, Mahkamah Syar’iyyah digantikan oleh sistem peradilan Hindia Belanda pada tahun 1908.[24]
Silsilah Sultan
Para sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Bima adalah sebagai berikut:[25]
Sultan ke- | Nama | Gelar | Periode |
---|---|---|---|
1 | Abdul Kahir | Mantau Wata Wadu | 1620—1640 |
2 | I Ambela Abi’l Khair Sirajuddin, | Mantau Uma Jati | 1640—1682 |
3 | Nuruddin Abu Bakar All Syah | Mawa’a Paju | 1682—1687 |
4 | Jamaluddin Ali Syah | Mawa’a Romo | 1687—1696 |
5 | Hasanuddin Muhammad Syah | Mabata Bo’u | 1696—1731 |
6 | Alauddin Muhammad Syah | Manuru Daha | 1731—1748 |
7 | Kamalat Syah | Rante Patola Sitti Rabi’ah | 1748—1751 |
8 | Abdul Kadim Muhammad Syah | Mawa’a Taho | 1751—1773 |
9 | Abdul Hamid Muhammad Syah | Mantau Asi Saninu | 1773—1817 |
10 | Ismail Muhammad Syah | Mantau Dana Sigi | 1817—1854 |
11 | Abdullah | Mawa’a Adil | 1854—1868 |
12 | Abdul Aziz | Mawa’a Sampela | 1868—1881 |
13 | Ibrahim | Ma Taho Parange | 1881—1915 |
14 | Muhamad Salahuddin | Marrbora di Jakarta | 1915—1951 |
Peninggalan Sejarah
Istana Asi Mbojo
Istana Asi Mbojo didirikan pada tahun 1888 dalam masa pemerintahan Sultan Ibrahim. Istana ini digunakan hingga masa pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin. Pada tahun 1927, istana Asi Mbojo diperbaiki dan ditempati kembali pada tahun 1929. Arsitekturnya dirancang dengan menggunakan perpaduan arsitektur Bima dan Belanda. Perancangnya adalah Obzicter Rahatta yang merupakan tahanan Hindia Belanda dari Ambon. Istana Asi Mbojo kemudian menjadi Museum Asi Mbojo [26] Pada masa Kesultanan Bima, istana ini digunakan sebagai kediaman sultan bersama keluarganya, serta sebagai pusat pemerintahan dan pusat penyiaran agama.[27]
Istana Asi Bou
Istana Asi Bou dibangun pada tahun 1927 sebagai kediaman sementara untuk sultan dan keluarganya. Kediaman ini digunakan selama pembangunan ulang dari Istana Asi Mbojo. Istana Asi Bou merupakan sebuah rumah panggung tradisional. Bahan bangunannya berupa kayu jati yang berasal dari Tololai, Kecamatan Wera. Pembangunannya menggunakan biaya dari kas keuangaan Kesultanan Bima dan dana pribadi Sultan Muhammad Salahuddin.[28]
Masjid Sultan Muhammad Salahuddin
Masjid Sultan Muhammad Salahuddin mulai dibangun pada tahun 1737 M dalam masa pemerintahan Sultan Abdul Kadim. Pembangunan masjid diteruskan oleh Sultan Abdul Hamid. Ia mengubah model atap masjid menjadi bersusun tiga yang menyerupai Masjid Kudus. Pada tahun 1943, Sultan Muhammad Salahuddin memerintahkan pembangunan ulang masjid yang hancur setelah dibom oleh pesawat pasukan sekutu dalam Perang Dunia II. Masjid ini kembali diperbaiki pada tahun 1990 oleh Siti Maryam yang merupakan putri dari Sultan Muhammad Salahuddin.[28]
Masjid Al-Muwahiddin
Masjid Al-Muwahiddin dibangun pada tahun 1947 dalam masa pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin. Tujuan pembangunannya adalah untuk menggantikan sementar fungsi dari Masjid Muhammad Salahuddin yang telah hancur. Masjid ini difungsikan sebagai tempat kegiatan ibadah, dakwah, dan studi Islam.[29]
Peninggalan Budaya
Rimpu
Rimpu adalah busana wanita berupa sarung yang digunakan oleh para muslimah di Kesultanan Bima. Kegunaannya adalah sebagai penutup kepala dan bagian tubuh bagian atas. Rimpu terdiri dari dua lembar kain sarung. Sarung pertama digunakan untuk menutupi kepala sehingga yang terliihat hanya bagian muka atau mata saja. Kain kedua diikat di perut dan digunakan sebagai pengganti rok.[30] Rimpu diperkenalkan pertama kali di Bima pada akhir abad ke-17 M.[31]
Referensi
- ^ Mawaddah 2017, hlm. 141.
- ^ Saputri 2016, hlm. 633.
- ^ Saputri 2016, hlm. 633–634.
- ^ Saputri 2016, hlm. 634.
- ^ Haris 2006, hlm. 18.
- ^ Haris 2006, hlm. 19.
- ^ Effendy 2017, hlm. 185.
- ^ a b Sumiyati 2020, hlm. 22.
- ^ Sumiyati 2020, hlm. 23.
- ^ Mandyara 2017, hlm. 47.
- ^ Mandyara 2017, hlm. 48.
- ^ Mawaddah 2017, hlm. 142.
- ^ Sumiyati 2020, hlm. 25.
- ^ Sulistyo 2014, hlm. 160.
- ^ Sulistyo 2014, hlm. 159.
- ^ Aulia 2013, hlm. 2.
- ^ Aulia 2013, hlm. 3.
- ^ Aulia 2013, hlm. 4.
- ^ Salahuddin 2005, hlm. 194.
- ^ Effendy 2017, hlm. 188.
- ^ Effendy 2017, hlm. 189.
- ^ Salahuddin 2005, hlm. 195.
- ^ Salahuddin 2005, hlm. 195–196.
- ^ Salahuddin 2005, hlm. 196.
- ^ Haris 2006, hlm. 30–31.
- ^ Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 13.
- ^ Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 13–14.
- ^ a b Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 14.
- ^ Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 15.
- ^ Aksa 2018, hlm. 84.
- ^ Aksa 2018, hlm. 85.
Daftar Pustaka
- Akbar, H., Antariksa, dan Meidiana, C. (2017). "Memori Kolektif Kota Bima Dalam Bangunan Kuno Pada Masa Kesultanan Bima". The Indonesian Green Technology Journal. 6 (1): 8–18. ISSN 2338-1787.
- Aksa (2018). "Rimpu: Tradisi dan Ekspresi Islam di Bima". Mimikri. 4 (1): 83–91.
- Aulia, Rihla Nur (2013). "Rimpu: Budaya Dalam Dimensi Busana Bercadar Perempuan Bima". Studi Al-Qur'an. 9 (2): 1–11. ISSN 2339-2614.
- Effendy, Muslimin AR. (Desember 2017). "Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di Kesultanan Bima". Al-Qalam. 23 (2): 184–197.
- Haris, Tawalinuddin (2006). "Kesultanan Bima di Pulau Sumbawa". Wacana. 8 (1): 17–31.
- Mandyara, Dewi Ratna Muchlisa (2017). "Peran Kesultanan Bima pada Masa Sultan Ismail Tahun 1819-1854". Jurnal Pendidikan IPS. 7 (1): 44–48.
- Mawaddah, Kartini (2017). "Diplomatik Sultan Abdul Hamid di Kerajaan Bima Tahun 1773-1817 M". Juspi. 1 (1): 139–153.
- Salahuddin, Muhammad (2005). "Mahkamah Syar'iyyah di Kesultanan Bima: Wujud Dialektika Hukum antara Islam dan Adat". Ulumuna. 9 (1): 189–201.
- Saputri, Reni (Oktober 2016). "Kesulttanan Bima di Bawah Pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin Tahun 1917-1942". Avatara. 4 (3): 630–643.
- Sulistyo, Bambang (Juli 2014). "Multikulturalisme di Bima pada Abad X - XVII". Paramita. 24 (2): 155–172. doi:10.15294/paramita.v24i2.3120. ISSN 0854-0039.
- Sumiyati (2020). "Kondisi Politik di Kesultanan Bima (1915-1950)". Diakronika. 20 (1): –. doi:10.24036/diakronika/vol20-iss1/128. ISSN 2620-9446.