Universitas Nasional
Universitas Nasional (disingkat UNAS) adalah perguruan tinggi swasta tertua di Jakarta dan merupakan perguruan tinggi kedua tertua di Indonesia. Kampus Utama terletak di Jl. Sawo Manila Pasar Minggu, sementara Kampus Pusat Laboratorium terletak di Jl. Bambu Kuning dan Kampus Menara UNAS 1 dan 2 terletak di Jl. R.M. Harsono Ragunan, Kampus Utama diperuntukan sebagai pusat perkantoran dan perkuliahan untuk jenjang Sarjana (strata satu), dan Laboratorium khusus diperuntukan sebagai sarana praktikum, Kampus di Menara 1 dan 2 diperuntukan sebagai perkantoran, perkuliahan Sekolah Pascasarjana dan Fakultas Ilmu Kesehatan. UNAS sudah mendapatkan akreditasi nasional nilai "A" oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT)[1][2], kemudian secara internasional dari QS Star Rating University, memperoleh 4 bintang.[3][4]
Universitas Nasional | |
---|---|
Informasi | |
Nama lain | UNAS |
Moto | Pionir Perubahan |
Moto dalam bahasa Inggris | Pioneering Transformation |
Jenis | Perguruan Tinggi Swasta |
Didirikan | 1949 |
Rektor | Dr. El Amry Bermawi Putera, M.A |
Lokasi | 6°16′51″S 106°50′22″E / 6.2808052°S 106.8393729°E |
Warna | Hijau |
Nama julukan | Universitas Perjuangan |
Situs web | www.unas.ac.id |
Universitas Nasional | |
Sejarah
Universitas Nasional didirikan pada 15 Oktober 1949 atas prakarsa cendikiawan terkemuka saat itu yang berhimpun dalam Perkumpulan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (PMIK). Para pendiri UNAS meliputi Mr. Sutan Takdir Alisjahbana, R. Teguh Suhardho Sastrosoewignjo, Mr. Soedjono Hardjosoediro, Prof. Sarwono Prawirohardjo, Mr. Prajitno Soewondo, Hazil, Kwari Kartabrata, Prof. Dr. R. M. Djoehana Wiradikarta, R. M. Soebagio, Ny. Noegroho, Drs. Adam Bachtiar, Dr. Bahder Djohan, Dr. J. Leimena, Ir. Abd Karim, Prof. Dr. Soetomo Tjokronegoro, Mr. Ali Budiharjo, Poerwodarminta, Mr. Soetikno, Ir. Th. A. Resink, Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Noegroho, Soejatmiko, H. B. Jassin, Mochtar Avin, L. Damais, M. Akbar Djoehana, Nona Boediardjo, dan Nona Roekmini Singgih.
Usaha yang awalnya dirintis para pendiri anggota PMIK pada tahun 1946 adalah mengadakan kursus-kursus meliputi bidang ekonomi, sosiologi, politik, dan filsafat.Kursus-kursus yang dipimpin oleh Drs. Adam Bachtiar tersebut dimaksud untuk memberi dasar pemahaman terhadap ilmu pengetahuan bagi setiap warga negara dalam tanggung jawabnya mengisi kemerdekaan. PMIK lalu membuka SMA sore bagi para pelajar yang bekerja di waktu pagi untuk melanjutkan pengetahuan dan mendapatkan kemajuan pada tahun yang sama.
Pelayanan PMIK kemudian dikembangkan pada perguruan tinggi Akademi Nasional. Para lulusan SMA yang tidak ingin masuk ke universitas milik Belanda saat itu, Universiteit Indonesia (kini Universitas Indonesia), sangat antusias mendaftarkan diri pada Akademi Nasional yang menjadi cikal bakal Universitas Nasional. Perkuliahan pertama yang diadakan di kampus Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat pada 15 Oktober 1949, menjadi momentum historis yang diperingati sebagai hari kelahiran Universitas Nasional.
Dipilihnya nama akademi dan bukan universitas pada saat itu semata-mata untuk menghindari peraturan kolonial di Jakarta yang tidak mengizinkan dibukanya perguruan tinggi berbentuk Universitas oleh kalangan bumiputera. Akademi Nasional pada awalnya membawahi 5 (lima) fakultas, meliputi:
- Fakultas Sosial, Ekonomi dan Politik
- Fakultas Biologi
- Fakultas Matematika dan Fisika
- Fakultas Sastra Indonesia
- Fakultas Sastra Inggris
Meskipun berstatus swasta, namun Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Indonesia yang saat itu berkedudukan di Yogyakarta telah memberikan pengakuan dan persamaan penuh kepada Akademi Nasional dengan surat No. 548/S pada 22 Desember 1949. Perkembangan legalisasi selanjutnya, melalui akta notaris Mr. R. Soewandi, Perkumpulan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan berubah menjadi Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK) pada 1 September 1954 dan Akademi Nasional selanjutnya mengukuhkan namanya sebagai Universitas Nasional.
Tidak hanya dalam lingkup pendidikan, Sivitas Akademika Universitas Nasional pada awalnya juga terlibat aktif sebagai garda terdepan perjuangan menentang kolonial Belanda di Jakarta. Atas dedikasi itu juga maka pada saat merayakan lustrum Universitas Nasional yang kedua, 15 Oktober 1959, Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno, menganugerahkan gelar “Universitas Perjuangan”.
Seiring meningkatnya kepercayaan masyarakat, UNAS terus berupaya mengembangkan ilmu pengetahuan dengan membuka program studi maupun fakultas baru. Sementara untuk pembukaan program Diploma, YMIK berkonsentrasi dengan membuka Akademi Bahasa Asing (ABA) Nasional (1970), Akademi Akuntansi Nasional (1974), serta Akademi Tourisme dan Perhotelan Nasional (sekarang Akademi Pariwisata Nasional). Hingga saat ini, UNAS dan Akademi-akademi Nasional telah membuka 32 program studi pada tingkat Pascasarjana, Sarjana dan Diploma yang akan terus dikembangkan lagi.
Pengembangan juga dilakukan melalui pembentukan unit-unit kelembagaan dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan, penelitian, pemberdayaan masyarakat, publikasi, dan kebudayaan, yang berinduk pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Lembaga tersebut bertujuan: "Melakukan pembinaan, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, teknologi dan seni melalui kegiatan penelitian. Mengamalkan ilmu, teknologi, dan seni melalui peningkatan relevansi program Universitas dengan kebutuhan masyarakat melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat."
Menghadapi laju globalisasi, UNAS menyadari bahwa untuk memperkuat daya saing, kerjasama dengan lembaga terkemuka di dalam negeri dan mancanegara terus digencarkan. Kerjasama ini bermanfaat dalam pertukaran informasi; pengembangan program bersama dalam pendidikan, riset, pemberdayaan masyarakat hingga konservasi alam; transfer/alih teknologi, pertukaran dosen dan mahasiswa serta beasiswa.
Melalui proses perkuliahan yang dinamis, para mahasiswa didorong aktif memanfaatkan teknologi informasi melalui berbagai media, aktif berdiskusi dan bekerjasama dengan tim, aktif mempresentasikan gagasan, serta kreatif dan inovatif dalam pemecahan masalah (problem solving). Melalui proses perkuliahan yang diimbangi kecerdasan mental dan spiritual, mahasiswa UNAS diarahkan untuk meningkatkan kepercayaan diri serta terhindar dari penyalahgunaan narkoba dan pornografi[5][6][7][8][9][10][11].[12]
Lambang
Lambang Universitas Nasional berupa Tugu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945, dengan bintang segi-lima di atasnya yang dilingkari oleh pita merah putih dan di atas perisai berwarna hijau dengan pengertian:
- Tugu: melambangkan puncak perjuangan bangsa Indonesia
- Bintang segi-lima: melambangkan asas Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
- Lingkaran merah putih, melambangkan bendera Nasional.
- Perisai, melambangkan benteng, untuk memberikan kesempatan belajar kepada pemuda-pemuda Republik yang tidak mau masuk ke sekolah-sekolah Belanda pada waktu kemerdekaan Indonesia.
- Dasar Hijau, melambangkan perkembangan ilmu sepanjang zaman dan masa
Fakultas
Sarjana
|
|
Akademi
- Akademi Pariwisata Nasional
- Perhotelan
Sekolah Pascasarjana
Program Doktor
AlumniPuluhan ribu alumni Unas telah tersebar pada beragam profesi. Sebagian alumni bahkan mencatat prestasi yang membanggakan almamater dengan reputasi nasional serta internasional. Mereka tersebar pada beragam profesi seperti pakar ilmu pengetahuan, anggota DPR/DPRD/DPD, menteri, duta besar, pejabat pemerintahan, pakar lingkungan, teknokrat, pengacara, hakim, profesional bisnis, wirausahawan, sastrawan, budayawan, artis hingga rohanian. Sistem pendidikan Unas terbukti telah menghasilkan alumni yang berdaya saing tinggi, berprestasi, dan siap menghadapi tantangan globalisasi dengan karya nyata bagi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Salah satu contoh alumni dari Universitas Nasional antara lain: Manuel Kaisiepo[13][14] dan Saifullah Yusuf[15][16] Mantan Menteri di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia, Agus Suparmanto[17][18] mantan Menteri di Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Muhammad Hanif Dhakiri[19][20] mantan Menteri di Menteri Ketenagakerjaan Indonesia, Mochtar Kusumaatmadja[21][22] mantan menteri di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Sampai dengan mantan duta besar ke Malaysia, Hadi Wayarabi[23] dan Ukraina, Yuddy Chrisnadi.[24][25]Termasuk investor kawakan Lo Kheng Hong.[26][27][28] Referensi
|