Paparan Sunda
Secara geologi, Paparan Nusantara adalah landas kontinen perpanjangan lempeng benua Eurasia di Asia Tenggara. Massa daratan utama antara lain Jawa, Semenanjung Malaya, Sumatra, Madura, Bali, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.[1] Area ini meliputi kawasan seluas 1,85 juta km2.[2] Kedalaman laut dangkal yang membenam paparan ini jarang sekali melebihi 50 meter, dan kebanyakan hanya sedalam kurang dari 20 meter, hal ini mengakibatkan kuatnya erosi dasar laut akibat gelombang laut.[3] Tebing curam bawah laut memisahkan Paparan Nusantara dari kepulauan Filipina, Sulawesi, dan Kepulauan Nusantara Kecil.[4]
Cakupan
Secara biogeografi, kawasan ini dikenal sebagai Nusantaraland, sebuah istilah yang merujuk kepada bentang daratan lempeng benua dan landas kontinen di Asia Tenggara yang merupakan dataran di atas permukaan laut ketika permukaan laut jauh lebih rendah pada zaman es terakhir. Tanah Nusantara termasuk Kepulauan Nusantara Besar termasuk Jawa, Kalimantan, Sumatra dan Semenanjung Malaya di Daratan Asia, serta laut dangkal di sekitarnya, yaitu Laut Jawa, Selat Malaka, Selat Karimata, Teluk Siam, dan bagian selatan Laut China Selatan. Tebing curam dasar laut membatasi batas timur Tanah Nusantara yang sama dengan batas Garis Wallace, dicetuskan oleh Alfred Russel Wallace, yang menandai perbatasan timur persebaran mamalia benua Asia, juga merupakan perbatasan antara zona ekologi Indomalaya dan Australasia. Bukti bahwa pulau-pulau Nusantara Besar pernah bersatu dengan benua Asia adalah sebaran jenis mamalia Asia seperti beberapa jenis kera, gajah, macan dan harimau yang ditemukan di Jawa, Sumatera, Bali dan benua Asia, serta adanya Orangutan baik di Sumatra dan Kalimantan.
Paparan ini terbentuk akibat aktivitas vulkanik beribu-ribu tahun dan erosi massa benua Asia, serta terbentuknya konsolidasi runtuhan batu di pesisir seiring naik dan turunnya permukaan laut.[5]
Lautan di antara pulau-pulai ini relatif stabil berupa dataran purba yang bercirikan rendahnya aktivitas gempa, anomali gravitasi isostatik yang rendah, serta tanpa adanya aktivitas gunung berapi, kecuali bagian pulau Jawa, Sumatra, dan Bali yang terhubung dengan paparan Nusantara, yang termasuk kawasan geologi muda sistem orogenik Pelengkung Nusantara (atau Sistem Pegunungan Nusantara).[2] Pada zaman es, permukaan laut turun, dan kawasan luas Paparan Nusantara terbuka dan muncul di atas permukaan air dalam bentuk dataran rawa yang amat luas. Naiknya permukaan air laut pada saat gelombang es di kutub mencair sebanyak 14,6 sampai 14,3 kbp menaikan permukaan laut setinggi 16 meter dalam jangka waktu 300 tahun.[6]
Sistem sungai purba
Naiknya permukaan laut ini menenggelamkan sistem sungai Molengraaf era Pleistosen — tiga sistem sungai yang luas mengaliri Sundaland pada puncak masa akhir zaman es, sekitar 18.000 sampai 20.000 tahun lalu.[7] Secara umum, sungai purba ini adalah perpanjangan sungai yang ada kini dan dapat ditafsirkan mengikuti topografi dengan arah menurun. Pada masa paling kering era Pleistosen, daerah tangkapan air di Kalimantan Barat dan sebagian besar sungai dari Sumatra menyambung dengan sungai besar yang disebut Sungai Sunda Besar yang mengalir di antara pulau Belitung dan pesisir Kalimantan Barat di sepanjang selat Karimata terus mengarah ke utara dan timur laut dengan muara terletak di sekitar Kepulauan Natuna.[8] Kawasan tangkapan air hujan di Jawa bagian utara dan Kalimantan bagian Selatan bergabung membentuk sungai besar di dasar laut Jawa dengan arah aliran menuju ke timur dengan muara di antara Jawa Timur dan Kalimantan Selatan.[9] Bukti pernah adanya sistem sungai yang mempersatukan pulau-pulau Sunda Besar dan benua Asia adalah ditemukannya bebagai spesies ikan air tawar Asia Tenggara di berbagai pulau yang kini terpisah oleh laut, misalnya ikan mas, gurame, dan ikan gabus.
Lihat juga
Referensi
- ^ Zvi Ben-Avraham, "Structural framework of the Sunda Shelf and vicinity" Structural Geology (January 1973) abstract; Monk, K.A. (1996). The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. hlm. 10. ISBN 962-593-076-0.
- ^ a b va Bemmelen, R.W. (1949). The Geology of Indonesia. Vol. IA: General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes. Matinus Nithoff, The Hague, 723 pp.
- ^ Tomascik, T (1996). The Ecology of the Indonesian Seas – Part One. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. hlm. 74. ISBN 962-593-078-7.
- ^ Susanto, S.J, Budi (2007). Sisi senyap politik bising. Yogyakarta: Kanisius. ISBN 978-979-21-1658-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-01-26.
- ^ Monk, K.A. (1996). The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. hlm. 10. ISBN 962-593-076-0.
- ^ Till Hanebuth, Karl Stattegger and Pieter M. Grootes, "Rapid Flooding of the Nusantara Shelf: A Late-Glacial Sea-Level Record", Science 288 12 May 2000:1033-35.
- ^ Tomascik, T (1996). The Ecology of the Indonesian Seas – Part One. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. hlm. 580–581. ISBN 962-593-078-7.
- ^ Tjia, H.D. (1980). The Sunda Shelf, Southeast Asia. Z. Geomorph. 24: 405-427. (23.3.6)
- ^ Whitten, T (1996). The Ecology of Java and Bali. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. hlm. 118. ISBN 978-962-593-888-2.
Bacaan
- Susanto, S.J, Budi (2007). Sisi senyap politik bising. Yogyakarta: Kanisius. ISBN 978-979-21-1658-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-01-26.
Pranala luar
- Voris, H., and C. Simpson, 2000 and 2006, Pleistocene Sea Level / Paleogeography Maps of Sunda Shelf The Field Museum, Chicago, Illinois.