Suku Palembang

kelompok etnik pribumi Sumatera yang berasal dari daerah Palembang di Sumatera bagian tenggara

Etnis Palembang alias Wong Palembang (terkadang juga Wong Kito Galo) adalah etnis pribumi asli yang berasal dari daerah Palembang di Sumatra Selatan, Indonesia.[2][3] Berdasarkan statistik, penduduk beretnis Palembang berjumlah sekitar 3.800.000[1] individual yang hidup di Indonesia.

Etnis Palembang
  • Wong Palembang
  • Wong Kito Galo
Etnis pribumi Palembang
Jumlah populasi
± 3,800,000[1]
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia (Sumatra Selatan)
Bahasa
Agama
Kelompok etnik terkait
Musi, Minangkabau, Jawa

Arsitektur

Rumah Tradisional

Secara tradisional, rumah-rumah adat Palembang memiliki karakteristik dan simbolisme sendiri yang dicerminkan dalam bentuk khazanah arsitektural. Setiap rumah tradisional memiliki makna historis dan pengaruhnya tersendiri.

 
Dua perempuan pribumi Palembang mempersembahkan tarian adat Palembang di depan bangunan kantor Belanda pada zaman kolonialisme (masa kini telah bertransformasi menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II), bangunan ini dibangun berdasarkan bentuk salah satu rumah adat Palembang yang bernama Caro Godang alias Cara Gudang
  • Rumah Bari
 
Rumah Bari di Palembang

Rumah Bari adalah salah satu rumah tradisional atau rumah adat masyarakat Palembang yang telah terpelihara dengan baik sejak dahulu kala. Rumah Bari tidak dapat dipisahkan dengan sejarah etnis pribumi Palembang itu sendiri, dan rumah tradisional ini dianggap sebagai salah satu arsitektur khas Palembang yang paling menonjol.

 
Atap rumah Bari tergambar dalam lambang provinsi Sumatra Selatan

Aspek arsitektur Rumah Bari digambarkan pada lambang provinsi Sumatra Selatan untuk menggambarkan Palembang sebagai ibu kota Sumatra Selatan yang juga sebagai bentuk simbolisasi keharmonisan dan keamanan kota Palembang dan provinsi Sumatra Selatan secara umum yang telah terjaga dengan baik sejak zaman dahulu. Pada tahun 2021, Rumah Bari secara resmi disahkan sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda dalam aspek arsitektural oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.[4]

  • Rumah Caro Godang alias Cara Gudang
 
Rumah Cara Gudang pada zaman kolonial dijadikan sebagai kantor residen Belanda

Secara etimologi, kata godang mungkin mengacu pada gudang (bangsal tempat menyimpan barang) karena bentuknya yang memanjang seperti gudang, akan tapi mungkin juga berasal dari perkataan gadang dalam bahasa Minangkabau yang berarti 'besar'. Tapi bagaimanapun juga, Rumah Cara Gudang tidak serupa dengan Rumah Gadang khas Minangkabau yang terkenal.

Bentuk rumah ini seperti panggung dan memanjang dengan tiang setinggi 2 meter. Bahan utama untuk membangun rumah adat ini adalah kayu. Kayu yang digunakan berasal dari jenis kayu tembesu, unglen, dan petanang. Kayu ini digunakan karena selain kuat juga kokoh. Rumah Cara Gudang terbagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian belakang, bagian tengah, dan bagian depan. Bagian belakang memiliki ruangan yang berfungsi sebagai ruangan indoor, dapur, atau kamar tidur. Bagian tengah terdapat ruangan yang berfungsi sebagai ruangan untuk tamu terhormat ataupun tetua adat. Sedangkan bagian depan memiliki ruangan yang difungsikan sebagai tempat beristirahat, berkumpul, atau digunakan sebagai tempat mengadakan pesta.

Pada tahun 2010, Rumah Caro Godang alias Cara Gudang secara resmi disahkan sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda dalam aspek arsitektural oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.[5]

  • Rumah Limas
Rumah Limas tergambar pada pecahan uang 10.000 Rupiah, Rumah Limas ini berlokasi di Museum Balaputradewa
Rumah Limas di Pavilion Sumatra Selatan Taman Mini Indonesia Indah

Rumah Limas tak dapat terbantahkan merupakan rumah adat asli Palembang. Bagi masyarakat etnis Palembang, Rumah Limas kerap kali diasosiasikan dengan golongab bangsawan dan golongan lain yang berstatus tinggi.[6] Pada tahun 2010, Rumah Limas secara resmi disahkan sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda asli Palembang dalam aspek arsitektural oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.[7]

  • Rumah Rakit
 
Rumah Rakit di Palembang, ca 1850an

Sungai Musi merupakan urat nadi kota Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. Dalam catatan Belanda, pada awal abad ke 19, kota ini disebut "Venesia Dari Timur" atau kota air, karena lebih dari 100 sungai dan anak sungai mengalir di dalam kota ini. Bagi masyarakat Palembang, keberadaan sungai-sungai berfungsi sebagai sumber makanan, mata pencaharian, dan terutama sumber air. Dalam arsitektur yang mempunyai konsep built environment, bangunan selalu dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Dengan kata lain, kondisi alam secara langsung akan mempengaruhi perilaku manusia termasuk dalam merancang bentuk arsitektur rumahnya.

 
Rumah Rakit di sisi Sungai Musi, Palembang

Rumah Rakit adalah bentuk rumah yang tertua di kota Palembang dan mungkin telah ada jauh sebelum masa kemaharajaan Sriwijaya. Rumah Rakit juga menjadi ciri khas masyarakat yang hidup di sungai sebagai tempat tinggal menetap terapung yang pertama dikenal oleh masyarakat etnis Komering dan juga etnis Musi, hanya saja pada Rumah Rakit khas etnis Palembang biasanya memiliki hiasan ukiran timbul (berupa stilisasi daun dan kembang) dengan warna merah hati dan emas yang mencolok. Pada tahun 2010, Rumah Rakit secara resmi disahkan sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda dalam aspek arsitektural oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.[8]

Hidangan

Kebudayaan

Budaya etnis Palembang merupakan salah satu kebudayaan tua yang ada di Indonesia, utamanya dalam kawasan Sumatra Selatan.

Pakaian Adat

 
Aesan Gede merupakan salah satu pakaian adat Palembang yang paling tersohor
  • Aesan
 
Pasangan pribumi Palembang mengenakan pakaian adat Palembang yang bernama Aesan, ca 1850an-1900an

Aesan adalah pakaian adat etnis pribumi Palembang. Aesan memiliki beberapa macam jenis, yang paling populer adalah Aesan Gede dan Aesan Paksangko alias Aesan Pasangkong. Dahulu, Aesan hanya dikenakan oleh para bangsawan atau anggota keluarga kerajaan Palembang (Wong Jero/Wong Jeroo), namun pada masa kini masyarakat umum Palembang (Wong Jabo) juga dapat mengenakannya sebagai simbol budaya etnis Palembang. Aesan juga kerap dikenakan pada acara-acara adat budaya etnis Palembang, termasuk juga upacara pernikahan adat Palembang. Pada tahun 2021, Aesan secara resmi disahkan sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda dalam aspek pakaian adat etnis pribumi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.[9]

Referensi

  1. ^ a b "Palembang of Indonesia". peoplegroups.org. Diakses tanggal 15 January 2021. 
  2. ^ Sosial Budaya Kota Palembang Dari Turun Temurun
  3. ^ Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies. 2003. ISBN 9812302123.
  4. ^ "Rumah Bari" [Bari house]. Cultural Heritage, Ministry of Education and Culture of Indonesia. Diakses tanggal 5 February 2022. 
  5. ^ "Rumah Gudang" [Gudang house]. Cultural Heritage, Ministry of Education and Culture of Indonesia. Diakses tanggal 5 February 2022. 
  6. ^ Taal 2008, hlm. 363.
  7. ^ "Rumah Limas" [Limas house]. Cultural Heritage, Ministry of Education and Culture of Indonesia. Diakses tanggal 5 February 2022. 
  8. ^ "Rumah Rakit" [Rakit house]. Cultural Heritage, Ministry of Education and Culture of Indonesia. Diakses tanggal 5 February 2022. 
  9. ^ "Aesan". Cultural Heritage, Ministry of Education and Culture of Indonesia. Diakses tanggal 5 February 2022.