Abdul Wahid Hasyim

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan
Revisi sejak 9 Februari 2022 15.00 oleh Wagino 20100516 (bicara | kontrib) (→‎Wafat: merapikan templat stub)

Kiai Haji Abdul Wahid Hasyim (1 Juni 1914 – 19 April 1953) adalah pahlawan nasional yang pernah menjabat sebagai Menteri Negara dan juga pernah sebagai Menteri Agama pada era orde lama. Ia adalah ayah dari presiden keempat, Abdurrahman Wahid dan anak dari Muhammad Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan pahlawan nasional Indonesia. Selain itu pada tahun 1951 ia menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Ia menikah di usia 25 tahun dengan Solichah, putri KH. Bisri Syansuri dan dikaruniai 6 putra putri.

Abdul Wahid Hasyim
Menteri Negara Urusan Agama RI Ke-1
Masa jabatan
30 September 1945 – 14 November 1945
PresidenSoekarno
Sebelum
Pendahulu
Tidak ada jabatan baru
Pengganti
Rasjidi
Sebelum
Menteri Agama Republik Indonesia Serikat
Masa jabatan
20 Desember 1949 – 6 September 1950
Perdana MenteriMohammad Hatta
Menteri Agama RI Ke-7
Masa jabatan
6 September 1950 – 27 April 1951
PresidenSoekarno
Perdana MenteriMohammad Natsir
Soekiman Wirjosandjojo
Sebelum
Pendahulu
Fakih Usman
Pengganti
Fakih Usman
Sebelum
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Ke-5
Masa jabatan
1951–1954
Sebelum
Pendahulu
KH. Nahrawi Thohir
Informasi pribadi
Lahir(1914-06-01)1 Juni 1914
Jombang, Jawa Timur, (Masa pendudukan Belanda)
Meninggal19 April 1953(1953-04-19) (umur 38)
Cimahi, Jawa Barat
AnakK.H. Abdurrahman Wahid
Aisyah Hamid Baidlowi
K.H. Salahuddin Wahid
dr. Umar Wahid, Sp.P
Lily Chodijah Wahid
Hasyim Wahid
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Pendidikan

 
Wahid Hasyim saat berusia 12 tahun.

Sejak kecil ia menimba ilmu di Madrasah Salafiyah di Pondok Pesantren Tebuireng. Ia telah berhasil mengkhatamkan Al Quran di usia 7 tahun. Kemudian setelah lulus dari madrasah, ia diminta oleh ayahnya untuk membantu mengajar adik-adik dan santri-santri pesantren seuisanya. Kemudian setahun berikutnya ia menimba ilmu di Pondok Siwalanpanji, Sidoarjo.

Setelah sebulan di Sidoarjo, ia berpindah ke Pondok Pesantren Lirboyo, dan sepulang dari sana, ia menetap di rumahnya sendiri, yakni di Tebuireng dan belajar di sana. Meskipun ia tidak pernah mengikuti sekolah umum yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda, namun ia sangat pandai menguasai bahasa Inggris dan Belanda, termasuk juga menulis huruf latin.

Pada tahun 1932 ia belajar di Makkah bersama sepupunya, Muchammad Ilyas, ialah yang mengajari Wahid dalam belajar Bahasa Arab hingga ia fasih berbahasa Arab. Sehingga ia menguasai tiga bahasa asing, yakni Arab, Inggris, dan Belanda.

Kiprah

Ketua Masyumi

Pada tahun 1939, Nahdlatul Ulama menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas Islam pada zaman pendudukan Belanda. Saat pendudukan Jepang yaitu tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1943 ia ditunjuk menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI. Selaku pemimpin Masyumi ia merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan.

Mendirikan sekolah

Selain keaktifannya dalam gerakan politik dan sumbangsihnya terhadap perjuangan melawan penjajah secara diplomatis, pada tahun 1944 ia mendirikan sebuah Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang saat itu pengasuh sekaligus pimpinannya dipegang oleh oleh KH. A. Kahar Moezakkir.[1]

Sebagai anggota BPUPKI dan PPKI

Menjelang kemerdekaan tahun 1945 di usianya yang masih 23 tahun, ia menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Wahid Hasyim dengan segudang pemikiran tentang agama, negara, pendidikan, politik, kemasyarakatan, NU, dan pesantren, telah menjadi lapisan sejarah ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang tidak dapat tergantikan oleh siapapun.

Mengembangkan dunia pesantren

Wahid mengawali kiprah kemasyarakatannya pada usia relatif muda. Setelah menimba ilmu agama ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Mekah, pada usia 21 tahun Wahid membuat “gebrakan” baru dalam dunia pendidikan pada zamannya. Dengan semangat memajukan pesantren, Wahid memadukan pola pengajaran pesantren yang menitikberatkan pada ajaran agama dengan pelajaran ilmu umum. Sistem klasikal diubah menjadi sistem tutorial. Selain pelajaran Bahasa Arab, murid juga diajari Bahasa Inggris dan Belanda. Itulah madrasah nidzamiyah. Meskipun ayahandanya, Hadratush Syaikh Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama, butuh waktu beberapa tahun bagi Wahid Hasjim untuk menimbang berbagai hal sebelum akhirnya memutuskan aktif di NU. Pada usia 25 tahun Wahid bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Setahun kemudian Wahid menjadi ketua MIAI.[2][3]

Penggagas sila "Ketuhanan Yang Maha Esa"

Rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila sebagai pengganti dari bunyi rumusan "Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya" tidak terlepas dari peran seorang Wahid Hasyim. Pada mulanya rumusan sila pertama tersebut ditolak oleh penduduk Indonesia yang beragama non-muslim, karena tidak hanya umat Islam saja yang ikut berperan dalam kemerdekaan Bangsa Indonesia, namun dari berbagai pihak. Kemudian Wahid mengusulkan diubahnya sila pertama yang berbunyi "Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya" menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Wahid memang dikenal sebagai tokoh yang moderat, substantif, dan inklusif.[4]

Menjadi Menteri

Wahid Hasyim pernah ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri Negara pada tahun 1945, kemudian pada 20 September 1949 ia menjadi Menteri Agama hingga 6 September 1950, kemudian pada 6 September 1951 ia kembali menjadi Menteri Agama hingga 3 April 1952

Menjadi Ketua Umum PBNU

Pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-19 di Palembang pada tahun 1951, Wahid Hasyim terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dengan Rais 'Aam KH. A. Wahhab Hasbullah.

Menjad

Karya

  1. Artikel “Abdullah Ubaid Sebagai Pendidik”. Berisi tentang bagaimana sebaiknya mendidik anak dan pengamatannya terhadap Abdullah Ubaid dalam mendidik anak.
  2. Artikel “Kemadjuan Bahasa, Berarti Kemadjuan Bangsa”. Berisi tentang cara-cara menumbuhkan rasa kebangsaan dengan mendorong anak bangsa untuk menggunakan Bahasa Indonesia.
  3. “Nabi Muhammad dan Persaudaraan Manusia”. Merupakan pidatonya pada perayaan Maulid Nabi Muhammad di Istana Negara Jakarta, pada 2 Januari 1950.
  4. “Kebangkitan Dunia Islam”. Merupakan tulisannya di media Mimbar Agama edisi No. 3-4 Maret April 1951.
  5. “Beragamalah Dengan Sungguh dan Ingatlah Kebesaran Tuhan”. Merupakan semacam pidato untuk perayaan Hari Raya Idul Fitri yang pada saat itu Indonesia masih berbentuk RIS (Republik Indonesia Serikat).
  6. “Hari Raya Sebagai Ukuran Maju Mundur Umat”. Masuk dalam Berita Nahdlatul Ulama, No. 3, Th. Ke 7 Desember 1937, hlm 2-5.
  7. “Arti dan Isi al-Fatihah”. Masuk dalam Berita Nahdlatul Ulama, No. 14, Th. VII, 15 Mei 1938, hlm 1-3.
  8. “Islam Agama Fitrah (Dasar Manusia)”. Masuk dalam Suara Muslimin Indonesia, No. 7, Th. Ke II, April 1944, hlm 2-4.
  9. “Latihan Lapar adalah Kebahagiaan Hidup Perdamaian”. Masuk dalam Penyiaran Kementerian Agama No. 4, 1309, hlm 3-4.
  10. “Perkembangan Politik Masa Pendudukan Jepang dan Nota Politik". (November 1945).  

Wafat

Wahid Hasjim wafat dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi tanggal 19 April 1953. Hujan turun deras yang mengakibatkan mobil terselip karena jalanan licin. Kecelakaan lalu lintas itu terjadi pada Sabtu, 19 April 1953. Setelah meninggalnya Wahid Hasjim, anak-anaknya diasuh oleh istrinya yang tengah hamil anak keenam. Anak keduanya, Aisyah Hamid Baidlowi ikut membantu mengurus adik-adiknya disaat ibunya bekerja. Semua anak Wahid Hasjim tumbuh menjadi orang sukses yang berperan besar dalam kemajuan negara. Anak pertamanya Abdurrahman Wahid pernah menjadi Presiden RI yang ke 4, Aisyah Hamid Baidlowi dan Lily Chadijah Wahid merupakan mantan anggota DPR, Salahuddin Wahid pada masanya pernah menjadi Wakil Ketua Komnas HAM, Umar Wahid seorang dokter dan adiknya, Hasyim Wahid juga turut masuk ke dalam dunia politik.

Jabatan politik
Posisi baru Menteri Negara Urusan Agama Indonesia
1945
Diteruskan oleh:
Rasjidi
Didahului oleh:
Masjkur
Menteri Agama Indonesia
1949–1952
Diteruskan oleh:
Fakih Usman
  1. ^ "Perjuangan Kiai Wahid Hasyim, Ayah Gus Dur". Tebuireng Initiatives. 2021-10-07. Diakses tanggal 2022-01-15. 
  2. ^ El-Rumi, Umiarso; Asnawan, Asnawan (2018-11-29). "KH. ABDUL WAHID HASYIM PEMBARU PESANTREN Dari Reformasi Kurikulum, Pengajaran hingga Pendidikan Islam Progresif". Edukasia : Jurnal Penelitian Pendidikan Islam. 13 (2): 431–454. doi:10.21043/edukasia.v13i2.3960. ISSN 2502-3039. 
  3. ^ Kurohman, M. Taofik; Wahyuni, Anny; Purnomo, Budi (2021-11-29). "Analisis Kepemimpinan K.H Wahid Hasyim Terhadap Reformasi Pendidikan Pesantren". Chronologia (dalam bahasa Inggris). 3 (2): 10–18. doi:10.22236/jhe.v3i2.7569. ISSN 2686-0171. 
  4. ^ "KH Wahid Hasyim: Sebuah Kontribusi Kebangsaan NU Untuk Indonesia". nu.or.id. Diakses tanggal 2022-01-15.