Muhammad Hasyim Asy'ari

ulama Indonesia dan pendiri Nahdlatul Ulama
(Dialihkan dari Hasyim Asy'arie)

K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari (14 Februari 1871 – 25 Juli 1947) adalah seorang ulama, pahlawan nasional, serta merupakan pendiri sekaligus Rais Akbar (pimpinan tertinggi pertama) organisasi massa Islam, Nahdlatul Ulama.Dikenal juga sebagai Pendiri dan Pengasuh pertama salah satu ponpes tertua di Indonesia,Pondok Pesantren TebuIreng,Jombang,Jawa Timur


Muhammad Hasyim Asy'ari
مُحَمَّدْ هَاشِم اَشْعَرِيْ
GelarHadratussyeikh
Informasi pribadi
Lahir14 Februari 1871
Meninggal25 Juli 1947(1947-07-25) (umur 76)
Jombang, Indonesia
AgamaIslam
KebangsaanIndonesia
PasanganNyai Nafiqoh
Nyai Masruroh
AnakHannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim (Abdul Kholiq), Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurroh, Muhammad Yusuf
Abdul Qodir, Fatimah, Chotijah, Muhammad Ya’kub
Orang tua
  • Kyai Asy'ari (ayah)
  • Nyai Halimah (ibu)
DenominasiSunni
Dikenal sebagaiPendiri Nahdlatul Ulama dan Pahlawan Nasional
Pemimpin Muslim
PenerusK.H. A. Wahab Hasbullah

Beliau memiliki julukan Hadratussyaikh yang berarti mahaguru dan telah hafal Kutub At-Tis'ah (9 kitab hadits), serta memiliki gelar Syaikhu al-Masyayikh yang berarti Gurunya Para Guru.[1] Ia adalah putra dari pasangan K.H. Asy'ari dengan Ny. H. Halimah, dilahirkan di Desa Tambakrejo, Jombang, Jawa Timur, dan memiliki salah satu anak bernama K.H. A Wahid Hasyim yang juga merupakan pahlawan nasional perumus Piagam Jakarta, serta cucunya yakni K.H. Abdurrahman Wahid, merupakan Presiden RI ke-4.

Mendirikan NU

sunting

Terbentuknya Nahdlatul Ulama atau NU sebagai wadah Ahlussunnah wal Jama’ah atau Aswaja bukan semata-mata karena K.H. Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama lainnya ingin melakukan inovasi, namun memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi genting dan wajib mendirikan sebuah wadah. Di mana saat itu, di Timur Tengah telah terjadi momentum besar yang dapat mengancam kelestarian Ahlussunnah wal Jama’ah terkait penghapusan sistem khalifah oleh Republik Turki Modern dan ditambah berkuasanya Manhaj Salaf di Arab Saudi yang sama sekali menutup pintu untuk berkembangnya paham Sufi di tanah Arab saat itu. Menjelang berdirinya NU, beberapa ulama masyhur berkumpul di Masjidil Haram dan sangat mendesak berdirinya organisasi untuk menjaga kelestarian Ahlussunnah wal Jama’ah.[2]

Setelah melakukan istikharah, para ulama di Arab Saudi mengirimkan sebuah pesan kepada K.H. Hasyim Asy’ari untuk sowan kepada dua ulama besar di Indonesia saat itu, apabila dua ulama besar ini merestui, maka akan sesegera mungkin dilakukan tindak lanjut, dua orang itu adalah Habib Hasyim, Pekalongan dan Syaikhona Kholil, Bangkalan. Maka K.H. Hasyim Asy’ari dengan didampingi Kiai Yasin, Kiai Sanusi, Kiai Irfan, dan K.H.R. Asnawi datang sowan ke kediamannya Habib Hasyim di Pekalongan.[2] Selanjutnya dilanjutkan dengan sowan ke Syaikhona Kholil Bangkalan, maka K.H. Hasyim dan ulama lainnya mendapatkan wasiat dari Syaikhona Kholil untuk segera melaksanakan niatnya itu sekaligus beliau merestuinya.[3]

Kemudian pada tahun 1924, Syaikhona Kholil mengutus Kiai As'ad yang saat itu berumur 27 tahun untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Kiai Hasyim Asy'ari, Tebuireng, Jombang dan menghafalkan Surat Thaha ayat 17-23 untuk dibacakan di hadapan Kiai Hasyim. Berangkatlah Kiai As'ad dengan mengayuh sepeda, Kiai As'ad telah dibekali uang oleh Syaikhona Kholil untuk di perjalanan, namun ia justru berpuasa selama di perjalanan. Kemudian setibanya di Tebuireng, Kiai As’ad menghadap Kiai Hasyim Asy'ari dan menyerahkan tongkat itu. Kiai Hasyim bertanya “Apakah ada pesan dari Syaikhona?” Lalu Kiai As’ad membaca Surat Thaha ayat 17-23 yang arti terjemahannya:

“Apakah yang ada di tangan kananmu, wahai Musa? Dia (Musa) berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain.” Allah berfirman, “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu ia melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Dia (Allah) berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami (Allah) akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, Dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih (bercahaya) tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain, untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar”.[4]

Berselang beberapa hari, Syaikhona Kholil kembali mengutus Kiai As'ad untuk mengantarkan sebuah tasbih kepada Kiai Hasyim. Ketika Syaikhona Kholil menyerahkan tasbihnya, Kiai As'ad enggan untuk menerima dengan tangannya, ia memohon kepada Syaikhona untuk mengalungkan tasbih itu ke lehernya. Syaikhona Kholil berpesan agar Kiai As'ad membaca "Yaa Jabbar Yaa Qahhar" hingga sampai Tebuireng dan membacanya di hadapan Kiai Hasyim. Selama di perjalanan, Kiai As'ad sama sekali tidak berani menyentuh tasbih itu, hingga sesampainya di Tebuireng, Kiai As'ad segera menghadap Kiai Hasyim dan memohon Kiai Hasyim untuk mengambil tasbih itu dari lehernya seraya ia membaca "Yaa Jabbar Ya Qahhar".

K.H. Hasyim Asy'ari[5] telah menangkap dua isyarat kuat tersebut yang mengartikan bahwasannya Syakhona Kholil telah memantapkan hati beliau dan merestui didirikannya Jam'iyah Nahdlatul Ulama. Setahun kemudian, pada tanggal 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 H di Surabaya berkumpul para ulama se-Jawa-Madura. Mereka bermusyawarah dan sepakat mendirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama.

Pemikiran

sunting

Pemikiran dari K.H. Hasyim Asy'ari tentang Ahlussunnah wal Jama’ah adalah ulama dalam bidang tafsir Al Qur'an, Sunnah Nabi Muhammad, dan Fiqih yang tunduk pada tradisi Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa sampai sekarang ulama tersebut termasuk "mereka yang mengikuti Mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali". Pemikiran inilah yang diterapkan oleh Jam'iyah Nahdlatul Ulama yang menyatakan sebagai pengikut, penjaga, pelestari, dan penyebar paham Ahlussunnah wal Jama’ah

Ahlussunnah wal Jama’ah dalam pandangan K.H. Hasyim Asy'ari tidak memiliki makna tunggal, tergantung perspektif yang digunakan. Paling tidak terdapat dua perspektif yang digunakan untuk mendefinisikan Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu teologi dan fiqih. Namun, jika ditelusuri lebih lanjut melalui karya-karya K.H. Hasyim Asy'ari, maka sebenarnya dapat diambil sebuah kesimpulan yaitu bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah pada dasarnya lebih kepada pola keberagaman bermadzhab kepada generasi muslim masa lalu yang cukup otoritatif secara religius.[6]

Resolusi Jihad

sunting

Resolusi Jihad adalah suatu hasil dari perenungan dan penghayatan nilai-nilai Islam kebangsaan. Tak lama setelah merdeka, Indonesia kembali mendapat teror Belanda yang ingin kembali masuk menguasa Indonesia dari tangan Jepang. Presiden Soekarno mengutus Bung Tomo untuk menghadap KH Hasyim Asy’ari untuk meminta nasehat dan pendapat bagaimana kiranya hukumnya umat Islam menghadapi ancaman tersebut.

Menanggapi hal itulah K.H. Hasyim Asy’ari[7] mengeluarkan fatwa yang kemudian diputuskan dalam rapat para konsul NU se-Jawa Madura. Berikut isi teks asli fatwa tersebut.

Bismillahirrochmanir Rochim

Mendengar : Bahwa di tiap-tiap Daerah di seloeroeh Djawa-Madoera ternjata betapa besarnja hasrat Oemmat Islam dan ‘Alim Oelama di tempatnja masing-masing oentoek mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAOELATAN NEGARA REPOEBLIK INDONESIA MERDEKA.

Menimbang :

a. Bahwa oentoek mempertahankan dan menegakkan Negara Repoeblik Indonesia menurut hoekoem Agama Islam, termasoek sebagai satoe kewadjiban bagi tiap-tiap orang Islam.

b. Bahwa di Indonesia ini warga negaranja adalah sebagian besar terdiri dari Oemmat Islam.

Mengingat:

  1. Bahwa oleh fihak Belanda (NICA) dan Djepang jang datang dan berada di sini telah banjak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang menganggoe ketentraman oemoem.
  2. Bahwa semoea jang dilakoekan oleh mereka itu dengan maksoed melanggar kedaoelatan Negara Repoeblik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali mendjadjah di sini maka beberapa tempat telah terdjadi pertempoeran jang mengorbankan beberapa banjak djiwa manoesia.
  3. Bahwa pertempoeran2 itu sebagian besar telah dilakoekan oleh Oemmat Islam jang merasa wadjib menoeroet hoekoem Agamanja oentoek mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanja.
  4. Bahwa di dalam menghadapai sekalian kedjadian2 itoe perloe mendapat perintah dan toentoenan jang njata dari Pemerintah Repoeblik Indonesia jang sesoeai dengan kedjadian terseboet.

Memoetoeskan :

  1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia soepaja menentoekan soeatoe sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap oesaha2 jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia teroetama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannja.
  2. Soepaja memerintahkan melandjoetkan perdjoeangan bersifat “sabilillah” oentoek tegaknja Negara Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

Soerabaja, 22 Oktober 1945

Dengan ini,maka sudah jelaslah bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy'ari memiliki peranan yang sangat penting dalam kemerdekaan bangsa Indonesia

  1. Rasulullah SAW Masjid An-Nabawi Madinah Hijaz
  2. Fatimah Az-Zahra Jannatul Baqi Madinah Hijaz
  3. Husain bin Ali Karbala Iraq Wa Mashr Mesir
  4. Ali Zainal Abidin As-Sajad Al-Ausath Jannatul Baqi Madinah Hijaz
  5. Muhammad Al-Baqir Jannatul Baqi Madinah Hijaz
  6. Ja’far Ash-Shadiq Jannatul Baqi Madinah Hijaz
  7. Ali Al-Uraydhi Uraydh Madinah Hijaz
  8. Jamaluddin Muhammad An-Naqib Bashrah Iraq
  9. Isa Ar-Rumi Al-Azraq Bashrah Iraq
  10. Ahmad Al-Muhajir Ilallah Shahibul Husaysah Hadhramaut Yaman
  11. Abdullah Ubaidillah Shahibul Aradh Bour Sumal Hadhramaut Yaman
  12. Alawi Al-Awwal (Leluhur Saadah Bani Alawi Atau Saadah Ba'alawi) Sahal Hadhramaut Yaman
  13. Jamaluddin Muhammad Ash-Shauma'ah Baytul Jubair Hadhramaut Yaman
  14. Alawi Ats-Tsani Baytul Jubair Hadhramaut Yaman
  15. Ali Khali' Al-Qasam Shahibuz Zanbal Tarim Hadhramaut Yaman
  16. Muhammad Shahib Al-Mirbath Mirbath Dhafar Oman
  17. Alawi Ammul Faqih Al-Muqaddam Shahibuz Zanbal Tarim Hadhramaut Yaman
  18. Amirul Hindi Abdul Malik Al-Muhajir Ilallah Ats-Tsani Al-Azhamatkhan Gujarat Malawa Hindia
  19. Amirul Syahkhan Nasirabad Abdullah Syah Al-Azhamatkhan Gujarat Malawa Hindia
  20. Amirul Muazham Jalaluddin Ahmad Syah Al-Azhamatkhan Hutan Lama Banggol Kelantan Malaysia
  21. Amirul Syahansyah Paduka Baginda Sunan Sri Ratnavamsa Pandita Parnen Syaikh Jumadil Kubra Jamaluddin Husain Al-Akbar Al-Azhamatkhan Desa Tosora Majauleng Wajo Sulawesi Selatan Indonesia
  22. Syaikh Syamsut Tabriz Sultan Syarif Muhammad Kebungsuan Al-Azhamatkhan (Kesultanan Semende Islam Sumatera Selatan, Kesultanan Pajang Islam Jawa, Kesultanan Mataram Islam Jawa, Kesultanan Demak Islam Jawa)
  23. Sultan Syarif Abdul Aziz Ki Ageng Pengging Kebo Kenongo Al-Azhamatkhan Kesultanan Pajang Islam Jawa
  24. Sultan Syarif Abdurrahman Hadiwijaya Mas Karebet Jaka Tingkir Al-Azhamatkhan Kesultanan Pajang Islam Jawa
  25. Sultan Syarif Pangeran Benawa I Abdullah Al-Azhamatkhan
  26. Syarif Pangeran Samhudbagda Abdurrahman Al-Azhamatkhan
  27. Syarif Pangeran Benawa II Abdul Halim Al-Azhamatkhan
  28. Syarif Pangeran Musa Al-Azhamatkhan
  29. Syarif Pangeran Abdul Hakim Al-Azhamatkhan
  30. Syarif Pangeran Kuda Laksana Al-Azhamatkhan
  31. Syarif Qadiyun Al-Azhamatkhan
  32. Syarif Abdul Halim Al-Azhamatkhan
  33. Syarif KH. Abdul Wahid Salatiga Al-Azhamatkhan
  34. Syarif KH. Muhammad Abu Syarwan Al-Azhamatkhan
  35. Syarif KH. Muhammad Asy'ari Al-Azhamatkhan Ponpes Keras Jombang
  36. Syarif KH. Muhammad Hasyim Al-Azhamatkhan (Pendiri Nahdhatul Ulama NU)
  37. Syarif KH. Abdul Wahid Al-Azhamatkhan
  38. President Republik Of Indonesia Ke-4 Syarif Gus Dur KH. Abdurrahman Al-Azhamatkhan
  • Risalah Ahlussunnah wal Jama'ah: Fi Hadistil Mauta wa Asyrathissa'ah wa Bayani Mafhumissunnah wal Bid'ah (Paradigma Ahlussunah wal Jama'ah: Pembahasan tentang Orang-orang Mati, Tanda-tanda Zaman, Penjelasan Sunnah dan Bid'ah). Karya K.H. Hasyim Asy’ari yang satu ini banyak membahas tentang bagaimana sebenarnya penegasan antara sunnah dan bid’ah. Secara tidak langsung, kitab tersebut banyak membahas persoalan-persoalan yang akan muncul di kemudian hari, terutama saat ini.
  • Muqaddimah Al Qanun Al Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (Anggaran Dasar Organisasi Nahdlatul Ulama). Kitab ini berisikan pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari yang berkaitan dengan NU. Dalam kitab tersebut, K.H. Hasyim Asy’ari mengutip beberapa ayat dan hadits yang menjadi landasannya dalam mendirikan NU.
  • Risalah fi Ta’kidul Akhdzi bi Mazhabil A’immatul Arba’ah (Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat). Dalam kitab ini, K.H. Hasyim Asy’ari tidak sekedar menjelaskan pemikiran empat imam madzhab (Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal). Namun, beliau juga memaparkan alasan-alasan kenapa pemikiran di antara keempat imam itu patut kita jadikan rujukan.
  • Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Sebagaimana judulnya, kitab ini berisi empat puluh hadits pilihan yang sangat tepat dijadikan pedoman oleh warga NU. Hadits yang dipilih oleh K.H. Hasyim Asy’ari terutama berkaitan dengan hadits-hadits yang mejelaskan pentingnya memegang prinsip dalam kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan ini.
  • Adabul 'alim wal Muta’alim fi ma Yahtaju Ilaihil Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi (Etika Pengajar dan Pelajar dalam Hal-hal yang Perlu Diperhatikan oleh Pelajar Selama Belajar). Pada dasarnya, kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhamad bin Sahnun, Ta’limul Muta’allim fi Thariqah at-Ta’allum karya Syekh Burhanuddin az-Zarnuji, dan Tadzkiratus Syaml wal Mutakalli fi Adabil 'Alim wal Muta’allim karya Syekh Ibnu Jama'ah. Meskipun merupakan bentuk ringkasan dari kitab-kitab tersebut, tetapi dalam kitab tersebut kita dapat mengetahui betapa besar perhatian K.H. Hasyim Asy’ari terhadap dunia pendidikan.
  • Keterangan: Adapun kitab IrsyadusSari merupakan gabungan dari kumpulan kitab-kitab yang dikarang oleh Beliau.Kitab-kitab Beliau tersebut ditulis dan dicetak oleh cucu Beliau KH Ishomuddin Hadziq

Kiai Hasyim wafat pada tanggal 25 Juli 1947 M atau 7 Ramadan 1366 H, saat itu di Kiai Hasyim menerima kedatangan utusan Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Bung Tomo yang hendak mengabarkan keadaan negara setelah terjadinya Agresi Militer I pada 21 Juli 1947. Kiai Hasyim kaget sebab mendengar cerita dari utusan tersebut bahwa Singosari telah direbut oleh Jenderal Spoor.

Mendengar kabar itu, Kiai Hasyim sangat kaget hingga beliau jatuh pingsan, sempat didatangkan dokter namun nyawanya tak bisa diselamatkan lagi, ia dimakamkan di komplek Pondok Pesantren Tebuireng, Diwek, Jombang.[8]

Dalam budaya populer

sunting

Referensi

sunting

Catatan Kaki

sunting
  1. ^ "KH Hasyim Asy'ari, Kisah Wafat dan Perjuangannya di Bulan Ramadhan". nu.or.id. Diakses tanggal 2022-01-16. 
  2. ^ a b "NU Online". nu.or.id. Diakses tanggal 2021-12-03. 
  3. ^ "Home". Tebuireng Online (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-03. 
  4. ^ "Surat Thaha 17-23". Kementerian Agama RI. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-21. Diakses tanggal 14-01-2022. 
  5. ^ Abdurrahman, Syarif (2021-07-04). "Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy'ari Sang Mujaddid". Tebuireng Initiatives. Diakses tanggal 2023-01-21. 
  6. ^ "Teladan Ukhuwah Islamiyah dan Keilmuan KH Hasyim Asy'ari". nu.or.id. Diakses tanggal 2022-01-16. 
  7. ^ Abdurrahman, Syarif (2021-06-27). "Tafsir Pemikiran Kebangsaan dan Keislaman KH M Hasyim Asy'ari". Tebuireng Initiatives. Diakses tanggal 2023-01-21. 
  8. ^ "Detik-detik Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari Wafat pada Tanggal 7 Ramadhan". nu.or.id. Diakses tanggal 2022-01-16. 

Pranala luar

sunting