Al-Ghazali

Ilmuwan Muslim di bidang agama, bahasa, fikih, filsafat, kosmologi, psikologi, tasawuf, dan teologi
Revisi sejak 3 Maret 2022 02.27 oleh WahyuNF (bicara | kontrib) (menambahkan tulisan dan rujukan)

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (1058 (umur -54–-53)) adalah seorang filsuf dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.[1][2][3]

Al-Ghazālī (الغزالي)
Algazel
Lahir1058
Thus, Iran
Meninggal1111
Thus, Khorasan
EraZaman keemasan Islam
KawasanFilosof Islam
AliranIslam Sunni (Shafi'i, Ash'ari)
Minat utama
Teologi, Filsafat Islam, Fikih, Sufisme, Mistisisme, Psikologi, Logika, Kosmologi
Gagasan penting
skeptisisme, okasionalisme

Ia berkuniah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid.[butuh rujukan] Gelar dia al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (kini Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa dia bermazhab Syafi'i. Ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah memegang jabatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.

Pelafalan Nama Al-Ghazali

Yang lebih tepat sebenarnya adalah melafalkannya Al-Ghozzali ( الْغَزَّالِيُّ ), yakni dengan mentasydidkan huruf zay. Alasannya, lafaz Al-Ghazzali berasal dari kata Ghozzal ( الْغَزَّالُ ) yang bermakna tukang tenun. Al-Ghozzali dinisbatkan pada pekerjaan ini karena ayahnya adalah seorang tukang tenun bulu yang hasilnya dijual pada tokonya. Laqob ini sama seperti orang yang diberi gelar ‘atthori (العطّاري ) karena dia penjual minyak wangi atau khobbazi (الخبّازي ) karena dia menjual roti. Ibnu ‘Imad berkata:

شذرات الذهب في أخبار من ذهب (6/ 19)

والغزّالي: هو الغزّال، وكذا العطّاري والخبّازي ، على لغة أهل خراسان. قاله في «العبر» .وقال الإسنوي في «طبقاته» : الغزّالي إمام باسمه تنشرح الصدور، وتحيا النفوس، وبرسمه تفتخر المحابر وتهتزّ الطّروس، وبسماعه تخشع الأصوات وتخضع الرؤوس.

ولد بطوس، سنة خمسين وأربعمائة، وكان والده يغزل الصّوف ويبيعه في حانوته

Al Ghozzali bermakna Al Ghozzal yakni tukang tenun. Demikian pula Al-‘Atthori yang bermakna tukang parfum dan Al Khobbazi yang bermakna tukang roti menurut istilah penduduk Khurosan. Demikianlah yang beliau katakan dalam kitab Al ‘Ibar. Al Isnawi berkata dalam Thobaqotnya, Al Ghozzali adalah seorang imam yang dengan namanya dada menjadi lapang, jiwa menjadi hidup, tinta-tinta menjadi berbangga ketika menulis namanya, kertas-kertas terguncang mendengar namanya, suara-suara akan jadi khusyuk dan kepala-kepala akan tertunduk. Beliau dilahirkan di Thus tahun 450 H. Ayahnya menenun bulu dan menjualnya di tokonya.[4]

Kelahiran

Al-Ghazali lahir di Tus, Khurasan. Wilayah kelahirannya dekat dengan Meshded. Pada masa lalu, wilayah ini merupakan bekas Kekaisaran Persia. Al-Ghazali hidup dalam masa pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyah yang memerintah daerah ini sejak abad ke-8 Masehi. Wilayah tempat tinggal al-Ghazali merupakan tempat berkumpul dari para penyair, dan penulis sekaligus pengajar keagamaan.[5]

Tus yang menjadi tempat kelahiran dari al-Ghazali merupakan sebuah kota yang berukuran besar. Kota ini memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan tata ruang bangunan yang rapi. Jumlah penduduknya lebih banyak dari dua kota di dekatnya, yaitu Thabaristan dan Nawqan. Lingkungan kota Tus dikelilingi oleh pepohonan yang tumbuh dengan subur. Sekeliling kota merupakan wilayah pengunungan yang mengandung banyak mineral.[5] Perkampungan tempat kelahiran al-Ghazali bernama Ghazaleh. Al-Ghazali lahir pada tahun 450 Hijriah atau sekitar tahun 1059 Masehi. [6]

Sifat Pribadi

Imam al-Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Ia digelar Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Ia sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam. Ia berjaya menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Sebelum dia memulai pengembaraan, dia telah mempelajari karya ahli sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid Busthami. Imam al-Ghazali telah mengembara selama 10 tahun. Ia telah mengunjungi tempat-tempat suci di daerah Islam yang luas seperti Mekkah, Madinah, Jerusalem dan Mesir. Ia terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak kecil lagi dia telah dididik dengan akhlak yang mulia. Hal ini menyebabkan dia benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur dan sifat-sifat tercela yang lain. Ia sangat kuat beribadat, wara', zuhud dan tidak gemar kepada kemewahan, kepalsuan, kemegahan dan mencari sesuatu untuk mendapat ridha Allah SWT.

Pendidikan

Pendidikan dari al-Ghazali sangat diperhatikan oleh ayahnya. Ayahnya sendiri tidak dapat membaca dan keluarganya hidup dalam kemiskinan. Sebelum kematian ayahnya, al-Ghazali dititipkan kepada salah seorang sahabatnya agar mengurus persoalan pendidikan dari al-Ghazali dan saudaranya yang bernama Ahmad.[7]

Al-Ghazali menempuh pendidikan dasar di kota Tus.[6] Ia mulai belajar ilmu agama tingkat dasar dari seorang guru bernama Ahmad bin Muhammad Razkafi.[7] Pada tingkat dasar, dia mendapat pendidikan secara gratis dari beberapa orang guru karena kemiskinan keluarganya. Pendidikan yang diperoleh pada peringkat ini membolehkan dia menguasai Bahasa Arab dan Parsi dengan fasih. Oleh sebab minatnya yang mendalam terhadap ilmu, dia mula mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, usul fiqih,filsafat, dan mempelajari segala pendapat keeempat mazhab hingga mahir dalam bidang yang dibahas oleh mazhab-mazhab tersebut. Selepas itu, dia melanjutkan pelajarannya dengan Ahmad ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqih, Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan Imam Harmaim di Naisabur. Oleh sebab Imam al-Ghazali memiliki ketinggian ilmu, dia telah dilantik menjadi mahaguru di Madrasah Nizhamiyah (sebuah universitas yang didirikan oleh perdana menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijrah. Kemudian dia dilantik pula sebagai Naib Kanselor di sana. Ia telah mengembara ke beberapa tempat seperti Mekkah, Madinah, Mesir dan Jerusalem untuk berjumpa dengan ulama-ulama di sana untuk mendalami ilmu pengetahuannya yang ada. Dalam pengembaraan, dia menulis kitab Ihya Ulumuddin yang memberi sumbangan besar kepada masyarakat dan pemikiran manusia dalam semua masalah.

Tasawuf

  • Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama),[8] merupakan karyanya yang terkenal
  • Kimiya as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan)[9]
  • Misykah al-Anwar (The Niche of Lights)

Filsafat

Logika

  • Mi`yar al-Ilm (The Standard Measure of Knowledge)
  • Al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance)
  • Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic)

Pemikiran tentang filsafat

Filsafat alam

Al-Ghazali merupakan salah satu filsuf muslim klasik. Ia menolak pernyataan dari filsuf muslim klasik lainnya yang mengatakan bahwa alam itu tidak berawal. Pernyataan ini dikemukakan oleh Ibnu Sina dan al-Farabi. Pandangan ini membuat al-Ghazali menganggap kedua tokoh ini telah kafir. Al-Ghazali menyampaikan hal ini dalam Tahafut al-Falasifah disertai dengan argumentasi dan dalil yang kuat.[11]

Pemikiran tentang pendidikan

Pendidikan dan pengajaran

Dalam pemikiran al-Ghazali, pengajaran dan pendidikan merupakan penyebab manusia memperoleh derajat yang tinggi di antara makhluk ciptaan lainnya di Bumi. Manusia menjadi terhormat karena memiliki ilmu dan amal.[12]

Kurikulum

Al-Ghazali menyusun sebuah organisasi dalam kurikulum yang disebut kurikulum inti. Kurikulum ini berlaku bagi keagamaan maupun keduniawian. Dalam pandangan Al-Ghazali, mata pelajaran di dalam kurikulum bersifat terpisah. Masing-masing mata pelajaran memiliki subjek yang berbeda dengan mata pelajaran lain. Namun, masing-masing tetap memiliki hubungan satu sama lain. Al-Ghazali menganggap bahwa ilmu merupakan bagian-bagian yang terpisah yang tersusun menjadi sebuah kesatuan. Ia membagi ilmu fardu kifayah, ilmu fardu ain dan ilmu mubah. Tujuan pembagian ilmu ini sebagai bentuk pemilihan pengetahuan yang dibutuhkan oleh masyarakat muslim dan pengatahuan yang menjadi syarat untuk mempelajari dan melengkapinya.[13]

Al-Ghazali menetapkan ilmu-ilmu pokok keagamaan sebagai ilmu fardu ain. Ilmu ini menjadi pusat perhatian utama dalam pendidikan. Ilmu fardu ain ini menjadi pengarah dan pengendali bagi pengembangan bidang keilmuan yang lainnya. Sedangkan ilmu fardu kifayah dan ilmu mubah menjadi dasar bagi pengembangan ilmu yang lainnya.[14]

Pendidikan karakter

Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh Islam yang sangat memperhatikan pendidikan karakter. Ia menyatakan bahwa pendidikan Islam harus mengaktifkan potensi rohani dari peserta didik bersama dengan potensi jasmani yang dimilikinya. Pemikiran-pemikiran dari al-Ghazali mengenai pendidikan karakter dikemukakannya dalam karya-karyanya, antara lain yaitu Ihya Ulumuddin dan Ayyuha al-Walad. Pembahasan yang lengkap mengenai pendidikan karakter disampaikannya dalam Ayyuha al-Walad.[15]

Al-Ghazali meyakini bahwa pendidikan karakter merupakan inti dari pendidikan. Ia memperingatkan kepada para pendidik agar tidak berucap sesuatu yang tidak sesuai dengan tindakannya. Al-Ghazali mengutamakan pendidikan akhlak yang mulai dan penghindaran akhlak yang buruk. Teladan dalam pendidikan akhlak ini adalah Nabi Muhammad.[15]

Al-Ghazali meyakini bahwa perbuatan anak-anak ditentukan oleh kebiasaan yang diajarkan kepadanya. Bila ia dibiasakan untuk berbuat baik, maka ia akan melakukan perbuatan baik. Sebaliknya, jika ia dibiasakan berbuat buruk, maka ia akan melakukan perbuatan buruk.[16]

Pendidikan akidah

Menurut al-Ghazali, pendidikan akidah harus dicegah dari timbulnya kesesatan. Karenanya. pendidikan harus memiliki strategi pembelajaran yang tepat. Al-Ghazali menolak pendapat dari mazhab Muktazilah mengenai kewajiban semua orang untuk berdebat mengenai akidah dalam konteks ilmu kalam. Hal ini ditolaknya karena al-Ghazali meyakini bahwa ilmu kalam yang dikaji oleh orang awam akan menimbulkan kebingungan bagi dirinya sendiri. Al-Ghazali tidak mengharamkan ilmu kalam, karena menurutnya ilmu ini dapat mengarahkan akidah seseorang dalam pencegahan dari kelompok ahli bidah atau kelompok pemikiran selain Islam.[17]

Dalam pembelajaran akidah, al-Ghazali memberikan sebuah metode khussu bagi anak kecil dan bagi orang awam. Ia mengajarkan akidah dengan menggunakan ayat Al-Qur’an dan hadis yang penyampaiannya dilakukan dengan retorika yang tepat. Ia melarang pembelajaran ilmu kalam bagi orang yang tidak memenuhi persyaratan keilmuan untuk mempelajarinya.[18]

Karya

Ayyuha al-Walad

Ayyuha al-Walad merupakan karya dari al-Ghazali yang berisi nasihat dalam membedakan jenis ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Nasihat ini khususnya ditujukan kepada para pelajar.[19]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Christian D. Von Dehsen (1999). Philosophers and Religious Leaders: Volume 2 dari Lives and Legacies. Greenwood Publishing Group. hlm. 75. ISBN 978-157-356-152-5. 
  2. ^ Hermawan (1997). Al-Ghazali. Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. vii. ISBN 979-902-308-4. 
  3. ^ (Indonesia) Husaini, Adian (2006). Hegemoni Kristen-Barat dalam studi Islam di perguruan tinggi. Gema Insani. hlm. 9. ISBN 9795600982. ISBN 978-979-560-098-5
  4. ^ Admin (2016-10-31). "AL-GHOZALI ATAUKAH AL-GHOZZALI?". IRTAQI | Jadilah Benih Kebangkitan Islam. Diakses tanggal 2016-11-12. 
  5. ^ a b Smith, Margareth (2000). Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali (PDF). Jakarta: Riora Cipta. hlm. 1. ISBN 979-95936-0-3. 
  6. ^ a b Saepuddin 2019, hlm. 17.
  7. ^ a b Saepuddin 2019, hlm. 18.
  8. ^ (Arab) -----. Ihya Ulumuddin (pranala unduhan, unduhan 5.33 MB).
  9. ^ (Inggris) -----. The Alchemy of Happiness. Translator: Claud Field (1863-1941). Northbrook Society. 1909.
  10. ^ (Inggris) Marmura. Al-Ghazali The Incoherence of the Philosophers (2nd edition). Printing Press, Brigham. ISBN 0-8425-2466-5.
  11. ^ Nuruddin, Muhammad (2021). Ilmu Maqulat dan Esai-Esai Pilihan Seputar Logika, Kalam dan Filsafat. Depok: Keira. hlm. 33. ISBN 978-623-7754-24-4. 
  12. ^ Saepuddin 2019, hlm. 14.
  13. ^ Sabda 2008, hlm. 101.
  14. ^ Sabda 2008, hlm. 101-102.
  15. ^ a b Saepuddin 2019, hlm. V.
  16. ^ Saepuddin 2019, hlm. 12.
  17. ^ Romadlon dan Septi 2020, hlm. 1.
  18. ^ Romadlon dan Septi 2020, hlm. 2.
  19. ^ Saepuddin 2019, hlm. 13-14.

Daftar pustaka

Bacaan lanjutan

  • Laoust, H: La politique de Gazali, 1970.
  • Campanini, M.: Al-Ghazzali, in S.H. Nasr and O. Leaman, History of Islamic Philosophy 1996.
  • Watt, W M.: Muslim Intellectual: A Study of al-Ghazali, Edinburgh 1963.

Pranala luar