Ahmad Syathibi al-Qonturi
Al-'Alim Al-'Allamah Al-Kamil Al-Waro Asy-Syaikh Ahmad Syathibi bin Muhammad Sa'id Al-Kabir Al-Qonturi Asy-Syanjuri Al-Jawi Asy-Syafi'i (bahasa Arab: العالم العلامة الكامل الورع الشيخ احمد شاطبي بن محمد سعيد الكبير القنتوري الشنجوري الجاوي الشافعي, lahir di Cianjur, Hindia Belanda sekitar tahun 1253 Hijriyah atau 1837 Masehi[1] - wafat di Cianjur, Indonesia pada Rabu 14 Jumadil Akhir 1365 Hijriyah, tanggal 15 Mei 1946 Masehi) atau lebih dikenal dengan Mama Gentur adalah salah satu sosok ulama Tatar Pasundan yang bergelar Al-'Aalim Al-'Allaamah Al-Kaamil Al-Wara.
Syekh Ahmad Syathibi al-Qonturi | |
---|---|
Nama | Ahmad Syathibi |
Nisbah | Al-Qonturi Asy-Syanjuri Al-Jawi Asy-Syafi'i |
Meninggal | 1946 (umur 108–109) Gentur, Warungkondang, Cianjur, Jawa Barat |
Dimakamkan di | Gentur |
Nama lain | Mama Ahmad Syathibi Mama Syathibi Mama Gentur Mama Gentur Kaler Mama Kaler |
Kebangsaan | Indonesia |
Etnis | Sunda |
Zaman | 13 Hijriyah |
Jabatan | Pengajar di Pesantren Gentur |
Murid dari |
|
Mempengaruhi
| |
Istri |
|
Keturunan |
|
Orang tua | Mama Hajji Muhammad Sa'id al-Kabir Ibu Hajjah Siti Khodijah |
Keluarga |
|
Sejarah
Silsilah dan Kelahiran
Syekh Ahmad Syathibi tanpa diketahui secara pasti tanggal, bulan dan tahun kelahirannya, namun menurut penuturan salahsatu dari anak muridnya beliau bahwa usianya beliau (Mama Gentur) dua tahun lebih tua dari usianya Mama Sempur.
Beliau lahir di Kampung Gentur, Warungkondang, Cianjur, Jawa Barat, Hindia Belanda.
Tetapi, yang jelas dia masih keturunan Waliyullah Syekh Abdul Muhyi, Pamijahan, Tasikmalaya, Tatar Pasundan.[2]
Berikut silsilah lengkapnya:
- Mama Hajji Ahmad Syathibi (Gentur, Warungkondang, Cianjur) Bin
- Mama Hajji Muhammad Sa'id (Gentur, Warungkondang, Cianjur) Bin
- Mama Hajji Abdul Qodir (Ciawi, Ciawi, Tasikmalaya) Bin
- Syekh Nur Hajid (Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya) Bin
- Syekh Nur Katim (Seulakopi, Cianjur) Bin
- Syekh Dalem Bojong (Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya) Bin
- Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya).[3]
Nama sewaktu kecilnya adalah Adun, setelah pulang dari Mekkah namanya diganti menjadi Dagustani. Namun, nama masyhurnya sekarang yaitu Al-'aalim Al-'allaamah Syaikh Ahmad Syathibi atau biasa disebut sebagai Mama Gentur kata orang sunda yang jadi anak muridnya.
Syekh Ahmad Syathibi adalah anak ketiga dari empat bersaudara buah hati pasangan Mama Hajji Muhammad Sa'id & Ibu Hajjah Siti Khodijah.
Kakak kandungnya antara lain:
- Hajjah Ruqiyah (pengajar Pondok Pesantren Cipadang, Cianjur),
- Mama Hajji Ilyas (alias Mama Hajji Yahya, pengajar Pondok Pesantren Babakan Bandung, Sukaraja, Sukabumi),
dan adik kandungnya yakni:
- Mama Hajji Muhammad Qurthubi (alias Mama Gentur Kidul, pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur).[2]
Sebagai seorang 'Ulama Besar di zamannya, Syekh Ahmad Syathibi kemudian diberi gelar Mama (dibaca juga: Mama), kemudian lebih dikenal dengan sebutan Mama Gentur oleh masyarakat sekitar.
Mama Gentur
Nama Mama adalah gelar kehormatan suku sunda yang disematkan kepada ulama berpengetahuan tinggi yang menjadi gurunya para ulama di daerah Jawa Barat dan daerah tujuan diaspora para keturunan Sunda, seperti Banten, Jakarta, dan Lampung.
Kata Mama adalah merupakan istilah Bahasa Sunda yang berasal dari kata Rama artinya Bapak. Di kalangan masyarakat Jawa Barat, kata Mama ini biasanya disematkan kepada Ajengan atau Kyai yang ilmunya tinggi, sehingga sebutannya menjadi Mama Ajengan atau Mama Kyai. Sementara Gentur adalah sebuah daerah dimana Syekh Ahmad Syathibi bermukim yang ada di Kecamatan Warungkondang, Cianjur, Jawa Barat.
Perjalanan
Kabar dari Syekh Ahmad Eumed (alias Mama Cimasuk, Garut) bin Syekh Muhammad Rusdi (alias Mama Haurkoneng, Garut), "Waktu saya mengunjungi Mama Gentur, dia mengisahkan perjalanannya waktu menuntut ilmu atau mencari ilmu.
Kata Mama Gentur: "Dulu Mama ketika sangat menginginkan punya ilmu yang besar tapi Mama merasa bingung memilih guru untuk mengaji kemana?".
"Akhirnya Mama berangkat ziarah kubur ke Habib Husain bin Abu Bakar al-Aydrus" alias Wali Luar Batang, Jakarta.
"Di situ Mama membaca Shalawat Nariyah sebanyak 4444 kali dan tamat sebanyak 44 kali dalam waktu delapan bulan".
"Kemudian, setelah itu Mama bermimpi bertemu dengan Wali Luar Batang". Wali tersebut (Habib Husain bin Abu Bakar al-Aydrus) berkata: "Kalau kamu benar-benar mau punya ilmu yang besar, segeralah pergi ke daerah Garut".[4][3]
Menempuh pendidikan
Pesantren Keresek
Kata Mama Gentur: "Maka kemudian Mama mulai berangkat ke Pesantren Keresek. Kata Mama Keresek: "Kalau Ananda mau punya ilmu yang besar, besok mama antar ke paman mama yaitu Pangersa Mama Ajengan Muhammad Adzro'i di Bojong, sebab dalam waktu sekarang ini para sepuh yang punya ilmu yang besar di tiap kabupaten juga kebanyakan adalah yang nyantri ke paman mama tersebut, yaitu Syekh Muhammad Adzro'i, Bojong, Garut".
Mama Gentur menginap semalam di Pesantren Keresek, besoknya kemudian diantarkan ke Pesantren Bojong.[4][3]
Pesantren Bojong
Diceritakan waktu pertama masuk ke Pesantren, oleh guru di pesantren disumpah jikalau tidak mempunyai ilmu sihir.
Kemudian Mama Gentur melaksanakan sumpahnya tanda tidak memiliki ilmu sihir.
Kemudian barulah Mama Gentur diterima sebagai murid di Pesantren.
Makanan yang biasa dia makan selama di pesantren cukup dengan talas yang dicuilkan ke dalam sambal roay, tidak pernah makan yang enak dengan rupa-rupa makanan.
Ketika mendapati masalah kitab yang susah dipaham, dia langsung menghadiahi mualifnya dengan makanan dan aurod shalawat.[2]
Hanya dalam waktu 40 hari mondok di Pesantren Bojong Mama Syathibi sudah hafal kitab Yaqulu (Nazom Maqsud, dalam ilmu shorof), Kailany (ilmu shorof), Amrithy (ilmu nahwu), Alfiyah (ilmu nahwu dan shorof), Samarqondy (ilmu bayan), dan Jauhar Maknun (ilmu ma'ani, bayan dan badi).
Kata Mama Gentur: "Keunggulan Pesantren Bojong, Garut adalah para santri yang belajar di pesantren tersebut jika sudah belajar selama dua tahun biasanya akan jadi Al-'Aalim Al-'Allaamah".
Mama Gentur menetap di Pesantren Bojong hanya selama satu tahun hingga akhir bulan Sya'ban, karena disuruh gurunya, yaitu Syekh Muhammad Adzro'i untuk menemani Kiyai Muhammad Rusdi atau Kiyai Rusdi berguru ngaji di Pesantren Gudang, Tasikmalaya sekarang, yang sudah menetap selama empat tahun.[4][3]
Mama Rusydi dan Mama Syathibi
Mama Rusydi, Haurkuning, Garut adalah merupakan salah satu santri Pesantren Bojong, Garut, di saat Mama Syathibi, Gentur, Cianjur mulai mondok di Pesantren Bojong tersebut Mama Ajengan Rusydi sudah genap tiga tahun.
Kata Mama Gentur: "Ketika Mama Ajengan Muhammad Rusydi sudah genap dua tahun di Bojong juga oleh gurunya yaitu Syekh Muhammad Adzro'i sudah disuruh muqim sebab sudah Allaamah, hanya saja ayahnya dan kakeknya belum mengizinkan.
Sebab menurut pendapat kakeknya yaitu Syekh Utsman berkata kepada Syekh Muhammad Adzro'i, Bojong, "Ajengan khawatir masih remaja, baru usia 17 tahun entar jadi Kiyai nunggul dan takut kasar bahasanya."
Kemudian dijawab oleh Mama Bojong: "Tidak akan jadi Kiyai nunggul Mang Haji, saya yang bertanggungjawab, bahkan santrinya juga putra-putra saya dan santri-santri saya." Kemudian dijawab lagi oleh kakeknya Mama Rusdi yaitu Syekh Utsman: "Ajengan semoga berkenan untuk menambah lagi ilmunya kepada cucuku itu, agar cucuku itu ilmunya semakin bertambah matang, fahamnya semakin bertambah jenius."
Maka kemudian Mama Bojong bersedia untuk mengajar Kiyai Muhammad Rusdi lagi".
Ketika Mama Ajengan Muhammad Rusdi (Mama Haurkuning) sudah genap empat tahun di Pesantren Bojong sedangkan Mama Ajengan Ahmad Syathibi (Mama Gentur) sudah genap satu tahun. Dari situ Mama Ajengan Rusdi disuruh mengaji ke Mama Suja'i, Gudang, Tasikmalaya, ditemani oleh Mama Gentur.[4][3]
Pesantren Gudang
Kata Mama Gentur: "Mama Gudang jika sedang mengajar dihadapan Kiyai Rusydi, dagu dan badan Mama Gudang bergetar dikarenakan sungkan akan ilmunya Kiyai Rusdi".
"Bahkan, Mama Gudang berkata kepada Mama, "Katakan kepada Ki Rusdi segeralah bermukim. Bukankah Kang Adzro'i pun sudah menyuruhnya dan sudah ada dalam ridho guru?" Kemudian Mama menyampaikan amanat dari Mama Gudang itu dengan sebisa-bisa bicara kepada Ajengan Muhammad Rusdi. Namun, tetap saja ayah dan kakeknya belum juga menyetujuinya.
Kemudian Kiyai Muhammad Rusydi setelah mondok di Pesantren Gudang selanjutnya pindah lagi ke Syekh Muhammad Shoheh, Bunikasih, Cianjur yang disebut Ba'dul Ikhwan oleh Syekh Ibrohim al-Bajuri dalam kitab Tijan".
Mama Gentur terus menetap di Pesantren Gudang hingga sembilan tahun lamanya.[4][3]
Waktu mondok pesantren di Gudang, Mama Gentur pernah ziarah ke makam kubur di Geger Manah. Sebelumnya dia puasa dulu selama empatpuluh hari, baru berangkatlah ke Geger Manah dan langsung mendatangi juru kunci makam.
Mama Gentur disambut di rumah kuncen sembari ditanya perihal maksud dan tujuannya, yaitu hendak ziarah tabaruk di makam keramat.
Kemudian diantarlah dia menuju makam keramat tersebut. Kira-kira jam empat Subuh dia pulang dari makam dan balik lagi ke tempat kuncen, kemudian kuncen menjamunya dengan rupa-rupa makanan.
Selesai makan, Mama Gentur bertanya kepada kuncen,
- Mama Gentur: "Mang, malem tadi ada hujan kesini gak?"
- Kuncen: "Ah, gak ada". Memangnya ada apa Ajengan?" (Kuncen agak heran).
- Mama Gentur: "Waktu saya di makam sedang ziarah tiba-tiba ada hujan yang besar sekali, petir menyambar-nyambar disertai angin yang sangat kencang. Saya melihat pohon kayu yang amat besar merunduk-runduk ke tanah seperti mau runtuh, rungkad, tumbang."
- Kuncen: "Terus ada apa lagi?"
- Mama Gentur: "Ah rahasia, saya gak sanggup menceritakannya."
Menurut riwayat di malam itu kata penduduk kampung ada suara ayam berkokok yang terdengar jelas oleh semuanya, sedangkan di kampung tersebut tidak ada yang punya ayam yang suaranya seperti itu. Semuanya kaget akan suara ayam tersebut, kemudian diselidiki dari mana sumbernya suara. Ternyata yakin bahwa suara ayam tersebut berasal dari atas pasir (bahasa indonesia: bukit), tempat makam yang diziarahi oleh Pangersa Mama Gentur.[2]
Kata Mama Gentur: "Setelah 9 tahun di Pesantren Gudang kemudian Mama berangkat ke Mekkah mengaji ke Syekh Hasbullah.[4][3]
Pesantren di Mekkah
Kata Mama Gentur: "Pertama mengaji di Syekh Hasbullah banyak yang menyepelekannya".
"Suatu hari, Syekh Hasbullah berkata kepada murid-muridnya, kira-kira begini artinya, "Besok hari Rabu kita akan mulai ngaji kitab Tuhfatul Muhtaj, tapi sebelumya kalian muthala'ah dulu kitabnya. Hasil muthala'ah tuliskan dalam buku masing-masing. Besok semua harus hadir dan bawalah hasil tulisan tersebut".
"Besoknya Syekh Hasbullah memeriksa buku murid-muridnya. Ketika melihat buku tulisan Mama, Syekh Hasbullah tertegun, kemudian buku Mama dipisahkan dan melanjutkan pemeriksaannya".
"Setelah selesai, Syekh Hasbullah berkata, "Ngaji Tuhfah batal sebab gak pantas Syatibi ngaji kepada saya, bahkan seharusnya saya yang ngaji ke Syatibi. Masalah yang belum sampai saya muthala'ah, dalam buku Syatibi sudah ada. Saya gak sanggup mentaswirkan kitab dihadapan Syatibi".
"Tetapi, oleh sebab semuanya meminta untuk diteruskan, dan juga Mama memohon supaya diteruskan biarpun dibaca hanya lafadznya, maka barulah Syekh Hasbullah bersedia walaupun cuma lafadznya hingga tamat".
"Ilmu yang dipakai muthala'ah kitab tuhfah tersebut adalah sebagian ilmu yang diterima dari Syaikhuna Bojong." Inilah ciri 'Allaamah-nya Syaikhuna Bojong, Garut".[4][3]
Sewaktu di Mekkah, Mama Gentur suka Shalat di depan Baitullah, para askar sudah pada tahu dan memberi isyarat kepada jama'ah yang lain supaya ada tata hormat kepada dia sembari berkata, "Hadza 'Ulamaul Jawa".[2]
Pesantren di Mesir
Setelah sekian lama di Mekkah, kemudian Mama Gentur berangkat ke Mesir dengan maksud mau melanjutkan thalab ilmunya. Namun, Ulama Mesir sama berkata, "Sudah tidak ada guru buat Ahmad Syathibi".
Hanya ada satu ulama ahli qiro'at Qur'an yang berasal dari Indonesia juga yang bermuqim di Mekkah, yaitu dari Pulau Bawean, Indonesia.
Selanjutnya mereka berdua (Ulama Bawean dan Mama Gentur) saling menggurui.
Mama Gentur mengajarkan ilmu Mantiq ke ulama Bawean, sedangkan ulama Bawean mengajarkan ilmu Qiro'at ke Mama Gentur.[2]
Sesudah Mama Gentur mukim di Mekkah selama tiga tahun, kata satu riwayat kemudian ada utusan dari Syekh Muhammad Shoheh, Bunikasih, Cianjur. Amanatnya, "Katakan kepada Syatibi segeralah pulang kemudian mukim di Cianjur, sebab di daerah Tatar Pasundan sudah tidak ada lagi yang kuat untuk jadi pemimpin dan tauladan dari pengamalan ilmu yang sebenarnya.
Pesantren Bunikasih
Kemudian Mama Gentur pulang ke Cianjur melanjutkan mengaji ke Syeikh Shoheh Bunikasih, Cianjur yang disebut Ba'dul Ikhwan oleh Syekh Ibrohim al-Baijuri dalam kitab Tijan.[4][3]
Mama Shoheh dan Mama Adzro'i
Syekh Muhammad Shoheh, Bunikasih, Cianjur dan Syekh Muhammad Adzro'i, Bojong, Garut adalah teman sepondok sewaktu mengaji di Syekh Ibrahim al-Baijuri, Mesir.[4][3]
Setelah menempuh pendidikan atau menimba ilmu di berbagai daerah, hingga ke tanah suci Makkah, dilanjutkan ke Mesir, kemudian pulang ke tanah air, dilanjuntkan ke Bunikasih, Warungkondang, Cianjur, kemudian Syekh Ahmad Syathibi mukim di Gentur.
Mendirikan Pesantren
Sebelum muqim di Gentur, Mama Syathibi membaca Shalawat Nariyyah terlebih dahulu sebanyak 4444 kali dengan maksud supaya mukimnya ditambah-tambah ilmu dan tambah-tambah manfaatnya.[4][3]
Dakwah
Cara Mama Gentur dalam menyebarkan ilmunya yaitu dia tidak pernah mengajarkan suatu ilmu kepada murid-muridnya kecuali telah ia amalkan terlebih dahulu.
Seperti dia mengijazahkan shalawat untuk umum sesudah diamalkan terlebih dahulu selama 40 tahun.
Mama Gentur pernah diminta mengaji kitab Tuhfah Muhtaj, sebelum belajar mangaji dia puasa dulu selama 40 hari.
Jika makan, dia cukup di mangkok dengan garam. Dia tidak pernah makan enak sebagaimana keadaan dia pada waktu nyantri di pesantren. Suatu ketika, dia khusus diundang makan-makan oleh "Om Muharam". Ia adalah seorang saudagar kaya raya di Cianjur. Segala makanan dan minuman disediakan. Namun, yang dimakan dia cuma sedikit nasi yang dicuilkan ke garam saja. Begitulah menu dia makan selamanya. Cuma pernah sesekali makan agak beda, termasuk mewah menurut dia yaitu waktu makan dengan pepes burayak (ikan kecil) hasil ternak dia, sebab kasab dia yaitu ternak telur ikan hingga jadi burayak.[2]
Kasab
Malah, suatu ketika Mama Gentur berternak telur ikan di kolam. Ketika sudah jadi burayak, tidak biasanya waktu itu bibit telur jadi dan mulus semuanya.
Dari situ Mama memanggil pekerjanya yang bernama Ki Yusuf.
- Mama Gentur: "Suf, coba kesini bawa cangkul!"
- Ki Yusuf: "Ada apa, Kang?"
- Mama Gentur: "Kamu lobangi pinggir kolam ini, kemudian buanglah sebagian airnya!" (Ki Yusuf heran),
- Ki Yusuf: "Kalau begitu bukankah burayaknya pasti pada kabur, Kang?"
- Mama Gentur: "Iya sengaja biar pada kabur ikan-ikannya takutnya ini istidraj karena sadar diri belum bisa ibadah".
Setelah terbuang sebagian air dan ikan-ikannya, barulah Ki Yusuf disuruh menutup kembali lubang air tadi.[2]
Karya Tulis
Semasa hidupnya Mama Gentur mengarang rupa-rupa kitab kurang lebih sekitar 80 kitab, berbahasa Arab dan Sunda. Di antaranya adalah:
- Sirojul Munir (dalam ilmu fiqih)
- Tahdidul 'Ainain (dalam ilmu fiqih)
- Nadzom Sulamut Taufiq (dalam ilmu fiqih)
- Nadzom Muqadimah Samarqandiyah (dalam ilmu bayan)
- Fathiyah (dalam ilmu bayan)
- Nadzom Dahlaniyah (dalam ilmu bayan)
- Nadzom 'Addudiyah (dalam ilmu munadzoroh)
- Nadzom Ajurumiyah (dalam ilmu nahwu)
- Muntijatu Lathif (dalam ilmu shorof)
- Dan Lain-lainnya
Sebagian karangannya dalam ilmu bayan ada yang menyebar sampai Tanah Arab. Para Ulama Arab dan Mesir banyak yang membaca hasil karya dia dan memujinya seraya berkata, "Ternyata di Tanah Jawa ada juga ulama yang luas ilmunya".[2]
Murid-muridnya
Mama Gentur memiliki banyak murid, kurang lebih tiga ribu muridnya yang menjadi ulama besar,[2] antara lain:
- Syekh Tubagus Ahmad Bakri as-Sampuri (Mama Sempur), Plered, Kabupaten Purwakarta
- Syekh Ahmad Eumed (Mama Cimasuk), Karangpawitan, Kabupaten Garut
- Syekh Zinal 'Alim (Mama Haur Kuning)
- Syekh Muhammad 'Umar Bashri (Mama Fauzan), Sukaresmi, Kabupaten Garut
- Syekh 'Izzuddin (Mama Cibatu), Cisaat, Kabupaten Sukabumi
- Syekh Hidayatullah (Aang Baden, Picung), Gekbrong, Kabupaten Cianjur
- Syekh Abdul Haq Nuh (Aang Nuh, Gentur), Warungkondang, Kabupaten Cianjur
- Syekh Zain Abdusshomad (Mama Gelar), Cibeber, Kabupaten Cianjur
- Syekh Muhammad Hasbullah (Mama Babakan Bandung), Sukaraja, Kabupaten Sukabumi
- Syekh Fudholi (Mama Gentong), Cisaat, Kabupaten Sukabumi
- Syekh Abdusshobur (Mama Gunung Sumping), Palabuhanratu, Kota Palabuhanratu
- Syekh Ahmad 'Inayatullah (Mama Warudoyong), Sukaraja, Kabupaten Sukabumi
- Syekh Hulaimi (Mama Darmaga), Bojongpicung, Kabupaten Cianjur
- Syekh Abdullah (Mama Jeungjing), Sukaraja, Kabupaten Sukabumi
- Syekh Muhammad Syuja'i (Mama Ciharashas), Cilaku, Kabupaten Cianjur
- Syekh Ahmad 'Izzuddin (Mama Kubang), Cibeber, Kabupaten Cianjur
- Syekh Sayuthi (Mama Pawenang), Nagrak, Kabupaten Sukabumi
- Syekh Ahmad Rosyadi (Mama Cipelang), Cijeruk, Kabupaten Bogor
- Syekh Muhammad Syafi'i (Mama Cijerah), Bandung Kulon, Kota Bandung
- Syekh Fakhruddin (Mama Sungapan), Cibeureum, Kota Sukabumi
- Syekh Hasan Bashri (Mama Obay Kampungsawah), Jayakerta, Kabupaten Karawang
- Syekh Abdullah Nuh (Mama Cimanggu), Tanah Sareal, Kota Bogor
- Syekh Sanja (Abuya Kadukaweng), Kaduhejo, Kabupaten Pandeglang
- Syekh Hambali (Mama Gasol Kaler), Cugenang, Kabupaten Cianjur
- Syekh Royani Shiddiq (Mama Royani), Caringin, Kabupaten Bogor
- Syekh Sya'roni (Mama Gasol Kidul), Cugenang, Kabupaten Cianjur
- Syekh Ahmad Dimyathi (Mama Kedung), Ciranjang, Kabupaten Cianjur
- Syekh Hasan Hariri (Mama Cipriangan), Sukalarang, Kabupaten Sukabumi
- Syekh Muhammad Al-Maghfur (Mama Cijambe), Cibeber, Kabupaten Cianjur
- Syekh Hasan Mustofa (Abuya Cilember), Cisarua, Kabupaten Bogor
- Syekh Zarnuji (Mama Pamuruyan), Cibadak, Kabupaten Sukabumi
- Syekh Cecep Dimyathi (Papah Madang), Babakan Madang, Kabupaten Bogor
- Syekh 'Izzuddin (Mama Cijambe Fauzan), Warudoyong, Kota Sukabumi
- Syekh Hasan Bolang (Mama Cijambe), Bantargadung, Kota Palabuhanratu
- Syekh Sya'roni (Mama Cigadog), Sukaraja, Kabupaten Sukabumi
- Syekh Eundin (Mama Cipambuan), Citeureup, Kabupaten Bogor
- Syekh Yasin (Mama Cikadu), Palabuhanratu, Kota Palabuhanratu
- Syekh Hasan Bashri (Mama Bintang), Cicurug, Kabupaten Sukabumi
- Syekh Muhyiddin (Mama Wangon), Ciawi, Kabupaten Bogor
- Syekh Badruddin (Mama Cariu), Cugenang, Kabupaten Cianjur
- Syekh Ahmad Jajuli (Mama Bantar Gebang), Bantar Gadung, Kota Palabuhanratu
- Syekh Hasan Bashri (Mama Kekenceng), Sukaraja, Kabupaten Sukabumi
- Syekh Najmuddin (Mama Leubak Pasar), Citeureup, Kabupaten Bogor
- Syekh Muhtar (Mama Cikaremi), Sukaraja, Kabupaten Sukabumi
- Syekh Ahmad Shohibul Wafa (Abah Anom), Suryalaya, Kabupaten Tasikmalaya
- Syekh Harun (Apih Kabandungan) Cugenang, Kabupaten Cianjur
- Syekh Nawawi (Mama Nawawi), Citeureup, Kabupaten Bogor
- Syekh Qosasih (Mama Kiarapayung), Padalarang, Kabupaten Bandung Barat
- Dan lain sebagainya
Penghargaan
Penghargaan dari Belanda
Suatu hari, ketika Mama Gentur sedang mengajar para santrinya dan khalayak yang biasa ngaji rutinan, datanglah utusan dari pemerintah Kolonial Belanda. Dia diminta hadir dalam diskusi program perpolitikan Belanda. Mama genturpun menyempatkan diri dulu menghadiri undangan tersebut tanpa didampingi seorangpun. Tidak lama, Mamapun sudah hadir kembali ke madrasah dan melanjutkan kembali pengajarannya. Para santri yang sudah menunggu-nunggu ingin tahu tentang pembicaraan yang didiskusikan oleh kaum Belanda, tapi Mama Gentur tak membahasnya sedikitpun. Inilah ciri Mama Gentur tidak ikut-ikutan dalam soal politik, hingga dia mendapat penghargaan keamanan tanda bulan-bintang tiga dari Wilhelmina (pelafalan Sunda menjadi Wihalminak), yaitu Gubernur Hindia Belanda.[2]
Penghargaan dari Jepang
Di zaman pemerintahan Kolonial Jepang, Mama Gentur mendapat hadiah dari Tenno Heika (dilafalkan ejaan Sunda menjadi Kaisar Tenoheka) dikarenakan ideologinya yang murni hanya mengamalkan ajaran agama, tanpa ada maksud mencampuradukan politik dan agama.[2]
Rujukan
- bahasa Arab: قائدة المحتاج ۑاريوسكن سافله نا رواية مما سفوه ڬنتور، سرڠ فرا مشايخ الكرام انو سنيسنا وقتوس ۑفره علم, translit. Qoidatul Muhtaj Nyariyosken Sapalihna Riwayat Mama Sepuh Gentur, Sareng Para Masyaikil Kirom Anu Sanesna Waktos Nyuprih Ilmu
- bahasa Arab: الرسالة القنتوريه فى مناقب الشيخ العالم العلامة الكامل الورع، الحاج احمد الشاطبى القنتورى السنجورى الجاوى, translit. Ar-Risalatul Qonturiyah Fi Manaqibisy Syaikhil 'Alimil 'Allamatil Kamilil Waro'i, Al-Hajji Ahmad Syathibi Al-Qonturi As-Sanjuri Al-Jawi
- bahasa Arab: تسهيل الهلالى فى مناقب مام احمد شاطبى, translit. Tashilul Hilali Fi Manaqibi Mama Ahmad Syathibi
Catatan
Referensi
- ^ menurut riwayat hidup Mama Gentur yang diceritakan oleh salah satu anak muridnya bahwa usianya Mama Gentur beda dua tahun lebih tua dari usianya Mama Sempur yang lahir pada tahun 1839
- ^ a b c d e f g h i j k l bahasa Arab: الرسالة القنتوريه فى مناقب الشيخ العالم العلامة الكامل الورع، الحاج احمد الشاطبى القنتورى السنجورى الجاوى, translit. Ar-Risalatul Qonturiyah Fi Manaqibisy Syaikhil 'Alimil 'Allamatil Kamilil Waro'i, Al-Hajji Ahmad Syathibi Al-Qonturi As-Sanjuri Al-Jawi
- ^ a b c d e f g h i j k bahasa Arab: قائدة المحتاج ۑاريوسكن سافله نا رواية مما سفوه ڬنتور، سرڠ فرا مشايخ الكرام انو سنيسنا وقتوس ۑفره علم, translit. Qoidatul Muhtaj Nyariyosken Sapalihna Riwayat Mama Sepuh Gentur, Sareng Para Masyaikil Kirom Anu Sanesna Waktos Nyuprih Ilmu
- ^ a b c d e f g h i j bahasa Arab: تسهيل الهلالى فى مناقب مام احمد شاطبى, translit. Tashilul Hilali Fi Manaqibi Mama Ahmad Syathibi
Ahmad Syathibi al-Qonturi