Psikologi forensik

Revisi sejak 31 Maret 2022 14.20 oleh YogiYY (bicara | kontrib)

Psikologi forensik adalah penelitian dan teori psikologi yang berkaitan dengan efek-efek dari faktor kognitif, afektif, dan perilaku terhadap proses hukum.[1] Beberapa akibat dari kekhilafan manusia yang mempengaruhi berbagai aspek dalam bidang hukum adalah penilaian yang bias, ketergantungan pada stereotip, ingatan yang keliru, dan keputusan yang salah atau tidak adil.[1] Karena adanya keterkaitan antara psikologi dan hukum, para psikolog sering diminta bantuannya sebagai saksi ahli dan konsultan ruang sidang.[1] Psikologi forensik termasuk bidang khusus yang relatif baru. Bahkan, psikologi forensik secara resmi diakui sebagai bidang khusus oleh American Psychological Association pada tahun 2001. Meskipun tergolong baru, bidang ini memiliki akar perkembangan yang sangat kuat berasal dari Wilhelm Wundt  yang merupakan pendiri laboratorium psikologi pertama di Kota Leipzig, Jerman.[2] Aspek penting dari psikologi forensik adalah kemampuannya untuk mengetes di pengadilan, reformulasi penemuan psikologi ke dalam bahasa legal dalam pengadilan, dan menyediakan informasi kepada personel legal sehingga dapat dimengerti.[3] Maka dari itu, ahli psikologi forensik harus dapat menerjemahkan informasi psikologis ke dalam kerangka legal.[4]

Ilmu forensik

Forensik berasal dari bahasa Yunani Forensis yang berarti debat atau perdebatan. Dalam kelompok ilmu-ilmu forensik ini dikenal antara lain ilmu fisika forensik, ilmu kimia forensik, ilmu psikologi forensik, ilmu kedokteran forensik, ilmu toksikologi forensik, komputer forensik, ilmu balistik forensik, ilmu metalurgi forensik dan sebagainya.[5]

Istilah forensik adalah suatu proses ilmiah (didasari oleh ilmu pengetahuan) dalam mengumpulkan, menganalisa, dan menghadirkan berbagai bukti dalam sidang pengadilan terkait adanya suatu kasus hukum. Kekuatan dari forensik adalah memungkinkan analisa dan mendapatkan kembali fakta dari kejadian dan lingkungan. Tentu tidaklah mudah mendapatkan (atau lebih tepatnya menemukan) fakta, karena fakta itu tersembunyi adanya.[6]

Ruang lingkup

Kontribusi psikologi dalam bidang forensik memiliki cakupan area kajian yang sangat luas, mulai dari membuat kajian mengenai profil pelaku kejahatan (offender profilling),saksi mata (eyewitness), soal perwalian anak, mendeteksi kebohongan, menguji kewarasan mental, soal penyalahgunaan obat dan zat adiktif, mengungkap dasar neuropsikologik, genetik, dan proses perkembangan pelaku, kekerasan domestik, kekerasan seksual dan juga soal rehabilitasi psikologis di penjara.[7] Selain itu, Psikologi Forensik juga mengambil peran penting pada sistem keadilan kriminal. Psikolog Forensik dapat menuntun atau berguna bagi kepolisian, pekerja di penjara, dan sebagai dasar ilmu saat menjadi saksi ahli di pengadilan. Yang terpenting psikolog forensik juga dapat memberikan assesment dan mental support kepada seluruh narapidana.[8] Psikologi forensik menunjukkan penyediaan lansung informasi psikologi untuk pengadilan-pengadilan yang dinamakan psychology in the courts, di mana seorang terdakwa tidak dapat dipidana karena tidak waras atau pikirannya terganggu oleh suatu penyakit sehingga tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Artinya pendekatan ini membebaskan terdakwa dari hukuman karena kondisi psikologisnya. Beberapa pembahasan yang termasuk dalam Psikologi Forensik antara lain penilaian forensik pidana dan perdata, instrument penilaian forensik dan penilaian forensik gejala penyakit.[9]

Sejarah

Psikologi forensik telah melewati sejarah panjang sebagai suatu ilmu pengetahuan. Hugo Miinsterberg diketahui sebagai Bapak Psikologi Forensik atau psikolog pertama yang mengenalkan sekaligus mengaplikasikan psikologi ke dalam ranah legal yang dituangkan dalam sebuah buku yang berjudul On The Witness Stand (Huss, 2014). Selain itu, pada awal tahun 1900an, psikolog Jerman bernama William Stem mulai mengkaji identifikasi saksi mata (eyewitness identification). Selanjutnya, praktik psikologi forensik dikenalkan pula oleh Lightner Witmer dan William Healy yang menekankan pada aktivitas klinis dalam konteks hukum. Witmer memulai dalam kuliah psikologi kejahatan (psychology of crime) di awal tahun 1900an dan di saat yang kurang lebih berdekatan, Healy mendirikan Chicago Juvenile Psychopatic Infinite yang berfokus pada asesmen dan intervensi terhadap masalah-masalah kenakalan remaja yang banyak mengungkap masalah-masalah yang menjadi modal ilmiah kajian psikologi forensik. Lebih lanjut, pada tahun 1921, praktik psikologi forensik dalam penanganan kasus-kasus kenakalan remaja di Amerika Serikat membuat psikolog forensik sebagai profesi yang diakui untuk memperoleh izin dalam melakukan pemeriksaan psikologis sekaligus sebagai saksi ahli dalam proses peradilan saat itu. Selanjutnya, pada tahun 1962, psikolog forensik diizinkan untuk melakukan pemeriksaan psikologis dalam proses penegakan hukum kepada mereka yang mengalami gangguan kejiwaan. Sejumlah kepercayaan publik terhadap pecan psikolog forensik dalam konteks hukum membuat para psikolog forensik saat itu membuat American Psychology - Law Society. Selain itu, pada tahun 1970an sampai hail ini, penerbitan hasil riset terkait perkembangan psikologi forensik terus dipublikasikan oleh jurnal-jumal ilmiah.[10]

Fungsi

Pada umumnya fungsi dari psikologi forensik erat sekali dengan tindakan hukum. Dalam membantu sebuah proses penyelidikan, psikolog forensik memiliki tugas melakukan otopsi psikologi, wawancara para saksi mata secara langsung, melakukan wawancara investigasi pelaku, dan melakukan criminal profiling atau mencari gambaran perilaku dan profil pelaku.[11]

Adapun fungsi yang lebih spesifik dijelaskan sebagai berikut. Pertama, mengetahui bagaimana kondisi kejiwaan pelaku sebuah tindak pidana Fungsi ini sangat membantu dalam rangka mengetahui apakah pelaku sedang mengalami gangguan kejiwaan atau tidak sama sekali.  Kedua, dapat membantu penegak hukum melakukan pendekatan psikis pada saat proses penyidikan. Psikologi forensik bisa sangat bermanfaat ketika pelaku tindak pidana tidak kooperatif dengan memberikan berbagai keterangan yang terkesan berbelit-belit dan membingungkan pada saat penyidikan. Sebagai pendukung bisa juga menggunakan pendekatan psikologi komunikasi. Ketiga, memberi masukan dalam proses penyidikan. Proses penyidikan berlangsung merujuk pada hasil masukan psikologi forensik. Artinya, langkah-langkah yang perlu ditempuh dibantu melalui faktor yang ditemukan dalam dari psikologi forensik.  Keempat, menemukan Kejanggalan psikis. Seseorang dapat memanipulasi diri untuk menghindari sebuah tuntutan hukum. Oleh karena itu, untuk menemukan kejanggalan peran psikologi forensik dalam proses penyidikan tindak pidana sangat diperlukan. Kelima, mengungkap motif dari pelaku tindak pidana. Ini dilakukan untuk mengetahui alasan sebenarnya seseorang melakukan sebuah tindak kejahatan. Motif tindak pidana akan menjadi dasar pemberian hukuman yang paling tepat atas kesalahan yang telah dilakukan.[12] Keenam, memberi bantuan dan masukan kepada penyidik mengenai langkah-langkah dalam pengawalan pelaku terutama dalam hal pengawasan keselamatan ketika berada di Polres atau Polsek selama proses penyidikan kepolisian sampai dengan proses pengadilan.[13]

Referensi

  1. ^ a b c Baron & Byrne, Psikologi Sosial Jilid 2, Jakarta: Erlangga, 2004, hal. 217.
  2. ^ Mardatila, Ani (2021-08-04). "Mengenal Psikologi Forensik, Ini Perannya untuk Memecahkan Kejahatan". merdeka.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-03-18. 
  3. ^ Nietzel, Michael (1986). Psychological Consultation in the Courtroom. New York: Pergamon Press. ISBN 0-08-030955-0. ^ Blau, Theodore H. (1984). The Psychologist as Expert Witness.
  4. ^ Shapiro, David L. (1984). Psychological Evaluation and Expert Testimony. New York: Van Nostrand Reinhold. ISBN 0-442-28183-8.
  5. ^ Maramis, Marchel R. (2015). "PERAN ILMU FORENSIK DALAM PENYELESAIAN KASUSKEJAHATAN SEKSUAL DALAM DUNIA MAYA (INTERNET)" (PDF). Jurnal Ilmu Hukum. 2 (7): 43. ISSN 2338-0063. 
  6. ^ Sulianta, Feri (2013). Komputer Forensik. Jakarta: Elex Media Komputindo. hlm. 2. ISBN 978-602-04-2058-5. 
  7. ^ Mu’affi, Oktavia; Pusvitasari, Putri (2021-12-24). "Psikologi Forensik dalam Ilmu Hukum". buletin.k-pin.org. Diakses tanggal 2022-03-18. 
  8. ^ Rahman, Azra Aulia (2021-03-12). "Apa Itu Psikologi Forensik?". kumparan. Diakses tanggal 2022-03-18. 
  9. ^ Kadarudin (2021). PENELITIAN DI BIDANG ILMU HUKUM (Sebuah Pemahaman Awal). Semarang: Formaci. hlm. 165. ISBN 978-623-95529-0-9. 
  10. ^ Alfaruqy, Muhammad Zulfa; Indrawati, Endang Sri; Kaloeti, Veronica Sakti (2019). Psikologi Forensik (PDF). Yogyakarta: Psikosain. hlm. 4. ISBN 978-602-5875-16-8. 
  11. ^ Dewi, Hayuning Purnama (2019-11-29). "Kenalkan Peran Ilmu Psikologi Forensik Dalam Proses Hukum". Universitas Surabaya (Ubaya). Diakses tanggal 2022-03-18. 
  12. ^ Sopia (2021-11-06). "Yuk Mengenal Psikologi Forensik". mediaindonesia.com. Diakses tanggal 2022-03-18. 
  13. ^ Boby, Adrian (2021-11-15). "Pentingnya Psikologi Forensik Pada Proses Penyidikan – TRIBRATANEWS POLDA KEPRI". Diakses tanggal 2022-03-18.