Kimia forensik (atau juga disebut kimia kriminal) adalah aplikasi ilmu kimia dan sub-bidangnya, toksikologi forensik, dalam ranah hukum. Seorang kimiawan forensik dapat membantu identifikasi material yang tidak diketahui yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP).[1] Spesialis forensik dalam bidang ini memiliki sejumlah metode dan peralatan yang berbeda untuk membantu mengidentifikasi bahan yang belum diketahui. Metode spesifik umum untuk bidang ini mencakup kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC), kromatografi gas-spektrometri massa (GC-MS), spektroskopi serapan atom (AAS), spektroskopi inframerah transformasi Fourier (FTIR), dan kromatografi lapisan tipis. Rentang metode yang beragam menjadi penting karena sifat destruktif beberapa instrumen dan probabilitas jumlah zat yang tidak diketahui yang dapat ditemukan di TKP. Jika memungkinkan, metode nondestruktif harus selalu dicoba terlebih dahulu untuk mempertahankan barang bukti dan untuk menentukan protokol terbaik ketika digunakan metode destruktif.

Bersama-sama dengan spesialis forensik lainnya, kimiawan forensik sering bersaksi di pengadilan sebagai saksi ahli terkait temuan mereka. Pekerjaan yang dilakukan oleh kimiawan forensik terikat pada seperangkat standar yang telah diatur oleh berbagai agen dan badan pengatur, termasuk Kelompok Kerja Analisis Obat Sitaan (Inggris: Working Group on the Analysis of Seized Drugs). Sebagai tambahan dalam prosedur operasi standar yang diajukan oleh kelompok kerja tersebut, agensi tertentu memiliki standar tersendiri terkait dengan jaminan mutu dan pengendalian mutu untuk hasil dan peralatan mereka. Untuk memastikan akurasi laporan mereka, kimiawan forensik secara rutin memeriksa dan memverifikasi kelayakan peralatan mereka sehingga beroperasi dengan baik dan tetap dapat mendeteksi serta menentukan beragam kuantitas dari bahan yang berbeda-beda.

Peran dalam investigasi sunting

 
Kimiawan mampu mengidentifikasi bahan peledak ANFO pada TKP pemboman Oklahoma City.[2]

Penyelidikan kimiawan forensik dapat memberi arah kepada penyelidik untuk menggali lebih dalam, dan mereka dapat menguatkan atau menyangkal kecurigaan penyelidik. Dalam kasus ditemukan benda asing di tempat kejadian perkara (TKP), identifikasi benda tersebut dapat memberi tahu penyelidik apa yang dicari selama masa penyelidikan. Sebagai contoh, selama penyelidikan kebakaran, kimiawan forensik dapat menentukan jenis pemercepat kebakaran yang digunakan, apakah bensin or minyak tanah; jika benar, ini mengarah pada dugaan kebakaran disengaja.[3] Kimiawan forensik dapat juga mempersempit daftar tersangka pada orang-orang yang memiliki akses pada benda yang digunakan dalam tindak kriminal. Misalnya, dalam investigasi bahan peledak, identifikasi RDX atau C-4 akan mengarah pada keterlibatan militer karena benda-benda ini adalah bahan peledak militer.[4] Sebaliknya, identifikasi TNT akan membangun daftar tersangka yang lebih luas, karena ini digunakan baik oleh militer maupun perusahaan peledakan.[4] Selama investigasi kasus keracunan, deteksi racun spesifik dapat member ide kepada detektif tentang apa yang mereka cari ketika mewawancarai tersangka potensial. Misalnya, kasus kematian karena risin (ricin) akan mengarahkan penyelidik untuk mencari prekursor risin, benih tanaman jarak, sementara kematian akibat striknina (strychnine) akan mengarahkan penyelidik untuk mencari pohon striknina atau pembelian benih secara online.

Kimiawan forensik juga membantu menguatkan atau menyanggah kecurigaan penyelidik dalam kasus narkoba atau alkohol. Oleh karena peralatan yang digunakan oleh kimiawan forensik dapat mendeteksi benda hingga kadar yang sangat rendah, kuantitas benda tersebut menjadi relevan pada penyelidikan. Ini dapat menjadi penting dalam tindak kriminal seperti mengemudi di bawah pengaruh karena ada batasan kandungan alkohol darah untuk menentukan atau memperberat hukuman.[5] Dalam kasus overdosis, kuantitas obat yang ditemukan dalam sistem seseorang dapat menguatkan atau menyanggah kecurigaan overdosis sebagai penyebab kematian.

Sejarah sunting

Sejarah awal sunting

 
Sebotol ekstrak striknina pernah mudah didapat di apotek.

Sepanjang sejarah, ketersediaan racun memudahkan seseorang melakukan tindak pembunuhan. Arsen, deadly nightshade, racun hemlock, striknina, dan kurare adalah sederetan racun yang digunakan sepanjang sejarah.[6] Tanpa metode penentuan yang akurat ketika ditemukan bahan kimia tertentu, penebar racun sering kali tidak pernah dihukum atas tindak kejahatannya.[7] Hingga akhirnya pada awal abad ke-19 kimiawan berhasil mendeteksi secara efektif racun untuk pertama kalinya. Pada tahun 1836, salah satu kontribusi besar pertama pada kimia forensik diperkenalkan oleh James Marsh. Ia menciptakan uji Marsh untuk mendeteksi arsen yang sering berhasil digunakan dalam percobaan pembunuhan.[8] Sejak saat itu pula toksikologi forensik mulai diakui sebagai disiplin ilmu tersendiri. Mathieu Orfila, "bapak toksikologi", membuat gebrakan dalam bidang ini pada awal abad ke-19.[9] Ia membantu mengembangkan pengujian yang dapat menentukan keberadaan darah dan yang pertama kali menggunakan teknik mikroskopi dalam analisis darah dan semen (air mani).[9] Orfila juga merupakan kimiawan pertama yang sukses mengklasifikasikan bahan kimia yang berbeda ke dalam kategori-kategori seperti korosif, narkotika, dan astringen (astringent).[7]

Pengembangan selanjutnya dalam deteksi racun muncul pada tahun 1850 ketika sebuah metode yang valid untuk mendeteksi alkaloid sayuran dalam jaringan manusia diciptakan oleh kimiawan Jean Stas.[10] Metode Stas dengan cepat diadopsi dan sukses digunakan di pengadilan untuk menjatuhkan hukuman kepada Count Hippolyte Visart de Bocarmé atas pembunuhan saudara iparnya menggunakan racun nikotin.[10] Stas berhasil mengisolasi alkaloid dari organ korban yang membuktikan Count Bocarmé membunuh saudara iparnya. Protokol Stas sering digunakan untuk pengujian-pengujian terkait dengan kafeina, kuinina, morfin, striknina, atropin, dan opium.[11]

Sejumlah besar instrumentasi untuk analisis kimia forensik juga dimulai sepanjang periode ini. Pada tahun 1859, kimiawan Robert Bunsen dan fisikawan Gustav Kirchhoff menemukan spektroskop pertama.[12] Percobaan mereka dengan spektroskopi menunjukkan bahwa zat tertentu menciptakan spektrum unik ketika dipapar cahaya pada panjang gelombang tertentu. Dengan menggunakan spektroskopi, kedua ilmuwan mampu mengidentifikasi zat berdasarkan spektrum, menyajikan suatu metode identifikasi untuk bahan yang tidak diketahui.[12] Pengembangan krusial lainnya dalam bidang ini ditemukan pada tahun 1906 oleh botanis Mikhail Tsvet: ia mengembangkan kromatografi kertas, asal muasal pengembangan kromatografi lapisan tipis, untuk memisahkan dan menguji protein tumbuhan penyusun klorofil.[11] Kemampuannya memisahkan campuran menjadi komponen-komponen tunggalnya memungkinkan kimiawan forensik untuk menguji bagian-bagian bahan yang tidak diketahui terhadap basis data produk-produk yang dikenal. Dengan menyocokkan faktor retensi komponen yang dipisahkan dengan nilai yang telah diketahui, bahan-bahan dapat diidentifikasi. Seiring berjalannya waktu, teknik kromatografi telah semakin canggih dengan diperkenalkannya kromatografi cair dan gas.

Modernisasi sunting

 
Sebuah unit GC-MS dengan pintu terbuka. Kromatograf gas di sebelah kanan dan the spektrometer massa di sebelah kiri.

Kimiawan forensik modern bersandar pada sejumlah instrumen untuk mengidentifikasi material asing yang dijumpai di TKP. Abad ke-20 banyak dijumpai sejumlah perkembangan teknologi yang memungkinkan kimiawan mendeteksi kadar material yang lebih rendah dengan lebih akurat. Perkembangan besar pertama abad ini datang pada tahun 1930an dengan penemuan spektrometer yang mampu mengukur sinyal yang dihasilkan dengan cahaya inframerah (IR). Spektrometer IR generasi awal menggunakan monokromator dan hanya mampu mengukur absorpsi sinar dalam pita panjang gelombang yang sangat sempit. Hingga kemudian dilakukan penggandengan interferometer dengan spektrometer IR pada tahun 1949 oleh Peter Fellgett yang dapat mengukur spektrum inframerah lengkap sekaligus.[13]:202 Fellgett juga menggunakan transformasi Fourier, suatu metode matematis yang dapat memecah sinyal menjadi frekuensi-frekuensi penyusunnya, sehingga sejumlah data aneh yang diterima dari analisis inframerah lengkap menjadi masuk akal.[13] Sejak saat itu, instrumen spektroskopi inframerah transformasi Fourier (FTIR) menjadi kritikal dalam analisis forensik benda asing karena sifatnya yang nondestruktif dan sangat cepat penggunaannya. Spektroskopi dikembangkan lebih lanjut pada 1955 dengan penemuan spektrofotometer serapan atom (atomic absorption, AA) modern oleh Alan Walsh.[14] Analisis AA dapat mendeteksi unsur spesifik yang menyusun suatu sampel sekaligus menentukan konsentrasinya, sehingga memungkinkan deteksi logam berat seperti arsen dan kadmium dengan mudah.

Perkembangan dalam bidang kromatografi hadir pada tahun 1953 dengan penemuan kromatografi gas oleh Anthony T. James dan Archer John Porter Martin, yang memungkinkan pemisahan campuran cairan volatil dengan komponen-komponen yang memiliki titik didih berdekatan. Campuran cairan nonvolatil dapat dipisahkan dengan kromatografi cair; namun zat dengan waktu retensi yang berdekatan tidak dapat dipisahkan hingga ditemukan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) atau high-performance liquid chromatography (HPLC) oleh Csaba Horváth pada tahun 1970. Instrumen HPLC modern mampu mendeteksi dan memisahkan zat-zat dengan konsentrasi rendah hingga level bagian per trilyun.[15]

Salah satu perkembangan kimia forensik yang paling penting datang pada tahun 1955 dengan penemuan kromatografi gas-spektrometri massa (GC-MS) oleh Fred McLafferty dan Roland Gohlke.[16] Penggandengan (coupling) kromatografi gas dengan spektrometer massa memungkinkan identifikasi zat dalam skala yang lebih luas.[16] Analisis GC-MS diakui secara luas sebagai "standar emas" dalam analisis forensik karena sensitivitas dan fleksibilitasnya di samping kemampuannya mengkuantifikasi kadar zat yang ada.[17]

Metode sunting

Kimiawa forensik mengandalkan banyak instrumen untuk mengidentifikasi benda asing yang ditemukan di TKP.[18] Metode yang berbeda-beda dapat digunakan untuk menentukan identitas zat yang sama, dan terserah kepada para penguji untuk menetapkan metode yang akan menghasilkan hasil terbaik. Aspek-aspek tertentu yang harus disadari oleh kimiawan forensik ketika melakukan suatu pengujian adalah durasi pengujian instrumen tertentu untuk menguji sebuah zat dan sifat destruktif instrumen tersebut. Jika memungkinkan, metode nondestruktif harus selalu dilakukan terlebih dahulu demi mempertahankan barang bukti untuk pengujian selanjutnya.[19] Teknik-teknik nondestruktif dapat juga digunakan untuk mempersempit kemungkinan, dan membuat pemilihan penggunaan metode destruktif pertama secara tepat.[19]

Spektroskopi sunting

 
Spektrum ATR FTIR heksana menunjukkan persen transmitansi (%T) vs bilangan gelombang (cm−1).

Dua teknik spektroskopi mandiri yang utama untuk kimia forensik adalah FTIR dan spektroskopi AA. FTIR adalah sebuah proses nondestruktif yang menggunakan sinar inframerah untuk mengidentifikasi suatu zat. Teknik sampling pantulan total terlemahkan (attenuated total reflectance) menghilangkan kebutuhan preparasi zat sebelum analisis.[20] Kombinasi teknik nondestruktif dan tanpa preparasi membuat analisis ATR FTIR suatu tahap awal yang cepat dan mudah dalam analisis benda asing. Untuk memfasilitasi identifikasi positif terhadap suatu zat, instrumen FTIR dilengkapi dengan basis data yang dapat dicari untuk spektrum dikenal yang cocok dengan spektrum sampel. Namun, analisis FTIR suatu campuran, jika memungkinkan, menghadapi kesulitan tertentu karena sifat kumulatif (penumpukan) respon alat. Ketika menganalisis suatu zat asing yang mengandung lebih dari satu zat, spektrum yang dihasilkan akan berupa kombinasi dari spektrum tunggal masing-masing komponennya.[21] Sementara spektrum campuran umum telah ada di dalam berkas, campuran novel dapat menjadi tantangan untuk dipecahkan. Hal ini membuat identifikasi FTIR menjadi tak dapat diterima. Namun, instrumen dapat digunakan untuk menentukan struktur kimia umum yang ada, sehingga memungkinkan kimiawan forensik menentukan metode analisis terbaik dengan instrumen lain. Misalnya, suatu gugus alkil akan menghasilkan puncak pada bilangan gelombang antara 2.950 dan 2.850 cm−1.[22]

Spektroskopi serapan atom (AAS) adalah teknik destruktif yang mampu menentuksn unsur-unsur penyusun sampel yang dianalisis. AAS melakukan analisis ini dengan memasukkan sampel ke dalam suatu sumber panas ekstra tinggi, sehingga terjadi pemecahan ikatan atom dalam zat, dan membebaskan atom-atomnya. Setelah atomisasi, radiasi dalam bentuk sinar dilewatkan melalui sampel sehingga memaksa atom-atom melompat ke tingkat energi yang lebih tinggi.[23] Kimiawan forensik dapat menguji masing-masing unsur dengan menggunakan panjang gelombang sinar terkait yang memaksa atom unsur melompat ke tingkat energi yang lebih tinggi selama analisis.[24] Berdasarkan alasan ini, dan karena sifat destruktif metode ini, AAS harus digunakan sebagai teknik konfirmasi setelah pengujian terdahulu, uji pendahuluan, telah mengindikasikan keberadaan unsur tertentu dalam sampel. Konsentrasi unsur dalam sampel sebanding dengan jumlah sinar yang diserap ketika dibandingkan dengan blangko.[25] AAS berguna dalam kasus dugaan keracunan logam berat seperti keracunan arsen, timbal, raksa, dan kadmium. Penentuan konsentrasi zat dalam sampel dapat menentukan apakah logam berat merupakan penyebab kematian.

Kromatografi sunting

 
Kromatogram HPLC tablet Excedrin. Puncak-puncak dari kiri ke kanan adalah asetaminofen, aspirin, dan kafeina.

Teknik spektroskopi berguna ketika sampel yang diuji adalah murni, atau campuran yang sangat umum. Ketika suatu campuran yang tidak diketahui dilakukan analisis, ia harus dipecah menjadi bagian-bagian tunggalnya. Teknik kromatografi dapat digunakan untuk memecah campuran menjadi komponen-komponennya sehingga memungkinkan masing-masing bagian dianalisis secara terpisah. Kromatografi lapisan tipis (thin-layer chromatography TLC) adalah alternatif cepat menuju metode kromatografi yang lebih kompleks. TLC dapat digunakan untuk menganalisis tinta dan pewarna dengan mengekstraksi komponen-komponen tunggalnya.[26] Ini dapat digunakan untuk menyelidiki catatan atau serat yang tertinggal di TKP karena masing-masing produk perusahaan memiliki perbedaan tipis dan perbedaan tersebut dapat dilihat menggunakan TLC. Satu-satunya keterbatasan analisis TLC adalah komponen harus dapat larut dalam larutan apapun yang digunakan untuk membawa naik komponen pada plat analisis.[26] Larutan ini disebut fasa gerak. Kimiawan forensik dapat membandingkan sampel dengan standar dengan cara mengukur jarak tempuh masing-masing komponen. Jarak tempuh ini, ketika dibandingkan terhadap titik awal, dikenal sebagai faktor retensi (Rf) untuk masing-masing komponen terekstraksi. Jika masing-masing nilai Rf sampel cocok dengan standar, ini mengindikasikan identitas barang bukti tersebut.

Kromatografi cair kinerja tinggi dapat digunakan untuk mengekstraksi komponen-komponen tunggal dari suatu campuran yang dilarutkan dalam suatu larutan. HPLC digunakan untuk campuran nonvolatil yang tidak sesuai untuk kromatografi gas. Ini berguna dalam analisis obat karena farmasi yang merupakan kombinasi obat akan terpisah komponen-komponennya, atau terelusi, pada waktu yang berbeda-beda sehingga memungkinkan untuk memverifikasi masing-masing komponennya. Eluat dari kolom HPLC kemudian diumpankan ke dalam berbagai detektor yang dapat menganalisis zat lebih lanjut. Jenis detektor yang paling umum adalah spektrometer ultraungu–sinar tampak sedangkan detektor yang paling canggih adalah spektrometer massa.[27] Pemilihan detektor yang digunakan bergantung pada temuannya dan presisi yang diperlukan untuk jenis pekerjaan yang dilakukan.

Kromatografi gas (GC) bekerja seperti fungsi kromatografi cair, tetapi ini digunakan untuk campuran volatil (mudah menguap). Dalam kimia forensik, instrumen GC paling banyak menggunakan spektrometri massa sebagai detektor.[1] GC-MS dapat digunakan dalam penyelidikan arson, kasus keracunan, dan ledakan untuk menentukan dengan tepat apa yang digunakan. Secara teoretis, instrumen GC-MS dapat mendeteksi zat dengan konsentrasi dalam rentang femtogram (10−15).[28] Namun, pada praktiknya, karena rasio sinyal terhadap derau dan faktor pembatas lainnya, sepanjang sejarah instrumentasi GC, batas deteksi (limit of detection, LoD) praktis untuk GC-MS berada dalam rentang pikogram (10−12).[29] GC-MS juga mampu mengkuantifikasi zat yang dapat digunakan oleh kimiawan forensik untuk menentukan pengaruh zat terhadap seseorang. Instrumen GC-MS memerlukan sekitar 1.000 kali lebih banyak zat untuk dikuantifikasi dibandingkan jumlah yang diperlukan untuk dideteksi; batas kuantifikasi (limit of quantification, LoQ) biasanya dalam rentang nanogram (10−9).[29]

Toksikologi forensik sunting

Toksikologi forensik adalah studi tentang farmakodinamika, atau apa yang dilakukan zat terhadap tubuh, dan farmakokinetika, atau apa yang dilakukan tubuh terhadap zat. Untuk menentukan secara akurat efek obat tertentu terhadap tubuh manusia, toksikolog forensik harus menyadari beragam tingkat toleransi yang dapat dibangun oleh individu dan juga indeks terapeutik untuk beragam obat-obatan. Toksikolog diberi tugas untuk menentukan apakah toksin yang ditemukan dalam tubuh merupakan penyebab suatu kejadian, berkontribusi terhadap suatu kejadian, atau apakah kadarnya terlalu rendah untuk memberikan pengaruh.[30] Sementara penentuan toksin spesifik dapat menyita waktu karena sejumlah zat yang berbeda dapat menyebabkan cedera atau kematian, petunjuk tertentu dapat mempersempit kemungkinan tersebut. Misalnya, keracunan karbon monoksida akan terdeteksi dari warna darah yang merah terang sementara kematian akibat hidrogen sulfida akan menyebabkan otak menjadi berwarna hijau.[31][32]

Toksikolog juga menyadari berbagai metabolit dapat dihasilkan dari proses metabolisme obat tertentu di dalam tubuh. Misalnya, toksikolog dapat memastikan bahwa seseorang mengkonsumsi heroin dengan melihat adanya 6-monoasetilmorfin dalam sampel, yang merupakan satu-satunya hasil metabolisme heroin.[33] Penciptaan obat-obat baru yang terus berlangsung, baik legal maupun gelap, memaksa toksikolog untuk tetap memutakhirkan diri dengan penelitian-penelitian dan metode-metode baru untuk menguji zat-zat baru ini. Aliran formulasi baru berarti bahwa hasil tes negatif tidak selalu mengesampingkan obat. Dalam rangka menghindari deteksi, pabrikan obat gelap sering mengubah sedikit struktur kimianya. Senyawa-senyawa ini masih memiliki efek yang sama terhadap tubuh tetapi tidak ditemukan saat dicari dalam basis data instrumen.[34] Sejalan dengan penemuan senyawa-senyawa baru, dibuatlah pengujian-pengujian baru dan diinput ke dalam basis data instrumen. Berdasarkan alasan ini, toksikolog mempelajari berbagai gejala spesifik berdasarkan klasifikasi obat yang dapat diidap oleh seseorang. Bahkan jika hasil pengujian adalah negatif, gejala dapat menunjukkan penyebab untuk pencarian lanjutan. Zat-zat, beserta residunya, yang ditemukan selama pencarian ini dapat diuji dan dibandingkan dengan sampel originalnya, sehingga tercipta suatu metode baru yang disimpan untuk digunakan di kemudian hari.

Standar sunting

Kategori analisis SWGDRUG
Kategori A Kategori B Kategori C
Spektroskopi inframerah Elektroforesis kapiler Uji warna
Spektrometri massa Kromatografi gas Spektroskopi fluoresensi
Spektroskopi resonansi
magnet inti
Spektrometri mobilitas ion Immunoassay
Spektroskopi Raman Kromatografi cair Analisis titik lebur
Difraktometri sinar X Uji mikrokristalin Spektroskopi ultraungu
Identifikasi farmasi
Kromatografi lapisan tipis
Hanya Cannabis:
Pengujian makroskopis
dan mikroskopis

Demi mempertahankan profesionalisme tetap tinggi dalam bidang forensik, pedoman telah diatur oleh berbagai badan pemerintah mengenai standar yang harus diikuti oleh para ilmuwan praktisi forensik. Untuk kimiawan forensik, Kelompok Kerja Ilmiah Analisis Obat Sitaan (Scientific Working Group for the Analysis of Seized Drugs, SWGDRUG) memberikan rekomendasi jaminan kualitas dan pengendalian kualitas bahan yang diuji.[35] Dalam identifikasi sampel asing, protokol telah dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan kemungkinan terjadinya positif palsu (false positive). Instrumen dan protokol dalam kategori A dianggap yang terbaik untuk mengidentifikasi secara unik bahan yang tidak diketahui, diikuti oleh kategori B dan kemudian C. Untuk memastikan akurasi identifikasi, SWGDRUG merekomendasikan bahwa beberapa pengujian menggunakan instrumen yang berbeda dilakukan pada setiap sampel, yang menggunakan satu teknik kategori A dan setidaknya satu teknik lainnya. Jika teknik kategori A tidak tersedia, atau kimiawan forensik memutuskan untuk tidak menggunakannya, SWGDRUG merekomendasikan bahwa setidaknya digunakan tiga teknik, dua di antaranya harus dari kategori B.[35]:14–15 Instrumen kombinasi, seperti GC-MS, dianggap dua uji terpisah selama hasilnya dibandingkan dengan nilai-nilai yang diketahui secara individual. Sebagai contoh, waktu elusi GC akan dibandingkan dengan nilai-nilai yang dikenal bersama dengan MS spektrum. Jika keduanya cocok dengan zat yang dikenal, tidak diperlukan pengujian lebih lanjut.

Standar dan kontrol diperlukan dalam pengendalian mutu dari berbagai instrumen yang digunakan untuk menguji sampel. Oleh karena sifat pekerjaan mereka berada dalam ranah hukum, kimiawan harus memastikan bahwa instrumen mereka bekerja secara akurat. Untuk melakukan hal ini, kontrol yang telah dikenal diuji secara berurutan dengan sampel yang tidak diketahui.[36] Dengan membandingkan pembacaan kontrol dengan profilnya, dapat diputuskan bahwa instrumen telah bekerja dengan baik pada saat pengujian sampel yang tidak diketahui. Standar juga digunakan untuk memvalidasi batas deteksi dan kuantifikasi instrumen untuk berbagai zat umum. Kuantitas hitung harus berada dalam rentang yang digunakan untuk menguji standar agar dapat dikonfirmasi. Jika hasilnya berada di luar kisaran ini instrumen harus diuji untuk memastikan bahwa instrumen dapat mengukur kuantitas tersebut secara akurat.

Lihat juga sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b "A Simplified Guide to Forensic Drug Chemistry" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-21. Diakses tanggal September 24, 2015. 
  2. ^ Browne, Malcolm W. (April 21, 1995). "Terror in Oklahoma: The Science; Experts Search for Debris to Link Bomb to a Suspect". Diakses tanggal October 28, 2015. 
  3. ^ Stern, Wal. "Modern Methods of Accelerant Analysis". T.C. Forensic. Diakses tanggal October 28, 2015. 
  4. ^ a b "Common Explosives". The National Counterterrorism Center. Diakses tanggal October 28, 2015. 
  5. ^ "Legal BAC limits Data by country". World Health Organization. Diakses tanggal October 30, 2015. 
  6. ^ Cellania, Miss (November 3, 2009). "5 Classic Poisons and the People Who Used Them". Mentalfloss. Diakses tanggal September 24, 2015. 
  7. ^ a b Pizzi, Richard A. (September 2004). "Pointing to Poison" (PDF). American Chemical Society: 43–45. Diakses tanggal September 24, 2015. 
  8. ^ Watson, Stephanie (June 9, 2008). "How Forensic Lab Techniques Work". How Stuff Works. Diakses tanggal September 24, 2015. 
  9. ^ a b "Mathieu Joseph Bonaventure Orfila (1787–1853)". National Library of Medicine. June 5, 2014. Diakses tanggal September 24, 2015. 
  10. ^ a b Wennig, Robert (April 2009). "Back to the roots of modern analytical toxicology: Jean Servais Stas and the Bocarmé murder case" (PDF). Drug Testing and Analysis. 1 (4): 153–155. doi:10.1002/dta.32. PMID 20355192. 
  11. ^ a b "Technologies". National Library of Medicine. June 5, 2014. Diakses tanggal September 25, 2015. 
  12. ^ a b "Spectroscopy and the Birth of Astrophysics". American Institute of Physics. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-07. Diakses tanggal September 25, 2015. 
  13. ^ a b Derrick, Michele R.; Stulik, Dusan; Landry, James M. "Infrared Spectroscopy in Conservation Science" (PDF). The Getty Conservation Institute. Diakses tanggal September 26, 2015. 
  14. ^ Willis, J B (1993). "The birth of the atomic absorption spectrometer and its early applications in clinical chemistry" (PDF). Clinical Chemistry. 39 (1): 155–160. Diakses tanggal October 6, 2015. 
  15. ^ "HPLC–High Performance Liquid Chromatography". Diakses tanggal September 26, 2015. 
  16. ^ a b Gohlke, Roland S.; McLafferty, Fred W. (May 1993). "Early gas chromatography/mass spectrometry". Journal of the American Society for Mass Spectrometry. 4 (5): 367–371. doi:10.1016/1044-0305(93)85001-e. Diakses tanggal September 27, 2015. 
  17. ^ Kapur, BM (1993). "Drug-testing methods and clinical interpretations of test results". Bulletin on Narcotics. 45 (2): 115–154. Diakses tanggal September 27, 2015. 
  18. ^ Gaensslen, R.E.; Kubic, Thomas A.; Desio, Peter J.; Lee, Henry C. (December 1985). "Instrumentation and Analytical Methodology in Forensic Science". Journal of Chemical Education. 62 (12): 1058–1060. doi:10.1021/ed062p1058. Diakses tanggal September 24, 2015. 
  19. ^ a b "Forensic Science Communications". Federal Bureau of Investigation. April 2006. Diakses tanggal September 24, 2015. 
  20. ^ Angelos, Sanford; Garry, Mike (August 5, 2011). "Seized Drug Analysis Using FT-IR and Mixture Searching For More Effective Identification". Forensic Magazine. Diakses tanggal October 6, 2015. 
  21. ^ Izzia, Federico; Nunn, Simon; Bradley, Michael (August 1, 2008). "Analysis of Mixtures by FT-IR: Spatial and Spectral Separation of Complex Samples". Spectroscopy Online. Diakses tanggal October 6, 2015. 
  22. ^ "Table of IR Absorptions". UCLA. Diakses tanggal October 6, 2015. 
  23. ^ "What is Atomic Absorption?". Techmec LTD. Diakses tanggal October 7, 2015. 
  24. ^ "Atomic Absorption Protocols". New Mexico State University. Diakses tanggal October 7, 2015. 
  25. ^ "Atomic Absorption Spectroscopy (AAS)". Easy Chem. Diakses tanggal October 7, 2015. 
  26. ^ a b Carlysle, Felicity. "TLC the Forensic Way". Glasgow Insight Into Science & Technology. Diakses tanggal October 10, 2015. 
  27. ^ "High-Performance Liqiud Chromatography". Just Chromatography. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-07. Diakses tanggal October 8, 2015. 
  28. ^ Fialkov, Alexander; Steiner, Urs; Lehotay, Steven; Amirav, Aviv (January 15, 2007). "Sensitivity and noise in GC-MS: Achieving low limits of detection for difficult analytes". International Journal of Mass Spectrometry. 260 (1): 31–48. doi:10.1016/j.ijms.2006.07.002. Diakses tanggal October 10, 2015. 
  29. ^ a b Smith, Michael L.; Vorce, Shawn P.; Holler, Justin M.; Shimomura, Eric; Magluilo, Joe; Jacobs, Aaron J.; Huestis, Marilyn A. (June 2007). "Modern Instrumental Methods in Forensic Toxicology". Journal of Analytical Toxicology. 31 (5): 237–253. doi:10.1093/jat/31.5.237. Diakses tanggal October 10, 2015. 
  30. ^ "Forensic Toxicology". National Institute of Justice. December 23, 2014. Diakses tanggal October 12, 2015. 
  31. ^ Foley, Katherine (August 16, 2015). "The science behind forensic toxicology". Quartz. Diakses tanggal October 12, 2015. 
  32. ^ Park, Seong Hwan; Zhang, Yong; Hwang, Juck-Joon (May 30, 2009). "Discolouration of the brain as the only remarkable autopsy finding in hydrogen sulphide poisoning". Forensic Science International Journal. 187 (1–3): e19–e21. doi:10.1016/j.forsciint.2009.02.002. Diakses tanggal October 12, 2015. 
  33. ^ von Euler, M; Villén, T; Svensson, JO; Ståhle, L (October 2003). "Interpretation of the presence of 6-monoacetylmorphine in the absence of morphine-3-glucuronide in urine samples: evidence of heroin abuse". Therapeutic drug monitoring. 25 (5): 645–648. doi:10.1097/00007691-200310000-00015. PMID 14508389. 
  34. ^ Fontaine, Scott (March 12, 2011). "AF using urine tests to detect 'spice' use". AirForceTimes. Diakses tanggal October 13, 2015. [pranala nonaktif permanen]
  35. ^ a b "Scientific Working Group For The Analysis Of Seized Drugs (SWGDRUG) Recommendations" (PDF). August 14, 2014. Diakses tanggal October 8, 2015. 
  36. ^ "Validation Guidelines for Laboratories Performing Forensic Analysis of Chemical Terrorism". Forensic Science Communications. FBI. 7 (2). April 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal October 16, 2015.