Mahmud Badaruddin II dari Palembang

Sultan Palembang

Sultan Mahmud Badaruddin II (23 November 1767 - 26 September 1852) [1] adalah Sultan Palembang yang berkuasa dari 12 April 1804; yakni 10 hari setelah Ayahnya wafat, hingga diasingkan Belanda pada 1 Juli 1821. Nama lahirnya sebelum berkuasa adalah Raden Hasan Pangeran Ratu.[2]

Mahmud Badaruddin II
Sultan Palembang Darussalam
Berkas:Pangeran Ratu.jpg
Sultan Mahmud Badaruddin II
Sultan Palembang
periode pertama
Berkuasa12 April 1804 – 14 Mei 1812
PendahuluSultan Muhammad Bahauddin
PenerusPangeran Ratu Muhamad Tjing Djamaludin Wangsa Martaradja Wijaya Negara (Inggris)
periode kedua
Berkuasa13 Juli 1813 - Agustus 1813
PendahuluSultan Ahmad Najamuddin II (dikembalikan Inggris)
PenerusKerajaan direbut Inggris lagi
periode ketiga
Berkuasa7 Juni 1818 – 1 Juli 1821
PendahuluPosisi dikembalikan oleh Herman Muntinghe
PenerusPangeran Ratu Muhamad Tjing Djamaludin (Hindia Belanda)
Susuhunan Palembang
BerkuasaDesember 1819 - 1 Juli 1821
PenerusSultan ke-9 Pangeran Ratu (Putra)
KelahiranPangeran Ratu Raden Hasan
23 November 1767
Palembang
Kematian26 September 1852
Ternate
Keturunan
Nama lengkap
Susuhunan Ratu Mahmud Badaruddin bin Sultan Muhammad Bahauddin
DinastiPangeran Achmad Bolonson Wangsa Martaradja Wijaya Negara
AyahSultan Muhammad Bahauddin

Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan Inggris dan Belanda, di antaranya yang disebut Perang Menteng. Pada tangga 14 Juli 1821, ketika Belanda berhasil menguasai Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarga diasingkan keBatavia hingga tahun 1822 dibuang ke Ambon

Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II dan Mata uang rupiah pecahan 10.000-an yang dikeluarkan oleh bank Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2005. Penggunaan gambar SMB II di uang kertas ini sempat menjadi kasus pelanggaran hak cipta, diduga gambar tersebut digunakan tanpa izin pelukisnya, namun kemudian terungkap bahwa gambar ini telah menjadi hak milik panitia penyelenggara lomba lukis wajah SMB II.

Profil Singkat Pangeran Achmad Bolonson


Susunan: asal-usul keluarga dan keturunan ( disertai keterangan singkat ) dari PANGERAN ACHMAD BOLONSON WANGSAMARTARADJA WIDJAJANEGARA. Yang diriwayatkan Beliau kepada putra tunggalnya Almarhum “ PANGERAN HADJI MOEHAMMAD SATIBI “ dari catatan anak MOER IDJAH Tahun 1934.

SULTAN MAHMUD BADAROEDDIN II ( Sri Baginda Radja Palembang karena memberontak diturunkan dari tahta oleh penjajah Inggris ) InggriPutera Mahkota : MOEHAMMAD TJIN DJAMALOEDIN. Gelar PANGERAN ACHMAD BOLONSON WANGSAMARTARADJA WIDJAJANEGARA. menolak penobatan menggantikan Ayahnya dan hijrah ke Makasar untuk persekutuan. Menikah dengan istri pertama putri bangsawan Bugis dari kerajaan Bone Makasar, terus hijrah ke Kartaradja di Sunda kelapa bersekutu dengan Mahesa dengan Gelar " PANGERAN KARTADJAJA". (singkatan) atau " PANGERAN MAKASSAR " ( asal tempat hijrah II ). Tempat tinggalnya disebut " Kampung Makassar " bersama saudara-saudara iparnya ( Para pangeran ) dari istri kedua memberontak di Banten dan wafat dalam pengasingan di Ambon pada tahun 1852. Dari 3 orang istri Beliau mempunyai 7 orang anak : 1. Isteri pertama bernama : NAISAH melahirkan putra bernama " PANGERAN ARU PATUDJU yang mewarisi "Tanah Patudju " disebelah Barat kali Tjhaliwung di Kartadjaja Sunda kelapa. 2. Isteri kedua bernama : RATU MAEMUNAH melahirkan putra bernama : " PANGERAN PAPAK " yang mewarisi Tanah Djenglapa di Banten ( Perbatasan Bogor Barat ). 3. Isteri ketiga bernama : SOEY NONA ( putri bangsa Tionghoa dari Djatinegara ) melahirkan 3 orang putera dan 2 Puteri  :

1. " PANGERAN ACHMAD BOLONSON " mewarisi Tanah Tjiboeboer di Kartadjaja Selatan Bogor Utara . ( Wafat di Cibubur pada tanggal 6 Desember 1869 ) . Menikah dengan NONA MA SANDING ( keluarga dari Ibunya ) dari daerah Sanding di Tjiboeboer dan melahirkan seorang putera Tunggal yakni " PANGERAN HADJI MOEHAMMAD SATIBI " ( Beliau hijrah di Tjiboeboer ke Tjileungsi di Bogor Timur karena perampasan tanah Tjiboeboer oleh penjajah Belanda dan wafat di Tjileungsi pada tanggal 27 Januari 1913. Keturunannya dari 6 orang isteri melahirkan 13 orang anak :

1. Isteri pertama TAMAH dan anak-anaknya :  Moer Daih ( Hadji Sa'id / H.Nun / Yusuf)  Moer Haemi  Moer Tahi ( Hadji Thaha )  Moer Nitjha (+) 2. Isteri kedua MAISAH ANOM dan anak-anaknya  Moer Haemi ( Enok )  Moer Didjah ( Endjong ) 3. Isteri ketiga DAMI dan anak-anaknya  Moer Hili  Moer Idjah  Moer Naib (+) 4. Isteri keempat SAONA dan anak-anaknya  Moer Taim 5. Isteri kelima OETI dan anak-anaknya  Moer Oekna 6. ROGAMAH dan anak-anaknya  Moer Dimah  Moer Nandi 2. “ PANGERAN MUHAMMAD DJIRDJA “ mewarisi Tanah Dramagani Bogor Barat 3. “ PANGERAN MUHAMMAD GADUDA “ mewarisi Tanah Tjitajam Depok 4. “ SARONG dan ALHA , Nurul kakaknya di Tjitajam. Keterangan : Tanda + adalah telah meninggal tanpa keterangan.

Salinan sesuai dengan yang aslinya oleh :

Konflik dengan Inggris

Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Britania dan Belanda. demi menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa berniat menguasai Palembang. Awal mula penjajahan bangsa Eropa ditandai dengan penempatan Loji (kantor dagang). Di Palembang, loji pertama Belanda dibangun di Sungai Aur (10 Ulu).

Orang Eropa pertama yang dihadapi Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) adalah Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles tahu persis tabiat Sultan Palembang ini. Karena itu, Raffles sangat menaruh hormat di samping ada kekhawatiran sebagaimana tertuang dalam laporan kepada atasannya, Lord Minto, tanggal 15 Desember 1810:

Sultan Palembang adalah salah seorang pangeran Melayu yang terkaya dan benar apa yang dikatakan bahwa gudangnya penuh dengan dollar dan emas yang telah ditimbun oleh para leluhurnya. Saya anggap inilah yang merupakan satu pokok yang penting untuk menghalangi Daendels memanfaatkan pengadaan sumber yang besar tersebut.

Lo Bersamaan dengan adanya kontak antara Britania dan Palembang, hal yang sama juga dilakukan Belanda. Dalam hal ini, melalui utusannya, Raffles berusaha membujuk SMB II untuk mengusir Belanda dari Palembang (surat Raffles tanggal 3 Maret 1811).

Dengan bijaksana, SMB II membalas surat Raffles yang intinya mengatakan bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam permusuhan antara Britania dan Belanda, serta tidak ada niatan bekerja sama dengan Belanda. Namun akhirnya terjalin kerja sama Britania-Palembang, di mana pihak Palembang lebih diuntungkan.

Pada tanggal 14 September 1811 terjadi peristiwa pembumihangusan dan pembantaian di loji Sungai Alur. Belanda menuduh Britanialah yang memprovokasi Palembang agar mengusir Belanda. Sebaliknya, Britania cuci tangan, bahkan langsung menuduh SMB II yang berinisiatif melakukannya.

Raffles terpojok dengan peristiwa loji Sungai Aur, tetapi masih berharap dapat berunding dengan SMB II dan mendapatkan Bangka sebagai kompensasi kepada Britania. Harapan Raffles ini tentu saja ditolak SMB II. Akibatnya, Britania mengirimkan armada perangnya di bawah pimpinan Gillespie dengan alasan menghukum SMB II. Dalam sebuah pertempuran singkat, Palembang berhasil dikuasai dan SMB II menyingkir ke Muara Rawas, jauh di hulu Sungai Musi.

Setelah berhasil menduduki Palembang, Britania merasa perlu mengangkat penguasa boneka yang baru. Setelah menandatangani perjanjian dengan syarat-syarat yang menguntungkan Britania, tanggal 14 Mei 1812 Pangeran Adipati (adik kandung SMB II) diangkat menjadi sultan dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin II atau Husin Diauddin. Pulau Bangka berhasil dikuasai dan namanya diganti menjadi Duke of York's Island.[3] Di Mentok, yang kemudian dinamakan Minto, ditempatkan Kapten Robert Meares dari kesatuan 17th Native Infantry of East India Company[4] sebagai residen.

Meares berambisi menangkap SMB II yang telah membuat kubu di Muara Rawas. Pada 28 Agustus 1812 ia membawa pasukan dan persenjataan yang diangkut dengan perahu untuk menyerbu Muara Rawas. Dalam sebuah pertempuran di Buay Langu, Meares tertembak dan akhirnya tewas setelah dibawa kembali ke Bangka.[4] Kedudukannya digantikan oleh Mayor Robison.

Belajar dari pengalaman Meares, Robison mau berdamai dengan SMB II. Melalui serangkaian perundingan, SMB II kembali ke Palembang dan naik takhta kembali pada 13 Juli 1813 hingga dilengserkan kembali pada Agustus 1813. Sementara itu, Robison dipecat dan ditahan Raffles karena mandat yang diberikannya tidak sesuai.

Konflik dengan Belanda

 
Makam Sultan Mahmud Badaruddin II di Ternate

Konvensi London 13 Agustus 1814 membuat Britania menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan sejak Januari 1803. Kebijakan ini tidak menyenangkan Raffles karena harus menyerahkan Palembang kepada Belanda. Serah terima terjadi pada 19 Agustus 1816 setelah tertunda dua tahun, itu pun setelah Raffles digantikan oleh John Fendall.

Belanda kemudian mengangkat Herman Warner Muntinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah mendamaikan kedua sultan, SMB II dan Ahmad Najamuddin II. Tindakannya berhasil, SMB II berhasil naik takhta kembali pada 7 Juni 1818. Sementara itu, Ahmad Najamuddin II yang pernah bersekutu dengan Britania berhasil dibujuk oleh Muntinghe ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Cianjur.

Pada dasarnya pemerintah kolonial Belanda tidak percaya kepada raja-raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajakan ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang dengan alasan inspeksi dan inventarisasi daerah. Ternyata di daerah Muara Rawas ia dan pasukannya diserang pengikut SMB II yang masih setia. Sekembalinya ke Palembang, ia menuntut agar Putra Mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai jaminan kesetiaan sultan kepada Belanda. Bertepatan dengan habisnya waktu ultimatum Mutinghe untuk penyerahan Putra Mahkota, SMB mulai menyerang Belanda

Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng (dari kata Muntinghe) pecah pada tanggal 12 Juni 1819. Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, di mana korban terbanyak ada pada pihak Belanda. Pertempuran berlanjut hingga keesokan hari, tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus, sampai akhirnya Muntinghe kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan.

Belanda tidak menerima kenyataan itu. Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen merundingkannya dengan Laksamana Constantijn Johan Wolterbeek dan Mayjen Hendrik Merkus de Kock dan diputuskan mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan dilipatgandakan. Tujuannya melengserkan dan menghukum SMB II, kemudian mengangkat keponakannya (Pangeran Jayaningrat) sebagai penggantinya.

SMB II telah memperhitungkan akan ada serangan balik. Karena itu, ia menyiapkan sistem perbentengan yang tangguh. Di beberapa tempat di Sungai Musi, sebelum masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan yang dikomandani keluarga sultan. Kelak, benteng-benteng ini sangat berperan dalam pertahanan Palembang.

Pertempuran sungai dimulai pada tanggal 21 Oktober 1819 oleh Belanda dengan tembakan atas perintah Wolterbeek. Serangan ini disambut dengan tembakan-tembakan meriam dari tepi Musi. Pertempuran baru berlangsung satu hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan dan akhirnya kembali ke Batavia pada 30 Oktober 1819.

SMB II masih memperhitungkan dan mempersiapkan diri akan adanya serangan balasan. Persiapan pertama adalah restrukturisasi dalam pemerintahan. Putra Mahkota, Pangeran Ratu, pada Desember 1819 diangkat sebagai sultan dengan gelar Pangeran Ratu Muhamad Tjing Djamaludin. SMB II lengser dan bergelar susuhunan. Penanggung jawab benteng-benteng dirotasi, tetapi masih dalam lingkungan keluarga sultan.

Setelah melalui penggarapan bangsawan (Ahmad Najamuddin II yang kini bergelar Susuhunan Husin Diauddin beserta putranya Prabu Anom yang kelak menjadi Sultan Ahmad Najamuddin IV) dan orang Arab Palembang melalui pekerjaan spionase, dan tempat tempat pertahanan disepanjang sungai musi sudah diketahui oleh belanda serta persiapan angkatan perang yang kuat, Belanda datang ke Palembang dengan kekuatan yang lebih besar. Tanggal 16 Mei 1821 armada Belanda sudah memasuki perairan Musi. Kontak senjata pertama terjadi pada 11 Juni 1821 hingga menghebatnya pertempuran pada 20 Juni 1821. Pada pertempuran 20 Juni ini, sekali lagi, Belanda mengalami kekalahan. De Kock tidak memutuskan untuk kembali ke Batavia, melainkan mengatur strategi penyerangan.

Bulan Juni 1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Hari Jumat dan Minggu dimanfaatkan oleh dua pihak yang bertikai untuk beribadah. De Kock memanfaatkan kesempatan ini. Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerang pada hari Jumat dengan harapan SMB II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu dini hari Minggu 24 Juni, ketika rakyat Palembang sedang makan sahur, Belanda secara tiba-tiba menyerang Palembang.

Serangan dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira pada hari Minggu orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada 1 Juli 1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah kolonialisme Hindia Belanda di Palembang.

Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam tanggal 3 Syawal, SMB II beserta sebagian keluarganya menaiki kapal Dageraad pada tanggal 4 syawal dengan tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke Pulau Ternate sampai akhir hayatnya 26 September 1852. Sebagian Keluarga Sultan karena tidak mau ditangkap, mengasingkan diri ke daerah Marga Sembilan yang di kenal sekarang sebagai Kabupaten Ogan Komering Ilir dan berasimilasi dengan penduduk di Desa yang dilewati Mulai dari Pampangan sampai ke Marga Selapan Kecamatan Tulung Selapan Panglima Radja Batu Api sampai meninggal disemayamkan Di Tulung Selapan. ( selama 35 tahun tinggal di Ternate dan sketsa tempat tinggal Sri Paduka Susuhunan Ratu Mahmud Badaruddin / SMB II disimpan oleh Sultan Mahmud Badaruddin III Prabu Diradja).

Pranala luar

Didahului oleh:
Sultan Muhammad Bahauddin
Sultan Palembang
1803-1812, 1813, dan 1818-1821
Diteruskan oleh:
Pangeran Ratu Muhamad Tjing Djamaludin (1813-1818)
bergelar Pangeran Achmad Bolonson Wangsa Martaradja Wijaya Negara (1819-1821)

Referensi

  1. ^ Tim Penulis. "Pahlawan Indonesia". Media Pusindo. ISBN: 978 979 1481 60 1]
  2. ^ Elizabeth T. Gurning, Amurwani Dwi Lestariningsih. 2000. "Bumi Sriwijaya". Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional
  3. ^ The Asiatic Journal and Monthly Miscellany,Volume 7.Wm.p319. H. Allen & Company(1819)
  4. ^ a b The Gentleman's Magazine, and Historical Chronicle, Volume 83, Part 1, page 660. E. Cave, 1813

[[Pangeran Achmad Bolonson