Residivis
Hukum Umum |
---|
Residivis atau recidive merupakan istilah dalam hukum pidana.[1] Istilah ini dipakai terhadap jenis kejahatan yang tidak dapat dihentikan namun hanya dapat dicegah.[2] Pengertian residivis merujuk kepada kambuhnya perilaku kriminal seseorang. Artinya, perilaku kriminal itu diulang untuk kedua kalinya, atau bahkan dilakukan secara berulang. Hal itu meliputi berbagai akibat, seperti penghukuman kembali, penangkapan kembali, pemenjaraan kembali, dan lainnya.[3]
Adapun orang yang melakukan kriminal secara berulang itu juga disebut dengan kata yang sama, yaitu residivis (contoh: residivis kasus pencurian, yang berarti ia telah melakukan pencurian secara berulang).[4] Sebelum disebut sebagai residivis, ia terlebih dahulu telah dinyatakan sebagai narapidana atau telah selesai menjalani hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya.[5] Sementara perbuatannya itu disebut residivisme.[6]
Residivis ini dijumpai karena seseorang tak pernah jera dengan hukuman yang diberikan kepadanya terhadap perbuatan (kejahatan) yang telah diperbuatnya. Bagi ia yang melakukan perbuatan pidana lagi setelah menjalani hukuman pidana, makan hukuman selanjutnya yang ia jalani terhadap perbuatan tersebut akan lebih berat.[7]
Definisi
Kata residivis beradal dari bahasa Prancis, yaitu recidive. Kata itu diadopsi dari dua kata latin, yaitu re yang berarti lagi dan co atau cado yang berarti jatuh. Sehingga dalam penyerapannya, residivis berarti berulang (kejahatan atau yang dilakukan secara berulang).[8] Residivis adalah tindakan seseorang mengulangi perilaku yang tidak diinginkan setelah mereka mengalami konsekuensi negatif (hukuman) dari perilakunya tersebut. Residivis juga merujuk kepada presentase seorang mantan narapidana yang ditangkap kembali karena pelanggaran serupa yang dilakukannya lagi.[9]
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo memberikan pengertian bahwa residivis adalah tindakan seorang narapidan yang kembali melakukan perbuatan pidana setelah ia dijatuhi hukuman pidana oleh hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah akibat dari perbuatan pidana yang dilakukan sebelumnya. Ia yang acap kali mengulangi perbuatan pidana dan sebelumnya telah dijatuhi hukuman maka disebut sebagai residivis. Jika tindakannya menunjukkan kelakuan mengulangi perbuatan pidana, maka residivis menunjuk kepada orang yang mengulangi perbuatan pidana.[8] Donald Cleamer memberikan pernyataan bahwa semakin lama seseorang yang merupakan narapidana menjalani hukum pidana, maka orang tersebut menjadi terprisonisasi.[7]
Indonesia
Di Indonesia, istilah lainnya bagi orang yang melakukan tindak pidana secara berulang itu disebut sebagai penjahat kambuhan.[10] Istilah lainnya lagi untuk pelaku residivis ini adalah bromocorah. Dikenalkan oleh Andi Hamzah dalam bukunya "Terminologi Hukum Pidana" yang memeberikan memberi makna bromocorah sebagai orang yang mengulangi delik dalam jangka waktu yang ditentukan undang-undang. Misalnya, perbuatan melakukan delik lagi dalam jangka waktu 12 tahun sejak putusan hakim yang berkekuatan hukum yang tetap atau sejak pidana dijalani seluruhnya, atau sebagainya.[8] Istilah ini pun diviralkan oleh Iwan Fals lewat lagu-lagunya.[11]
Pengertian residivis di Indonesia sendiri diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).[12] Namun, KUHP tidak mengatur secara khusus terkait pengulangan tindak pidana, KUHP hanya mengatur secara terbatas. aturan terkait pengulangan tindak pidana ini di dalam KUHP tepatnya diatur pada Buku Kedua tentang Kejahatan, BAB XXXI yang memuat tentang Pengulangan Kejahatan yang Bersangkutan, Pasal 486 hingga Pasal 488. Dalam KUHP tersebut, terdapat sejumlah kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai residivis jika dilakukan secara berulang.[13]
Residivis adalah pengulangan dari suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang sama dari tindak pidana sebelumnya ataupun tindak pidana lainnya yang telah dijatuhi hukuman dan inkrah atau memiliki kekuatan hukum tetap, serta pengulangan yang terjadi dalam jangka waktu tertentu, dan memenuhu syarat tertentu yang telah ditetapkan.[7]
Di dalam KUHP, seseorang dapat dikatakan residivis jika melanggar Pasal 127, 204 Ayat (1), 244 sampai 248, 253 sampai 260 bis, 263, 264, 266 sampai 268, 274, 362, 363, 365 Ayat (1), (2) dan (3), 368 Ayat (1) dan (2) sepanjang pasal itu tidak ditunjuk kepada Ayat (1) dan (2) Pasal 365, Pasal 369, 372, 375, 378, 380, 381 sampai 383, 385 sampai 388, 397, 399, 400, 402, 415, 417, 425, 432 ayat penghabisan, 452, 466, 480, dan 481.[14]
Selain itu, juga dengan pidana penjara rentang waktu tertentu yang diancam menurut Pasal 204 Ayat (2), 365 Ayat (4) dan 368 Ayat (2), selama pasal itu ditunjuk kepada ayat keempat Pasal 365, dapat ditambah dengan sepertiga, jika yang dihukum kerena perbuatannya melanggar hukum atau melakukan tindak pidana belum lewat masa hukuman lima tahun sejak menjalani hukuman tersebut, baik karena salah satu kejahatan yang diatur dalam pasal tersebut maupun karena salah satu kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam salah satu dari Pasal 140 sampai 143, 145 sampai 149, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara, atau sejak pidana tersebut terhadapnya sama sekali telah dihapuskan atau saat narapidana tersebut melakukan kejahatan hukumannya belum daluarsa.[15]
Pembagian residivis
Secara umum residivis dibagi menjadi dua kategori, yaitu residivis umum (Algemeene recidive) dan residivis khusus(Speciale Recidive).[8] Residivis umum merupakan perbuatan pidana yang dilakukan secara berulang namun kejahatan yang dilakukannya tidak sama. Di dalam KUHP, diartur dalam Pasal 486 sampai dengan Pasal 488 KUHP. Sementaram, residivis khusus merupakan perbuatan pidana sama yang dilakukan dengan perbuatan pidana yang sebelumnya ia lakukan. Di dalam KUHP seperti yang diatur dalam Pasal 489 Ayat (2), 495 Ayat (2), 512 Ayat (3) dan seterusnya.
Berdasarkan cangkupannya, residivis dapat diartikan secara sempit dan luar. Dalam artian sempit, residivis dilekatkan bagi narapidana yang melakukan perbuatan pidana yang sama dan telah menjalani hukuman tertentu dan mengulangi perbuatan yang sama dalam rentang waktu tertentu. Dalam artian luas. residivis diartikan bahwa seseorang melakukan perbuatan pidana tanpa disertai dengan penjatuhan hukum yang inkrah.[7]
Syarat residivis
Seorang narapidana yang melakukan perbuatan pidana untuk kedua kalinya tak semata-mata disebut sebagai residivis. Terdapat sejumlah syarat jika narapidana tersebut dikataka sebagai residivis:
- Pelakunya adalah orang yang sama
- Mengulangi tindak pidana setelah dijatuhi hukuman berkekuatan hukum tentap oleh hakim
- Telah selesai menjalani hukuman
- Melakukan perbuatan pidana itu dalam rentang waktu tertentiu
- Melakukan perbuatan pidana yang sama atau sejenis.[16]
Pemberatan bagi residivis
Pengulangan perbuatan pidana oleh seseorang yang telah menjalani hukuman pidana yang inkrah akibat perbuatannya akan berakibat kepada pemberatan hukuman terhadapnya.[17] Beberapa pemberatanya sebagaimana yang diatu dalam hukum positif di Indonesia adalah:
- Pemberatan hukum pidana sepertiga dari hukuman pokok.
- Penggandaan hukuman seperti bagi mereka yang melanggar Pasal 439 tentang membeli seragam militer tanpa izin.
- Penambahan dengan pidana tambahan seperti tertuang dalam Pasal 453 yaotu dikirim ke institusi kerja negara, dan Pasal 113 tentang pencabutan hak-hak tertentu.
- Pengubahan jenis pidana, seperti dari Pasal 426 ke 453 yaitu dari denda ke kurungan.[17]
Tujuan dari pemberatan ini adalah agar ia yang melakukan perbuatan pidana tersebut dapat jera. Sehingga, semakin seriang ia melakukan perbuatan pidana, hukumannya semakin diperberat.
Angka residivisme
Per Februari 2020, angka residivisme di Indonesia sebesar 18,12 persen dari total keseluruhan mantan narapidana yang telah dibina di Lembaga Pemasyarakat (Lapas) di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang mencapai total 268.001 narapidana. Angka tersebut masih berada pada angka normal dari tingkat residivisme global antara 14 - 45 persen.[18]
Amerika Serikat
Berdasarkan catatan pada April 2011 oleh Pew Center on the States, rata-rata tingkat residivisme di Amerika Serikat untuk tahanan yang dibebaskan adalah 43 persen.[19] Menurut National Institute of Justice, hampir 44 persen dari yang baru saja dibebaskan setelah menjalani hukuman kembali melakukan perbuatan pidana. Sekitar 68 persen dari 405.000 tahanan yang dibebaskan di 30 negara bagian pada tahun 2005 ditangkap karena kejahatan baru dalam waktu tiga tahun setelah mereka dibebaskan dari penjara, dan 77 persen ditangkap dalam waktu lima tahun, dan pada tahun kesembilan jumlah itu mencapai 83 persen.[20]
Mulai tahun 1990-an, tingkat penahanan AS meningkat secara dramatis, mengisi penjara dengan kapasitas dalam kondisi buruk bagi narapidana. Kejahatan berlanjut di dalam banyak tembok penjara. Geng ada di dalam, seringkali dengan keputusan taktis yang dibuat oleh para pemimpin yang dipenjara. Sementara sistem peradilan AS secara tradisional memfokuskan upayanya di ujung depan sistem, dengan mengunci orang, ia tidak mengerahkan upaya yang sama di ujung belakang sistem: mengurangi kemungkinan pelanggaran kembali di antara orang-orang yang sebelumnya dipenjara. Ini adalah masalah yang signifikan karena sembilan puluh lima persen narapidana akan dibebaskan kembali ke masyarakat di beberapa titik.[21]
Sebuah studi biaya yang dilakukan oleh Vera Institute of Justice, sebuah organisasi nirlaba yang berkomitmen untuk dekarserasi di Amerika Serikat, menemukan bahwa rata-rata biaya pemenjaraan per narapidana di antara 40 negara bagian yang disurvei adalah 31.286 dolar per tahun. Menurut sebuah studi nasional yang diterbitkan pada tahun 2003 oleh The Urban Institute, dalam waktu tiga tahun hampir 7 dari 10 pria yang dibebaskan akan ditangkap kembali dan setengahnya akan kembali ke penjara. Studi tersebut mengatakan ini terjadi karena karakteristik pribadi dan situasi, termasuk lingkungan sosial individu dari teman sebaya, keluarga, komunitas, dan kebijakan tingkat negara bagian.[22]
Faktor penyebab
Ada banyak faktor lain dalam residivisme, seperti keadaan individu sebelum penahanan, peristiwa selama penahanan mereka, dan periode setelah mereka dibebaskan dari penjara, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Salah satu alasan utama mengapa mereka kembali ke penjara adalah karena sulit bagi individu untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan 'normal'. Mereka harus membangun kembali ikatan dengan keluarga mereka, kembali ke tempat-tempat berisiko tinggi dan mengamankan identifikasi formal; mereka sering memiliki riwayat kerja yang buruk dan sekarang memiliki catatan kriminal yang harus ditangani. Banyak tahanan melaporkan cemas tentang pembebasan mereka; mereka bersemangat tentang bagaimana hidup mereka akan berbeda "kali ini" yang tidak selalu berakhir seperti itu.[23]
Residivis kasus narkoba
Residivis narkoba merupakan paling banyak di AS. Dari narapidana federal AS pada tahun 2010 sekitar setengah (51 persen) menjalani hukuman karena pelanggaran narkoba.[24] Diperkirakan tiga perempat dari mereka yang kembali ke penjara memiliki riwayat penggunaan narkoba. Lebih dari 70 persen tahanan yang sakit jiwa di Amerika Serikat juga memiliki gangguan penggunaan zat. Namun demikian, hanya 7 hingga 17 persen narapidana yang memenuhi kriteria DSM untuk gangguan penggunaan zat yang menerima perawatan.[25]
Tingkat Residivis
Norwegia menjadi negara yang salah satu tingkat residivisme terendah di dunia, yaitu sebesar 20 persen.[26] Penjara di Norwegia dan sistem peradilan pidana Norwegia berfokus pada keadilan restoratif dan rehabilitasi narapidana daripada hukuman.[26] Selain Norwegia, negara lainnya yang memiliki tingkat kejahatan terandah adalah Swiss, Korea Selatan, Singapura, Jepang, Hongkong, Taiwan, Arab, Qatar, Denmark, dan Austria.[27]
Referensi
- ^ Ani Mardatila (17 Desember 2020). "Residivis adalah Orang yang Pernah Dihukum, Begini Penjelasannya". Merdeka.com. Diakses tanggal 10 Desember 2021.
- ^ La Patuju; Sakticakra Salimin Afamery (Desember 2016). "RESIDIVIS DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM". Hukum Volkgeist. 1 (1): 103.
- ^ Maslihah, Imaduddin Hamzah, Ali Muhammad, Maki Zaenudin Subarkah,Tamyis Ade Rama,Muhammad Arief Agus, Aji Darma Agus Awibowo, Yusuf Nur Arifin Trisnoputro, Sri (10 Desember 2020). Psikologi Penjara : Penerapan Psikologi dalam Proses Pemasyarakatan. Jombang: Ainun media. hlm. 20–21. ISBN 978-623-6811-16-0.
- ^ Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili (21 Juni 2021). Fiqih Islam wa Adilatuhu Jilid 7: Sistem Ekonomi Islam; Pasar Keuangan; Hukum Hadd Zina; Qadzf; Pencurian. Depok: Gema Insani. hlm. 152. ISBN 978-602-250-890-8.
- ^ Muhammad Mustofa (1 Januari 2015). Metodologi Penelitian Kriminologi. Jakarta: Prenada Media. hlm. 143. ISBN 978-602-9413-74-8.
- ^ "Arti kata residivisme - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online". kbbi.web.id. Diakses tanggal 10 Desember 2021.
- ^ a b c d Ni Made Wahyuni Paramitha; I Ketut Sukadana; Ni Made Sukaryati Karma (2021). "Pemberatan Hukuman Terhadap Residivis (Studi Kasus Putusan Perkara Nomor 50/Pid.B/2018/PN.Tab)". Jurnal Analogi Hukum. 3 (1): 85. line feed character di
|title=
pada posisi 51 (bantuan) - ^ a b c d Prianter Jaya Hairi (1 November 2018). "Konsep dan Pembaruan Residivisme dalam Hukum Pidana di Indonesia Concept and Reform of Recidivism in Criminal Law in Indonesia". Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI. 9 (2): 202.
- ^ M Najibuddin (Mei 2014). "Persepsi Masyarakat Terhadap Mantan Narapidana di Desa" (PDF). Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan. 4 (7).
- ^ "Apa itu Residivis?". Law Firm Jakarta - Konsultan Hukum Pengacara Perusahaan. 18 Oktober 2021. Diakses tanggal 10 Desember 2021.
- ^ Vitorio Mantalean (18 Desember 2019). "Bromocorah yang Bertaubat Itu Bernama Man Rambo, Luka di Tubuhnya Jadi Saksi (Bagian 1) Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 10 Desember 2021.
- ^ Remmelink, J. (1 Juni 2014). Pengantar Hukum Pidana Material 1: Prolegomena dan Uraian tentang Teori Ajaran Dasar. Yogyakarta: Maharsa Publishing. hlm. 76. ISBN 978-602-70861-0-4.
- ^ Monang Siahaan (16 Juni 2015). KPK dan POLRI Bersatulah Memberantas Korupsi. Jakarta: Elex Media Komputindo. hlm. 4. ISBN 978-602-02-6460-8.
- ^ Lordamanu Bolqi (22 Juli 2019). "Sanksi Untuk Mereka Yang Mengulangi Melakukan Tindak Pidana". Doktorhukum.com. Diakses tanggal 22 Desember 2021.
- ^ Nur Hariandi Tusni (19 April 2020). "Hukuman Bagi Residivis yang mengulangi kejahatannya". gresnews.com. Diakses tanggal 22 Desember 2021.
- ^ M.H, Dr HANDRAWAN, S. H. (18 Oktober 2019). PENCABUTAN HAK POLITIK DALAM PEMIDANAAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Media Sahabat Cendekia. hlm. 277. ISBN 978-623-90984-9-0.
- ^ a b Remmelink, J. (1 Januari 2017). Pengantar Hukum Pidana Material 3: Hukum Penitensier. Maharsa Publishing. hlm. 210. ISBN 978-602-0893-30-3.
- ^ Taufik Rahadian (6 Mei 2020). "Yasonna soal Napi yang Dibebaskan Berulah Lagi: Residivisme di Indonesia Rendah". kumparan. Diakses tanggal 22 Desember 2021.
- ^ Public Safety Performance Project, State of Recidivism: The Revolving Door of America’s Prisons, The Pew Center on the States (April 2011), "Archived copy" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2014-06-11. Diakses tanggal 23 Desember 2021. .
- ^ "Once a criminal, always a criminal?". CBS News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 Juli 2015. Diakses tanggal 23 Desember 2021.
- ^ Hughes, T. & D .J. Wilson. "Reentry Trends in the United States Error in webarchive template: Check
|url=
value. Empty., Washington, D.C.: U.S. Department of Justice, Bureau of Justice Assistance, 2002. Diakses tanggal 23 Desember 2021. - ^ Hyperakt (2 Juni 2020). "Vera Institute". Vera (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 3 Juni 2021.
- ^ Visher, Christy A. 2003. "Transitions From Prison To Community: Understanding Individual Pathways". The Urban Institute, Justice Policy Center, Washington, District of Columbia.
- ^ Guerino, Paul; Harrison, Paige M.; Sabol, William J. (2011). "Prisoners in 2010" (PDF). Washington, D.C.: U.S. Department of Justice, Bureau of Justice Statistics. NCJ 236096. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 8 Juni 2015. Diakses tanggal 23 Desember 2021.
- ^ "Treating Offenders with Drug Problems: Integrating Public Health and Public Safety" (PDF). Bethesda, Maryland: National Institute on Drug Abuse. 2009. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 21 April 2013. Diakses tanggal 23 Desember 2021.
- ^ a b Sterbenz, Christina (11 December 2014). "Why Norway's prison system is so successful". Business Insider. Diakses tanggal 23 Desember 2021.
- ^ Arie Mega Prastiwi (2016-12-18). "10 Negara dengan Angka Kriminal Terendah, Indonesia?". liputan6.com. Diakses tanggal 2021-12-23.