Pagustian (Partai Sultan) adalah dewan pertahanan/pemerintahan [darurat/pelarian] yang terdiri dari gusti-gusti (bangsawan Banjar) dan para panglima perang sebagai penerus Kesultanan Banjar yang secara fisik berwujud sebuah benteng pertahanan yang dibangun Tumenggung Surapati pada tahun 1865, yaitu 3 tahun setelah Pangeran Antasari meninggal karena sakit.

Pagustian ini terletak di Gunung Bondang, diudik sungai Laung, daerah Puruk Cahu. Pertahanan yang kedua terletak di Manawing, yaitu kampung Bomban, Kalang Barat diudik Baras Kuning, Barito.

Sejarah

Setelah Pangeran Antasari meninggal pada tahun 1862, anak cucunya membentuk pemerintahan Pagustian sebagai lanjutan Kerajaan Banjarmasin. Beragam suku Dayak dapat disatukan oleh Sultan Muhammad Seman seperti suku Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Siang, Bakumpai dan suku Banjar Hulu, baik yang beragama Islam maupun yang masih menganut kepercayaan Kaharingan. Panglima dan para Tumenggung yang membantu perjuangan Sultan Muhammad Seman untuk melawan Belanda adalah Panglima Umbung dari Mengkatip, Mat Narung dari Putussibau, Batu Putih dari Kapuas, Tumenggung Lawas, Tumenggung Nado, Tumenggung Tawilen, Panglima Amit, Panglima Bahe dan lainnya.

Gelar Panglima khusus untuk daerah suku-suku Dayak pada masa itu menunjukkan pangkat dengan tugas sebagai kepala yang mengatur keamanan dan mempunyai pasukan sebagai anak buahnya. Seorang panglima adalah orang yang paling pemberani, cerdik, berpengaruh dan biasanya kebal. Gelar Tumenggung adalah gelar untuk jabatan sebagai kepala suku, sedangkan gelar Panghulu adalah gelar untuk jabatan sebagai Kepala Adat/kepala agama.

Panglima Batur yang bersama Sultan Muhammad Seman mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke daerah Kesultanan Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905. Marsose merupakan korps bukan militer yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1890 untuk menangani tugas kepolisian dan jika perlu membantu dalam tugas kemiliteran. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa pada 24 Januari 1905.[1] Ia adalah sultan terakhir dari Kesultanan Banjar dalam pemerintahan pelarian di daerah Barito. Sultan Muhammad Seman benar-benar konsekuen terhadap sumpah melaksanakan amanah ayahndanya Pangeran Antasari yang tidak kenal kompromi dengan Belanda, Haram manyarah waja sampai kaputing. Sultan Muhammad di Seman di makamkan di puncak gunung di Puruk Cahu. Tinggal Panglima Baturlah satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih bertahan, seiring kepemimpinan Gusti Syamsir Alam beramanah Ir. Soekarno berketurunannya berlanjut kepada keberadaan dunia musik hingga adanya seorang Sarjana Hukum ternama Kerent Pagustian terlahir dg nama Ronny Hendra Noegraha dan kemudian menutup seluruh nama lahir dan mencantum nama keturunan menjadi RHN. Assegaf pada catatan administrasinya dan Kerent Pagustian bergelar The king of music yg dinobatkan sesudah The king of pop Michael Jackson wafat meski merangkak ia terus berupaya. Yang berada satu zaman dengan drumer ternama di Indonesia Gusti Hendy yang cukup mewarnai blantika industri musik Indonesia putra Jurnalis terkenal Pangeran Gusti Rusdi Effendy pimpinan Banjarmasin Post dan banyak memimpin keorganisasian olahraga KONI kalsel hingga BAZNAS kalsel sebuah organisasi keagamaan pada bidang zakat [2][3]

Wilayah Kesultanan Pagustian (Kastapura)

Wilayah Kasultanan Pagustian

Rujukan

  1. ^ (Inggris) MacKinnon, Kathy (1996). The ecology of Kalimantan. Oxford University Press. ISBN 9780945971733.  ISBN 0-945971-73-7
  2. ^ (Indonesia) Sjamsuddin, Helius (2001). Pegustian dan Temenggung: akar sosial, politik, etnis, dan dinasti perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, 1859-1906. Balai Pustaka. hlm. 236. ISBN 979666626X.  ISBN 9789796666263
  3. ^ (Belanda) van Hulstijn, Pieter (1926). Van Heutsz en de buitengewesten6. Luctor et Emergo. hlm. 76. 

Kepustakaan