Penyakit mulut dan kuku
Penyakit mulut dan kuku (biasa disingkat PMK; bahasa Inggris: foot-and-mouth disease, disingkat FMD) adalah penyakit hewan yang sangat menular akibat infeksi virus penyakit mulut dan kuku (FMDV). Penyakit ini dicirikan oleh luka (berupa lepuh dan/atau erosi) di bagian mulut dan kuku pada hewan berkuku belah, seperti sapi dan babi. Di tingkat internasional, PMK merupakan penyakit hewan lintas batas yang penting karena memiliki dampak ekonomi yang signifikan.
Penyakit mulut dan kuku | |
---|---|
Erosi pada lidah akibat infeksi virus PMK | |
Informasi umum | |
Nama lain | Foot-and-mouth disease (FMD), aphthae epizootica (AE), aphthous fever |
Spesialisasi | Penyakit menular, kedokteran hewan |
Penderita | Terutama pada hewan berkuku belah (Artiodactyla) |
Penyebab | Virus PMK |
Aspek klinis | |
Gejala dan tanda | Lepuh (vesikel) di bagian mulut, hidung, dan di sela kuku |
Awal muncul | 2–14 hari |
Diagnosis | Identifikasi agen: RT-PCR, isolasi virus, ELISA antigen, atau CFT; uji serologis: uji netralisasi virus dan ELISA. |
Kondisi serupa | Stomatitis vesikuler, penyakit vesikuler babi, exanthema vesikuler pada babi, dan infeksi Senecavirus A |
Tata laksana | |
Pencegahan | Vaksinasi |
Hewan rentan
Secara umum, hewan berkuku belah (Artiodactyla) merupakan inang alami virus ini. Sapi, kerbau, babi, kambing, dan domba merupakan hewan domestik yang rentan terinfeksi. Di Afrika, kerbau afrika merupakan hewan yang berperan sebagai reservoir serotipe SAT. Satwa liar juga rentan terhadap infeksi virus, seperti rusa (misalnya rusa bagal,[1] rusa sika, dan kijang),[2] antelop, babi liar, jerapah, dan unta baktria. Selain hewan berkuku belah, virus PMK juga dapat menginfeksi anjing, landak susu, beruang, gajah, armadillo, kanguru, nutria, dan kapibara.[3]
Tanda klinis
Masa inkubasi pada sapi berlangsung 2–14 hari, pada domba 1–12 hari (mayoritas 2–8 hari), dan pada babi biasanya dua hari atau lebih.[4] Hewan yang terinfeksi FMDV menunjukkan tanda klinis yang bervariasi mulai dari ringan hingga berat, tergantung pada spesies hewan, umur hewan, serotipe virus, serta jumlah paparan virus. Babi yang dipelihara secara intensif dan sapi menunjukkan manifestasi klinis yang lebih berat dibandingkan domba dan kambing.[5]
Ciri khas penyakit ini adalah munculnya lepuh (vesikel) dan/atau erosi kulit di bagian hidung, lidah, bibir, di dalam rongga mulut (baik di gusi, langit-langit, maupun pipi bagian dalam), di sela kuku dan lingkaran kuku, serta di puting susu hewan betina. Setelah kulit melepuh, hewan menjadi lemas dan enggan bergerak atau makan. Biasanya, bagian tubuh yang melepuh akan pulih dalam tujuh hari, tetapi komplikasi (misalnya akibat infeksi bakteri) dapat memperpanjang kondisi buruk.[5] Sebagai contoh, luka di kaki lebih rentan terhadap infeksi bakteri yang dapat berujung pada kepincangan kronis, sementara infeksi bakteri di puting susu dapat mengakibatkan mastitis.[6]
Tanda klinis lain yang sering ditemukan yakni demam (sekitar 40 °C), depresi, hipersalivasi (keluarnya air liur secara berlebihan), penurunan nafsu makan, berat badan, dan produksi susu, serta hambatan pertumbuhan. Miositis juga bisa terjadi pada bagian tubuh lainnya. Umumnya, hewan dewasa akan pulih dari tanda klinis dalam 2–3 pekan dan sebagian di antara mereka menjadi pembawa virus. Biasanya, sapi menjadi pembawa virus dalam jangka waktu tidak lebih dari enam bulan. Meskipun demikian, sejumlah sapi dapat membawa virus selama tiga tahun.[3] Hewan-hewan yang terinfeksi secara kronis mengalami penurunan produksi susu; rata-rata sebanyak 80%. Tingkat kematian pada hewan dewasa relatif rendah (1–5%), tetapi pada sapi, domba, dan babi berusia muda cukup tinggi (hingga 20%). Kematian tersebut dapat terjadi, bahkan sebelum munculnya lepuh, akibat miokarditis multifokal.[5][6][7]
Penyebab
Penularan
Pada populasi yang rentan, tingkat penyebaran penyakit ini mencapai 100%.[6] Sumber virus yakni sekresi dan ekskresi dari hewan terinfeksi (baik yang sedang dalam masa inkubasi maupun hewan yang telah menunjukkan tanda klinis). Partikel virus ditemukan pada udara yang dihembuskan hewan terinfeksi, air liur, air susu, urine, tinja, semen, cairan dari vesikel, hingga cairan amnion dari janin domba teraborsi. Virus disebarkan ke lingkungan dalam jumlah tertinggi pada saat vesikel robek dan saat kemunculan sebagian besar tanda klinis. Produk hewan, seperti daging dan kulit, masih mengandung virus jika tidak diberi perlakuan teknis yang tepat. Setelah dikeluarkan dari tubuh hewan, virus dapat menempel ke berbagai benda, termasuk manusia, dan terbawa ke mana-mana. Air dan udara juga dapat menyebarkan virus ke lokasi lain.[8]
Virus PMK masuk ke dalam tubuh hewan peka melalui saluran pernapasan, pencernaan, atau melalui kulit dan membran mukosa yang terluka. Masuknya virus terjadi saat hewan peka mengalami kontak langsung dengan hewan terinfeksi (terutama melalui aerosol) atau dengan benda-benda terkontaminasi (seperti pakaian, sepatu, dan kendaraan). Salah satu rute penularan potensial yaitu ketika babi diberi pakan sampah dapur (swill) yang mengandung virus PMK. Anak sapi yang menyusu pada induknya serta inseminasi buatan menggunakan semen terkontaminasi juga menjadi rute transimisi penyakit.[3]
Penyakit mulut dan kuku tidak menular ke manusia. Meskipun demikian, manusia dapat membawa partikel virus dalam saluran pernapasannya selama 24–48 jam. Untuk mencegah tersebarnya virus, personel yang bekerja pada lembaga penelitian PMK perlu melakukan swakarantina selama 3–5 hari. Selama masa wabah penyakit, masa karantina ini dapat dipersingkat menjadi semalaman setelah personel tersebut mandi secara menyeluruh, berganti pakaian, dan menggunakan ekspektoran.[4] Sebuah artikel ilmiah yang dipublikasikan pada 1997 menyatakan bahwa virus PMK telah diisolasi dari lebih dari 40 orang; serotipe O menjadi serotipe yang paling banyak diisolasi, yang diikuti oleh serotipe C, dan paling jarang serotipe A.[9]
Virologi
Penyakit mulut dan kuku disebabkan oleh virus penyakit mulut dan kuku (FMDV) yang termasuk dalam famili Picornaviridae dan genus Aphthovirus. Virus ini memiliki asam nukleat berupa RNA rantai tunggal dan terdiri atas tujuh serotipe, yaitu A, O, C, Asia1, SAT1 (Southern African Territories 1), SAT2, dan SAT3; masing-masing serotipe berbeda secara imunologis dan tidak memberikan reaksi silang.[3][5]
Diagnosis
Diagnosis banding
Diagnosis banding untuk PMK adalah stomatitis vesikuler, penyakit vesikuler babi, exanthema vesikuler pada babi, dan infeksi Senecavirus A. Keempat penyakit ini tidak bisa dibedakan secara klinis dengan PMK. Penyakit-penyakit lain yang memiliki tanda klinis serupa di antaranya penyakit sampar sapi, diare ganas sapi, rhinotrakeitis sapi infeksius, penyakit lidah biru, penyakit hemoragik epizotik, mamilitis sapi, stomatitis papular sapi, orf, demam kataral malignan, dan penyebab noninfeksius seperti trauma atau melepuh akibat zat kimia.[10]
Pengujian laboratorium
Epitel atau cairan dari vesikel, baik yang belum robek atau sudah robek, merupakan spesimen yang baik untuk mendiagnosis penyakit ini. Darah atau cairan esofagus-faringeal merupakan alternatif lainnya. Identifikasi agen dilakukan dengan reaksi berantai polimerase transkripsi-balik (RT-PCR), isolasi virus, deteksi antigen dengan ELISA, atau uji fiksasi komplemen (CFT). Sementara itu, uji serologis dilakukan dengan uji netralisasi virus dan ELISA.[11]
Pencegahan
Vaksinasi
Pemberian vaksin dapat melindungi hewan dari infeksi virus PMK. Namun, perlindungan vaksin terhadap salah satu serotipe virus tidak melindungi dari serotipe lainnya. Oleh karena itu, serotipe virus PMK yang terdapat di suatu wilayah perlu diketahui sebelum vaksinasi diterapkan di wilayah tersebut. Jenis vaksin yang digunakan adalah vaksin inaktif. Vaksin aktif yang mengandung virus-yang-dilemahkan tidak diperbolehkan karena ada kemungkinan timbulnya virulensi dan penggunaan vaksin aktif dapat menyulitkan deteksi infeksi virus pada hewan yang telah divaksin.[12]
Penanganan
Pengobatan
Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk hewan yang menderita PMK. Meskipun demikian, terapi suportif diberikan di negara yang endemik.[6]
Epidemiologi
Indonesia
Di Indonesia, PMK pertama kali dilaporkan kasusnya di Malang pada tahun 1887 akibat impor sapi dari Belanda. Penyakit ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah Indonesia, seperti Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi; beberapa kalim mengakibatkan wabah. Program vaksinasi massal dimulai pada tahun 1974 sehingga pada periode 1980–1982 tidak ada lagi kasus PMK. Wabah PMK kembali terjadi di Blora, Jawa Tengah pada 1983. Namun, wabah ini dapat dikendalikan dengan vaksinasi. Indonesia mendeklarasikan diri bebas dari PMK pada 1986. Status bebas ini diakui secara internasional oleh OIE pada tahun 1990.[13][14][15]
Pada bulan Mei 2022, wabah PMK dilaporkan di Jawa Timur. Sebanyak 1.247 ternak di Kabupaten Gresik, Lamongan, Sidoarjo, dan Mojokerto terserang penyakit ini.[16][17]
Catatan kaki
- ^ Rhyan, Jack; McCollum, Matthew; Gidlewski, Thomas; Shalev, Moshe; Ward, Gordon; Donahue, Brenda; Arzt, Jonathan; Stenfeldt, Carolina; Mohamed, Fawzi (2020). "Foot-and-Mouth Disease in Experimentally Infected Mule Deer (Odocoileus hemionus)". Journal of Wildlife Diseases. 56 (1): 93–104. ISSN 1943-3700. PMID 31329525.
- ^ Gibbs, E.P.J.; Herniman, K.A.J.; Lawman, M.J.P. (1975). "Studies with foot-and-mouth disease virus in British deer (muntjac and sika)". Journal of Comparative Pathology. 85 (3): 361–366. doi:10.1016/0021-9975(75)90022-5.
- ^ a b c d OIE 2021a, hlm. 1.
- ^ a b OIE 2021a, hlm. 2.
- ^ a b c d "Foot and mouth disease". OIE. Diakses tanggal 6 Mei 2022.
- ^ a b c d Belsham, Graham J.; Botner, Anette; Lohse, Louise (Juli 2021). "Foot-and-Mouth Disease in Animals". MSD Veterinary Manual. Diakses tanggal 8 Mei 2022.
- ^ OIE 2021a, hlm. 3.
- ^ OIE 2021a, hlm. 1-2.
- ^ Bauer, K. (1997). Kaaden, Oskar-Rüger; Czerny, Claus-Peter; Eichhorn, Werner, ed. Foot-and-mouth disease as zoonosis. Vienna: Springer Vienna. hlm. 95–97. doi:10.1007/978-3-7091-6534-8_9. ISBN 978-3-211-83014-7.
- ^ OIE 2021a, hlm. 4.
- ^ OIE 2021a, hlm. 4-5.
- ^ OIE 2021a, hlm. 5-6.
- ^ "Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)". Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 Oktober 2007.
- ^ Dirkeswan 2022, hlm. 1.
- ^ Adjid, R.M.A. (2020). "Penyakit Mulut dan Kuku: Penyakit Hewan Eksotik yang Harus Diwaspadai Masuknya ke Indonesia". Wartazoa. 30 (2): 61. doi:10.14334/wartazoa.v30i2.2490. ISSN 2354-6832.
- ^ "1.247 Ternak Sapi di Jatim Kena Wabah PMK, Kementan Terjunkan Tim dan Uji Lab". Kumparan. 6 Mei 2022. Diakses tanggal 6 Mei 2022.
- ^ "Wabah Penyakit Mulut dan Kuku Menyerang 1.247 Ternak di Jawa Timur". Kompas. 6 Mei 2022. Diakses tanggal 6 Mei 2022.
Daftar pustaka
- Direktorat Kesehatan Hewan (2022), Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia Seri Penyakit Mulut dan Kuku (edisi ke-3.1), Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
- Naipospos, T.S.P.; Suseno, P.P. (November 2017), Cost Benefit Analysis of Maintaining FMD Freedom Status in Indonesia (PDF), Report to the World Organisation for Animal Health.
- Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Januari 2021), Foot and Mouth Disease (PDF), OIE Technical Disease Cards, World Organisation for Animal Health.
- Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (19 Juli 2021), "Chapter 8.8 Infection with Foot and Mouth Disease Virus" (PDF), Terrestrial Animal Health Code, World Organisation for Animal Health.
- Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (2021), "Chapter 3.1.8. Foot and Mouth Disease (Infection with Foot and Mouth Disease Virus)" (PDF), Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals 2021, World Organisation for Animal Health.