Semenanjung Onin

bagian dari semenanjung Bomberai di Papua Barat, Indonesia

Semenanjung Onin adalah sebuah semenanjung yang membentuk wilayah Kabupaten Fakfak di Papua Barat, juga merupakan sebuah rumpun bahasa atau rumpun etnik yang saling memengaruhi antara daratan Papua Barat dengan Kepulauan Maluku.

"Onin" oleh beberapa ahli sejarah dianggap sebagai tempat yang disebut sebagai "Wanin" dalam Naskah Negarakertagama

Ikang sakasanusasanusa Makasar Butun Banggawai Kuni Ggaliyao mwang i [ng] Salaya Sumba Solot Muar muwah tigang i Wandan Ambwan Athawa maloko Ewanin ri Sran ini Timur ning angeka nusatutur.[1]

Salah satu contoh penggunaan Wanin sebagai nama tempat lokal dapat ditemukan di lagu lokal dan puisi lokal Onim di kampung Wersar, Teminabuan sebagai berikut:

Wndindi wdo wska wana Wanin woro are wdo whriak naima afaaf vein eeehhh [2]

Yang artinya: Semoga petir membawa perubahan, sehingga cuaca Wanin (Onin) akan baik-baik saja, sehingga kita bisa berlayar menyeberang ke Wanin (Onin). Artinya nama "Wanin" yang kemudian hari berubah menjadi "Onin" menjadi salah satu nama asli lokal tertua yang mengacu pada wilayah di pulau Papua.

Hubungan lain yang kemungkinan menunjukan hubungan Kondjol/Onim dengan pulau Jawa adalah adanya kepemilikan yang menyerupai Keris dan patung Buddha beserta legenda lokal berupa:

Ada leluhur bernama Onain kabur dari Jawa karena peperangan dari Hindhu-Buddha dan Islam ke Bali. Dia menyimpan Keris dan patung Buddha tersebut dan kabur ke Ternate dan sampai di sore hari. Pada malam hari, orang Onain diterima dengan baik oleh orang Anggiluly dan hari berikutnya mereka membuat rumah bersama untuk masing-masing. Lalu terdapat peperangan lagi sehingga pada orang Anggiluly dan orang Onain kabur ke pulau Papua. Mereka mengetahuinya karena pernah berburu burung cendrawasih. Lalu mereka berpamitan dengan Sultan dan berangkat pada pagi hari, saat malam tiba, mereka kehilangan satu sama yang lainnya karena gelap. Orang Anggiluly pergi ke pulau Ega, dimana mereka menemukan pulau menyerupai huruf 'O' sehingga dinamai Onin. Sedangkan orang Onain pergi ke pulau yang bentuknya menyerupai songkok, sehingga mereka menamakan pulau ini dengan kata dalam bahasa Tidore untuk topi ini yaitu: Kowiai.[Catatan 1][3]

Orang-orang Kondjol/Onim juga mengenal tokoh 'Raja Angguok' dimana ia dianggap berperan aktif dalam penyebaran agama Kristen di Teminabuan, Ayamaru, Aitinyo dan Ayfat. Menurut catatan petugas sipil Belanda, Dumas, di Memorandum for the Afdeeling West Nieuw-Guinea (1911), Angg(u)ok adalah perantara Belanda dengan orang Papua di sungai Kaibus. Banyak beberapa lagu lokal yang menceritakan kisah perjalanan Angg(u)ok sebagai pahlawan dari sungai Kaibus ke sungai Seremuk. Dia orang kuat yang berkuasa atas wilayah pesisir dari Inanwatan sampai Tanjung Sele. Dia juga sukses menangkap budak yang kemudian dijual kepada kerajaan-kerajaan di Onin maupun terkadang kepada kerajaan di Salawati.[4]

Di Semenanjung Onin terdapat tiga kerajaan tradisional, kerajaan Fatagar dengan marga Uswanas, dan kerajaan Atiati dengan marga Kerewaindżai, dan Kerajaan Rumbati, di Rumbati dan sekitarnya dan marga Rajanya adalah Bauw. Pada mulanya pusat-pusat kekuasaan ketiga kerajaan tersebut berdampingan letaknya di ujung barat Semenanjung Onin, tetapi oleh karena peperangan yang timbul antara kerajaan Rumbati di satu pihak melawan kerajaan Fatagar dan kerajaan Atiati pada pihak yang lain pada tahun 1878. Maka kerajaan Fatagar dan kerajaan Atiati memindahkan pusat kekuasaannya ke pulau Ega. Beberapa waktu kemudian terjadi lagi perselisihan antara raja Fatagar dengan raja Atiati, menyebabkan raja Atiati memindahkan pusat kekuasaannya ke suatu tempat di pantai daratan Semenanjung Onin, yang kemudian disebut Atiati, letaknya berseberangan dengan pulau Ega. Sedangkan raja Fatagar oleh karena perselisihan tersebut memindahkan pusat kekuasaannya ke suatu tempat bernama Merapi, terletak di sebelah timur kota Fakfak sekarang.[5]

Di samping tiga kerajaan tersebut di atas ada pula beberapa kerajaan lain yaitu kerajaan-kerajaan yang pada mulanya berada di bawah kekuasaan kerajaan Rumbati, tetapi kemudian berhasil memperoleh pengakuan sebagai kerajaan tersendiri terutama pada masa awal pax neerlandica (1898).

Catatan

  1. ^ Walau sumber menulis Kowiai, kemungkinan Martin Slama dan Jenny Munro tertukar dengan maksud narasumber Pulau Kofiau, sedangkan Kowiai adalah nama suku.

Catatan kaki

  1. ^ Mashad, Dhurorudin. Muslim Papua: Membangung Harmoni Berdasar Sejarah Agama di Bumi Cendrawasih. Pustaka Al-Kautsar. 
  2. ^ Martin Slama and Jenny Munro, ed. (2015). From 'Stone Age' to 'Real Time' Exploring Papuan Temporalities, Mobilities, and Religiosities. Canberra: Australian National University Press. hlm. 110. ISBN 978-1-925022-43-8. 
  3. ^ Martin Slama and Jenny Munro, ed. (2015). From 'Stone Age' to 'Real Time' Exploring Papuan Temporalities, Mobilities, and Religiosities. Canberra: Australian National University Press. hlm. 112. ISBN 978-1-925022-43-8. 
  4. ^ Martin Slama and Jenny Munro, ed. (2015). From 'Stone Age' to 'Real Time' Exploring Papuan Temporalities, Mobilities, and Religiosities. Canberra: Australian National University Press. hlm. 111. ISBN 978-1-925022-43-8. 
  5. ^ Maga, Anwar (2018-02-14). "Kerajaan Atiati Fakfak memiliki raja baru". Antara News Papua. Diakses tanggal 2022-04-30. 
  6. ^ "Mengenal Pertuanan Arguni di Fakfak, Papua Barat, yang Dipimpin oleh Raja". kumparan. 2020-05-26. Diakses tanggal 2022-05-09. 


Pranala luar

  • Video di YouTube TRADISI PETUANAN RAJA ARGUNI KAB FAKFAK MENGANTAR HATIB