Kradenan, Purwoharjo, Banyuwangi

desa di Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi


Kradenan (Hanacaraka:ꦏꦿꦢꦺꦤꦤ꧀, bahasa Jawa: Kradènan) adalah sebuah nama desa di wilayah kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.

Kradenan
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Timur
KabupatenBanyuwangi
KecamatanPurwoharjo
Kode pos
68483
Kode Kemendagri35.10.03.2007 Edit nilai pada Wikidata
Luas8,41 km2
Jumlah penduduk9,627 jiwa
Kepadatan1,102 jiwa/km2

Desa ini termasuk salah satu Desa Tua yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Blambangan. Kepala desa Kradenan, Ki Jalasutra tercatat terlibat dalam Perang Bayu bersama Mas Rempeg / Pangeran Jagapati tahun 1771-1772 melawan VOC.[1]

Pembagian wilayah

Desa ini terdiri dari 5 dusun, yaitu:

  • Dusun Curahpalung
  • Dusun Kaliboyo
  • Dusun Kopen
  • Dusun Krajan
  • Dusun Perangan (dulu bernama Gelintang)


Sejarah

Desa Keradenan, sekarang berubah penyebutan menjadi Kradenan adalah salah satu desa tua yang dihuni penduduk asli Balambangan di daerah paling selatan.

Dalam Babad Tawangalun, diceritakan bahwa Kangjeng Susuhunan Tawangalun (1655-1691) memiliki beberapa anak, diantaranya adalah; Pangeran Senapati Sasranegara (raja 1691), Pangeran Macanagara, Mas Macanapura (raja 1691-1697), dan si bungsu Pangeran Arya Gajah Binarong.

Pangeran Arya Gajah Binarong memiliki putera-puteri diantaranya adalah; Bagus Dalem Prabayeksa. Selanjutnya dalam Babad Bayu disebut bahwa Ki Tulup Watangan menjadi penguasa wilayah Pruwa (Purwo), dan dalam [Suluh Blambangan] disebutkan bahwa Ki Tulup Watangan memiliki anak diantaranya Raden Mas Purawijaya penguasa di Keradenan.

Desa Keradenan saat itu adalah pengembangan dari Distrik/Kemantren Benculuk.

Di Babad Bayu disebutkan juga bahwa Bekel desa Keradenan yang terlibat bersama Mas Rempeg melawan VOC dalam Perang Bayu (1771-1772) adalah Ki Jalasutra alias Ki Jajang Bongkar.

Dia adalah putra dari Raden Purawijaya (penguasa Keradenan), putra dari Bagus Dalem Prabayeksa/Ki Tulup Watangan (penguasa daerah Pruwa), putera dari Arya Gajah Binarong, putera dari Susuhunan Tawangalun.

Raden Purawijaya/Mbah Priangan

Ketika Pangeran Agung Wilis diturunkan dari jabatan Patih, pemerintahan Prabu Jingga Danuningrat menghadapi ketidakpercayaan dari rakyatnya sendiri.

Setelah tersingkir, Pangeran Wong Agung Wilis menyepi di Pasisir Manis (Lampon) yang terletak di pantai selatan dan mendirikan desa Prawingan sebagai Pesanggrahan nya. Keluarga raja dan rakyat mulai mendukung Agung Wilis dan berbondong-bondong untuk bersatu dengan pemimpin yang sangat mereka cintai di tempat menyepi tersebut.

Dalam Babad Wilis dan Babad Tawangalun kita ketahui bahwa setelah melihat kekuatan Agung Wilis semakin besar, pendukungnya disingkirkan satu-persatu. Dan yang pertama disingkirkan adalah Ranggasatata, keponakan raja Mengwi I Gusti Made Munggu. Setelah itu pasukan Mas Bagus Tepasana dikerahkan untuk menggempur desa Pesanggrahan (Pesanggaran) dengan bantuan senjata dari VOC.

Dalam Suluk Balumbung, Pasukan Agung Wilis yang dipimpin oleh Raden Purawijaya (kakak ipar Agung Wilis) bersama; Ki Singagarit dan Ki Balengker, dan ditambah 800 orang prajurit perang tandang (gerak cepat) dari Mengwi yang dipimpin Ki Perangalas dan Wayahan Kotang.

Pasukan Agung Wilis menghadapi musuh. Baru saja pasukan Raden Purawijaya bersama Ki Singagarit dan Ki Balengker menyeberangi Kali Setail, pasukan ini bertemu dengan pasukan musuh.

Disanalah kemudian terjadi peperangan besar dan pasukan Agung Wilis berhasil memenangkannya. Namun kemenangan tersebut harus dibayar mahal dengan gugurnya Raden Purawijaya. Jenazahnya dikebumikan di tempat tersebut.

Selanjutnya, pasukan bergerak ke Kutharaja Balambangan Hamuncar (di Muncar), Prabu Danuningrat, Mas Anom Sutajiwa, dan keluarga mereka berhasil kabur ke Besuki. Setelah pasukan Agung Wilis menduduki Kutharaja Balambangan, dia mengangkat para pejabat baru. Diantaranya adalah Ki Jalasutra sebagai Bekel atau kepala desa Keradenan.

Sejak itu Mas Jalasutra dan keluarganya menetap disana untuk menjaga makam/persemayaman (Para-hyang-an) sang ayah. Dukuh Keradenan kemudian berkembang menjadi Desa Ke-Raden-an, sebagai pengingat dimana Raden Purawijaya dikebumikan dan tempat keluarganya menetap.

Ki Jalasutra dan Perang Bayu

Buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya, demikianlah kata pepatah yang layak dijadikan teladan ketika membaca sejarah Raden Purawijaya dan puteranya Ki Jalasutra. Jika sang ayah gugur dalam membela negara di pihak Agung Wilis, maka sang anak, Ki Jalasutra alias Jajang Bongkar, juga memiliki karakter yang sama.

Hal ini dapat dilihat dalam Perang di Bayu tahun 1771-1772, Ki Jalasutra menorehkan namanya dalam Babad Bayu untuk membela kemerdekaan Kerajaan Blambangan dari penjajahan VOC.

Dalam Perang yang dipimpin Mas Surawijaya, Sayu Wiwit, dan Mas Rempeg Jagapati tersebut Ki Jalasutra terlibat penuh bersama para Bekel yang lain menggerakkan rakyat Kradenan untuk menghadapi pasukan VOC yang dipimpin oleh Residen Letnan CVD. Biesheuvel, Lettu Van Schopoff (wakil Residen), dan Komandan Mayor van Colmond.

Selanjutnya banyak penduduk Balambangan datang ke Bayu dengan membawa senjata masing-masing. Dengan dukungan tersebut, Gunung Bayu (Gunung Raung) berkembang menjadi suatu kekuatan yang tangguh dan kokoh. Mas Rempeg dapat menguasai daerah penghasil beras di seluruh Balambangan.

Perang Bayu terjadi sebanyak delapan kali di; Tegalperangan (Songgon), Tambong, Bayu, Gagenting, Temogoro (Temuguruh) dan Pagambiran (Gambiran), Lateng, kemudian di Bayu lagi (saat terjadi perang tanding antara Mas Rempeg vs Kapten Alap-alap), dan terakhir di Purwo Alas Purwo dan Grajagan.

Diantara perang-perang tersebut, nasib Ki Jalasutra selanjutnya tidak dijelaskan, karena makamnya tidak ada di daerah kekuasaannya di Kradenan. Kemungkinan besar beliau ikut gugur bersama para pemimpin perang Bayu lainnya.

Saat ini di daerah Songgon ada petilasan Jajang Bongkar, nama ini mengingatkan kita pada tokoh sesepuh Kradenan yakni Ki Jajang Bongkar.

Perang Bayu I berakhir ketika Mas Rempeg Jagapati gugur pada tanggal 18 Desember 1771.

Perang bersejarah tersebut dalam buku Belanda di Bumi Blambangan disebutkan menelan kerugian setara 8 ton emas dan kini diabadikan sebagai Hari Jadi Kabupaten Banyuwangi.

Geografi

Sebelah selatan Desa Kradenan berbatasan dengan Desa Purwoharjo dan Desa Sidorejo di seberang Sungai Setail, sebelah timur berbatasan dengan Desa Plampangrejo, sebelah utara berbatasan dengan Desa Tampo dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Sembulung.

Sungai besar yang melewati Desa Kradenan adalah Sungai Setail. Jarak ke ibu kota Kabupaten kurang lebih 1 (satu) jam dan ibu kota provinsi kurang lebih 6 (enam) jam.

Desa Kradenan memiliki sebuah mata air yang disebut Rowo Sumberurip di Dusun Kaliboyo, Desa Kradenan, Kecamatan Purwoharjo, yang pernah popular pada era 1980-an hingga awal 1990-an. Kradenan juga beberapa bukit namun tidak memiliki gunung. Sebagian besar wilayahnya berupa dataran yang digunakan sebagai sawah, kebun, dan perumahan penduduk.


Penduduk

Penduduk desa ini berasal dari suku Osing, suku Jawa dan suku Madura. Karena di Dusun Krajan penduduknya didominasi oleh suku Osing, maka kesenian Osing berkembang pesat di daerah ini. Ada Hadrah Kuntulan, Angklung, Gandrung dan Barongan. Barongan biasanya ditampilkan pada saat penduduk memiliki hajat khitanan. Pelopor kesenian di Desa Kradenan ini adalah Sujoto almarhum yang juga mantan Kepala Desa. Dia memiliki minat yang besar untuk melestarikan kesenian Banyuwangi sejak tahun 80-an sampai akhir hayatnya.

Mayoritas penduduk desa Kradenan adalah petani dengan kepemilikan lahan yang relatif kecil, sisanya adalah pedagang, buruh dan sebagian kecil pegawai negeri sipil.

Ekonomi

Kradenan sekarang tingkat ekonominya sudah mulai berkembang karena sebagian petani merupakan petani modern dan sarana prasaran pengairan sangat mendukung sehingga hasil pertanian sangat membanggakan terutama hasil buah Jeruk dan buah naga.

Pranala luar