Jagapati
Pangeran Jagapati (lahir dengan nama Mas Rempeg, ada juga yang menyebut Rempeg Jagapati; lahir di Pakis (sekarang desa Pakis di Kecamatan Songgon), Blambangan, 1740-an hingga 1750-an - Meninggal di Bayu, Blambangan, 19 Desember 1771) adalah pemimpin perlawanan rakyat Blambangan dalam Perang Bayu.
Kehidupan awal
suntingMas Rempeg adalah putra dari Mas Bagus Puri dan istri selirnya yang berasal dari Pakis, Mas Bagus Puri adalah putra dari Mas Dalem Wiroguno. Silsilahnya merujuk langsung ke Raja Blambangan yang termasyhur yakni "Kangjeng Prabu Tawangalun II" yang merupakan kakek dari Mas Bagus Puri. Mas Bagus Puri adalah putra dari Mas Dalem Wiraguna yang merupakan putra Kangjeng Prabu Tawangalun II dari jalur selir. Mas Bagus Puri juga memiliki beberapa keturunan bersama permaisurinya yakni Mas Suratman, Mas Alit (Temenggung Wiraguna I, Bupati Banyuwangi pertama), Mas Talib (Temenggung Wiraguna II, Bupati Banyuwangi kedua), Mas Ayu Nawangsari, Mas Ayu Rahinten dan Mas Ayu Patih.[1]
Karena berasal dari putri selir, membuatnya tidak tinggal di dalam lingkungan istana melainkan bersama ibunya di Pakis. Selama itu pula ia menjalani hidup seperti orang biasa, bebas menempa diri tanpa proteksi dan pemanjaan kebangsawanan. Maka saat keluarga Mas Bagus Puri bersama putra-putrinya dibawa ke Bangkalan Madura, Mas Rempeg tidak diikutsertaan, karena anak dari jalur selir kala itu dianggap tidak penting.[2]
Mas Rempeg pernah bekerja untuk Bapa Samila sebagai abdi dalem. Bapa Samila seseorang yang memiliki hubungan dekat Temenggung Jaksanegara yang merupakan Regen/Bupati Blambangan Timur yang ditunjuk oleh VOC.[3] Selain itu dalam rangka mempelajari agama, ia berguru kepada seseorang bernama Bapa Rapa.[4]
Karena menjadi orang biasa inilah, Mas Rempeg akrab dengan tindakan VOC yang melakukan patroli ke seluruh pelosok Blambangan untuk menyita bahan makanan, pembakaran bahan makanan yang tidak mampu diangkut VOC, pemaksaan kepada petani untuk menanam padi lalu kemudian setelah panen disita oleh VOC dan perintah kerja paksa kepada rakyat tanpa diberi makanan, menyebabkan para penduduk melarikan diri ke hutan. Sehingga ia tergerak untuk melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Hindia Belanda.
Perang melawan VOC dan Mataram
suntingPerang Bayu
suntingKetika kebijakan VOC sudah sangat menyengsarakan warga, gelombang warga yang melarikan diri semakin besar. Mereka lalu memilih Bayu sebagai tempat berlindung. Begitu juga dengan Mas Rempeg, ia lalu datang ke Bayu bersama seorang bekel (lurah) dari Kutha Lateng.[4]
Ia lalu mengatur strategi untuk menggempur VOC dengan kekuatan pusat di Bayu. Bayu lalu dijadikannya negara dengan membangun benteng yang dipagari batang pohon yang diletakkan rapat-rapat (palisada). Jalur logistik juga disiapkan, seperti lumbung beras di Tomogoro (Temuguruh, Sempu, Banyuwangi) dan Gambiran (Gambiran, Banyuwangi), dan pedagang-pedagang yang menjual bahan makanan yang bersiaga di wilayah Pantai Selatan, tepatnya di Nusa Barung. Selain itu, langkahnya itu didukung oleh para bekel dari 62 desa yang terdiri dari 25 desa di bagian barat, 14 desa di wilayah selatan, 9 desa di wilayah timur dan 2 desa di sebelah utara. Kemudian menyusul dukungan dari 12 bekel lainnya.[5] Para pengikutnya lalu memberi gelar Pangeran Jagapati kepada Mas Rempeg.[6]
Perang Bayu kemudian mulai pecah ketika Temenggung Jaksanegara dan Kertawijaya dengan sejumlah pasukan datang ke Bayu dengan maksud memecah kekuatan yang dipimpin Pangeran Jagapati. Yang terjadi lalu malah sebaliknya, pasukan Jaksanegara dan Kertawijaya malah membelot ke pasukan Pangeran Jagapati dan menyerang kubu Jaksanegara dan Kertawijaya yang menyisakan beberapa orang, akibatnya Mantri Sumadirana yang merupakan pengawal Kertawijaya meninggal tertembak di kepala.[7]
Pada 5 Desember 1771, sejumlah pasukan VOC mulai bergerak ke Bayu. Mereka menyerang Gambiran yang menjadi salah satu basis lumbung pangan bagi pejuang di Bayu. Namun di Gambiran, mereka dihadang oleh para pejuang dan mundur ke Tomogoro dan mendirikan kubu pertahanan disana. Pangeran Jagapati lalu memerintahkan penebangan pohon-pohon untuk menghadang laju pasukan VOC. Pasukan VOC yang lelah dan kehabisan perbekalan lalu menghentikan penyerangan dan mundur ke Ulupangpang.
Pangeran Jagapati lalu terlibat dengan beberapa pertempuran yang dapat dimenangkan lainnya, seperti pada 22 September 1771 saat Residen Cornelis van Bieshuevel mengirim beberapa pasukan yang akhirnya dapat dipukul mundur. Dan pada 13 September hingga 18 Desember 1771 pasukan VOC yang terdiri dari pasukan Eropa dan laskar pribumi dapat dihancurkan di Songgon, meskipun sebelumnya mereka telah menghancurkan lumbung beras di Banjar dan mendirikan blokade pantai di Grajagan.
Kematian
suntingPada saat pertempuran puncak pada 18 Desember 1771. Pangeran Jagapati berduel dengan pemimpin Laskar Sumenep, "Tumenggung Alap-alap". Pangeran Jagapati lalu menusukkan lembingnya ke Temenggung Alap-alap, namun Tumenggung Alap-alap yang sekarat masih sempat menyabetkan parangnya kepada Pangeran Jagapati. Pangeran Jagapati yang terluka lalu dibawa kembali ke benteng.
Dengan luka yang parah, ia masih sempat mengatur strategi perang dan menunjuk "Jagalara" dan "Sayu Wiwit" untuk memimpin pasukan. Esoknya, 19 Desember 1771, perang dimulai lagi dari pagi hingga malam. Dan saat pasukan kembali ke Benteng, Pangeran Jagapati sudah meninggal dunia di pembaringannya.[8]
Referensi
sunting- ^ Babad Tawang Alun (ditulis pada tahun 1826) dalam Winarsih PA, Babad Blambangan, Bentang, Yogyakarta, 1995.
- ^ Pangeran Jagapati dalam Perang Bayu diakses 1 Agustus 2015, 10.51 WIB
- ^ C. C. Lekkerkerker, Balambangan, Indische Gids II, 1932
- ^ a b I Made Sudjana, Nagari Tawon Madu, Larasan-Sejarah, Kuta-Bali, 2001.
- ^ Babad Bayu pupuh vi 11-20
- ^ J.K.J. de Jonge, De Opkomst Van Het Nederlansch Gesag Over Java-XI, ML van Deventer, 1883
- ^ Surat CVD Biesheuvel (Residen) dan Hendrik Schophoff (Wakil Residen) Blambangan kepada Yang Mulia Penguasa di Surabaya tertanggal Ulupampang, 4 Agustus 1771. dalam J.K.J. de Jonge, De Opkomst Van Het Nederlansch Gesag Over Java-XI, ML van Deventer, 1883
- ^ Winarsih PA, Babad Blambangan, Bentang, Yogyakarta, 1995 hal 93-95.