Tragedi Yunani
Tragedi Yunani adalah suatu bentuk seni teater yang lahir dan berkembang pada Abad Kuno di negeri Yunani maupun wilayah bangsa Yunani di Jazirah Anatolia. Tragedi Yunani kian disempurnakan di Atena pada abad ke-5 Pramasehi, sehingga kadang-kadang disebut tragedi Atika.
Banyak pihak meyakini bahwa tragedi Yunani adalah hasil pengembangan upacara purba pemujaan Dionisos, dan sangat memengaruhi seni teater Romawi Kuno maupun Renaisans. Alur cerita tragedi sering kali didasarkan atas mitos-mitos dari tradisi tutur wiracarita purba. Meskipun demikian, dalam pementasan tragedi, cerita-cerita tersebut dituturkan para pelakon. Para pujangga penggubah tragedi Yunani yang ternama adalah Aiskhilos, Sofokles, dan Euripides. Pujangga-pujangga ini kerap menggarap beragam tema seputar tabiat manusia, terutama agar ceritanya mengena di hati dan pikiran penonton, tetapi juga agar penonton terhanyut ke dalam alur cerita sandiwara yang sedang ditontonnya.
Etimologi
Hipotesis Aristoteles
Asal-usul kata tragedi sudah menjadi pokok bahasan sedari Abad Kuno. Sumber primer pengetahuan seputar pokok bahasan ini adalah risalah Peri Poyetikes (Ihwal Puisi) karangan Aristoteles. Aristoteles berhasil menghimpun dokumentasi tangan-pertama dari pertunjukan teater di Atika, yang mustahil diakses para peneliti dewasa ini. Oleh karena itu Peri Poyetikes merupakan sumber pustaka yang tidak ternilai harganya bagi studi tragedi kuno, sekalipun beberapa pokok pikiran di dalam paparan kesaksian Aristoteles masih dapat dipertanyakan keandalannya.
Menurut Aristoteles, cikal bakal tragedi adalah ditirambos, gita puja Yunani Kuno yang dinyanyikan sembari menari-nari memuliakan Dionisos. Istilah τραγῳδία (tragodia) terbentuk dari penggabungan kata τράγος (tragos) yang berarti "kambing" dan kata ᾠδή (ode) yang berarti "nyanyian", sehingga berarti "nyanyian kambing-kambing," merujuk kepada paduan suara para satiros. Menurut pendapat lain, istilah tragodia tercetus ketika Tespis, pujangga sekaligus pelakon legendaris Yunani Kuno, bertanding dalam lomba pementasan tragedi yang pertama kali digelar, dengan iming-iming hadiah seekor kambing bagi sang juara.[1]
Hipotesis Aleksandria
Para gramatikus Aleksandria memaknai istilah tragodia sebagai "nyanyian untuk kurban kambing" atau "nyanyian untuk kambing", dengan keyakinan bahwa kambing yang dimaksud adalah hadiah pertandingan, sebagaimana dikemukakan pujangga Horasius di dalam risalahnya, Ars Poetica (Seni Puisi):
Sang pujangga, yang pertama-tama menguji kemahirannya menggubah syair tragedi demi hadiah remeh seekor kambing, lantas menampilkan satiros-satiros liar bertelanjang, dan usaha berjenaka dengan sikap dingin, tetap mempertahankan kegetiran tragedi.
— Horasius, Ars Poetica 220 (berdasarkan terjemahan Smart & Buckley)
Hipotesis lain
Ada beberapa pendapat lain mengenai etimologi kata tragedi. Oxford English Dictionary menambahkan keterangan yang menyinggung kelaziman pengaitan etimologi kata tersebut dengan "nyanyian kambing" sebagai berikut:
Sehubungan dengan alasan yang melatarbelakangi namanya, sudah banyak teori dikemukakan, beberapa di antaranya bahkan mempermasalahkan pengait-ngaitan dengan ‘kambing’.[2]
J. Winkler berpendapat bahwa "tragedi" mungkin saja diturunkan dari kata τραγίζειν (tragizein) yang jarang dipakai. Kata ini digunakan untuk menyifatkan "perubahan suara orang yang beranjak dewasa", merujuk kepada para penyanyi dalam lakon tragedi selaku "representasi dari orang-orang yang sedang menjalani pubertas sosial".[3] Di lain pihak, Silvio D'Amico berpendapat bahwa tragoidía bukan sekadar berarti "nyanyian kambing-kambing", melainkan juga sosok-sosok yang membentuk paduan suara satiros di dalam upacara-upacara pemujaan Dionisos perdana.[4]
Hipotesis lain mencakup etimologi yang mendefinisikan tragedi sebagai nyanyian untuk bir. Jane Ellen Harrison menunjukkan bahwa sebelum dipuja sebagai dewa anggur (minuman orang kaya), Dionisos lebih dulu dipuja sebagai dewa bir (minuman kaum buruh). Orang Atena membuat bir dari fermentasi jelai, yang disebut tragos dalam bahasa Yunani. Oleh karena itu mungkin saja tragedi mula-mula berarti "nyanyian untuk jelai," dan kemudian hari mengalami perluasan makna sehingga mencakup pula berbagai arti lain. Pandangan ini ia kemukakan di dalam karya tulisnya sebagai berikut:
Saya yakin tragedi bukanlah 'nyanyian kambing', melainkan 'nyanyian panen' tanaman padi-padian tragos, sejenis jelai yang dikenal dengan sebutan 'kambing'." [5]
Evolusi tragedi
Asal mula tragedi
Asal mula tragedi Yunani adalah salah satu pokok permasalahan yang tak kunjung dipecahkan dunia kesarjanaan Klasika. Ruth Scodel mengemukakan bahwa, lantaran ketiadaan bukti dan meragukannya keandalan sumber-sumber, kita kini nyaris tidak tahu apa-apa tentang asal muasal tragedi.[6] Sekalipun demikian, R.P. Winnington-Ingram menunjukkan bahwa jejak-jejak pengaruh dari ragam sastra lain dapat ditelusuri dengan mudah.[7] Cerita-cerita garapan tragedi dipetik dari syair wiracarita dan kidung lira; metrumnya, yakni trimetrum yambos, berutang banyak kepada retorika ketataprajaan Solon; sementara dialek, metrum, dan kosakata nyanyian-nyanyian paduan suaranya tampak bersumber dari paduan suara kidung lira. Meskipun demikian, bagaimana semua itu akhirnya bertaut satu sama lain masih merupakan suatu misteri.
Bertolak dari spekulasi pribadi mengenai asal muasal tragedi Yunani, Ruth Scodel mengemukakan di dalam karya tulisnya sebagai berikut:
Tiga inovasi pasti pernah terjadi sehingga lahirlah tragedi sebagaimana yang kita kenal saat ini. Yang pertama, seseorang menciptakan pertunjukan jenis baru dengan memadukan seorang pembicara dengan sekelompok paduan suara, lalu menyamarkan pembicara maupun paduan suara tersebut sebagai tokoh-tokoh sebuah cerita yang bersumber dari legenda atau sejarah. Yang kedua, pertunjukan ini dijadikan bagian dari acara Dionisia-Kota di Atena. Yang ketiga, ditetapkannya undang-undang yang mengatur bagaimana pertunjukan ini diselenggarakan dan diongkosi. Secara teoritis bukan mustahil ketiga-tiganya terjadi bersamaan, tetapi agaknya tidaklah demikian.[6]
Dari ditirambos ke drama
Di dalam Peri Poyetikes, Aristoteles mengemukakan bahwa pada mulanya tragedi adalah improvisasi "orang-orang yang bertugas menyanyikan ditirambos",[8] yaitu gita puja untuk memuliakan Dionisos. Nyanyian ini singkat dan bernada jenaka karena mengandung unsur-unsur lakon satiros. Lambat laun bahasanya berubah semakin serius dan metrumnya berganti dari tetrametrum trokhayos menjadi trimetrum yambos yang bersifat prosa. Risalah Historiai (Bunga Rampai Sejarah) karangan Herodotos[9] dan sumber-sumber pustaka terkemudian[10] mendapuk Arion dari Metimna, seorang pujangga penggubah kidung lira, sebagai pencipta ditirambos. Mula-mula ditirambos merupakan improvisasi tak terencana, tetapi kemudian hari lebih dulu digubah secara tertulis sebelum dipentaskan. Paduan suara Yunani yang terdiri atas pria dewasa dan bocah-bocah lelaki, dengan jumlah keseluruhan yang bisa mencapai 50 orang, menari-nari sembari bernyanyi membentuk lingkaran, kemungkinan besar diiringi tiupan aulos, mengisahkan liku-liku kehidupan Dionisos.[11]
Para peneliti telah mengajukan beberapa dugaan mengenai cara ditirambos berubah menjadi tragedi. "Seseorang, mungkin saja Tespis, memutuskan untuk memadukan syair darasan dengan nyanyian paduan suara. ... Seiring berkembangnya tragedi, para pelakon mulai lebih berinteraksi satu sama lain, dan peran paduan suara menjadi kurang menonjol.[6]" Scodell menunjukkan bahwa:
Kata Yunani untuk “pelakon” adalah hipokrites, yang berarti “penjawab” atau “mufasir,” tetapi kata ini tidak memberi tahu apa-apa tentang asal muasal tragedi, lantaran tidak diketahui kapan kata ini mulai dipakai.[6]
Easterling juga mengemukakan bahwa:
Ada .. banyak yang dapat dikatakan sehubungan dengan pandangan bahwa hipokrites berarti 'penjawab'. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan paduan suara dan dengan demikian menyahuti nyanyian-nyanyian mereka. Ia menjawab dengan ceramah panjang tentang keadaannya sendiri atau, apabila ia tampil sebagai seorang pewarta, dengan kisah-kisah malapetaka ... Sudah sewajarnya, transformasi pewara menjadi pelakon menuntut dramatisasi paduan suara.[11]
Tragedi-tragedi perdana
Tradisi mendapuk Tespis sebagai orang pertama yang memerankan tokoh cerita di dalam sandiwara. Terobosan ini terjadi pada tahun 534 Pramasehi di dalam acara Dionisia yang diselenggarakan atas prakarsa Peisistratos.[12] Sehubungan dengan tragedi-tragedi gubahannya, hanya sedikit yang dapat diketahui selain dari informasi bahwa paduan suaranya saat itu masih beranggotakan para Satiros, dan bahwa, menurut Aristoteles, ia adalah orang pertama yang memenangkan lomba pementasan drama, sekaligus orang pertama yang menampilkan peran tokoh cerita (bahasa Yunani: ὑποκριτής, hipokrites, "orang yang berpura-pura menjadi orang lain") alih-alih bertutur di atas pentas sebagai diri sendiri. Selain itu, Temistios, salah seorang pujangga abad ke-4 Masehi, melaporkan bahwa Tespislah yang menciptakan prolog maupun bagian yang diucapkan (bahasa Yunani: ῥῆσις, resis). Penggubah sandiwara lainnya pada masa itu adalah Khoirilos, yang mungkin sekali menggubah seratus enam puluh tragedi (tiga belas kali menjuarai lomba pementasan sandiwara), dan Pratinas dari Flius, penggubah lima puluh sandiwara, tiga puluh dua di antaranya adalah lakon satiros.[13] Selain judul, hanya sedikit keterangan tertulis mengenai sandiwara-sandiwara tersebut yang tersedia sekarang ini. Pada masa itu, lakon-lakon satiros dipentaskan berbarengan dengan tragedi-tragedi. Pratinas tidak diragukan lagi bersaing dengan Aiskhilos dan berkarya sejak tahun 499 Pramasehi.
Selain itu masih ada Frinikhos,[14] pujangga yang disanjung Aristofanes di dalam sandiwara-sandiwara gubahannya. Sebagai contoh, ia dicitrakan sebagai tokoh demokrat radikal yang akrab dengan Temistokles di dalam sandiwara Kerubungan Tawon (bahasa Yunani: Σφῆκες, Sfekes). Selain memperkenalkan dialog dalam tatanan trimetrum yambos dan menampilkan tokoh perempuan di atas pentas untuk pertama kalinya, Frinikhos juga memperkenalkan tragedi bermuatan sejarah, misalnya Perebutan Miletos (bahasa Yunani: Μιλήτου Άλωσις, Mileto Halosis). Ia menjuarai lomba pementasan sandiwara untuk pertama kalinya pada tahun 510 Pramasehi. Pada masa itulah sandiwara mulai ditata menjadi trilogi.
Aiskhilos: kodifikasi
Aiskhiloslah yang menetapkan kaidah-kaidah dasar drama tragedi.[15] Ia dianggap sebagai pencipta trilogi, tiga tragedi serangkai yang mengisahkan satu cerita panjang, dan memperkenalkan pelakon kedua, sehingga memungkinkan dramatisasi konflik. Trilogi dipentaskan secara berurutan dalam satu hari, sejak matahari terbit sampai terbenam. Pada penghujung sandiwara terakhir, sebuah lakon satiros dipentaskan untuk membangkitkan kembali semangat penonton yang mungkin sudah merasa tercekam lantaran seharian terhanyut ke dalam kisah-kisah tragedi yang ditontonnya.[keterangan 1]
Apabila tragedi-tragedi perdana dibandingkan dengan tragedi-tragedi yang digubah kemudian hari, gubahan Aiskhilos menampakkan evolusi dan pengayaan unsur-unsur hakiki drama tragedi, yakni dialog, kontras, dan efek-efek teatrikal.[16] Perkembangan ini dipicu oleh lomba pementasan yang mengadu Aiskhilos dengan para pujangga sandiwarawan lain, teristimewa Sofokles, pujangga muda yang memperkenalkan pelakon ketiga, sehingga kian memperumit alur cerita dan menghadirkan lebih banyak tabiat manusia, yang dapat dipahami dan dihayati penonton.
Askhilos setidaknya cukup terbuka menerima inovasi-inovasi Sofokles, tetapi setia mempertahankan moralitas yang sangat ketat dan religiusitas yang intens. Oleh karena itu, sebagai contoh, sosok Zeus di dalam sandiwara gubahan Aiskhilos senantiasa memiliki peran berpikir dan bertindak etis.[keterangan 2] Dari segi musik, Aiskholos masih terikat pada nomoi, gubahan-gubahan ritmis dan melodis yang dikembangkan pada zaman Yunani Purba.
Pembaharuan-pembaharuan Sofokles
Di dalam risalah Riwayat Kimon, Plutarkhos mencatat kemenangan pertama Sofokles, pujangga muda penuh bakat, mengalahkan Aiskhilos, pujangga tersohor yang tak tersaingi sampai dengan saat itu.[17] Lomba pementasan yang dijuarai Sofokles berakhir di luar kelaziman, tanpa acara mengundi wasit sebagaimana biasanya, sampai-sampai Aiskhilos merasa terpukul dan mengasingkan diri ke Sisilia. Sofokles memperkenalkan banyak inovasi yang membuatnya menjuari paling sedikit dua puluh kali lomba pementasan.[18] Ia memperkenalkan pelakon ketiga, dan menambah jumlah anggota paduan suara menjadi lima belas orang. Ia juga memperkenalkan tata panggung dan adegan.
Dibanding sandiwara gubahan Aiskhilos, paduan suara di dalam sandiwara Sofokles menjadi tidak begitu berguna untuk menjelaskan alur cerita, dan ada penekanan yang lebih besar terhadap pengembangan tokoh cerita dan konflik. Di dalam sandiwara Oidipus di Kolonos, paduan suara mengulang-ulang larik "tidak terlahir adalah yang terbaik." Liku-liku kehidupan yang dialami para pahlawan sama sekali tidak dijelaskan maupun dibenarkan, dan di sinilah terlihat awal mula refleksi getir akan keadaan manusia, yang masih mengena sekarang ini.
Realisme Euripides
Keistimewaan yang membedakan tragedi-tragedi gubahan Euripides dari tragedi-tragedi gubahan dua pujangga sebelumnya adalah ikhtiar menggali eksperimentasi teknis, dan peningkatan perhatian terhadap perasaan, sebagai suatu mekanisme untuk mempercanggih pembentangan kejadian-kejadian tragedi.[19]
Eksperimentasi yang dilakukan Euripides di dalam tragedi-tragedinya terutama dapat diamati di dalam tiga aspek yang menjadi ciri khas teaternya. Ia mengubah prolog menjadi monolog yang menjelaskan latar belakang cerita kepada penonton, memperkenalkan deus ex machina, dan sedikit demi sedikit menghilangkan keutamaan paduan suara dari sudut pandang dramatis dengan menampilkan monodia yang dinyanyikan para pelakon.
Unsur baru lainnya dari drama Euripides ditunjukkan oleh realisme dalam pencitraan dinamika kejiwaan tokoh-tokoh ceritanya. Tokoh pahlawan di dalam tragedi-tragedi gubahannya tidak lagi dicitrakan sebagai pribadi berpendirian teguh seperti di dalam tragedi-tragedi Aiskhilos dan Sofokles, tetapi sebagai pribadi yang resah diombang-ambingkan gejolak batin.
Ia menghadirkan pelakon utama wanita di dalam sandiwara-sandiwaranya, misalnya sebagai Andromakhe, Faidra, dan Medeya, untuk menampilkan perasaan halus yang merana dan dorongan-dorongan irasional yang berbenturan dengan alam penalaran.[20]
Struktur
Struktur khas tragedi Yunani terlahir dari kelaziman. Tragedi biasanya diawali prolog, (gabungan kata pro dan logos, artinya "ceramah pendahuluan"). Pada bagian prolog, satu atau lebih tokoh cerita tampil memperkenalkan drama tersebut dan menjelaskan latar belakang cerita yang akan dipertunjukan. Prolog disusul oleh parodos (πάροδος), yakni masuknya tokoh-tokoh cerita secara perorangan atau berkelompok. Selanjutnya cerita berjalan dalam tiga atau lebih babak (bahasa Yunani: ἐπεισόδια, epeisodia). Jeda antarbabak diisi stasimon (στάσιμoν), yakni paduan suara selingan yang menjelaskan atau mengulas perkembangan situasi di dalam sandiwara. Di dalam babak, biasanya ditampilkan interaksi tokoh-tokoh cerita dengan paduan suara.[21] Tragedi berakhir dengan eksodos (ἔξοδος), yang menamatkan jalan cerita. Beberapa sandiwara tidak mengikuti struktur lazim ini. Sebagai contoh, Orang-Orang Persia dan Tujuh Melawan Tebai gubahan Aiskhilos, tidak diawali prolog.
Bahasa
Dialek-dialek Yunani yang digunakan adalah dialek Atika untuk bagian-bagian yang diucapkan atau didaraskan oleh tokoh-tokoh cerita perorangan, dan dialek Doria sastrawi untuk paduan suara. Untuk metrumnya, bagian-bagian yang diucapkan lebih banyak menggunakan metrum yambos (trimetrum yambos), yang disebut Aristoteles sebagai metrum paling wajar,[8] sementara bagian-bagian paduan suara menggunakan bermacam-macam metrum. Metrum anapaistos biasanya digunakan saat paduan suara atau salah satu tokoh cerita bergerak memasuki atau meninggalkan pentas, dan metrum-metrum kidung lira digunakan untuk kidung-kidung yang dinyanyikan paduan suara. Metrum-metrum tersebut antara lain metrum daktilos-epitritos dan beragam metrum ayolia, kadang-kadang diselingi metrum yambos. Metrum dokmios kerap muncul dalam kalimat-kalimat pengungkapan emosi ekstrem.[22]
Tragedi Yunani dalam teori drama
Mimesis dan katarsis
Sebagaimana disebutkan di atas, Aristoteles menulis studi kritis yang pertama tentang tragedi, yakni risalah Peri Poyetikes. Ia menggunakan konsep mimesis (μίμησις), "peniruan", dan katarsis (κάθαρσις), "pembersihan", untuk menjelaskan fungsi tragedi. "Oleh karena itu, tragedi adalah peniruan (mimēsis) tindakan mulia dan paripurna [...] yang melalui belas kasihan dan ketakutan menghasilkan pemurnian hawa nafsu."[23] Jika mimēsis menyiratkan tindakan meniru peri kehidupan manusia, maka katarsis bermakna pembersihan emosional tertentu pada penonton. Meskipun demikian, maksud sesungguhnya dari "pembersihan emosional" (bahasa Yunani: κάθαρσις των παθήματων, katarsis ton patematon) tetap tidak jelas di dalam seluruh risalah tersebut. Banyak peneliti sudah berusaha mengartikan unsur vital bagi pemahaman Peri Poyetikes Aristoteles ini, tetapi tidak kunjung tercapai mufakat di antara mereka.[24]
Gregory, misalnya, berpendapat bahwa ada "suatu kaitan erat antara katarsis tragedi dengan transformasi rasa kasihan dan rasa takut [...] menjadi emosi-emosi yang menyenangkan di dalam teater".
Katarsis, pada bacaan ini, akan merujuk kepada keseluruhan manfaat etis yang didapatkan dari pengalaman yang intens tetapi terintergasi secara memuaskan. Dengan bebas dari rasa tercekam yang membonceng rasa kasihan dan rasa takut di dalam kehidupan bermasyarakat, penonton tragedi dapat memberi emosi-emosi ini kesempatan untuk mengalir lepas tanpa ditahan-tahan yang ... secara memuaskan terselaraskan dengan perenungannya akan signifikansi insani yang kaya dari sebuah sandiwara yang bagus alur ceritanya. Katarsis semacam ini tidak dapat diencerkan maknanya menjadi sekadar ‘‘pembersihan’’ atau ‘‘pemurnian.’’ [25]
Lear[24] mengemukakan apa yang ia sebut sebagai "pandangan paling canggih mengenai katarsis", yakni gagasan bahwa katarsis "menghadirkan pendidikan bagi emosi-emosi." "Tragedi ... menghadirkan bagi kita objek-objek yang tepat untuk dijadikan sasaran rasa kasihan atau rasa takut."
Tiga kesatuan
Tiga kesatuan drama menurut Aristoteles adalah kesatuan waktu, kesatuan tempat, dan kesatuan laku.
- Kesatuan laku: sebuah sandiwara harus memiliki satu laku utama yang memandu alur ceritanya, tanpa atau dengan segelitir saja alur carangan.
- Kesatuan tempat: sebuah sandiwara harus menjangka satu ruang fisis, dan tidak boleh berusaha memampatkan geografi, demikian pula pentas tidak boleh menampilkan lebih dari satu tempat.
- Kesatuan waktu: laku dalam sebuah sandiwara harus berjalan tidak lebih dari 24 jam.
Aristoteles mengemukakan bahwa sebuah sandiwara harus tuntas dan utuh. Dengan kata lain, sandiwara harus memiliki kesatuan, yakni satu awal, satu pertengahan, dan satu akhir. Sang filsuf juga mengemukakan bahwa laku syair wiracarita dan laku tragedi berbeda panjangnya, "karena di dalam tragedi, laku diupayakan sedemikian rupa agar berlangsung dalam satu kali peredaran matahari, sementara wiracarita tidak terbatas waktunya."
Kesatuan dianggap sebagi unsur utama dari teater pada beberapa abad silam, kendati tidak selalu dipedomani (misalnya oleh sandiwarawan-sandiwarawan seperti Shakespeare, Calderón de la Barca, dan Moliere).
Apolonian dan Dionisian: analisis Nietzsche
Pada penghujung abad ke-19, Friedrich Nietzsche mencuatkan kontras antara dua unsur utama dari tragedi, yakni unsur Dionisian (hasrat yang menguasai tokoh cerita) dan unsur Apolonian (pembayangan yang murni bersifat gambaran dari pertunjukan teatrikal).[26]
Kontras dengan itu adalah nemesis, hukuman dewata yang menentukan kejatuhan atau kematian tokoh cerita.
Kata Nietzsche, di dalam budaya Yunani Kuno "ada suatu konflik antara seni musik plastis, sebut saja seni musik Apolonian, dengan seni musik non-plastis, yakni seni musik Dionisian."
Kedua dorongan yang begitu berbeda satu sama lain ini melangkah seiring sejalan, kebanyakan dalam ketidakakuran dan pertentangan yang terang-terangan, senantiasa saling menghasut untuk memunculkan kelahiran-kelahiran baru yang lebih kuat, dalam rangka melanggengkan di dalam diri masing-masing perjuangan dari lawannya yang jelas-jelas hanya terjembatani oleh kata umum 'seni'; sampai, pada akhirnya, melalui suatu tindakan yang menakjubkan dari 'kehendak' Helenis, keduanya tampak berjodoh, dan dalam perjodohan ini, paling tidak, melahirkan Tragedi Atika, yang merupakan suatu karya seni yang Dionisian sekaligus Apolonian.[27]
Teater tragedi sebagai fenomena massa
Tragedi Yunani, sebagaimana yang kita pahami sekarang ini, bukan sekadar sebuah pertunjukan, melainkan lebih merupakan suatu ritual kolektif dari polis. Tragedi Yunani diselenggarakan di dalam ruang suci yang dikeramatkan (mezbah dewata tegak di tengah-tengah teater).
Seorang penonton pementasan drama Yunani pada kurun waktu seperdua-akhir abad kelima Pramasehi akan mendapati dirinya duduk di teatron, atau koilon, undak-undakan tempat duduk yang melengkung membentuk setengah lingkaran, yang dalam beberapa segi menyerupai ujung tertutup dari sebuah stadion tapal kuda. ... di bawah sana, yakni di tempat terbaik dari teater itu, terdapat sebuah singgasana, tempat pendeta Dionisos duduk bersemayam, layaknya sedang memimpin keseluruhan acara pementasan. Teatron besar ukurannya, bahkan teatron di Atena, yakni teatron di Teater Dionisos, dengan sengkedan tempat duduk yang berundak-undak menuruni lereng selatan Akropolis, mampu menampung kira-kira 17.000 orang. Di hadapan penonton, tampak sebuah panggung berbentuk lingkaran yang disebut orkestra, yang secara harfiah berarti "tempat menari". ... Di tengah-tengah orkestra, tegak sebuah mezbah. Salah satu bagian dari pementasan drama digelar di orkestra, demikian pula olah gerak dan lenggak-lenggok tarian paduan suara saat melagukan kidung-kidung mereka. Di samping kanan dan kiri teatron terdapat parodoi, yang bukan hanya berfungsi sebagai pintu keluar-masuk teater bagi penonton, melainkan juga sebagai pintu keluar-masuk pentas bagi pelakon dan paduan suara. Tepat di seberang lingkaran orkestra berdiri skene atau bangunan latar. ... Di dalam banyak sandiwara, skene merepresentasikan wujud muka-bangunan sebuah rumah, istana, atau kuil. Skene biasanya memiliki tiga pintu yang digunakan sebagai tempat keluar-masuk tambahan bagi para pelakon. Tepat di depan bangunan latar itu berdiri sebuah panggung, yang pada abad kelima Pramasehi mungkin sekali hanya seundakan lebih tinggi daripada orkestra. Panggung ini disebut proskenion atau logeyon, tempat banyak laku dramatis dari sandiwara dipentaskan. Proskenion diapit dua sayap menjorok yang disebut paraskenia. Perlu diingat bahwa skene, karena mula-mula hanya berupa sebuah bangunan kayu, dapat berubah-ubah tampilannya, dan mungkin sekali sering dimodifikasi.[28]
Teater menyuarakan gagasan-gagasan dan permasalahan-permasalahan yang muncul dari kehidupan berdemokrasi, berpolitik, dan berkebudayaan warga Atena. Tragedi-tragedi mengangkat atau menggunakan masa silam mitologis Yunani sebagai metafora bagi permasalahan-permasalahan mendalam masyarakat Atena pada masa itu.[29] Di dalam sandiwara-sandiwara tersebut, "sang pujangga secara langgung menyinggung peristiwa-peristiwa atau perkembangan-perkembangan yang sedang hangat pada abad ke-5, tetapi memundurkannya ke masa silam mitologis. Dalam kategori ini [dapat dimasukkan] sandiwara Orang-Orang Persia dan Oresteya gubahan Aiskhilos."[30]
Dalam kasus Orang-Orang Persia, pementasannya diselenggarakan pada tahun 472 Pramasehi di Atena, delapan tahun seusai pertempuran Salamis, saat perang melawan Persia masih berkecamuk. Sandiwara ini mengisahkan kekalahan armada Persia di Salamis, dan bagaimana hantu mendiang Raja Persia, Darius, menuding putranya, Ahasyweros, sudah bertindak hubris (gegabah) dengan memaklumkan perang melawan bangsa Yunani.
"Kemungkinan bahwa bayangan Atena terpantul pada cermin Orang-Orang Persia gubahan Aiskhilos kiranya dapat menjelaskan mengapa sang pujangga meminta khalayak penonton untuk memandang Salamis dengan mata bangsa Persia, serta menggugah rasa simpati mendalam terhadap bangsa Persia, termasuk Ahasyweros."[31]
Tragedi-tragedi lain menghindari rujukan atau alusi kepada peristiwa-peristiwa abad ke-5, tetapi "juga mengangkat masa silam mitologis ke masa sekarang."
Penggubah sandiwara terbanyak di dalam kategori ini adalah Euripides. Unsur-unsur retorika Atena abad ke-5, sketsa-sketsa yang bersifat politis, dan cerminan-cerminan lembaga maupun masyarakat Atena, memberi sandiwara-sandiwara dalam kategori ini suatu cita rasa khas Atena abad kelima. Penonjolan faksi-faksi politik di dalam Orestes gubahan Euripides misalnya, relevan secara langsung dengan Atena tahun 408 SM.[31]
Sandiwara-sandiwara tragedi dipentaskan di Atena dalam perhelatan Dionisia Besar, perayaan yang digelar untuk memuliakan Dionisos pada bulan Elafebolion, menjelang akhir bulan Maret.[keterangan 3] Pementasan sandiwara-sandiwara tersebut diselenggarakan oleh negara dan eponimos arkhon, yang memilih tiga warga kaya untuk mengongkosinya. Di dalam tatanan demokrasi Atena, warga kaya diwajibkan mendanai kegiatan-kegiatan pelayanan masyarakat. Adat semacam ini disebut liturgi.
Tragedi Yunani: Sebuah Pertunjukan
Tragedi Yunani sering kali membingungkan bilamana orang berusaha menilainya sebagai drama, kejadian terperinci, pertunjukan, bahkan sebagai sesuatu yang menyampaikan sebuah tema mendasar.[32] Sebuah artikel yang ditulis Mario Frendo, menyoroti tragedi Yunani selaku penyampai sebuah tema mendasar sebagai suatu fenomena pertunjukan, suatu pemisahan makna sandiwara tersebut dari pokok pikiran yang sesungguhnya disampaikan, dan bukan suatu usaha untuk melakukan pendekatan terhadap Tragedi Yunani melalui konteks (misalnya kelaziman-kelaziman pertunjukan, fakta-fakta kesejarahan, dsb).[32] Melakukan pendekatan terhadap zaman purba dari kacamata masa kini, terutama dalam kaitannya dengan konstruksi dan bentuk sandiwara-sandiwara, menghambat pemahaman akan masyarakat Yunani klasik.[32]
Asal-muasal Tragedi Yunani lebih banyak didasarkan atas nyanyian atau tuturan ketimbang naskah lakon tertulis.[32] Dengan pemahaman semacam ini Frendo mengemukakan bahwa Tragedi pada hakikatnya performatif (dilakonkan).[32] Frendo lebih lanjut menjabarkan argumennya dengan mengutip hasil-hasil penelitian tragedi Yunani sebelumnya. Ia menguraikan hakikat musikal, sering kali nyanyian yang dinyanyikan, dari sandiwara-sandiwara Yunani, dan menyoroti tradisi lisan sebagai latar belakang konstruksi sandiwara-sandiwara tersebut (misalnya, tradisi lisan bisa jadi turut berperan di dalam proses-proses yang bermuara pada penciptaan tragedi Yunani).[32] Frendo mengutip pendapat yang mengatakan bahwa penghayatan tragedi mengharuskan suatu pergelaran teatrikal, dan oleh karena itu tragedi terpisah dari kesusastraan.[32] Ia menandaskan lebih lanjut bahwa penting sekali memandang tragedi sebagai pra-drama, bahwasanya tragedi tidak bersesuaian dengan pemahaman yang lebih mutakhir akan "drama" sebagaimana yang sudah kita ketahui pada zaman Renaisans.[32]
Sesudah interaksi-interaksi berasas dialog pada akhirnya dikembangkan, persentase naskah lakon yang dibacakan paduan suara cenderung berkurang dalam kaitannya dengan pelibatannya di dalam sandiwara.[32] Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa hal ini bukan hanya menampakkan hakikat performatif dari tragedi Yunani melainkan juga mencuatkan kemungkinan bahwa strategi-strategi berasas dialog mungkin pernah dipakai.[32]
Deus Ex Machina: Suatu Teknik Intervensi
Sebuah artikel yang ditulis Thomas Duncan membahas tentang dampak teknik dramatis terhadap pengaruh sandiwara-sandiwara tragedi dan penyampaian akibat-akibat yang penting atau pokok, khususnya melalui pemanfaatan Deus Ex Machina.[33] Deus Ex Machina adalah teknik yang dipakai untuk menghentikan suatu tindakan dengan memunculkan tokoh yang tidak disangka-sangka atau lewat campur tangan dewata, yang pada hakikatnya menciptakan akhir bagi sebuah sandiwara.[33] Salah satu contohnya terlihat di dalam sandiwara Hipolitos gubahan Euripides. Di dalam sandiwara ini, Hipolitos disumpahi lekas mati oleh ayahnya sendiri, Raja Teseus, yang menyangka Hipolitos sudah merudapaksa ibu tirinya, Permaisuri Faidra, sehingga membuat sang permaisuri bunuh diri.[33] Padahal, Permaisuri Faidra bunuh diri lantaran dilanda nafsu berahi menyimpang kepada Hipolitos (yang ditimbulkan Dewi Afrodite di dalam hatinya), sehingga menyalahkan Hipolitos sebagai sebab kematiannya.[34]
Hipolitos dijemput ajal akibat campur tangan dewata, yakni Dewi Afrodite, yang membenci Hipolitos karena kesetiaannya untuk berbakti kepada Dewi Artemis berpangkal dari sikap meremehkan atau mendustakan kuasa Dewi Afrodite.[34] Dengan kata lain, lantaran memilih untuk mengabdikan diri kepada Dewi Artemis, pemangku temai (kewenangan dewata) atas kemurnian diri, untuk beberapa alasan Hipolitus memutuskan untuk mendustakan kewujudan temai Dewi Afrodite, yakni nafsu berahi, lawan dari kemurnian diri.[34] Lakon Hipolitos menunjukkan bagaimana campur tangan dewata menggerakkan tema utama sandiwara ini, yakni balas dendam, dan bagaimana campur tangan tersebut mengakibatkan sebuah wangsa binasa.[34] Kendati demikian, kenyataan bahwa Hipolitos adalah mangsa angkara Afrodite baru terungkap menjelang akhir sandiwara, yakni pada saat Artemis turun tangan memberi tahu Raja Teseus bahwa sumpah serapahnya sudah merenggut nyawa anaknya sendiri.[34]
Tanpa campur tangan dewata semacam ini, mustahil Raja Teseus menginsafi kekeliruannya, dan mustahil pula Hipolitus disumpahi ayahnya.[33] Tanpa campur tangan dewata, mustahil kejadian-kejadian yang berlangsung di atas panggung efektif menyingkap kebenaran-kebenaran tertentu kepada penonton apabila disampaikan oleh sesama manusia.[33] Dengan demikian, teknik semacam ini sangat penting artinya bagi mekanisme tragedi Yunani dan keberdayaan penggubah tragedi untuk menyampaikan sandiwara mereka lebih dari sekadar sebuah cerita atau pembabaran kejadian belaka.[33]
Aiskhilos: Identifikasi Insani Lewat Representasi Tokoh Cerita
Identifikasi tokoh cerita terlihat dalam banyak sandiwara gubahan Aiskhilos, misalnya Prometeos Dibelenggu.[35] Di dalam sandiwara ini, Prometeos, dewa titan atas pemikiran ke depan dan api rekacipta, mencuri api rekacipta tersebut dari Hefaistos dan memberikannya kepada manusia.[35] Dengan berbuat demikian, ia mengaruniakan pengetahuan rekacipta kepada umat manusia, sehingga membangkitkan murka dewata.[35] Gagasan di balik tragedi Yunani ini adalah sesungguhnya Prometeos dihukum Zeus bukan semata-mata karena bersalah mengaruniakan pengetahuan dewata kepada umat manusia, melainkan juga lantaran yakin bahwa tindakan tersebut dapat membuat umat manusia, dengan satu atau lain cara, akan memuja Prometeos sebagai pahlawan keadilan dan menganggap Zeus tidak lebih dari sesosok tiran.[35] Lewat uraian ini, penulis menunjukkan bagaimana sandiwara Aiskhilos berkaitan erat dengan pokok pikiran identifikasi tokoh cerita, karena sandiwara tersebut menampilkan tokoh yang tidak semata-mata bertindak lantaran ada pamrih, tetapi dalam banyak hal rela dihukum demi memaslahatkan umat manusia.[35]
Keterangan
- ^ Meskipun demikian, ada beberapa diskusi mengenai lakon-lakon satiros. Lih.: Griffith (2002).
- ^ Pengecualiannya adalah Prometeos Dibelenggu, yang menampilkan Zeus melampiaskan sikap-sikap tirani.
- ^ Dionisia juga disebut Dionisia Besar, untuk membedakannya dari daerah-daerah pedesaan, sandiwara kecil-kecilan yang dipertunjukkan pada musim dingin di desa-desa sekitar Atena.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref>
dengan nama "Aristofanes1" yang didefinisikan di <references>
tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref>
dengan nama "Prometeos2" yang didefinisikan di <references>
tidak digunakan pada teks sebelumnya.
<ref>
dengan nama "reduced1" yang didefinisikan di <references>
tidak digunakan pada teks sebelumnya.Rujukan
- ^ Hart, M.L., 2010, The art of ancient Greek theatre, Los Angeles, Penerbit Getty, hlm. 9.
- ^ Oxford English Dictionary, lema tragedy
- ^ Winkler, J.J. & Zeitlin, F. (penyunting), 1992, Nothing to Do With Dionysus?: Athenian Drama in Its Social Context, Princeton, Badan Penerbit Universitas Princeton, hlm. 60.
- ^ D'Amico, S., 1960, Storia del Teatro drammatico, parte I: Grecia e Roma, Milan, Penerbit Garzanti.
- ^ Harrison, J.E., 1922, Prolegomena to the Study of Greek Religion, Princeton, Badan Penerbit Universitas Princeton, hlm. 420.
- ^ a b c d Scodel, R., 2011, An Introduction to Greek Tragedy, Cambridge, Badan Penerbit Universitas Cambridge, hlm. 33.
- ^ Easterling dkk., 1989, hlmn. 1-6.
- ^ a b Aristoteles, Peri Poyetikes, 1449a.
- ^ Herodotos, Bunga Rampai Sejarah I.23.
- ^ Souda "Arion" (α.3886 Adler); Yohanes Diakonus, Commentaria in Hermogenem, disunting H. Rabe, Rheinisches Museum 63, 1908, hlm. 150.
- ^ a b Harvey, 1955; Easterling dkk., 1989, hlm. 4.
- ^ Easterling, 1989, hlm. 2; Sinisi & Innamorati, 2003, hlm. 3; bdk. Horasius, Ars Poetica 275ff.
- ^ Easterling dkk., 1989, hlmn. 3, 5.
- ^ Easterling dkk., 1989, hlm. 5f.
- ^ Untuk inovasi tragedi Aiskhilos, lih. Easterling, 1989, hlmn. 29–42.
- ^ Italica.rai.it Aiskhilos.[pranala nonaktif]
- ^ Plutarkhos, Riwayat Kimon 8.7f.
- ^ Untuk rekacipta teatrikal Sofokles, lih. Easterling, 1989, hlmn. 43-63; Sinisi & Innamorati, 2003, hlm. 3.
- ^ Untuk tokoh Tragedi Euripides, lih. Easterling, 1989, hlmn. 64-86.
- ^ Michelini, A.N., 2006, Euripides and the Tragic Tradition, Madison, Badan Penerbit Universitas Wisconsin ISBN 0299107647.
- ^ "Typical Structure of a Greek Play". web.eecs.utk.edu. Diakses tanggal 23 September 2021.
- ^ Untuk kajian terperinci mengenai metrum, lih. Brunet, 1997, hlmn. 140–146.
- ^ Aristoteles, Peri Poyetikes 1449b 24-28.
- ^ a b Untuk pembahasan mengenai berbagai macam pandangan mengenai katarsis, lih. Lear, 1992.
- ^ Gregory 2005, hlm. 405.
- ^ "Apolonian…merupakan bagian dari alam representasi Schopenhauer. Secara metafisis, unsur ini mewakili yang palsu, yang maya, 'tampilan belaka.' Secara epistemologi, Apolonian mengindikasikan suatu keadaan seperti sedang bermimpi, di mana segala pengetahuan adalah pengetahuan akan permukaan semata. Secara estetis, Apolonian adalah yang elok, dunia yang dihayati sebagai dunia yang terpahami, selaras dengan kapasitas-kapasitas dari kecerdasan yang merepresentasikannya." (Berys Gaut & Dominic McIver Lopes, penyunting, Routledge Companion to Aesthetics, Bab 8, "Nietzsche," "Art and Metaphysics," hlm. 78.)
- ^ Lahirnya Tragedi, § 1
- ^ Oates, W. & O'Neil, E., 1938, The Complete Greek Drama, New York, Penerbit Random House, hlmn. 14-17.
- ^ Sinisi & Innamorati, 2003, hlm. 3.
- ^ Gregory 2005, hlm. 5.
- ^ a b Gregory 2005, hlm. 8.
- ^ a b c d e f g h i j Frendo, Mario (February 2019). "Ancient Greek Tragedy as Performance: the Literature–Performance Problematic". New Theatre Quarterly. 35 (1): 19–32. doi:10.1017/S0266464X18000581. ISSN 0266-464X.
- ^ a b c d e f Duncan, Thomas Shearer (January 1935). "The Deux ex Machina in Greek Tragedy". Philological Quarterly. 14: 16. ProQuest 1290993493.
- ^ a b c d e Nikolsky, Boris (Juni 2015). MISERY AND FORGIVENESS IN EURIPIDES: Meaning and Structure in the Hippolytus. ISBN 9781910589076.
- ^ a b c d e ancientadmin. "Prometheus Bound - Aeschylus - Ancient Greece - Classical Literature". Ancient Literature. Diakses tanggal 17 November 2019.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref>
dengan nama "Plutarch1" yang didefinisikan di <references>
tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref>
dengan nama "Privitera1" yang didefinisikan di <references>
tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref>
dengan nama "Suda1" yang didefinisikan di <references>
tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref>
dengan nama "Suda2" yang didefinisikan di <references>
tidak digunakan pada teks sebelumnya.
<ref>
dengan nama "Suda3" yang didefinisikan di <references>
tidak digunakan pada teks sebelumnya.Kepustakaan
- Albini, U., 1999, Nel nome di Dioniso. Il grande teatro classico rivisitato con occhio contemporaneo, Milan, Penerbit Garzanti ISBN 88-11-67420-4.
- Beye, C.R., La tragedia greca: Guida storica e critica, Roma, Penerbit Laterza ISBN 88-420-3206-9.
- Brunet, P., 1997, Break of de la littérature dans la Grèce ancienne, Paris, Penerbit Le Livre de Poche.
- Easterling dkk. (penyunting), 1989, The Cambridge History of Classical Literature Jld. 1, Bagian 2: Greek Drama, Cambridge, Badan Penerbit Universitas Cambridge.
- Gregory, J. (2005). A Companion to Greek Tragedy. Oxford: Penerbit Blackwell.
- Griffith, M., 2002, Slaves of Dionysos: satyrs, audience, and the ends of the Oresteia, dalam Classical Antiquity 21, hlmn. 195–258.
- Harvey, A. E., 1955, The Classification of Greek Lyric Poetry, dalam Classical Quarterly 5.
- Lear, J., 1992, Katharsis, dalam A.O. Rorty (penyunting), Essays on Aristotle's Poetics, Princeton, Badan Penerbit Universitas Princeton.
- Ley, G., 2015, Acting Greek Tragedy, Exeter, Badan Penerbit Universitas Exeter.
- Nietzsche, F., 1962, La nascita della tragedia, dalam L. Scalero (penerjemah), Opere scelte, Milan, Penerbit Longanesi.
- Privitera, G.A & Pretagostini, R., 1997, Storia e forme della letteratura greca. Età arcaica ed età classica, Milan, Penerbit Einaudi Scuola ISBN 88-286-0352-6.
- Rossi, L.E.; Nicolai, R. (2006). Corso integrato di letteratura greca. L'età classica. Grassina: Le Monnier. ISBN 978-88-00-20328-9.
- Sinisi, S. & Innamorati, I., 2003, Storia del teatro: lo spazio scenico dai greci alle avanguardie storiche, Milan, Penerbit Bruno Mondadori.
Bahan bacaan lanjutan
- Hall, Edith (2010). Greek Tragedy: Suffering Under the Sun. Oxford, Inggris: Badan Penerbit Universitas Oxford. ISBN 978-0199232512. Daftar bahan bacaan lanjutannya berisi banyak ulasan dan tafsir atas semua tragedi Yunani Kuno yang sintas.