Siti Munjiyah

Anggota Kongres Perempuan Pertama Indonesia

Siti Munjiyah (Ejaan Van Ophuijsen: Siti Moendjijah; lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada 1896 dan meninggal di Tasikmalaya, Jawa Barat pada 1955) adalah tokoh Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah ke-16–20. Dia adalah anak keenam dari Haji Hasyim Ismail, sedangkan keluarganya dikenal dengan sebutan “Bani Hasyim Kauman”, yang menjadi pendukung gerakan Muhammadiyah.

Siti Munjiyah
Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah ke-16–20
Masa jabatan
1932–1936
Informasi pribadi
Lahir
Siti Moendjijah

1896
Belanda Kampung Kauman, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Hindia Belanda
Meninggal1955
Indonesia Kota Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat
MakamMakam Kauman
Suami/istriK.H. Ghozali (bercerai)
Anak3 anak adopsi dari Siti Bariyah
  • Siti Antaroh
  • Ichnaton
  • Fuad
Dikenal karenaPeserta Kongres Wanita Indonesia Pertama
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Munjiyah merupakan salah satu wanita generasi awal di Hindia Belanda yang mempunyai latar belakang pendidikan yang baik. Pendidikan yang diterimanya meliputi Madrasah Diniyah Ibtidaiyah, Sopo Tresno, dan Al-Qismul Arqo. Pendidikan tersebut memunculkan suatu kesadaran kritis dalam dirinya bahwa adat dalam kehidupan masyarakat saat itu menghambat pola kemajuan wanita.

Perannya dalam skala nasional adalah menjadi peserta Kongres Wanita Indonesia Pertama bersama dengan Siti Hayinah Mawardi, yang diadakan di Ndalem Jayadipuran pada 22–25 Desember 1928. Dia mengemukakan pendapat tentang derajat wanita dalam acara penyampaian pidato. Pidato yang disampaikannya merupakan respon atas gerakan feminisme liberal yang berkembang saat itu. Dia mengelompokkan derajat dan kemuliaan kaum wanita menjadi tiga bagian, yaitu tinggi budinya, banyak ilmunya, dan baik kelakuannya. Tampilnya dalam forum tersebut membuka pandangan baru bagi para wanita untuk dapat berperan di dalam masyarakat dan menyingkirkan sekat-sekat tradisional.

Latar belakang

Keluarga

Munjiyah lahir pada 1896 di Kampung Kauman, Yogyakarta,[1] yaitu kampung para santri dan pengusaha batik.[2] Sumber primer untuk menjelaskan kelahirannya adalah catatan pribadi ayah kandungnya, yaitu Hasyim Ismail yang berprofesi sebagai abdi dalem keagamaan[a] atau penghulu Kesultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Hamengkubuwana VIII. Berdasarkan catatannya itu, dia menjelaskan tahun kelahiran putrinya, yaitu “tatkala dhahiripun Siti Munjiyah amarengi nalika ing dinten Isnain Legi kaping 14 wulan Dzulhijah tahun Jim awal 1317” (ketika lahir Siti Munjiyah bersamaan dengan hari Senin Legi tanggal 14 bulan Dzulhijah tahun Jim awal 1317).[3]

Anak-anak dari Hasyim semuanya berjumlah delapan orang, sedangkan Munjiyah sendiri merupakan anak keenam.[3] Adapun saudara kandungnya yang lain adalah Siti Jasimah, Muhammad Sudja, Fachrodin, Bagus Hadikusumo, Zaini, Siti Bariyah, dan Walidah.[4][5] Mereka kemudian dikenal dengan sebutan “Bani Hasyim Kauman” dan pendukung gerakan Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan.[6] Selain itu, mereka juga mendapatkan pendidikan agama secara langsung melalui kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Siti Walidah.[b][7]

Keterangan ini turut diperkuat oleh secarik catatan yang ditulis oleh Mu’tasimbillah Al-Ghozi (cucu Sudja) berjudul Anak Cucu Lurah Hasyim Ismail Berkhidmat kepada Muhammadiyah, yang dikutip oleh Mua’arif dan Hajar Nur Setyowati (pengkaji Aisyiyah) sebagai berikut.[8]

Semua putra dan putri Eyang Hasyim bin Ismail, lelaki atau wanita, mengaji kepada orang tuanya atau belajar kepada K.H. Ahmad Dahlan, seorang guru ngaji di seberang rumahnya. Baik dalam bidang agama maupun dalam bidang ilmu umum yang K.H. Ahmad Dahlan berikan, semua generasi pertama dari Bani Hasyim belajar kepadanya. Generasi pertama ini kira-kira mulai tahun 1301 Hijriah atau 1880-an Masehi.[8]

 
Potret Siti Munjiyah di Majalah Suara Aisyiyah.

Sebagai anggota keluarga dari abdi dalem, keluarga Munjiyah memiliki pusat kegiatan di Langgar Dhuwur.[c] Dengan demikian, secara kultural dia berasal dari lingkungan keluarga yang memahami tata kehidupan dan pergaulan di lingkungan keraton, sedangkan Muhammadiyah yang tumbuh di Kauman turut memberikan pengaruh terhadap pembentukan kepribadiannya.[9]

Kauman yang menjadi tempat tinggal dan kelahirannya juga membuat Munjiyah “mengakrabi” tradisi Jawa yang bersinggungan dengan tradisi Islam sepanjang hidupnya. Dia "akrab" dengan tradisi yang dikesankan sepenuhnya oleh logika feminisme sebagai penindasan, tetapi kehidupannya tidak menunjukkan ketertindasan tersebut. Ketika berada di dalam "ruang privat", Munjiyah merupakan wanita biasa, tetapi di "ruang publik" dia adalah salah satu tokoh Aisyiyah yang aktif.[10]

Dirinya juga rutin berinteraksi dengan banyak organisasi wanita yang tumbuh saat itu (seperti Wanita Taman Siswa, Jong Java, dan Wanita Oetama) sebagai wakil dari Aisyiyah.[11] Hal ini menunjukkan bahwa dia dapat hidup dalam “dua ruang” yang berbeda dan juga tidak mengalami “masalah berarti” dengan tradisi yang melingkupinya.[10] Suratmin (pengkaji Muhammadiyah) berpandangan bahwa hal tersebut disebabkan karena semua hal yang terus dilakukannya adalah bentuk “dialog” antara dirinya dengan realitas di sekelilingnya.[12]

Suratmin dalam buku Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama yang ditulisnya dengan para peneliti lain menggambarkan bahwa aktivis Aisyiyah tersebut berperawakan gemuk, postur tubuhnya agak tinggi, dan wajahnya bulat. Sekalipun dia merupakan salah satu putri dari Lurah Hasyim, penampilannya tetap sederhana.[13] Selain itu, Djarnawi Hadikusuma yang berstatus sebagai keponakannya turut menambahkan jika bibinya itu tidak senang mengenakan perhiasan mewah, serta teguh pendiriannya dalam memegang syariat Islam.[14] Perilaku tersebut menurut Al-Fauzan (pengkaji Islam) merupakan suatu ibadah. Ibadah sendiri memiliki berbagai macam cakupan ketaatan yang tampak dari lisan dan anggota badan.[15]

Pernikahan

Munjiyah menikah dengan K.H. Ghozali yang juga berasal dari Kauman, tetapi pernikahan tersebut tidak harmonis. Rumah tangga yang dibangunnya tidak langgeng dan membuat keduanya lantas bercerai.[13] Setelah bercerai, dia tidak menikah lagi dan mencurahkan tenaganya untuk organisasi Aisyiyah. Pada saat itu, dia masih satu rumah dengan Bagus Hadikusumo dan mengadopsi anak-anak Bariyah yang meninggal dunia, yaitu Siti Antaroh, Ichnaton, dan Fuad.[16]

Pendidikan

Madrasah Diniyah Ibtidaiyah

Munjiyah merupakan salah satu wanita modern generasi awal di Hindia Belanda yang memiliki latar belakang pendidikan memadai.[14] Mu’arif dan Setyowati mengemukakan bahwa Munjiyah dan para wanita lain di Kauman memang telah dipersiapkan oleh Ahmad Dahlan untuk menjadi seorang mubalighat (ulama wanita).[17] Pada 1913, para aktivis wanita muda itu dibimbing dan disekolahkan oleh Dahlan agar menguasai ilmu pengetahuan umum maupun ilmu agama. Siti Wadingah, Siti Dawimah, dan Siti Bariyah[d] disekolahkan di Neutraal Meisjes School (sekolah umum) yang berada di Ngupasan, sedangkan Munjiyah dan Siti Umniyah disekolahkan di Madrasah Diniyah Ibtidaiyah (sekolah agama).[18][19]

Kedua pola pendidikan tersebut memunculkan kesadaran kritis bahwa adat yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat Kauman sangat menghambat kemajuan kehidupan wanita, sehingga wanita hanya memiliki ruang terbatas dalam aktivitas sosial.[20] Hal inilah yang membuat wanita-wanita lain pendukung Muhammadiyah menyusul masuk ke sekolah umum, yaitu Siti Badilah Zubair, Siti Hayinah Mawardi, Siti Dauchah, Siti Dalalah, dan Siti Busyro.[21]

Munjiyah dan para wanita-wanita itu mendapatkan pendidikan agama langsung melalui kursus-kursus dan pengajian yang diadakan oleh Dahlan di Madrasah Diniyah Ibtidaiyah. Mereka ditempa menjadi calon pemimpin melalui bimbingan dan asuhan yang diberikan oleh Dahlan. Kursus-kursus dan pengajian agama tersebut menjadi cikal bakal sekolah-sekolah Muhammadiyah di kemudian hari.[22]

Sopo Tresno

 
Hoofdbestuur Sopo Tresno tahun 1919–1922. Kudung menjadi ciri khas dari para anggota gerakan Aisyiyah di kemudian hari.

Setahun setelah menyekolahkan para wanita di sekolah umum dan agama, Dahlan dan istrinya lantas mendirikan perkumpulan kaum wanita yang berawal dari kursus membaca Al-Qur'an dengan nama Sopo Tresno.[21] Perkumpulan inilah yang kelak diubah namanya menjadi Aisyiyah pada 19 Mei 1917 dan menjadi organisasi otonom (ortom)[23] yang diberi hak mengatur organisasinya secara mandiri.[24] Sopo Tresno (bahasa Jawa) berarti "siapakah yang berkasih sayang". Saat itu, perkumpulan ini belum menjadi suatu organisasi, tetapi hanya gerakan pengajian saja.[25]

Pengajian yang dilaksanakan di Sopo Tresno terus berlangsung sampai namanya diubah menjadi Aisyiyah.[26] Selain pengajian, program pertama perkumpulan tersebut adalah mengusahakan agar setiap wanita peserta pengajian memakai kudung dari kain sorban berwarna putih. Perkumpulan ini lantas mengembangkan Pengajian Wal-Ashri dan Muballighin[e] yang diselenggarakan setiap hari Senin sore.[27]

Melalui perkumpulan itulah kaum wanita di Kauman, termasuk Munjiyah, mendapatkan pendidikan berorganisasi dan aktif bergerak di bidang sosial-keagamaan.[21] Sembari menjalani pendidikan di Madrasah Diniyah, dia dan para wanita lain juga dididik menjadi pemimpin yang memiliki sikap terbuka.[28]

Pembentukan amal usaha yang dilakukan oleh Munjiyah dan para wanita lain di dalam Sopo Tresno tidak tergantung kepada kelompok atau organisasi lain, termasuk Muhammadiyah sebagai organisasi induknya.[21] Salah satu kegiatan utama perkumpulan tersebut adalah membantu kerja Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) serta mengasuh beberapa orang anak yatim atau anak-anak yang tidak mampu meneruskan sekolah. Hal inilah yang menjadi modal dasar bagi Aisyiyah, sehingga mampu memiliki dan mengelola berbagai jenis usaha layanan publik, terutama bidang kesehatan dan pendidikan.[29]

Al-Qismul Arqo (Madrasah Mualimat)

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Diniyah Ibtidaiyah dan mendapatkan pendidikan berorganisasi di Sopo Tresno, Munjiyah menjalani pendidikan di Al-Qismul Arqo[f] yang diselenggarakan di emperan rumah Ahmad Dahlan sejak tahun 1918. Salah satu faktor yang menyebabkan dirinya masuk ke dalam sekolah tersebut adalah kebutuhan muballighin (laki-laki penyiar agama Islam) dan muballighat (wanita penyiar agama Islam) untuk menyebarkan paham Muhammadiyah ke luar Kauman.[30] Mu’arif dan Setyowati menjelaskan bahwa Munjiyah termasuk salah satu wanita yang dipersiapkan sebagai juru dakwah Muhammadiyah, sehingga dia dimasukkan ke dalam kelas itu oleh Dahlan.[31]

Al-Qismul Arqo lebih banyak mendalami pendidikan agama Islam dan menjalankannya dengan sistem sekolah modern, sedangkan kegiatan pembelajarannya dilakukan dengan duduk di lantai dan menggunakan bekas kotak minyak tanah sebagai meja tulisnya.[30] Tokoh yang memelopori pendirian sekolah tingkat lanjut ini adalah Muhammad Sangidu (ayah Siti Umniyah).[32]

Setelah berganti nama menjadi Madrasah Mualimat Muhammadiyah, pembelajaran di sekolah tersebut diseimbangkan antara dasar-dasar ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum yang mendukung visi dan misi Muhammadiyah.[30] Salah satu pendidikan yang diterima oleh Munjiyah di sekolah ini adalah pembinaan yang dilakukan oleh Siti Walidah agar seorang wanita berpenampilan sederhana, sebagaimana dijelaskan oleh Mu’arif dan Setyowati berikut.[33]

Kaum istri diimbau agar tidak silau kepada perhiasan mewah, sampai-sampai mereka rela meminjam uang kepada tetangganya hanya untuk mengejar penampilan atau terlihat cantik. Wanita jangan memiliki jiwa kerdil, tetapi berjiwa srikandi. Apabila wanita itu minta bermacam-macam, menunjukkan bahwa mereka miskin.[33]

Pesan tersebut membuat Munjiyah memiliki pembawaan yang sederhana dan berpengalaman sebagai muballighat di Aisyiyah. Dia juga dikenal di kalangan organisasi-organisasi wanita lain sebagai dai wanita yang berpandangan inklusif serta toleran.[34]

Amal usaha

Pembaruan keagamaan

 
Para wanita penggerak Aisyiyah tahun 1928.

Selain mempunyai ikatan keluarga yang cukup dekat dengan Siti Walidah, Munjiyah mempunyai kesamaan paham dengannya dan menjadi pendukung dari gerakan Aisyiyah.[35] Dukungan Munjiyah berupa sistem organisasi, amal usaha, dan etos amaliah telah mendorong Aisyiyah berproses secara intensif di lingkungan masyarakat, khususnya Kauman.[36]

Ahmad Adaby Darban (sejarawan Muhammadiyah) mencatat bahwa dengan dilantiknya Sangidu menjadi penghulu keraton, para penghulu lain yang berada di bawah kepemimpinannya, termasuk ayah Munjiyah, menjadi semakin terbuka kepada Muhammadiyah dan Aisyiyah. Kedua organisasi tersebut mulai diperbolehkan masuk ke Bangsal Pengulon, yang sebelumnya menjadi tempat tabu bagi masyarakat awam.[37] Melalui ayahnya, Munjiyah turut mempermudah Siti Walidah dalam memperkenalkan pemahaman Islam modern di Kauman.[35]

___

Djazman turut menambahkan bahwa anak dan cucu dari Haji Hasyim Ismail, termasuk Siti Munjiyah, memang banyak yang berkiprah di organisasi Muhammadiyah dan Aisyiyah. Namun, kiprah tersebut bukan dikarenakan mereka keturunan dari Haji Hasyim Ismail, melainkan lebih disebabkan oleh kemampuan atau kapasitas yang dimilikinya. Anshoriy menegaskan bahwa para anggota Muhammadiyah maupun Aisyiyah memang tidak mengakui perannistimewa dari para ulama yangusecara genealogis turut terhubung dengan kedua organisasi itu, tetapi gerakan tersebut secara jelas meletakkan elit ahli syariat sama pentingnya dengan ulama. Semakin tinggi pengetahuan syariat seseorang, besar pula peluangnya untuk memangku jabatan strategis di dalam gerakan ini.

Tradisi Muhamadiyah yang memang tidak mengenal garis keturunan menjadi salah satu kelebihan tersendiri dari para anggota Muhammadiyah keturunan Haji Hasyim Ismail dalam ikut membesarkan perserikatan yang disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 22 Agustus 1914 tersebut.  Harus diakui bahwa beberapa ortom yang telah berdiri di Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari keturunan Haji Hasyim Ismail. Salah satu ortom yang ada di Muhammadiyah adalah Siswo Proyo Wanito (SPW). Menurut Siti Chamamah Soeratno, SPW merupakan embrio atau cikal bakal dari Nasyiyatul Aisyiyah (NA). SPW adalah perkumpulan anak-anak wanita atau remaja putri di Kauman yang mulai dibangun sejak tahun 1919 dan berubah namanya menjadi NA pada 1931.

Siti Munjiyah bersama dengan anak pertama dari K.H. Sangidu (Siti Umniyah) tercatat sebagai salah satu tokoh yang berhasil memajukan ortom ini. NA kemudian dipimpin oleh Siti Umniyah selama sekitar + 10 tahun dan tampuk kepemimpinan beralih kepada Zoechrijah pada 1929.

Hubungan harmonis antara Siti Mujiyah dan organisasi Aisyiyah yang disokongnya dengan Kesultanan Yogyakarta ini menarik dikaji mengingat kesultanan merupakan pusat tradisi kejawen yang penuh dengan hal-hal berbau mistik, sedangkan di-sisi lain Aisyiyah yang disokong oleh Siti Munjiyah lebih teridentifikasi sebagai organisasi puritan yang memberantas takhayul (memercayai sesuatu yang tidak ada), bidah (perbuatan yang dilakukan bukan berdasarkan contoh yang telah ditetapkan, termasuk menambah atau mengurangi ketetapan), serta khurafat (ajaran tidak masuk akal) (disingkat::TBC) di kemudian hari.

Perjuangan Siti Munjiyah dalam membela ajaran Nyai Ahmad Dahlan dimulai sejak dia mengikuti paham tersebut dan mengajarkannya kepada para santri SPW. Dia meminta kepada para-santri wanita tersebut untuk-mengamalkan ajaran Islam secara nyata, terutama Surah Al-Ma’un. Mereka diperintahkan agar menyantuni para fakir miskin dengan cara memberinya makan dan menyuruh mereka mandi untuk selanjutnya diberikan pakaian, dan akhirnya diminta untuk bersembahyang. Surah ini yang dijadikan pedoman bagi K.H. Ahmad-Dahlan di kemudian hari untuk mencari sumber daya masyarakat dalam membangun basis teologi pengembangan amal sosial organisasi Muhammadiyah dan Aisyiyah. Menurut Febriansyah, prinsip keikhlasan yang ada di dalam surah tersebut juga menjadi salah satu pelengkap dalam menyukseskan perjuangan amal-usaha Aisyiyah.

Partisipasi dalam pergerakan wanita

Pemikiran tentang emansipasi

Siti Munjiyah menjabat sebagai ketua umum PP. Aisyiyah selama lima periode, yaitu sejak tahun 1932–1936. Sepanjang sejarahnya, sejak diproklamasikan berdiri secara resmi pada 19 Mei 1917, Aisyiyah dapat melintasi batas-batas semangat masanya yang terus berubah agar tetap ada sebagai salah satu bagian dari kekinian masyarakat. Aisyiyah memang bukanlah organisasi wanita yang pertama kali berdiri di Indonesia, tetapi yang membedakannya dengan organisasi wanita yang lain adalah Aisyiyah merupakan pembaru peran wanita dalam ranah agama, wanita sebagai mubalighat yang terdidik, dan pemimpin wanita yang mumpuni. Organisasi itu mentransformasikan prinsip “berlomba-lomba melakukan kebaikan” dan “banyak bekerja sedikit bicara” menjadi gerakan sosial wanita yang memiliki fondasi sosiologis dan ideologis yang kuat dalam masyarakat di tingkat paling bawah.


Aisyiyah berhasil menjadi sebuah gerakan sosial wanita yang bergerak langsung secara riil di tingkat akar rumput ketika dipimpin oleh Siti Munjiyah. Aisyiyah cenderung memfungsikan kembali peran agama sebagai rujukan dalam bertindak.Tentu saja, peran dan fungsi agama ini ditujukan untuk kepentingan dan pemberdayaan kaum miskin dan anak-anak yatim. Organisasi wanita seperti Aisyiyah diperlukan masyarakat umum bagi penyelenggaraan beberapa kegiatan yang berhubungan dengan kewanitaan. Hal ini dikarenakan organisasi Aisyiyah didirikan dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan secara umum dan wawasan kepada masyarakat luas, khususnya para wanita, agar mereka menjadi lebih cerdas.

Siti Munjiyah menekankan bahwa wanita harus memiliki peranan aktif menjadi agen dalam pembanguna imengingat-kuantitas dari para wanita lebihubaik dibandingkan dengan kaum laki-laki ketika menjabat sebagai ketua umum. Selaini tu, wanita juga berperan dalam membentuk karakter sebuah bangsa. Maju atau mundurnya karakter sebuah bangsa tergantung dari kondisi kaum wanitanya. Wanita memberikan pengaruh dalam meningkatkan kadar kesusilaan umat manusia karena dari kaum wanitalah manusia,menerima pendidikan pertama, terutama dalam pembinaan mental dan moral – di tangan para wanita, seorang anak belajar berpikir dan berbicara. Kiranya, dapat disadari bahwa salah satu prasyarat bagi keberhasilan usahai ersebut adalah keteladanan dari seorang wanita.

Kemandirian yang disertai dengan ketulusan kultural merupakan ciri lain yang berhasil dibangun oleh Siti Munjiyah dalam organisasi Aisyiyah, yang memungkinkan gerakan wanita Islam yang berawal di sekitar Kauman ini mampu bertahan dan tetap memberikan pencerahan bagi peradaban bangsa. Para wanita pelaku gerakan-gerakan sosial di dalam Aisyiyah, terutama di tingkat akar rumput, masih tetap setia dengan kesederhanaan Nyai Ahmad Dahlan yang tidak menempatkan penampilan sebagai prioritas di tengah arus modernisasi gaya hidup seiring dengan menguatnya konsumerisme maupun sifat hedonisme. Hal inilah yang menjadi modal dasar bagi organisasi Aisyiyah hingga mampu menjadi gerakan wanita yang mendobrak kebekuan feodalisme dan ketidaksetaraan gender dalam masyarakat pada masa itu, sekaligus melakukan.advokasi pemberdayaan kaum wanita.

Peserta Kongres Wanita Indonesia Pertama

 
Pendopo Ndalem Jayadipuran, tempat pelaksanaan Kongres Wanita Pertama. Bangunan ini sekarang digunakan oleh kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta.
 
Aisyiyah diwakili Siti Munjiyah dan Siti Hayinah Mawardi tergabung dalam Komite Kongres Wanita Indonesia Pertama tahun 1928.

Kongres Wanita Indonesia Pertama dibuka pada Sabtu malam tanggal 22 Desember 1928 di Ndalem Jayadipuran. Untuk mengisi kemeriahan dalam peristiwa tersebut, beberapa wanita dari SPW menampilkan lantunan panembrama dalam bahasa Arab dan Indonesia pada acara pembukaan yang bermaksud memberikan selamat dan memuji terlaksananya kongres.

Menurut laporan kongres yang didokumentasikan oleh Blackburn, dapat diketahui ada 15 pembicara yang mewakili berbagai organisasi. Acara tersebut berlangsung selama tiga hari tiga malam dengan agenda masing-masing. Setiap malam berlangsung acara pertemuan dan persidangan tertutup antara utusan tamu, anggota komite pusat, dan sub seksi, sedangkan setiap siang hari dilaksanakan persidangan umum dengan pembacaan pidato dari masing-masing utusan.

Pokok pembahasan yang dilontarkan adalah seputar berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh kaum wanita saat itu dan cara mengatasinya, yaitu pentingnya kesehatan dan pendidikan modern bagi wanita, nasib anak-anak yatim dan janda, pentingnya rasa harga diri lebih tinggi di kalangan para wanita, persamaan hak antara wanita dan laki-laki, reformasi aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan dalam pernikahan agama Islam (termasuk soal pernikahan anak-anak dan bentuk poligami), dan buruknya pernikahan paksa.

Dalam kongres ini terdapat sejumlah pidato tentang nasionalisme dan kecaman terhadap poligami, tetapi mosi yang diterima oleh kongres agak terbatas. Hal inilah yang sempat menimbulkan pertentangan paham antara golongan nasionalis dan Kristen di satu pihak dengan golongan Islam di pihak yang lain, tetapi umumnya terdapat persamaan kemauan untuk memajukan kaum wanita Indonesia. Wacana kontroversial mengenai poligami lantas diatasi dengan mengirimkan mosi ke dewan agama dan meminta penjelasan tertulis kepadanya apabila terjadi penolakan.

Dalam pidato pembukaan Kongres Wanita Indonesia Pertama, R.A. Sukonto menjelaskan bahwa kongres itu semula berawal dari usulan perkumpulan wanita “kanan” dan “kiri” untuk mengajak bersatu. Dia baru bisa menyampaikannya dalam kongres tersebut karena mengalami beberapa kerepotan. Berdasarkan penilaiannya, kemampuanikaum wanita Indonesia masih kurang jika dibandingkan dengan kaum wanita di negara-negara lain, walaupun perkumpulan wanita di Indonesia sudah banyak. Hal inilah yang mendorongnya bersama dengan R.A. Sutartinah (Nyi Hajar Dewantara) dan Ny. Suyatin Kartowiyono mengadakan suatu kongres.

Pendirianikomite kongresiyang dicetuskan olehiR.A. Sukontoiini diisisi lainitidak mengherankaniapabila sebelumnya mendapatkanitantangan danikritikan yang tajamidari berbagaiipihak. Salahisatu kritikan tersebutidilontarkan olehikaum kolotiyang masihimerendahkan kaumiwanita, antara lain:

  • Kaum wanita tidak perlu mengadakan kongres atau perkumpulan-perkumpulan lain sejenisnya.
  • Kaum wanita tempatnya hanya berada di dapur saja.
  • Kaum wanita tidak perlu memberikan penghidupan (mencari nafkah).
  • Kaum wanita Indonesia belum matang dan belum bisa berdamai satu sama lain.


R.A.iSukonto secaraitegas mengingatkan kepada paraipeserta kongresibahwa seorang wanitaiyang inginimencapai cita-citanyaiharus membantahisemuaicelaan. Paraiwanita jangan sampaiidianggap rendah, apalagiiolehiorang-orang yangimasih kolotipemikirannya.  Maksudiperkataannya ituitidak untuk melepaskanikaum wanitaidari dapur, tetapi merekaijuga harusiturut memikirkaniapa yang dilakukanioleh kaumilaki-laki. Bagiidirinya, kongresiyang berlangsungidirasa pentingiuntuk mengumpulkaniorganisasi-organisasi wanita Indonesiaiguna berdamaiidan memikirkan berbagaiipokok permasalahani(Soewondo, 1984:198–199).

Pada acaraapenyampaian-pidato, Siti Munjiyahydan Siti-Hayinah Mawardi0tampil sebagaiiperwakilan daripAisyiyah. Siti Munjiyahhmemberikan pidato dengan judul “DerajatiPerempuan”, sedangkaniSiti-Hayinah Mawardiimenyampaikanotentangi “Persatuan Manusia”. Aisyiyahisendiri secara terbuka mengemukakan bahwa menginginkan kongres tersebut untuk melakukan kerja sama dengan organisasi wanita lain (PP. Aisyiyah, tt:17). Soewondo menambahkan bahwa Aisyiyah juga mengharapkan pertemuan tersebut menjadi suatu wadah bagi para wanita untuk mengemukakan pendapat dan gagasan tentang perjuangan (Soewondo, 1984:199–200).

Siti,Munjiyah dalam pidatonya mengungkapkan bahwaaderap langkah perjuangan dari bangsa-Indonesia, khususnya kaumywanita, telahhmenggema di,hati. Menurut dirinya, Kongres WanitaoIndonesia Pertama sangatipenting artinyaakarena mayoritas para utusan  sudah meluangkan waktunya agar dapat hadirpdalam kongres tanpaomeninggalkan urusan pekerjaan maupun rumah. Mereka dapatpmenghadiri rapat tersebut untukumembahas beberapa=keperluan kehidupannbersama. Kongres itu sudah memberikan keuntungan secara langsung karena menambah teman organisasi wanita dalam melakukan perjuangan. Namun, Siti Munjiyah mengungkapkan bahwa tahap persiapan dalam kongres itu masih memilikiikekurangan (Suratmin,,dkk, 1991:20–23).

Berdasarkan dokumen yang diterbitkan oleh PP. Aisyiyah serta penelitian yang dilakukan oleh Blackburn, dapat diketahui bahwa Siti Munjiyah mengelompokkan derajat dan kemuliaan dari kaum wanita menjadiitiga bagian, yaituibudinya yangitinggi,iilmunya yang banyak, danikelakuannya yangibaik. Menurutipengamatan yang dilakukannya sendiri, waktu ituusudah banyakkkaum wanita yang0pintar. Namun, mereka tidak bisa memanfaatkannya karena kelakuan dan budinya dirasakan masih kurang. Hal tersebut memang harus dipertanyakannapakah sifattmereka sudah sesuaiodengan-kodratnya.  Pendapat dan pandangan-tersebut adalah lontaran pemikirannya yang dikemukakanoatas sumbanganppemikiran organisasi-Aisyiyah, yangpharus direnungkan seperlunyaaoleh pemimpin-pemimpin organisasiowanita lain yang hadirYdalam kongresiitu (PP.iAisyiyah, tt:17–20).

Siti-Munjiyah juga menyampaikan perbedaannantara wanita dan laki-laki berdasarkan hukum dari Islam. Dia menjelaskan bahwa parappeserta kongresstidak harusymemeluk agama Islam, semuanya diserahkanOkepada pribadiVmasing-masing. Hukum dalam Islam memangomembedakan antara wanita dan laki-laki. Namun, perbedaan tersebut tidak berartiobahwa kaumUlaki-laki lebih=tinggi derajatnyaadibandingkan dengan kaum-wanita. Laki-laki dan wanita Islam masing-masing-berhak maju secara bebas denganpbatas-batas tertentuukarena sejakklahir mereka telah mempunyai kodratomasing-masing yangOberbeda-beda (Suratmin, dkk, 1991:22).

Siti Munjiyah pada akhir pidatonya menyerukan supaya para wanita lebihiteliti lagi dalamlmempelajari beberapa permasalahan serta bisa menimbangpsesuatu yang baik maupun buruk. Diaamengingatkan kepada,para pemimpin organisasiiwanita supaya bangsa Indonesia lebih berhati-hatiidalam-menyerap budayaayang berasalldariiBarat. Pandangannya ituudiharapkan dapatomenjadi gerakjlanjutan dariikongrespselanjutnya (Suratmin, dkk, 1991:23).

Kritik kesetaraan gender

Munjiyah merupakan salah satu tokoh yang memiliki kemampuan berorasi di antara sekian banyak wanita anggota Aisyiyah. Pengalamannya hadir ke berbagai acara penting bersama K.H. Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin membawa dampak kepada kepribadiannya. Dia sering turun diajak dalam pertemuan-pertemuan Muhammadiyah maupun Sarekat Islam di berbagai daerah.

Sebagaimana disebutkan dalam artikel di Suara Muhammadiyah, dia awalnya mendapatkan kesempatan berorasi di atas voordracht (mimbar) dalam suatu acara yang diadakan oleh Sarekat Islam di Kediri pada 20 November 1921 karena memakai pakaian,yang belum terkenal diikalangan umattIslam waktu itu. Orang-orang mengira bahwa pakaian yang dikenakannya adalah pakaian haji. Ketika berorasi, dia memanfaatkannya untuk menjelaskan pakaian tersebut kepada para hadirin.

Pakaian yang dikenakannya tertutup rapat seperti kain ihram dan dikombinasikan dengan kerudunggkhas songkettKauman. Tidakkhanya itu, dia jugaamenjelaskan mengenaiikedudukan kaum wanita dalamgagama,Islam. Menurut dirinya, perintahidalam agamaaIslam tidak hanya diperuntukkan bagi laki-lakissaja, tetapi wanita juga harus melaksanakannya.


Saya ini bukaniorang haji, tetapirsaya mengenakan pakaianncara hajirwanita. Saya-juga tidaksmalu berpakaiandseperti oranghhaji, karena-ini merupakan salah satu perintahpagamaaIslam. Tidak hanya kaumilaki-laki yang wajibimemajukan agamaaIslam, tetapiokaum wanita juga memiliki hak-hak yanggsama pula untuk memajukan,agama,Islam (Hayati, 1985:5).


Tampilnya di atas mimbar tersebut dianggap sebagai langkah maju waktu itu. Pasalnya, tidak semua wanita memiliki keberanian dan kesempatan untuk bisa tampil berorasi di depan publik. Hal tersebut juga menjadi pesan Aisyiyah bahwa paraawanita mempunyai kesempataniyang sama pula denganklaki-laki. Blackburnndalam bukunya yang berjudul Kongres PerempuannPertama: SuatuoTinjauan-Ulang, mengatakan bahwa gaya berpidato dari Siti-Munjiyah memiliki kesamaan dengan khotbah dalammIslam. Namun, lebih lanjut menurut Blackburn, hal itu tidaklah mengherankan karena mengingat pekerjaanosehari-harinya memang,seorang juru khotbah yanggberpengalaman diPkalangan Aisyiyah (Blackburn, 2007:44).

Blackburn menengarai bahwa pidatooyang dikemukakan oleh Siti-Munjiyah memang penuh dengankkalimat-kalimat yang,berlebihan dan berulang-ulang, tetapi cenderung retoris dan didaktis seperti suatu percakapan yang penuhhdengan selera humor, khususnya apabila menyinggungmmasalah mengenai keterbelakangan sikap dari orangOBarat terhadap wanita pada masallalu. Selain itu, dia juga selalu mengutippretorika dalam Islam (yanguberujung kepada kata-kataldalam,bahasa Arab). Hal ini disebabkan karenaqdia pernah menempuh pendidikan yang setara dengan Hollandsch Inlandsche School (sekolah modern), yang menjadikannya mengerti cara berbicara di hadapan para hadirin campuran (Blackburn, 2007:45–46). Mu’arif dan Setyowati (2014:86–88) turut memperjelas bahwa Siti Munjiyah sebenarnya selalu menahanudiri membaca kutipan-kutipannArab yangksering menyelingi-tulisan atau,pidatonya, tetapi hal tersebut sukar dilakukan mengingat bahwa terdapat berbagai perbedaan pandangan di kalangan para wanita saat itu.

Sementara itu, dalam Kongres Wanita Indonesia Pertama, pidato yang disampaikannya merupakan respon atas gerakan feminisme liberal yang berkembang saat itu. Namun, pidato itu rupanya mendapatkan banyak kritik dari para peserta kongres dari perwakilan lain. Kendati demikian, kemampuannya dalam berorasi membuatnya mampu meredam berbagai kritik yang datang kepadanya, ditambah dengan kehadiran anggota SPW yang tak lain adalah kader Aisyiyah yang turut menyemangatinya (Congresnummer: CongressPerempoean Indonesia jangyPertama 22255December 1928 diiMataram:10–12).

Siti Munjiyah mengkritisi pemikiran Barat dan feminisme bahwa wanita dariikalangan non-Islam terlihatytertekan karenautidak mempunyai hak-hakidalamiperkawinan. Secara halus, dia mengemukakan bahwaapemikiran Barat dan tradisiiKristen memang.diskriminatif kepada wanita. Tidakllupa, dia mengingatkan kepada teman-temannya agarrmemilah-milah sesuatu yangobaik danuburuk dalamtmelihat kemajuan wanitaaBarat. MenurutdBlackburn (2007:xi), pidato yang disampaikan oleh Siti Munjiyah-adalah contoh yanggmenarik dalam melakukanlsesuatu yangodibelanya dengan memadukanyhal-hal terbaikkdalam tradisi Barat8maupun-Islam.

Siti Munjiyah terus berkomitmen untukimemajukan kaumpwanita diitanah-air setelah kongres. Adapun pelaksanaan Kongres Wanita Indonesia Pertama itu lantas ditetapkan sebagaii“Hari-Ibu”. Hasil dari kongres tersebut menyepakati suatu pembentukannPerikatan PerkumpulaniPerempuan-Indonesia (PPPI), yangtkelak berubahenamanya menjadilKongres WanitaoIndonesia (KOWANI). Organisasi-organisasi wanita yang tergabung di dalamnya menuntut hak-hak kaum wanita setaraydengan laki-laki, termasuk Aisyiyahi(Congresnummer: CongressPerempoean-Indonesia janguPertama 2225 Decembery1928 diyMataram:12).




Akhir kehidupan

Beberapa literatur dan rujukan dari Aisyiyah menyebutkan bahwa Munjiyah mengembuskan napas terakhirnya pada 1955 akibat kanker payudara. Dirinya saat itu sedang berada di Kota Tasikmalaya untuk menghadiri konferensi yang diselenggarakan oleh Aisyiyah. Badiyah Dahlan yang mengetahui Munjiyah merasa kesakitan langsung membawanya ke rumah sakit dan meminta agar konferensi tersebut dibubarkan. Namun, nyawa temannya itu tidak tertolong lagi, meskipun telah mendapatkan perawatan yang intensif. Jenazah Munjiyah lantas dibawa kembali ke Yogyakarta dan disemayamkan di Permakaman Kauman yang berada di belakang Masjid Gedhe Kauman.[38]

Lihat pula

Keterangan

  1. ^ Dalam birokrasi kerajaan, penghulu dan seluruh aparatnya dinamakan dengan abdi dalem pamethakan (abdi dalem putihan), sedangkan Kantor Kepenghuluan Kesultanan Yogyakarta dinamakan dengan Kawedanan Reh Pengulon (Darban 2000, hlm. 10). Apabila dibandingkan dengan penghulu yang ada di daerah-daerah, penghulu Kesultanan Yogyakarta dianggap sebagai penghulu ageng (penghulu tertinggi) dalam struktur kepenghuluan. Selain berfungsi sebagai penasehat dewan daerah, tugas dan wewenang penghulu meliputi berbagai macam urusan keagamaan secara umum, yaitu pernikahan, perolehan nafkah, talak (gugatan cerai), rujuk, wasiat/warisan, hibah, dan sebagainya (Kartodirdjo, dkk 1975, hlm. 244). Sebagai pimpinan ulama birokrat, penghulu Kesultanan Yogyakarta juga bertugas mengurusi upacara keagamaan keraton, pernikahan keluarga sultan, penasehat sultan, mengurus tempat ibadah dan makam, serta sebagai lembaga fatwa tentang hukum-hukum agama. Ketika pemerintah Belanda berkuasa, sistem kepenghuluan berada dalam ranah raad agama dan priester raad (pengadilan surambi) (Pijper 1984, hlm. 73).
  2. ^ Anak-cucu dari Haji Hasyim Ismail pada dasarnya banyak yang berkiprah di perserikatan Muhammadiyah atau Aisyiyah setelah sebelumnya mendapatkan pendidikan dari Ahmad Dahlan dan istrinya. Namun, kiprah tersebut menurut Anshoriy lebih dikarenakan oleh kemampuan atau kapasitas yang mereka miliki. Dia menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak mengakui peran istimewa para ulama yang secara genealogis terhubung dengan Nabi Muhammad Saw atau Ahmad Dahlan, tetapi gerakan ini sangat jelas meletakkan elite ahli syariat atau ahli agama sama pentingnya dengan ulama (Anshoriy 2010, hlm. 29–30).
  3. ^ Pada waktu itu di Kauman terdapat lima langgar, yaitu Langgar Lor, Langgar Wetan, Langgar Faqih, Langgar Kidul, dan Langgar Dhuwur (Langgar Kulon) (Darban 2000, hlm. 36).
  4. ^ Berdasarkan perhitungan umurnya, Siti Bariyah terpaut delapan tahun dengan Siti Munjiyah, tetapi Bariyah justru yang terpilih sebagai ketua pertama Aisyiyah di kemudian hari. Faktor pemilihan yang dilakukan oleh Siti Walidah bukan dikarenakan Bariyah lebih pandai dibandingkan dengan Munjiyah, tetapi Bariyah dirasa lebih menonjol dalam bidang organisasi dan kepemimpinan. Munjiyah baru dipercaya sebagai ketua pasca kepemimpinan Siti Aisyah Hilal, yaitu pada 1932 (Setyowati & Mu'arif 2014, hlm. 80).
  5. ^ Muballighin merupakan embrio dari Fakultas Ilmu Agama Jurusan Dakwah (FIAD) yang menjadi cikal bakal berdirinya Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada 1980-an (Mulkhan 2013, hlm. 8).
  6. ^ Pada 1920, Ahmad Dahlan dan para dermawan yang berada di Kauman mendirikan sebuah asrama untuk menampung para murid di Al-Qismul Arqo yang terus bertambah. Gedung baru disiapkan di Kauman, tepatnya di depan rumah H. Syuja’. Setelah menempati gedung baru dan menggunakan sistem klasik, kelas Al-Qismul Arqo mulai diklasifikasi secara berjenjang dari kelas satu sampai kelas tiga. Jenjang kelas satu menampung murid sebanyak 20 orang, kelas dua sebanyak 10 orang, dan kelas tiga sebanyak 6 orang. Nama Al-Qismul Arqo lantas diganti dengan nama Pondok Muhammadiyah dan kurikulum umum, seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah Belanda, turut diberikan di sekolah ini (Setyowati & Mu'arif 2014, hlm. 84–85). Pada perkembangan selanjutnya, sekolah tersebut berganti nama lagi sebanyak tiga kali, yaitu Hoogere Muhammadiyah School (Sekolah Tinggi Muhammadiyah), Kweekschool Islam, dan Kweekschool Muhammadiyah atau Kweekschool Istri (Hamzah 1962, hlm. 69). Adapun murid-murid wanita dari Kweekschool Istri mulai dipisahkan dengan murid-murid laki-laki dari Kweekschool Muhammadiyah sejak tahun 1929. Pada 1932, pemerintah Belanda mengeluarkan Wilde Schoolen Ordonantie (Ordonansi Sekolah Liar 1932). Ordonansi tersebut mengatur keberadaan sekolah liar (sekolah yang diselenggarakan oleh kaum pribumi, yang gurunya tidak mau bekerja di sekolah milik pemerintah Belanda) dengan melarang pemakaian nama persamaan sekolah Belanda, termasuk Muhammadiyah dan Taman Siswa. Hal inilah yang membuat Kweekschool Muhammadiyah dan Kweekschool Istri akhirnya namanya diubah menjadi Madrasah Muallimin Muhammadiyah dan Madrasah Mualimat Muhammadiyah (Suminto 1985, hlm. 59).

Rujukan

  1. ^ "Moendjijah". Pimpinan Pusat Aisyiyah. Diakses tanggal 5 April 2020. 
  2. ^ Kutoyo (1983), hlm. 30–31
  3. ^ a b Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 77
  4. ^ Anis (1969), hlm. 9
  5. ^ "Siti Bariyah: Perempuan Pertama Penafsir Ideologi Muhammadiyah". Redaksi Ibtimes. Diakses tanggal 5 April 2020. 
  6. ^ Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 79
  7. ^ Suratmin (1990), hlm. 43–44
  8. ^ a b Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 81–82
  9. ^ Darban (2000), hlm. 36
  10. ^ a b Mulyati (2021), hlm. 144
  11. ^ Suratmin, dkk (1991), hlm. 20
  12. ^ Suratmin (1990), hlm. 99
  13. ^ a b Suratmin, dkk (1991), hlm. 19–20
  14. ^ a b Mulyati (2021), hlm. 145
  15. ^ Fauzan (2001), hlm. 78
  16. ^ Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 94
  17. ^ Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 80
  18. ^ Darban (2000), hlm. 47
  19. ^ "Para Gadis Kauman Perintis Perubahan". Redaksi Ibtimes. Diakses tanggal 6 April 2020. 
  20. ^ Suratmin (1990), hlm. 16
  21. ^ a b c d Mulyati (2021), hlm. 146
  22. ^ Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 82–83
  23. ^ "Organisasi Otonom". Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-04-01. Diakses tanggal 8 April 2020. 
  24. ^ Nashir, dkk (2010), hlm. 120
  25. ^ Sudja (1989), hlm. 39
  26. ^ Nashir, dkk (2010), hlm. 122
  27. ^ Mulkhan (2013), hlm. 8
  28. ^ Suratmin (1990), hlm. 44
  29. ^ Noer (1988), hlm. 90
  30. ^ a b c Mulyati (2021), hlm. 147
  31. ^ Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 83
  32. ^ Darban (2000), hlm. 44
  33. ^ a b Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 75–76
  34. ^ Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 92–92
  35. ^ a b Mulyati (2021), hlm. 148
  36. ^ Febriansyah, dkk (2013), hlm. 85–86
  37. ^ Darban (2000), hlm. 41
  38. ^ Suratmin, dkk (1991), hlm. 29

Daftar pustaka

Buku

  • Amini, Mutiah (2021). Sejarah Organisasi Perempuan Indonesia (1928–1998). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ISBN 978-602-3869-60-2. 
  • Anshoriy, Muhammad Nasruddin (2010). Matahari Pembaruan: Rekam Jejak K.H. Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher. ISBN 978-602-9703-21-4. 
  • Arifin, M.T. (1990). Muhammadiyah Potret yang Berubah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. ISBN 978-602-6268-01-3. 
  • Baha'uddin, dkk (2010). Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Sebuah Tinjauan Awal. Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. ISBN 978-979-1407-21-2. 
  • Blackburn, Susan (2007). Kongres Wanita Pertama: Tinjauan Ulang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV. ISBN 978-979-4616-10-9. 
  • Burhanudin, Jajat, dkk (2002). Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-6866-44-1. 
  • Darban, Ahmad Adaby (2000). Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah. Yogyakarta: Tarawang. ISBN 978-979-8681-26-4. 
  • Dzuhayatin, Siti Ruhaini (2015). Rezim Gender Muhammadiyah: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi. Yogyakarta: Suka Press UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. ISBN 978-602-2295-85-3. 
  • Fauzia, Amelia; Fathurahman, Oman (2004). Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta. ISBN 978-979-2210-55-2. 
  • Harnoko, Darto, dkk (2014). Rumah Kebangsaan Ndalem Jayadipuran Periode 1900–2014 (PDF). Yogyakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta. ISBN 978-602-1222-23-2. 
  • Mulkhan, Abdul Munir (2013). Marhaenis Muhammadiyah: Ajaran dan Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Galang Pustaka. ISBN 978-602-9431-27-8. 
  • Nakamura, Mitsuo (1983). Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin: Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ISBN 978-602-6268-02-0. 
  • Nashir, Haedar, dkk (2010). Profil 1 Abad Muhammadiyah. Jakarta: Lembaga Pustaka dan Informasi PP. Muhammadiyah. ISBN 978-979-7094-98-0. 
  • Noer, Deliar (1988). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES. ISBN 978-019-6382-54-8. 
  • Setyowati, Hajar Nur; Mu'arif (2014). Srikandi-Srikandi Aisyiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. ISBN 978-979-3708-97-3. 
  • Soeratno, Siti Chamamah, dkk (2009). Muhammadiyah Sebagai Gerakan Seni dan Budaya: Suatu Warisan Intelektual yang Terlupakan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-8479-49-3. 
  • Suminto, Husnul Aqib (1985). Politik Islam Hindia-Belanda. Jakarta: LP3ES. ISBN 978-979-8015-10-6. 

Buku lama

  • Anis, Junus (1969). Haji Fachrodin. Yogyakarta: PT. Percetakan Persatuan. 
  • Benda, Harry Jindrich (1985). Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya. 
  • Fauzan, Al (2001). Kitab Tauhid. Jakarta: Yayasan Al-Sofwa. 
  • Hamzah, Amir (1962). Pembaruan Pendidikan dan Pengajaran Islam yang Diselenggarakan Oleh Pergerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penyelenggara Publikasi Pembaruan Pendidikan/Pengajaran Islam. 
  • Kartodirdjo, Sartono, dkk (1975). Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  • Kutoyo, Sutrisno (1983). Kyai Haji Ahmad Dahlan. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 
  • Ohorella, G.A.; Sutjiatiningsih, Sri; Ibrahim, Muchtaruddin (1992). Peranan Wanita Indonesia pada Masa Pergerakan Nasional (PDF). Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 
  • Pijper, Guillaume Frédéric (1984). Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900–1950. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 
  • Sudja (1989). Muhammadiyah dan Pendirinya. Yogyakarta: PP. Muhammadiyah Majelis Pustaka. 
  • Suratmin (1990). Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional: Amal dan Perjuangannya. Yogyakarta: PP. Aisyiyah Seksi Khusus Penerbitan dan Publikasi. 
  • Suratmin, dkk (1991). Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama (PDF). Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 
  • Suryochondro, Sukanti (1984). Potret Pergerakan Wanita di Indonesia. Jakarta: Rajawali dan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. 

Dokumen resmi

  • Congresnummer: Congres Perempoean Indonesia jang Pertama 22–25 December 1928 di Mataram. 1928. 

Jurnal

Pranala luar

Didahului oleh:
Siti Aisyah Hilal
Ketua Umum Pimpinan Pusat 'Aisyiyah
1932–1936
Diteruskan oleh:
Siti Aisyah Hilal