Hormat

tingkatan dalam bahasa Sunda

Hormat atau Basa Hormat (aksara Sunda baku: ᮘᮞ ᮠᮧᮁᮙᮒ᮪, pengucapan bahasa Sunda: [basa hormat],[a] bahasa Indonesia: bahasa Hormat) adalah salah satu tingkatan bahasa Sunda yang digunakan ketika berbicara kepada ataupun membicarakan orang yang lebih tinggi baik pangkatnya, kedudukannya dan umurnya maupun terhadap siapa saja yang dihormati.[1] Serta untuk membicarakan diri sendiri dengan tetap meninggikan lawan bicara.[2] Oleh karena itu, ragam bahasa ini dibagi menjadi dua yaitu hormat ka batur dan hormat ka sorangan. Tingkatan bahasa ini termasuk ke dalam Tatakrama bahasa Sunda dan posisinya berada di atas bahasa Loma.

Basa hormat dicirikan dengan penggunaan kosakata lemes yang dikhususkan untuk dipakai dalam situasi sopan, kata-kata ini dibentuk dengan perubahan vokal, konsonan, atau bunyi dari sebuah kata loma, maupun tercipta dari perubahan kata secara menyeluruh.[3]

Hormat ka batur

Basa Hormat ka batur (aksara Sunda baku: ᮘᮞ ᮠᮧᮁᮙᮒ᮪ ᮊ ᮘᮒᮥᮁ, pengucapan bahasa Sunda: [basa hormat ka batʊɾ], bahasa Indonesia: bahasa hormat terhadap orang lain) adalah ragam bahasa hormat dalam bahasa Sunda yang tingkatannya paling tinggi diantara ragam bahasa yang lainnya. Ragam bahasa ini digunakan ketika berbicara kepada ataupun membicarakan seseorang yang dihormati.[4] Kosakata yang digunakan dalam ragam bahasa ini adalah kata lemes, kata lemes pisan dan kata lemes enteng.[2] Selain penggunaan kosakata tersebut, ragam bahasa ini juga memiliki ciri sebagai berikut:

  • Penambahan artikula

Pada istilah kekerabatan (bahasa Sunda: pancakaki), ragam bahasa ini menambahkan kata tuang[b] yang ditempatkan di depan kata sebagai bentuk kata ganti kepemilikan orang ketiga, misalnya: tuang rama (ᮒᮤᮃᮀ ᮛᮙ, ayah/paman anda), tuang ibu (ᮒᮤᮃᮀ ᮄᮘᮥ, ibu/bibi anda), tuang rayi (ᮒᮤᮃᮀ ᮛᮚᮤ, adik/istri anda), tuang raka (ᮒᮤᮃᮀ ᮛᮊ, kakak/suami anda), tuang putra (ᮒᮤᮃᮀ ᮕᮥᮒᮢ, anak anda), tuang putu (ᮒᮤᮃᮀ ᮕᮥᮒᮥ, cucu anda), tuang éyang (ᮒᮤᮃᮀ ᮆᮚᮀ, kakek/nenek anda).[5]

Hormat ka sorangan

Basa Hormat ka sorangan (aksara Sunda baku: ᮘᮞ ᮠᮧᮁᮙᮒ᮪ ᮊ ᮘᮒᮥᮁ, pengucapan bahasa Sunda: [basa hormat ka soraŋan], bahasa Indonesia: bahasa hormat terhadap diri sendiri) adalah ragam bahasa hormat dalam bahasa Sunda yang tingkatannya berada di bawah bahasa hormat ka batur. Ragam bahasa ini digunakan untuk membicarakan diri sendiri[6] dalam situasi yang sopan serta bersifat merendahkan diri sendiri dan meninggikan lawan bicara, selain itu ragam bahasa ini juga bisa dipakai untuk menghormati orang lain namun usia dan kedudukannya lebih rendah dari penutur. Kosakata yang digunakan adalah kata sedeng, kata panengah dan kata lemes enteng.[2][7] Selain penggunaan kosakata tersebut, ragam bahasa ini juga memiliki ciri sebagai berikut:

  • Penambahan artikula

Di dalam ragam bahasa ini, istilah kekerabatan (bahasa Sunda: pancakaki) biasanya ditambahkan dengan kata pun yang ditempatkan di depan kata sebagai bentuk kata ganti kepemilikan orang pertama, misalnya: pun bapa (ᮕᮥᮔ᮪ ᮘᮕ ayah saya), pun biang (ᮕᮥᮔ᮪ ᮘᮤᮃᮀ ibu saya), pun paman (ᮕᮥᮔ᮪ ᮕᮙᮔ᮪ paman saya), pun bibi (ᮕᮥᮔ᮪ ᮘᮤᮘᮤ bibi saya), pun adi (ᮕᮥᮔ᮪ ᮃᮓᮤ adik saya), pun lanceuk (ᮕᮥᮔ᮪ ᮜᮔ᮪ᮎᮩᮊ᮪ kakak saya), pun anak (ᮕᮥᮔ᮪ ᮃᮔᮊ᮪ anak saya), pun incu (ᮕᮥᮔ᮪ ᮄᮔ᮪ᮎᮥ cucu saya), pun aki (ᮕᮥᮔ᮪ ᮃᮊᮤ kakek saya), pun nini (ᮕᮥᮔ᮪ ᮔᮤᮔᮤ nenek saya).

Kata-kata berikut ini merupakan kata loma yang sering digunakan dalam ragam bahasa ini, kata-kata tersebut mempunyai padanan kata lemes, tetapi tidak mempunyai padanan kata sedeng.

  • kata kerja:[8]
    • nginum (ᮍᮤᮔᮥᮙ᮪), minum
    • hudang (ᮠᮥᮓᮀ), bangun
    • mandi (ᮙᮔ᮪ᮓᮤ), mandi
    • nangtung (ᮔᮀᮒᮥᮀ), berdiri
    • leumpang (ᮜᮩᮙ᮪ᮕᮀ), berjalan

Catatan

  1. ^ terkadang disebut dengan istilah basa lemes yang lebih dikenal oleh kebanyakan penutur bahasa Sunda
  2. ^ Sebuah kata ganti kepunyaan yang berbeda dengan kata verba tuang yang bermakna "makan"

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Coolsma 1985, hlm. 14.
  2. ^ a b c Ardiwinata 1984, hlm. 2.
  3. ^ Adiwijaya 1951, hlm. 61.
  4. ^ Iskandar & Sukmara 2014, hlm. 9.
  5. ^ Coolsma 1985, hlm. 191.
  6. ^ Iskandar & Sukmara 2014, hlm. 8.
  7. ^ Ardiwinata 1984, hlm. 4.
  8. ^ Kats 1982, hlm. 7.

Daftar pustaka

Pranala luar