Osob kiwalan (bahasa Jawa: båså walikan, arti harafiah: bahasa kebalikan) adalah sebuah ragam bahasa Jawa yang lazim dipakai oleh masyarakat Malang Raya yang meliputi Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu. Diberi nama osob kiwalan karena pada umumnya hanya membalikkan posisi huruf pada kosakata bahasa Jawa ataupun bahasa Indonesia, kecuali pada konsonan rangkap, afiks, dan gabungan suku kata yang tidak memungkinkan bisa dibalik.[1] Bentuk bahasa ini tidak dapat dipisahkan dari bahasa Jawa Malangan baik secara lisan maupun tertulis.[2]

Spanduk di Malang yang menggunakan osob kiwalan

Berawal sebagai sandi komunikasi oleh para pejuang Gerilya Rakyat Kota (GRK) pada masa awal kemerdekaan Indonesia, kini, osob kiwalan telah banyak digunakan oleh kalangan anak muda baik dari Malang maupun luar Malang dalam percakapan sehari-sehari dan merupakan bentuk identitas bagi Kota Malang.[3] Osob kiwalan banyak dipopulerkan melalui media sosial dan berbagai bentuk lain, seperti dalam tulisan pada graviti dan cenderamata. Selain itu, banyak pendukung klub sepakbola asal Malang, Aremania, juga turut andil dalam mempopulerkan osob kiwalan sebagai bentuk dukungan kepada pemain sepakbola maupun percakapan sehari-hari.[4]

Sejarah

Awal mula osob kiwalan berasal dari pemikiran para pejuang era perang kemerdekaan, yaitu kelompok Gerilya Rakyat Kota. Bahasa khusus ini dianggap perlu untuk menjamin kerahasiaan, efektivitas komunikasi sesama pejuang, dan juga sebagai pengenal identitas kawan atau lawan. Metode pengenalan ini sangat penting karena pada masa perang kemerdekaan sekitar akhir Maret 1949, Belanda banyak menyusupkan mata-mata di dalam kelompok pejuang Malang. Mata-mata ini banyak yang mampu berkomunikasi dalam bahasa daerah dengan tujuan menyerap informasi dari kalangan pejuang GRK. Penyusupan ini terutama untuk memburu sisa laskar pimpinan Mayor Hamid Rusdi, yang telah gugur pada 8 Maret 1949 dalam pertempuran Dukuh Sekarputih (sekarang Wonokoyo).

Seorang tokoh pejuang Malang pada saat itu, Suyudi Raharno, mempunyai gagasan untuk menciptakan bahasa baru bagi sesama pejuang sehingga dapat menjadi suatu identitas tersendiri sekaligus menjaga keamanan informasi. Bahasa tersebut haruslah lebih kaya dari kode dan sandi serta tidak terikat pada aturan tata bahasa, baik itu bahasa nasional, bahasa daerah (Jawa, Madura, Arab, Tionghoa), maupun mengikuti istilah yang umum dan baku. Bahasa campuran tersebut hanya mengenal satu cara, baik pengucapan maupun penulisan, yaitu dibaca secara terbalik dari belakang ke depan.

Pada saat itu, banyak sekali mata-mata Belanda yang berasal dari orang pribumi sendiri. Otomatis, komunikasi dalam bahasa Jawa menjadi hal yang riskan karena para mata-mata juga pasti akan paham dan lantas akan membocorkannya pada pihak Belanda. Oleh karena itu, para pejuang menggunakan osob kiwalan untuk mengelabui para mata-mata, sekaligus untuk meminimalisir bocornya strategi perjuangan para gerilyawan.

Karena keakraban dan pergaulan sehari-hari, para pejuang dalam waktu singkat dapat fasih menguasai "bahasa baru" ini. Sedangkan lawan dan para penyusup, yang tidak setiap hari bergaul, dengan sendirinya akan kebingungan dan selalu ketinggalan istilah-istilah baru. Siapapun yang tidak fasih mempergunakan bahasa ini dapat dipastikan bukan bagian dari golongan pejuang dan pendukungnya, sehingga kehadiran para penyusup dapat diketahui dengan cepat serta rahasia komunikasi tetap terjaga.

Karena aturan dalam bahasa ini sangat bebas dan longgar, kemungkinan pengembangannya menjadi sangat luas. Oleh karena itu, beberapa istilah penting perlu disepakati di kalangan pejuang. Kesepakatan istilah ini juga diperlukan karena banyak kata penting sulit untuk dibaca terbalik, sehingga harus dicari istilah dan padanan yang sesuai namun mudah diingat oleh para pelakunya. Sebagai contoh, kata Belanda dalam bahasa Jawa disebut Landa yang cukup sulit dibaca terbalik, maka digunakan istilah padanan berupa Nolo. Demikian juga dengan polisi yang tidak dibalik menjadi isilop, namun cukup silop. Kemudian untuk mata-mata, bila dibaca terbalik menjadi atam. Namun, untuk menentukan bahwa yang dimaksud dalam istilah tersebut adalah antek Belanda, maka ditambah kata keat, berasal dari kata taek yang dalam bahasa Jawa berarti kotoran. Keat atam, atau kotoran mata, yang dalam bahasa Jawa juga disebut ketek, digunakan sebagai istilah untuk para penyusup.

Senjata genggam disebut benduk karena sulit menemukan istilah yang pas. Senjata laras panjang disebut benduk owod atau owod, dari kata benduk 'senjata' dan owod, yang diambil dari bahasa Jawa dawa 'panjang'. Sedangkan untuk menyebut masyarakat dari suku/etnis tertentu, digunakan istilah onet untuk etnis Tionghoa (berasal dari kata cina dalam bahasa Jawa), arudam untuk etnis Madura, bara untuk etnis Arab, dan lain-lain. Sedangkan untuk kata ganti persona, digunakan uka 'aku', ayas 'saya', umak 'kamu', dan okir 'kamu' (berasal dari kata rika 'kamu' dalam dialek bahasa Jawa).

Sesuatu yang baik/bagus disebut sebagai nez, berasal dari kata zen dalam bahasa Arab. Kata sapaan untuk orang tua laki-laki adalah ebes 'bapak', berasal dari kata abah atau sebeh yang biasa digunakan oleh etnis Arab. Ebes kemudian menjadi sapaan yang populer digunakan sebagai gelar kehormatan tidak resmi kepada para komandan, pemimpin, atau pembesar/pemuka masyarakat yang dituakan oleh segenap masyarakat Malang. Penggunaan ini bertahan sampai sekarang.

Suyudi Raharno gugur disergap Belanda di suatu pagi buta di pinggiran wilayah dukuh Genukwatu (sekarang Purwantoro) pada September 1949, walaupun gencatan senjata sedang berlaku saat itu. Seminggu sebelumnya, salah seorang kawan akrabnya yang turut mencetuskan osob kera Ngalam 'bahasa anak Malang', Wasito, juga gugur dalam pertempuran di Gandongan (sekarang Pandanwangi). Keduanya disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Untung Suropati.

Sejatinya, osob kiwalan bukanlah bahasa sandi karena tetap menggunakan bahasa yang lazim digunakan. Bahasa ini hanya memiliki cara membaca yang berbeda. Kata yang lazimnya dibaca dari kiri ke kanan akan dibaca sebaliknya, yaitu dari kanan ke kiri. Kosakata yang dibalik dapat berasal baik dari bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia, sehingga osob kiwalan dapat terus berkembang. Namun, tentu tidak semua kata bisa dibuatkan istilah walikan-nya, karena hanya kata-kata yang umum saja yang biasa dibaca secara terbalik. Sebagai contoh, kata komputer tidak pernah diucapkan sebagai retupmok karena sulit diucapkan dan tidak lazim digunakan.

Referensi

  1. ^ Hanggoro, Wahyu Puji (2016-01-01). "Bahasa Walikan Sebagai Identitas Arek Malang". Etnografi. 16 (1): 23–30. ISSN 1411-7258. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-10-26. Diakses tanggal 2018-04-14. 
  2. ^ Setyanto, Aji (2016). Osob Ngalaman (Bahasa Slang asal Malang) sebagai Salah Satu Icon Malang: Studi Struktur Osob Ngalaman, dalam Sosial Network. Malang: Jurnal Pariwisata Pesona Universitas Merdeka Malang. ISSN 1410-7252. 
  3. ^ Rachmawaty, Iin (2012). "Lawikan Kera Ngalam di Tengah Arus Globalisasi". Jurnal Lakon. 1 (1): 98–104. doi:10.20473/lakon.v1i1.1922. 
  4. ^ Fitriah, Sa'idah (2015). Penyutradaraan Dokumen Interaktif Boso Walikan Malang “Nendes Kombet” (PDF). Yogyakarta: Jurusan Televisi Fakultas Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia Yogyakarta.