Siti Munjiyah

Anggota Kongres Perempuan Pertama Indonesia

Siti Munjiyah (Ejaan Van Ophuijsen: Siti Moendjijah; lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada 1896 dan meninggal di Tasikmalaya, Jawa Barat pada 1955) adalah tokoh Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah ke-16–20. Dia adalah anak keenam dari Haji Hasyim Ismail, sedangkan keluarganya dikenal dengan sebutan “Bani Hasyim Kauman”, yang menjadi pendukung gerakan Muhammadiyah.

Siti Munjiyah
Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah ke-16–20
Masa jabatan
1932–1936
Informasi pribadi
Lahir
Siti Moendjijah

1896
Belanda Kampung Kauman, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Hindia Belanda
Meninggal1955
Indonesia Kota Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat
MakamMakam Kauman
Suami/istriK.H. Ghozali (bercerai)
Anak3 anak adopsi dari Siti Bariyah
  • Siti Antaroh
  • Ichnaton
  • Fuad
Dikenal karenaPeserta Kongres Wanita Indonesia Pertama
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Munjiyah merupakan salah satu wanita generasi awal di Hindia Belanda yang mempunyai latar belakang pendidikan yang baik. Pendidikan yang diterimanya meliputi Madrasah Diniyah Ibtidaiyah, Sopo Tresno, dan Al-Qismul Arqo. Pendidikan tersebut memunculkan suatu kesadaran kritis dalam dirinya bahwa adat dalam kehidupan masyarakat saat itu menghambat pola kemajuan wanita.

Partisipasinya dalam skala nasional adalah menjadi peserta Kongres Wanita Indonesia Pertama bersama dengan Siti Hayinah Mawardi, yang diadakan di Ndalem Jayadipuran pada 22–25 Desember 1928. Dia mengemukakan pendapat tentang derajat wanita dalam acara penyampaian pidato. Pidato yang disampaikannya merupakan respon dari gerakan feminisme liberal yang berkembang saat itu. Dia mengelompokkan derajat dan kemuliaan kaum wanita menjadi tiga bagian, yaitu tinggi budinya, banyak ilmunya, dan baik kelakuannya. Tampilnya dalam forum tersebut membuka pandangan baru bagi para wanita untuk dapat berperan di dalam masyarakat dan menyingkirkan sekat-sekat tradisional.

Latar belakang

Keluarga

Munjiyah lahir pada 1896 di Kampung Kauman, Yogyakarta,[1] yaitu kampung para santri dan pengusaha batik.[2] Sumber primer untuk menjelaskan kelahirannya adalah catatan pribadi ayah kandungnya, yaitu Hasyim Ismail yang berprofesi sebagai abdi dalem keagamaan[a] atau penghulu Kesultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Hamengkubuwana VIII. Berdasarkan catatannya itu, dia menjelaskan tahun kelahiran putrinya, yaitu “tatkala dhahiripun Siti Munjiyah amarengi nalika ing dinten Isnain Legi kaping 14 wulan Dzulhijah tahun Jim awal 1317” (ketika lahir Siti Munjiyah bersamaan dengan hari Senin Legi tanggal 14 bulan Dzulhijah tahun Jim awal 1317).[3]

Anak-anak dari Hasyim semuanya berjumlah delapan orang, sedangkan Munjiyah sendiri merupakan anak keenam.[3] Adapun saudara kandungnya yang lain adalah Siti Jasimah, Muhammad Sudja, Fachrodin, Bagus Hadikusumo, Zaini, Siti Bariyah, dan Walidah.[4][5] Mereka kemudian dikenal dengan sebutan “Bani Hasyim Kauman” dan pendukung gerakan Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan.[6] Selain itu, mereka juga mendapatkan pendidikan agama secara langsung melalui kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Siti Walidah.[b][7]

Keterangan ini turut diperkuat oleh secarik catatan yang ditulis oleh Mu’tasimbillah Al-Ghozi (cucu Sudja) berjudul Anak Cucu Lurah Hasyim Ismail Berkhidmat kepada Muhammadiyah, yang dikutip oleh Mua’arif dan Hajar Nur Setyowati (pengkaji Aisyiyah) sebagai berikut.[8]

Semua putra dan putri Eyang Hasyim bin Ismail, lelaki atau wanita, mengaji kepada orang tuanya atau belajar kepada K.H. Ahmad Dahlan, seorang guru ngaji di seberang rumahnya. Baik dalam bidang agama maupun dalam bidang ilmu umum yang K.H. Ahmad Dahlan berikan, semua generasi pertama dari Bani Hasyim belajar kepadanya. Generasi pertama ini kira-kira mulai tahun 1301 Hijriah atau 1880-an Masehi.[8]

 
Potret Siti Munjiyah di Majalah Suara Aisyiyah.

Sebagai anggota keluarga dari abdi dalem, keluarga Munjiyah memiliki pusat kegiatan di Langgar Dhuwur.[c] Dengan demikian, secara kultural dia berasal dari lingkungan keluarga yang memahami tata kehidupan dan pergaulan di lingkungan keraton, sedangkan Muhammadiyah yang tumbuh di Kauman turut memberikan pengaruh terhadap pembentukan kepribadiannya.[9]

Kauman yang menjadi tempat tinggal dan kelahirannya juga membuat Munjiyah “mengakrabi” tradisi Jawa yang bersinggungan dengan tradisi Islam sepanjang hidupnya. Dia "akrab" dengan tradisi yang dikesankan sepenuhnya oleh logika feminisme sebagai penindasan, tetapi kehidupannya tidak menunjukkan ketertindasan tersebut. Ketika berada di dalam "ruang privat", Munjiyah merupakan wanita biasa, tetapi di "ruang publik" dia adalah salah satu tokoh Aisyiyah yang aktif.[10]

Dirinya juga rutin berinteraksi dengan banyak organisasi wanita yang tumbuh saat itu (seperti Wanita Taman Siswa, Jong Java, dan Wanita Oetama) sebagai wakil dari Aisyiyah.[11] Hal ini menunjukkan bahwa dia dapat hidup dalam “dua ruang” yang berbeda dan juga tidak mengalami “masalah berarti” dengan tradisi yang melingkupinya.[10] Suratmin (pengkaji Muhammadiyah) berpandangan bahwa hal tersebut disebabkan karena semua hal yang terus dilakukannya adalah bentuk “dialog” antara dirinya dengan realitas di sekelilingnya.[12]

Suratmin dalam buku Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama yang ditulisnya dengan para peneliti lain menggambarkan bahwa aktivis Aisyiyah tersebut berperawakan gemuk, postur tubuhnya agak tinggi, dan wajahnya bulat. Sekalipun dia merupakan salah satu putri dari Lurah Hasyim, penampilannya tetap sederhana.[13] Selain itu, Djarnawi Hadikusuma yang berstatus sebagai keponakannya turut menambahkan jika bibinya itu tidak senang mengenakan perhiasan mewah, serta teguh pendiriannya dalam memegang syariat Islam.[14] Perilaku tersebut menurut Al-Fauzan (pengkaji Islam) merupakan suatu ibadah. Ibadah sendiri memiliki berbagai macam cakupan ketaatan yang tampak dari lisan dan anggota badan.[15]

Pernikahan

Munjiyah menikah dengan K.H. Ghozali yang juga berasal dari Kauman, tetapi pernikahan tersebut tidak harmonis. Rumah tangga yang dibangunnya tidak langgeng dan membuat keduanya lantas bercerai.[13] Setelah bercerai, dia tidak menikah lagi dan mencurahkan tenaganya untuk organisasi Aisyiyah. Pada saat itu, dia masih satu rumah dengan Bagus Hadikusumo dan mengadopsi anak-anak Bariyah yang meninggal dunia, yaitu Siti Antaroh, Ichnaton, dan Fuad.[16]

Pendidikan

Madrasah Diniyah Ibtidaiyah

Munjiyah merupakan salah satu wanita modern generasi awal di Hindia Belanda yang memiliki latar belakang pendidikan memadai.[14] Mu’arif dan Setyowati mengemukakan bahwa Munjiyah dan para wanita lain di Kauman memang telah dipersiapkan oleh Ahmad Dahlan untuk menjadi seorang mubalighat (ulama wanita).[17] Pada 1913, para aktivis wanita muda itu dibimbing dan disekolahkan oleh Dahlan agar menguasai ilmu pengetahuan umum maupun ilmu agama. Siti Wadingah, Siti Dawimah, dan Siti Bariyah[d] disekolahkan di Neutraal Meisjes School (sekolah umum) yang berada di Ngupasan, sedangkan Munjiyah dan Siti Umniyah disekolahkan di Madrasah Diniyah Ibtidaiyah (sekolah agama).[18][19]

Kedua pola pendidikan tersebut memunculkan kesadaran kritis bahwa adat yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat Kauman sangat menghambat kemajuan kehidupan wanita, sehingga wanita hanya memiliki ruang terbatas dalam aktivitas sosial.[20] Hal inilah yang membuat wanita-wanita lain pendukung Muhammadiyah menyusul masuk ke sekolah umum, yaitu Siti Badilah Zubair, Siti Hayinah Mawardi, Siti Dauchah, Siti Dalalah, dan Siti Busyro.[21]

Munjiyah dan para wanita-wanita itu mendapatkan pendidikan agama langsung melalui kursus-kursus dan pengajian yang diadakan oleh Dahlan di Madrasah Diniyah Ibtidaiyah. Mereka ditempa menjadi calon pemimpin melalui bimbingan dan asuhan yang diberikan oleh Dahlan. Kursus-kursus dan pengajian agama tersebut menjadi cikal bakal sekolah-sekolah Muhammadiyah di kemudian hari.[22]

Sopo Tresno

 
Hoofdbestuur Sopo Tresno tahun 1919–1922. Kudung menjadi ciri khas dari para anggota gerakan Aisyiyah di kemudian hari.

Setahun setelah menyekolahkan para wanita di sekolah umum dan agama, Dahlan dan istrinya lantas mendirikan perkumpulan kaum wanita yang berawal dari kursus membaca Al-Qur'an dengan nama Sopo Tresno.[21] Perkumpulan inilah yang kelak diubah namanya menjadi Aisyiyah pada 19 Mei 1917 dan menjadi organisasi otonom (ortom)[23] yang diberi hak mengatur organisasinya secara mandiri.[24] Sopo Tresno (bahasa Jawa) berarti "siapakah yang berkasih sayang". Saat itu, perkumpulan ini belum menjadi suatu organisasi, tetapi hanya gerakan pengajian saja.[25]

Pengajian yang dilaksanakan di Sopo Tresno terus berlangsung sampai namanya diubah menjadi Aisyiyah.[26] Selain pengajian, program pertama perkumpulan tersebut adalah mengusahakan agar setiap wanita peserta pengajian memakai kudung dari kain sorban berwarna putih. Perkumpulan ini lantas mengembangkan Pengajian Wal-Ashri dan Muballighin[e] yang diselenggarakan setiap hari Senin sore.[27]

Melalui perkumpulan itulah kaum wanita di Kauman, termasuk Munjiyah, mendapatkan pendidikan berorganisasi dan aktif bergerak di bidang sosial-keagamaan.[21] Sembari menjalani pendidikan di Madrasah Diniyah, dia dan para wanita lain juga dididik menjadi pemimpin yang memiliki sikap terbuka.[28]

Pembentukan amal usaha yang dilakukan oleh Munjiyah dan para wanita lain di dalam Sopo Tresno tidak tergantung kepada kelompok atau organisasi lain, termasuk Muhammadiyah sebagai organisasi induknya.[21] Salah satu kegiatan utama perkumpulan tersebut adalah membantu kerja Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) serta mengasuh beberapa orang anak yatim atau anak-anak yang tidak mampu meneruskan sekolah. Hal inilah yang menjadi modal dasar bagi Aisyiyah, sehingga mampu memiliki dan mengelola berbagai jenis usaha layanan publik, terutama bidang kesehatan dan pendidikan.[29]

Al-Qismul Arqo (Madrasah Mualimat)

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Diniyah Ibtidaiyah dan mendapatkan pendidikan berorganisasi di Sopo Tresno, Munjiyah menjalani pendidikan di Al-Qismul Arqo[f] yang diselenggarakan di emperan rumah Ahmad Dahlan sejak tahun 1918. Salah satu faktor yang menyebabkan dirinya masuk ke dalam sekolah tersebut adalah kebutuhan muballighin (laki-laki penyiar agama Islam) dan muballighat (wanita penyiar agama Islam) untuk menyebarkan paham Muhammadiyah ke luar Kauman.[30] Mu’arif dan Setyowati menjelaskan bahwa Munjiyah termasuk salah satu wanita yang dipersiapkan sebagai juru dakwah Muhammadiyah, sehingga dia dimasukkan ke dalam kelas itu oleh Dahlan.[31]

Al-Qismul Arqo lebih banyak mendalami pendidikan agama Islam dan menjalankannya dengan sistem sekolah modern, sedangkan kegiatan pembelajarannya dilakukan dengan duduk di lantai dan menggunakan bekas kotak minyak tanah sebagai meja tulisnya.[30] Tokoh yang memelopori pendirian sekolah tingkat lanjut ini adalah Muhammad Sangidu (ayah Siti Umniyah).[32]

Setelah berganti nama menjadi Madrasah Mualimat Muhammadiyah, pembelajaran di sekolah tersebut diseimbangkan antara dasar-dasar ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum yang mendukung visi dan misi Muhammadiyah.[30] Salah satu pendidikan yang diterima oleh Munjiyah di sekolah ini adalah pembinaan yang dilakukan oleh Siti Walidah agar seorang wanita berpenampilan sederhana, sebagaimana dijelaskan oleh Mu’arif dan Setyowati berikut.[33]

Kaum istri diimbau agar tidak silau kepada perhiasan mewah, sampai-sampai mereka rela meminjam uang kepada tetangganya hanya untuk mengejar penampilan atau terlihat cantik. Wanita jangan memiliki jiwa kerdil, tetapi berjiwa srikandi. Apabila wanita itu minta bermacam-macam, menunjukkan bahwa mereka miskin.[33]

Pesan tersebut membuat Munjiyah memiliki pembawaan yang sederhana dan berpengalaman sebagai muballighat di Aisyiyah. Dia juga dikenal di kalangan organisasi-organisasi wanita lain sebagai dai wanita yang berpandangan inklusif serta toleran.[34]

Amal usaha keagamaan

 
Para wanita penggerak Aisyiyah tahun 1928.

Selain mempunyai ikatan keluarga yang cukup dekat dengan Siti Walidah, Munjiyah mempunyai kesamaan paham dengannya dan menjadi pendukung dari gerakan Aisyiyah.[35] Dukungan Munjiyah berupa sistem organisasi, amal usaha, dan etos amaliah mendorong Aisyiyah berproses secara intensif di lingkungan masyarakat, khususnya Kauman.[36]

Ahmad Adaby Darban (sejarawan Muhammadiyah) mencatat bahwa dengan dilantiknya Sangidu menjadi penghulu keraton, para penghulu lain yang berada di bawah kepemimpinannya, termasuk ayah Munjiyah, menjadi semakin terbuka kepada Muhammadiyah dan Aisyiyah. Kedua organisasi tersebut mulai diperbolehkan masuk ke Bangsal Pengulon, yang sebelumnya menjadi tempat tabu bagi masyarakat awam.[37] Melalui ayahnya, Munjiyah turut mempermudah Siti Walidah dalam memperkenalkan pemahaman Islam modern di Kauman.[35]

___

Djazman turut menambahkan bahwa anak dan cucu dari Haji Hasyim Ismail, termasuk Siti Munjiyah, memang banyak yang berkiprah di organisasi Muhammadiyah dan Aisyiyah. Namun, kiprah tersebut bukan dikarenakan mereka keturunan dari Haji Hasyim Ismail, melainkan lebih disebabkan oleh kemampuan atau kapasitas yang dimilikinya. Anshoriy menegaskan bahwa para anggota Muhammadiyah maupun Aisyiyah memang tidak mengakui perannistimewa dari para ulama yangusecara genealogis turut terhubung dengan kedua organisasi itu, tetapi gerakan tersebut secara jelas meletakkan elit ahli syariat sama pentingnya dengan ulama. Semakin tinggi pengetahuan syariat seseorang, besar pula peluangnya untuk memangku jabatan strategis di dalam gerakan ini.

Tradisi Muhamadiyah yang memang tidak mengenal garis keturunan menjadi salah satu kelebihan tersendiri dari para anggota Muhammadiyah keturunan Haji Hasyim Ismail dalam ikut membesarkan perserikatan yang disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 22 Agustus 1914 tersebut.  Harus diakui bahwa beberapa ortom yang telah berdiri di Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari keturunan Haji Hasyim Ismail. Salah satu ortom yang ada di Muhammadiyah adalah Siswo Proyo Wanito (SPW). Menurut Siti Chamamah Soeratno, SPW merupakan embrio atau cikal bakal dari Nasyiyatul Aisyiyah (NA). SPW adalah perkumpulan anak-anak wanita atau remaja putri di Kauman yang mulai dibangun sejak tahun 1919 dan berubah namanya menjadi NA pada 1931.

Siti Munjiyah bersama dengan anak pertama dari K.H. Sangidu (Siti Umniyah) tercatat sebagai salah satu tokoh yang berhasil memajukan ortom ini. NA kemudian dipimpin oleh Siti Umniyah selama sekitar + 10 tahun dan tampuk kepemimpinan beralih kepada Zoechrijah pada 1929.

Hubungan harmonis antara Siti Mujiyah dan organisasi Aisyiyah yang disokongnya dengan Kesultanan Yogyakarta ini menarik dikaji mengingat kesultanan merupakan pusat tradisi kejawen yang penuh dengan hal-hal berbau mistik, sedangkan di-sisi lain Aisyiyah yang disokong oleh Siti Munjiyah lebih teridentifikasi sebagai organisasi puritan yang memberantas takhayul (memercayai sesuatu yang tidak ada), bidah (perbuatan yang dilakukan bukan berdasarkan contoh yang telah ditetapkan, termasuk menambah atau mengurangi ketetapan), serta khurafat (ajaran tidak masuk akal) (disingkat::TBC) di kemudian hari.

Perjuangan Siti Munjiyah dalam membela ajaran Nyai Ahmad Dahlan dimulai sejak dia mengikuti paham tersebut dan mengajarkannya kepada para santri SPW. Dia meminta kepada para-santri wanita tersebut untuk-mengamalkan ajaran Islam secara nyata, terutama Surah Al-Ma’un. Mereka diperintahkan agar menyantuni para fakir miskin dengan cara memberinya makan dan menyuruh mereka mandi untuk selanjutnya diberikan pakaian, dan akhirnya diminta untuk bersembahyang. Surah ini yang dijadikan pedoman bagi K.H. Ahmad-Dahlan di kemudian hari untuk mencari sumber daya masyarakat dalam membangun basis teologi pengembangan amal sosial organisasi Muhammadiyah dan Aisyiyah. Menurut Febriansyah, prinsip keikhlasan yang ada di dalam surah tersebut juga menjadi salah satu pelengkap dalam menyukseskan perjuangan amal-usaha Aisyiyah.

Partisipasi dalam pergerakan wanita

Pemikiran tentang emansipasi

Siti Munjiyah menjabat sebagai ketua umum PP. Aisyiyah selama lima periode, yaitu sejak tahun 1932–1936. Sepanjang sejarahnya, sejak diproklamasikan berdiri secara resmi pada 19 Mei 1917, Aisyiyah dapat melintasi batas-batas semangat masanya yang terus berubah agar tetap ada sebagai salah satu bagian dari kekinian masyarakat. Aisyiyah memang bukanlah organisasi wanita yang pertama kali berdiri di Indonesia, tetapi yang membedakannya dengan organisasi wanita yang lain adalah Aisyiyah merupakan pembaru peran wanita dalam ranah agama, wanita sebagai mubalighat yang terdidik, dan pemimpin wanita yang mumpuni. Organisasi itu mentransformasikan prinsip “berlomba-lomba melakukan kebaikan” dan “banyak bekerja sedikit bicara” menjadi gerakan sosial wanita yang memiliki fondasi sosiologis dan ideologis yang kuat dalam masyarakat di tingkat paling bawah.


Aisyiyah berhasil menjadi sebuah gerakan sosial wanita yang bergerak langsung secara riil di tingkat akar rumput ketika dipimpin oleh Siti Munjiyah. Aisyiyah cenderung memfungsikan kembali peran agama sebagai rujukan dalam bertindak. Tentu saja, peran dan fungsi agama ini ditujukan untuk kepentingan dan pemberdayaan kaum miskin dan anak-anak yatim. Organisasi wanita seperti Aisyiyah diperlukan masyarakat umum bagi penyelenggaraan beberapa kegiatan yang berhubungan dengan kewanitaan. Hal ini dikarenakan organisasi Aisyiyah didirikan dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan secara umum dan wawasan kepada masyarakat luas, khususnya para wanita, agar mereka menjadi lebih cerdas.

Siti Munjiyah menekankan bahwa wanita harus memiliki peranan aktif menjadi agen dalam pembangunan mengingat kuantitas dari para wanita lebihubaik dibandingkan dengan kaum laki-laki ketika menjabat sebagai ketua umum. Selain itu, wanita juga berperan dalam membentuk karakter sebuah bangsa. Maju atau mundurnya karakter sebuah bangsa tergantung dari kondisi kaum wanitanya. Wanita memberikan pengaruh dalam meningkatkan kadar kesusilaan umat manusia karena dari kaum wanitalah manusia menerima pendidikan pertama, terutama dalam pembinaan mental dan moral – di tangan para wanita, seorang anak belajar berpikir dan berbicara. Kiranya, dapat disadari bahwa salah satu prasyarat bagi keberhasilan usahai ersebut adalah keteladanan dari seorang wanita.

Kemandirian yang disertai dengan ketulusan kultural merupakan ciri lain yang berhasil dibangun oleh Siti Munjiyah dalam organisasi Aisyiyah, yang memungkinkan gerakan wanita Islam yang berawal di sekitar Kauman ini mampu bertahan dan tetap memberikan pencerahan bagi peradaban bangsa. Para wanita pelaku gerakan-gerakan sosial di dalam Aisyiyah, terutama di tingkat akar rumput, masih tetap setia dengan kesederhanaan Nyai Ahmad Dahlan yang tidak menempatkan penampilan sebagai prioritas di tengah arus modernisasi gaya hidup seiring dengan menguatnya konsumerisme maupun sifat hedonisme. Hal inilah yang menjadi modal dasar bagi organisasi Aisyiyah hingga mampu menjadi gerakan wanita yang mendobrak kebekuan feodalisme dan ketidaksetaraan gender dalam masyarakat pada masa itu, sekaligus melakukan advokasi pemberdayaan kaum wanita.

Peserta Kongres Wanita Indonesia Pertama

 
Pendopo Ndalem Jayadipuran, tempat pelaksanaan Kongres Wanita Pertama. Bangunan ini sekarang digunakan oleh kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta.
 
Aisyiyah diwakili Siti Munjiyah dan Siti Hayinah Mawardi tergabung dalam Komite Kongres Wanita Indonesia Pertama tahun 1928.

Kongres Wanita Indonesia Pertama dibuka pada Sabtu malam tanggal 22 Desember 1928 di Ndalem Jayadipuran. Untuk mengisi kemeriahan dalam peristiwa tersebut, beberapa wanita dari SPW menampilkan lantunan panembrama dalam bahasa Arab dan Indonesia pada acara pembukaan yang bermaksud memberikan selamat dan memuji terlaksananya kongres.

Menurut laporan kongres yang didokumentasikan oleh Blackburn, dapat diketahui ada 15 pembicara yang mewakili berbagai organisasi. Acara tersebut berlangsung selama tiga hari tiga malam dengan agenda masing-masing. Setiap malam berlangsung acara pertemuan dan persidangan tertutup antara utusan tamu, anggota komite pusat, dan sub seksi, sedangkan setiap siang hari dilaksanakan persidangan umum dengan pembacaan pidato dari masing-masing utusan.

Pokok pembahasan yang dilontarkan adalah seputar berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh kaum wanita saat itu dan cara mengatasinya, yaitu pentingnya kesehatan dan pendidikan modern bagi wanita, nasib anak-anak yatim dan janda, pentingnya rasa harga diri lebih tinggi di kalangan para wanita, persamaan hak antara wanita dan laki-laki, reformasi aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan dalam pernikahan agama Islam (termasuk soal pernikahan anak-anak dan bentuk poligami), dan buruknya pernikahan paksa.

Dalam kongres ini terdapat sejumlah pidato tentang nasionalisme dan kecaman terhadap poligami, tetapi mosi yang diterima oleh kongres agak terbatas. Hal inilah yang sempat menimbulkan pertentangan paham antara golongan nasionalis dan Kristen di satu pihak dengan golongan Islam di pihak yang lain, tetapi umumnya terdapat persamaan kemauan untuk memajukan kaum wanita Indonesia. Wacana kontroversial mengenai poligami lantas diatasi dengan mengirimkan mosi ke dewan agama dan meminta penjelasan tertulis kepadanya apabila terjadi penolakan.

Dalam pidato pembukaan Kongres Wanita Indonesia Pertama, R.A. Sukonto menjelaskan bahwa kongres itu semula berawal dari usulan perkumpulan wanita “kanan” dan “kiri” untuk mengajak bersatu. Dia baru bisa menyampaikannya dalam kongres tersebut karena mengalami beberapa kerepotan. Berdasarkan penilaiannya, kemampuanikaum wanita Indonesia masih kurang jika dibandingkan dengan kaum wanita di negara-negara lain, walaupun perkumpulan wanita di Indonesia sudah banyak. Hal inilah yang mendorongnya bersama dengan R.A. Sutartinah (Nyi Hajar Dewantara) dan Ny. Suyatin Kartowiyono mengadakan suatu kongres.

Pendirian komite kongres yang dicetuskan oleh R.A. Sukonto ini di sisi lain tidak mengherankan jika sebelumnya mendapatkan tantangan dan kritikan yang tajam dari berbagai pihak. Salah satu kritikan tersebut dilontarkan oleh kaum kolot yang masih merendahkan kaum wanita, antara lain:

  • Kaum wanita tidak perlu mengadakan kongres atau perkumpulan-perkumpulan lain sejenisnya.
  • Kaum wanita tempatnya hanya berada di dapur saja.
  • Kaum wanita tidak perlu memberikan penghidupan (mencari nafkah).
  • Kaum wanita Indonesia belum matang dan belum bisa berdamai satu sama lain.

Sukonto secara tegas mengingatkan kepada para peserta kongres bahwa seorang wanita yang ingin mencapai cita-citanya harus membantah semua celaan. Para wanita jangan sampai dianggap rendah, apalagi oleh orang-orang yang masih kolot pemikirannya. Maksud perkataannya itu tidak untuk melepaskan kaum wanita dari dapur, tetapi mereka juga harus turut memikirkan tindakan yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Bagi dirinya, kongres yang berlangsung dirasa penting untuk mengumpulkan organisasi-organisasi wanita Indonesia guna berdamai dan memikirkan berbagai pokok permasalahan.

Pada acara penyampaian-pidato, Siti Munjiyah dan Siti Hayinah Mawardi tampil sebagai perwakilan dari Aisyiyah. Munjiyah memberikan pidato dengan judul “Derajat Perempuan”, sedangkan Mawardi menyampaikan tentang “Persatuan Manusia”. Aisyiyah sendiri secara terbuka mengemukakan bahwa menginginkan kongres tersebut untuk melakukan kerja sama dengan organisasi wanita lain. Soewondo menambahkan bahwa Aisyiyah juga mengharapkan pertemuan tersebut menjadi suatu wadah bagi para wanita untuk mengemukakan pendapat dan gagasan tentang perjuangan.

Munjiyah dalam pidatonya mengungkapkan bahwa derap langkah perjuangan dari bangsa Indonesia, khususnya kaum wanita, telah menggema di hati. Menurut dirinya, Kongres Wanita Indonesia Pertama sangat penting artinya karena mayoritas para utusan sudah meluangkan waktunya agar dapat hadir dalam kongres tanpa meninggalkan urusan pekerjaan maupun rumah. Mereka dapat menghadiri rapat tersebut untuk membahas beberapa keperluan kehidupan bersama. Kongres itu sudah memberikan keuntungan secara langsung karena menambah teman organisasi wanita dalam melakukan perjuangan. Namun, Munjiyah mengungkapkan bahwa persiapan dalam kongres itu masih memiliki kekurangan.

Berdasarkan dokumen yang diterbitkan oleh PP. Aisyiyah serta penelitian yang dilakukan oleh Blackburn, dapat diketahui bahwa Siti Munjiyah mengelompokkan derajat dan kemuliaan dari kaum wanita menjadi tiga bagian, yaitu budinya yang tinggi, ilmunya yang banyak, dan kelakuannya yang baik. Menurut pengamatan yang dilakukannya sendiri, waktu itu sudah banyak kaum wanita yang pintar. Namun, mereka tidak bisa memanfaatkannya karena kelakuan dan budinya dirasakan masih kurang. Hal tersebut memang harus dipertanyakan apakah sifat mereka sudah sesuai dengan kodratnya. Pendapat dan pandangan tersebut adalah lontaran pemikirannya yang dikemukakan atas sumbangan pemikiran organisasi Aisyiyah, yang harus direnungkan seperlunya oleh pemimpin-pemimpin organisasi wanita lain yang hadir dalam kongres itu.

Siti Munjiyah juga menyampaikan perbedaan antara wanita dan laki-laki berdasarkan hukum dari Islam. Dia menjelaskan bahwa para peserta kongres tidak harus memeluk agama Islam, semuanya diserahkan kepada pribadi masing-masing. Hukum dalam Islam memang membedakan antara wanita dan laki-laki. Namun, perbedaan tersebut tidak berarti bahwa kaum laki-laki lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan kaum-wanita. Laki-laki dan wanita Islam masing-masing-berhak maju secara bebas dengan batas-batas tertentu karena sejak lahir mereka telah mempunyai kodrat masing-masing yang berbeda-beda.

Pada akhir pidatonya, Munjiyah menyerukan supaya para wanita lebih teliti lagi dalam mempelajari beberapa permasalahan dan bisa menimbang sesuatu yang baik maupun buruk. Dia mengingatkan kepada para pemimpin organisasi wanita supaya bangsa Indonesia lebih berhati-hati dalam menyerap budaya yang berasal dari Barat. Pandangannya itu diharapkan dapat menjadi gerak lanjutan dari kongres selanjutnya.

Kritik kesetaraan gender

Munjiyah merupakan salah satu tokoh yang memiliki kemampuan berorasi di antara sekian banyak wanita anggota Aisyiyah. Pengalamannya hadir ke berbagai acara penting bersama K.H. Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin membawa dampak kepada kepribadiannya. Dia sering diajak dalam pertemuan-pertemuan Muhammadiyah maupun Sarekat Islam di berbagai daerah.

Sebagaimana disebutkan dalam artikel di Suara Muhammadiyah, dia awalnya mendapatkan kesempatan berorasi di atas voordracht (mimbar) dalam suatu acara yang diadakan oleh Sarekat Islam di Kediri pada 20 November 1921 karena memakai pakaian yang belum terkenal di kalangan umat Islam waktu itu. Orang-orang mengira bahwa pakaian yang dikenakannya adalah pakaian haji. Ketika berorasi, dia memanfaatkannya untuk menjelaskan pakaian tersebut kepada para hadirin.

Pakaian yang dikenakannya tertutup rapat seperti kain ihram dan dikombinasikan dengan kerudung khas songket Kauman. Tidak hanya itu, dia juga menjelaskan mengenai kedudukan kaum wanita dalam agama,Islam. Menurut dirinya, perintah dalam agama Islam tidak hanya diperuntukkan bagi laki-laki saja, tetapi wanita juga harus melaksanakannya.

Saya ini bukan orang haji, tetapi saya mengenakan pakaian cara haji wanita. Saya juga tidak malu berpakaian seperti orang haji, karena ini merupakan salah satu perintah agama Islam. Tidak hanya kaum laki-laki yang wajib memajukan agama Islam, tetapi kaum wanita juga memiliki hak-hak yang sama pula untuk memajukan agama Islam.

Tampilnya di atas mimbar tersebut dianggap sebagai langkah maju waktu itu. Pasalnya, tidak semua wanita memiliki keberanian dan kesempatan untuk bisa tampil berorasi di depan publik. Hal tersebut juga menjadi pesan Aisyiyah bahwa para wanita mempunyai kesempatan yang sama pula dengan laki-laki. Blackburn dalam bukunya yang berjudul Kongres Perempuan Pertama: Suatu Tinjauan Ulang mengatakan bahwa gaya berpidato dari Munjiyah memiliki kesamaan dengan khotbah dalam Islam. Namun, lebih lanjut menurut Blackburn, hal itu tidaklah mengherankan karena mengingat pekerjaan sehari-harinya memang seorang juru khotbah berpengalaman di kalangan Aisyiyah.

Blackburn menengarai bahwa pidato yang dikemukakan oleh Munjiyah memang penuh dengan kalimat-kalimat yang berlebihan dan berulang-ulang, tetapi cenderung retoris dan didaktis seperti suatu percakapan yang penuh dengan selera humor, khususnya jika menyinggung masalah mengenai keterbelakangan sikap dari orang Barat terhadap wanita pada masa lalu. Selain itu, dia juga selalu mengutip retorika dalam Islam (yang berujung kepada kata-kata dalam bahasa Arab). Hal ini disebabkan karena dia pernah menempuh pendidikan yang setara dengan Hollandsch Inlandsche School (sekolah modern), yang menjadikannya mengerti cara berbicara di hadapan para hadirin campuran. Mu’arif dan Setyowati turut memperjelas bahwa Munjiyah sebenarnya selalu menahan diri membaca kutipan-kutipan Arab yang sering menyelingi tulisan atau pidatonya, tetapi hal tersebut sukar dilakukan mengingat bahwa terdapat berbagai perbedaan pandangan di kalangan para wanita saat itu.

Sementara itu, dalam Kongres Wanita Indonesia Pertama, pidato yang disampaikannya merupakan respon atas gerakan feminisme liberal yang berkembang saat itu. Namun, pidato itu rupanya mendapatkan banyak kritik dari para peserta kongres dari perwakilan lain. Kendati demikian, kemampuannya dalam berorasi membuatnya mampu meredam berbagai kritik yang datang kepadanya, ditambah dengan kehadiran anggota SPW yang tak lain adalah kader Aisyiyah yang turut menyemangatinya.

Munjiyah mengkritisi pemikiran Barat dan feminisme bahwa wanita dari kalangan non-Islam terlihat tertekan karena tidak mempunyai hak-hak dalam perkawinan. Secara halus, dia mengemukakan bahwa pemikiran Barat dan tradisi Kristen memang.diskriminatif kepada wanita. Tidak lupa, dia mengingatkan kepada teman-temannya agar memilah-milah sesuatu yang baik dan buruk dalam melihat kemajuan wanita Barat. Menurut Blackburn, pidato yang disampaikan oleh Munjiyah adalah contoh dalam melakukan sesuatu yang dibelanya dengan memadukan hal-hal terbaik dalam tradisi Barat maupun Islam.

Munjiyah terus berkomitmen untuk memajukan kaum wanita di tanah air setelah kongres. Adapun pelaksanaan kongres itu lantas ditetapkan sebagai “Hari Ibu”. Hasil dari kongres tersebut menyepakati suatu pembentukan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI), yang kelak berubah namanya menjadi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). Organisasi-organisasi wanita yang tergabung di dalamnya menuntut hak-hak kaum wanita setara dengan laki-laki, termasuk Aisyiyah.

Akhir kehidupan

Beberapa literatur dan rujukan dari Aisyiyah menyebutkan bahwa Munjiyah mengembuskan napas terakhirnya pada 1955 akibat kanker payudara. Dirinya saat itu sedang berada di Kota Tasikmalaya untuk menghadiri konferensi yang diselenggarakan oleh Aisyiyah. Badiyah Dahlan yang mengetahui Munjiyah merasa kesakitan langsung membawanya ke rumah sakit dan meminta agar konferensi tersebut dibubarkan. Namun, nyawa temannya itu tidak tertolong lagi, meskipun telah mendapatkan perawatan yang intensif. Jenazah Munjiyah lantas dibawa kembali ke Yogyakarta dan disemayamkan di Permakaman Kauman yang berada di belakang Masjid Gedhe Kauman.[38]

Aktivitas organisasi

Siti Munjiyah memiliki kepiawaian dalam berpidato. Bakatnya dalam berpidato mengingatkan kita pada sosok Haji Fachrodin, kakak kandung Siti Munjiyah. Haji fachrodin dikenal sebagai “singa mimbar” karena mampu berorasi membakar semangat orang banyak. Begitu juga dengan Siti Munjiyah, dia sosok orator perempuan yang mampu menguasai khalayak umum. Dengan bakatnya ini, Munjiyah mampu tampil sebagai perwakilan Aisyiyah dalam forum-forum perkumpulan wanita lain di luar Muhammadiyah.

Siti Munjiyah termasuk santri wanita yang mendapat kepercayaan untuk mengikuti K.H. Ahmad Dahlan menghadiri undangan-undangan tabligh. Kepercayaan tersebut bukannya tanpa dasar sama sekali. Sebab, Siti Munjiyah memiliki karakter tegas. Kemauannya sangat kuat. Dia termasuk wanita yang tak kenal takut. Membayangkan karakter Siti Munjiyah memang mengingatkan kita pada sosok dua kakak kandungnya, Haji Syuja’ dan Haji Fachrodin. Haji Syuja’ dikenal tegas dan memiliki kemauan kuat dalam mewujudkan cita-cita pembaruan Muhammadiyah. Begitu juga Haji Fachrodin, dia tokoh muda yang memiliki pemikiran cerdas di jalur politik maupun jalur Persyarikatan Muhammadiyah.

Dengan karakter Siti Munjiyah yang tegas, kemauan kuat, dan tak kenal takut, K.H. Ahmad Dahlan memang memberikan kepercayaan lebih kepadanya. Ini terbukti ketika pada tanggal 20 November 1921, Hoofdbestuur Muhammadiyah mendapat undangan dari Sarekat Islam (SI) cabang Kediri (Jawa Timur). K.H. Ahmad Dahlan didampingi Haji Fachrodin dan Siti Munjiyah memenuhi undangan tersebut. Siti Munjiyah mendapat kesempatan untuk menyampaikan ceramah keagamaan dalam rapat SI cabang setempat. Dalam kesempatan tersebut, Siti Munjiyah selaku satu-satunya utusan Hoofdbestuur Muhammadiyah perempuan naik di atas tempat voordracht (mimbar). Dengan pembawaan yang tenang, dia menerangkan akan dirinya yang mengenakai pakaian tertutup rapat dengan kerudung khas songket Kauman. Dia menjelaskan bahwa dirinya bukan orang haji, tetapi memakai pakaian cara haji prempuan. Diterangkan secara jelas bahwa dirinya tidak malu berpakaian layaknya orang haji sebab itu merupakan perintah agama Islam.

Siti Munjiyah tidak hanya bicara soal jilbab dan kerudung, tetapi lebih jauh dia berani menerangkan kedudukan kaum perempuan dalam agama Islam. Menurutnya, agama Islam bukan saja diperuntukkan bagi orang lelaki, tetapi orang perempuan pun wajib menjalankannya. Bukan hanya kaum lelaki yang wajib memajukan agama Islam, tetapi kaum perempuan juga memiliki hak yang sama untuk memajukan agama Islam. Karakter Siti Munjiyah yang bersemangat dalam menyampaikan pidato mampu menyihir para hadirin sekalipun dia adalah seorang perempuan. Pada waktu itu, perempuan masih dianggap hanya mampu mengurusi kehidupan rumah tangga dan melayani sang suami. Namun Munjiyah telah mengawali sebuah gerakan baru bahwa kaum perempuan memiliki kedudukan setara dengan kaum lelaki dalam memajukan agama Islam.

Selama beberapa periode, Siti Munjiyah menjabat sebagai ketua (voorzitter) Bahagian Aisyiyah. Sejak Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar (1932), pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim, Siti Munjiyah dipercaya sebagai voorzitter (ketua). Selaku secretaris (juru tulis) dipercayakan kepada Siti Zarkiyah. Selaku penningmeester (bendahari) dipercayakan kepada Siti Wakirah. Kemudian, pada empat kongres berikutnya (1933-1936), dia kembali dipercaya menjabat sebagai ketua Aisyiyah.

Nama Siti Munjiyah tidak hanya terkenal di kalangan aktivis Aisyiyah. Di luar organisasi Aisyiyah, dia dikenal oleh para aktivis pergerakan wanita nasional. Sebab, dia pernah menjadi wakil ketua Kongres Perempuan pertama (1928) yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1928. Dengan pengalaman menjadi wakil ketua panitia Kongres Perempuan ini, Siti Munjiyah memiliki banyak kenalan aktivis pergerakan wanita di tanah air.

Siti Munjiyah tidak hanya piawai dalam berpidato, tetapi dia seorang ulama perempuan yang sangat inklusif dan toleran. Dia terbiasa diundang dalam perkumpulan-perkumpulan wanita lintas agama. Dalam menyampaikan pidato, Munjiyah hampir tidak pernah menyinggung ataupun menjelek-jelekkan agama lain. Karakter semacam ini memang amat jarang di Aisyiyah. Ketika Aisyiyah mendapat undangan dari organisasi wanita lain, maka Siti Munjiyah yang datang mewakili. Namanya memang cukup dikenal di kalangan organisasi wanita lain, seperti Wanito Taman Siswo, Wanito Utomo, Jong Java, dan sebagainya.

Pidato

DERADJAT PEREMPOEAN

(Pidato Njonja Siti Moendjijah, Anggauta Pengoeroes Besar Moehammadijah Bagian Aisjijah Djokjakarta, Pada Sidang Terboeka Congres Perempoean Indonesia di Mataram Tanggal ...................)

–––––––––––––––––

Salam dan bahagia moedah-moedahan tetap pada djoendjoengan kita K. Nabi Moehammad Saw, kepada njonja-njonja dan toean-toean, dan kepada sekalian pengikoet-pengikoetnja.

Lebih dahoeloe saja mengenalkan diri bahwa saja Siti Moendjijah, salah seorang anggauta pengoeroes besar Moehammadijah b.g. Aisjijah di Djokja. Besar harapan saja bahwa dengan perkenalan ini dapatlah agaknja menjadi langsoeng.

Kemoedian daripada itoe maka sekarang moelailah saja membitjarakan beban saja seperti jang soedah termaktoeb dalam agenda No.4, jalah atas opdrachtnja pengoeroes besar Aisjijah.

Njonja voozitster jang terhormat,

Banjak terimakasih saja oetjapkan dengan penoeh-penoeh atas kemoerahan njonja, bahwa njonja soedah mengidzinkan pidato saja ini, dan kepada jang hadir saja poen meminta banjak-banjak terima kasih atas perhatiannja mendengarkan.

Ini hari, kegembiraan hati saja tidak akan ternilai dengan apapoen djoea, sebab itoe tidak poetoes-poetoes saja bersjoekoer kehadirat Toehan Semesta Alam. Dengan adanja gerakan ini, maka moelai sadar dan bangoenlah bangsa kita perempoean Indonesia dari tidoernja jang njenjak; soeara jang berderoe-berderoe senantiasa berhampiran dengan telinga mereka, dan memang soedah waktoe kita kaum perempoean moelai madjoe selangkah kedoea seteroesnja, sebab matahari soedah terbit menjinari kita jang sangat selaloe. Mereka bangkit kalaoe-kalaoe ketinggalan oentoek mentjapai kemadjoeannja. Dengan ini maka timboel doeka tjitanja dengan ichtiar sehingga dapat mengadakan Congres ini hari.

Ini hari, adalah jang pertama kali dari Congresnja kaoem kita perempoean Indonesia, jang oleh mereka itoe soedah memberanikan diri meninggalkan soeaminja, anak, sanak saudara, roemah, pekerdjaan dan lain-lainja, hanja oentoek mengoendjoengi ini rapat besar jang menoedingkan beberapa keperloean-keperloean oentoek hidoep bersama. Boeat diri saja, adalah ini soeatoe hal jang tidak sedikit harganja, lebih-lebih dengan adanja ini Congres maka kenalan saja bertambah banjaklah djoemlahnja boeat pertama kali, Congres kita ini masih serba koetjiwa, karena dari persediaan-persediaan kita jang masih lebih djaoeh kurangnja itoe. Soedah sementara lama kami, dari kaoem Aisjijah senantiasa memfikir-fikirkan bilakah kita kaoem perempoean Indonesia dapat beramah-ramahan oentoek meroendingkan sesoeatoe masalah bagi keperloean kita bersama. Ini hari tjita-tjita itoe terkaboellah, dan oleh karenanja maka tidaklah habis-habis kami mensjoekoeri kepada Allah hoebaja-hoebaja akan gerakan ini dapatlah diperpandjang oesianja dengan banjak boeah oesahanja. Halangan penghambatan jang meroegikan terbebaslah, dan terloepoet dari segala ganggoean jang mendjeroemoeskan!

Penoeh kepertjajaan kami, bahwa njonja-njonja oetoesan dari berbagai-bagai perkoempoelan jang soedah mempoenjai organisatie baik, atau peratoeran roemah tangga molek nistjaja bersedia-sedia betapakah ichtiar kita, soepaja kita kaoem perempoean dapat dipertinggi deradjatnja tertimbang dengan sekarang ini, dan bahwasanja kita dapat menetapi segala sesoeatoe kewadjiban jang bertali dengan hak kita perempoean. Hal ini tentoelah njonja-njonja rasanja soedah lengkap sebab soedah berkemas diri moelai dari roemah masing-masing.

Pidato saja ini adalah soeatoe pertimbangan jang saja sadjikan kepada njonja-njonja, dengan sangat saja berharap moga-moga dalam pada mendengarkannja, djanganlah dipandang seperti pidato terasing jang didengarnja, melingkar pandanganlah atas njonja poenja pidato sendiri, begitoelah dengan sebaliknja. Ingat, pada galibnja kepada barangsiapa jang mempoenjai tjita-tjita jang tinggi dan moelia itoe mungkin tertjapai manakala ototnja, dengan singkat bersabar tawakal dan soeka bekerdja. Oentoek mentjapai ini maka bekalnja jalah:

Hendaklah kita mengekalkan baris persaoedaraan dengan kokoh. Sesoenggoehnja, demit sjaithan itoe mengetahoei bahwa kita dalam persaoedaraan itoe sangat rapatnja, maka boekan main ichtiar si sjaithan itoe akan memetjah persatoean, sebab itoe wadjib kita ingat djangan sampai terdjadi bertjerai-berai atas gangoeannja. Boeat menolak ini maka ichtiarnja:

a. Radjin mengoesahakan diri mentjari obat dengan tidak memilih-milih ilmoe pengetahoean, banjak tauladan, dan lebar pandangannja.

b. Bekerdja dengan sabar artinja tidak djemoe melakoekan sesoeatoe pekerdjaan itoe dengan tjerdik dan berhati-hati.

Semoea itoe hendaknjalah kita kerdjakan dengan soenggoeh-soenggoeh lagi bidjaksana. Sesoeatoe oesaha melakoekan pekerdjaan bila mengabaikan kesoenggoehan hati, bidjaksana dan soetji, maka djangan mengharap akan berhasilnja, lebih-lebih bila hanja dikerdjakan dengan sesoeka-soeka dan dipermoedah.

Gelagat doenia jang sekarang ini soedah kentara moelai “Doeka Tjita dan Bekerdja” boleh dikata seperti menanam padi jang dalam. Soenggoeh, beloemlah sampai pada wektoenja kita bersenang-senang, mendiamkan diri, enak-enak, dan merenoeng.

Saudara-saudara, toenggoelah sementara wektoe dengan kesabaran hati, apabila kita bersoengoeh-soenggoeh menjampaikan segala maksoed itu dengan tidak djemoenja, sebentar kita akan memetik boeah oesaha kita itoe.

Congres, njonja-njonja dan toean-toean jang terhormat,

Pada hematnja adalah tingkat “kemoeliaan” kederadjatan itoe terbagi djadi tiga bagian:

  1. Tinggi boedinja,
  2. Banjak ilmoenja, dan
  3. Baik kelakoeannja.

Konon sekiranja kita dengan sesama memeriksai boekoe-boekoe tambo Doenia, maka lantaslah dapat mengerti dengan sendiri sampai kemanakah deradjat kita perempoean ini. Sebagian besar dari bangsa-bangsa itoe berkepertjajaan bahwa bangsa kami itoe adalah hamba Toehan jang sangat daripada manoesia biasa, sehingga dipandangnja seperti hewan belaka. Dengan begitoe maka soedah selajaknja bahwa bangsa kami perempoean itu wadjib menoeroet dan setia barang apa jang diperintahkan oleh orang lelaki.

Pada zaman dahoeloe kala di Japan orang perempoean dilarang keras berbakti kepada Allah, melakoekan sesoeatu pekerdjaan jang soetjiipoen ditjegahnja, sehingga agamanja poen melarang tentang hal ini. Di negeri Tjina djoega seperti itoe, malah-malah boeat masoek ke tjandinja dilarang djoega.

Poen di Hindoestan tidak akan soeka ketinggalan, setali tiga oeang. Dalam agama Hindoe diterangkan bahwa orang perempoean bangsa kami itoe tidak sutji; mereka itoe dilarangnja dengan koeat-koeat tidak diperkenankan meremboek tentang seloek-beloeknja kitab soetji, dan apabila ia memegang salah satoe. Artinja jang mendjadi sesembahannja, maka dengan sekoetika itoe djoega diroesaknja itoe artja (berhala).

Di tanah Arab ada lebih sekali penghinaan dan perendahan ini, jalah sebeloem agama Islam lahir di doenia. Orang-orang perempoean bangsa kami, dipandangnja lebih rendah daripada hewan peliharaanja; anak-anaknja perempoean jang lahir dari kandoengan iboenja dengan hidoep-hidoepan sampai mati memboenoehnja. Sebab dipandangnja tidak berfaedah sekalipoen, dan membanjakkan beban makanannja. Orang perempoean memang tiada mempoenjai kekoeatan seperti orang laki-laki, padahal wektoe itoe dimoesimnja orang-orang Arab sangat gemar memboenoeh, merampas lain orang poenja hak, dan sangat kedjam hatinja.

Lima poeloeh tahoen sebeloem agama Islam adalah soeatoe pertanjaan jang sangat mengharukan, jaitoe: adakah orang perempoean itoe djuga berdjiwa ? Waktoe orang-orang Christen memboeat rapat di Maccon, salah seorang pendeta bernama Bischob bertanja: termasoek golongan manoesiakah orang-orang perempoean itoe ? Dengan pertanjaan jang kemoedian ini maka rioehlah orang membintjangkannja, jang kemoediannja sebagian besar dari anggota rapat itoe menetapkan bahwa: orang-orang perempoean itoe poen termasoek bangsa “manoesia” djoega.

Salah seorang jang mengakoe dirinja soetji di .......... telah berkata: perkakas sjaithan (the organ of the devil). Kaladjengking jang hendak menggigit, pintoe djalan masoeknja sjaithan, dan djalan akan terdjeroemoes kedosaan (the gate of the devil, and the raad of inquitj). Oelar kisi jang menaboer bisa, dan naga jang sangat menakoet-takoetkan. Pesawat dari sjaithan oentoek mengambil djiwa kita.

Oentoeng benar bahwa orang-orang jang bangsawan fikiran soedah bernasehat pada kita djalah: S.T. Bernard, S.T. Anthonij, S.T. Bonaventure, S.T. Jerome, S.T. Gregorij the great, dan S.T. Cijprian.

Adat-istiadat orang mempelaikan ada di tanah Europa, maka professor Holland bersabda demikian: bahwa faedahnja orang berlaki bini itoe jalah hendak mempersatoean dari antaranja orang lelaki dan perempoean, dan jang akan mengikat keroekoenan antara satoe sama lain dengan kokoh. Dalam pada perseroan ini maka adalah hak jang lebih besar atasnja ada pada fehak lelaki; si istri tidak berhak mendjoeal atau lain-lainnja atas harta benda, dan tidak berkoeasa memboeat sesoeatu wasijat, ataoe memboeat sesoeatoe perdjandjian (contract) atas tanggoengannja sendiri. Oendang-oendang hoekoem jang menentoekan bahwa fehak istri tidak berhak sesoeatoe apa itoe pada galibnja berlaku di  negeri Inggris.

Toean Hepworth berkata demikian: peratoeran-peratoeran jang soedah lazim kita djalankan itoe, maka si istri adalah dalam pengoeasannja soeaminja. Oleh karena itoe walaoepoen orang perempoean jang masih moeda, soetji, tjantik dan jang kaja sekalipoen moengkin mendjadi genggamannja seorang soeami jang kedjam ................................................

Timboelnja keadaan-keadaan ini semoea asal moelanja dari pengadjarannja pemimpin-pemimpin bangsa Barat. Serentak kaoem perempoean terasa akan berat beban penghidoepannja lantaran dari tindasan, semena-mena, perendahan dan lain-lain sebagainja joega, tidak berhak atas barang hartanja mereka poenja waris, maka bangkitlah hatinja bergerak hendak menoentoet haknja “Deradjat Perempoean”.

Mereka kaoem perempoean itoe berpikir, bahwa jang menjebabkan haknja hina-hina itoe lantaran bodoh. Baiklah sekarang kami bergerak madjoe mentjari pengetahoean dengan bersekolah, dan bahwasanja perempoean itoe sama sama sadja dengan haknja kaoem lelaki.

Dengan keaadaan jang demikian itoe maka tertjapailah maksoednja menoentoet pengetahoean itoe, soenggoeh benar perempoean zaman sekarang banjak jang pandai-pandai lantaran dari beladjar di sekolah-sekolah. Hanja sajang sekali, bahwa mereka ini tidak dapat menggoenakan kepandaiannja itoe dengan sepertinja, maka kelebih-lebihan dari batasnja. Boleh djadi hal ini tersebab dari kepajahan hidoepnja, lantas dapat sendjata oentoek menjadi penawar.

Kemadjoean perempoean pada akhir-akhir ini soedah melebihi dari kodratnja, ta’kan tertemoe dengan sifat keperempoeannja, sebagian dari kemadjoean itoe maka mereka lantas bekerdja ada di: fabrik, mendjalankan spoor, motor terbang, dan lain-lain malah ada jang menjadi kampioen geloet, gontokan, hingga menjebrang laoetan akan mentjari tandingannja. Dengan begitoe maka soedah barang tentoe badannja kentara keras-keras dan ototnja poen melotot dengan sendirinja. Dalam pada ia mentjari tanding itoe maka maksoednja mentjari oeang semata.

Saoedara-saoedara,

Adakah keadaan jang demikian itoe soedah sesoeai dengan kemadjoean perempoean, teroetama bagi kaoem dan bangsa kami perempoean Indonesia jang sebenar-benarnja. Demikianlah pemandangan ini jang pertama kali dan jang kedoea kali datanglah sekarang sadja membitjarakan tentang pertjeraian.

Congres jang terhormat,

Soelit benar hendaknja meroendingkan tentang soal pertjeraian, apakah sebabnja hal ini sering kedjadian. Salah satoe sebabnja jakni: bahwa antara lelaki dengan isteri berpisah; satoe dengan lainnja beloem pernah lihat; pada waktoe dipelaikan dengan tidak oesah ditanja-tanja, lantas dipaksa sadja mereka itoe bergerak mentjari pergaoelan jang merdeka antara lelaki dengan perempoean dengan ichtiar apa sadja jang dapat menjampaikan maksoednja, karena pada fikirannja bahwa dengan “vrije omgang” ini maka masingnja, djoega tentang peri adat kelakoeannja nistjaja tiada tertoetoep-toetoep sehingga dengan ini, maka moengkin langsoengnja berhoeboengan bersoeami isteri dengan tidak akan tertemoe pertjeraian.

Dengan leloeasa menoeroeti hawa nafsunja sehingga mereka memboeat tempat permandian, dimana-pada tempat dimerdikakan orang lelaki dan perempoean berkoendjoeng doejoen-doejoen mandi djadi satoe dengan memakai pakaian jang sangat merdika poela jang oleh orang Barat dinamai Badcostoem. Dan bagaiamanakah pakaian hari-hari jang mereka itoe pakai ? O, soenggoeh sangat tjoekoep akan model-modelnja pakaian apa sadja ada. Sebentar-sebentar ganti dengan mode jang bertentangan atas keperempoeannja. Pakaiannja terboeka-boeka melipoeti aoeratnja, jang atas ditoeroenkan dan jang bawah ditarik mengatas, lengan badjoenja tidak poela mendjadi soal penoetoepan malah-malah dipotong sama sekali.

Inilah, bahwa bagi njonja-njonja teroetama pemimpin di Indonesia sajogijanja memperhatikan benar djangan sampai tjara jang demikian itoe mendjalar di tanah kita Indonesia.

Mereka bangsa Eropa berfikir bahwa dengan tjara jang demikian itoe maka moengkinlah akan tidak bertjerai dengan soeaminja.

Soerat chabar Natal Advertiser di Amerika jang terbit pada hari 16 boelan April 1926 ada memoeat statistik dari boeah penanja toean (Rt. Rev) L.W.T Manning, bischop (penghoeloe dari agama Christen) di New York menerangkan bahwa sekarang ini di United States (Amerika) tiap-tiap orang berlaki-isteri 7, ada satoe jang bertjerai. Di Tokjo tiap-tiap 5, satoe jang bertjerai. Di Texas tiap-tiap 3,9 djoega ada satoe. Di Oregon tiap-tiap 2,6 ada satoe jang bertjerai. Di kota Nevada dalam satoe tahoen ada orang 800 jang dipelaikan, dan seriboe jang bertjerai. Soerat chabar Dailj Express jang terbit pada hari 27 boelan Nopember 1926 memoeat statistik jang disiarkan oleh Departement of Commers (Kantor Besar Pengoeroes Perniagaan) menerangkan bahwa: di Amerika tiap-tiap 13 orang berlaki isteri ada 2 jang madjoe ke hadapan madjelis pengadilan oentoek minta tjerai.

Demikianlah kisah jang telah terdjadi dari golongan perempoean Barat.

Keadaan-keadaan jang begini roepa bagi kita kaoem perempoean dan teroetama pemimpin-pemimpin Indonesia adalah soeatoe koeadjiban jang berat, jang haroes diamat-amati beanar-benar, dan jang tidak boleh abaikan atas tanggoengan kita.

Gedang ertinja dan tidak dinilai harganja. Congres kita perempoean Indonesia ini, bahwa dengan dia nistjaja keadaan-keadaan jang sangat moengil bagi kita itoe dapatlah agak tertolak!

Moedah-moedahan Allah menolong kita tertjapailah toedjoean dan maksoednja Congres ini agar soepaja kelak hari bangsa kami, perempoean, moelia dan tinggi martabatnja. Amin.

Sesoenggoehnja bangsa kita ini soedah poenja sendiri adat-istiadat dan kelakoean (kesoesilaan Java) jang aloes, jang agaknja tidak akan kalah dengan kebarat-baratan dan lain-lainja bangsa. Akan tetapi lantaran terdorong dari pengaroeh peredaran doenia jang pada sangkanja molek, permai, berkilaoe-kilaoe dan sebagainja, istimewa poela menang maka tergelintjirlah keadaan bangsa kita Ja... barang siapa jang beroe ketempatan alah, maka tidak oeroeng serba apa sadja nistjaja djelek, hina-dina dan tidak menarik penglihatan.

Boekan maksoed kami bahwa semoea kemadjoean bangsa Eropa itoe tidak seharoes ditjontoh, itoe tidak: sebab diantaranja ada poela jang patoet kita tiroe. Kita wadjib memilih mana jang baik dan lajak kita tiroe, dan mana poela jang tidak pada kepatoetan semoea itoe dengan djalan jang dingin, tenang, dan berfikir. Kemadjoean bangsa Barat menoentoet ilmu pengetahoean, adalah satoe-satoenja kemadjoean jang tidak boleh kita bangsa Indonesia mentjotohnja dengan boelat-boelat. Pada soeatoe maksoet jang beloem tertjapai maka tidaklah ia soeka memberhentikan diri melainkan teroes-meneroes ditjarinja hingga dapat, dan sekiranja soedah terdapat, maka lantas didjalankan sebagaimana mestinja. Inilah ada sifat mempertinggi deradjat bangsa ! Bagi bangsa kita perempoean Indonesia tidak demikian halnja, ada pada keblaikannja itoelah jang njata, dan hanja hal-hal jang koerang berharga itoelah ditiroenja, seperti apa jang soedah kami oeraikan di atas tadi.

Besar pengharapan kami moga-moga mendjadi toentoenan bagi bangsa kita akan kemadjoean mentjari ilmoe pengetahoean baik dimana sadja tidak takoet djerih-lelah, berani menempoeh sesoeatoe maksoed jang moelia walaoepoen hingga pada djangka oesianja, bekerja mentjari hasil (berniaga) dengan koeat-koeat tidak takoet roegi. Inilah jang haroes kita perhatikan, soepaja dengan kekoeatan hati tegoeh itoe maka tjatatlah agaknja bangsa kita mendjadi bangsa jang tidak rendah, dan tidak poela mendjadi miskin.

Beloem kita dengar, bahwa bangsa kita jang soedah banjak djadi professor; paling tinggi pada abad ini hanja Mr. Dr. Ir. dan bangsa kita itoe kalaoe berdagang koeatir meroegi. Bilakah kita dapat mendjadi moelia, sekiranja perasaan jang demikian itoe masih terletak dalam sanoebari bangsa kita, ini oentoek kaoem lelaki.

Congres, njonja-njonja, dan toean-toean jang terhormat,

Sekarang sampailah pada pembitjaraan tentang pemandangan dalam lingkoengan Islam. Dalam pada pembitjaraan ini tidak sadja paksa-paksa soepaja saoedara-saoedara masoek ke agama Islam, bahwa sesoenggoehnja hal ini adalah terserah atas hadjatnja masing-masing.

Hoekoem Islam diterangkan bahwa “perempoean dan lelaki” itoe bedalah. Perbedaan ini boekan dari fehak lelaki lebih tinggi deradjatnja, dan fehak perempoean itoe lebih rendah, tidak.

Perempoean dan lelaki Islam itoe masing-masing berhak berkemadjoean dan berkesempoernaan, dan bahwasanja jang dikata kemadjoean dan kesempoernaan itu jalah menoeroet hak batas-batasnja sendiri-sendiri.

Ketahoeilah, bahwa orang perempoean dilahirkan di doenia itoe memang soedah membawa kodrat berbeda dengan orang lelaki. Oempamanja: fehak lelaki mempoenjai kekoeatan badan, sehingga dengan itoe maka dapatlah ia mengerdjakan sesoeatoe pekerdjaan jang berat-berat; tetapi fehak perempoean tidak demikian halnja, kekoeatan badannja haloes. Begitoelah seteroesnja. Bahwasanja kaoem perempoean itoe soedah mempoenjai koewadjiban sendiri, jang tidak dapat dikerdjakan oleh kaoem lelaki, ja’ni:

a. Boenting;

b. Melahirkan anak dari kandoengannja; dan

c. Memberi air soesoe, memelihara, dan mendidik.

Tidak tjelanja orang perempoean tidak tjakap mengerdjakan sesoeatoe pekerdjaan dari bagiannja lelaki, sebaliknja poen tidak tertjertja sekiranja orang lelaki itoe tidak dapat mengerdjakan dari koewadjibannja orang perempoean. Inilah memang soedah ada haknja masing-masing jang tidak dapat dipoengkiri.

Sebagai djoega dengan hal “boeroeng dan harimaoe”; harimaoe dapat menggigit dan menelan dengan koeat-koeat, akan tetapi tidak dapat terbang. Sebaliknja; boeroeng tidak tjakap menggigit dan menelan, tetapi terbang itoelah jang paling tjakap. Kedoea-doeanja ini nistjaja tidak akan mendjadi tjela di antara satoe sama lain.

Teranglah soedah, bahwa beban koewadjiban oerang perempoean menanggoeng keselamatan hidoep bersama, itoe berat, dan sekiranja tanggoengan ini ditambah poela, maka boekankah ini namanja menganiaja dan merendahkan diri sendirinja ? Fikirlah dengan soenggoeh-soenggoeh.

Seorang saatrawan berkata: orang perempoean itoe mendjadi boenganja doenia. Boenga jang pelik lagi permai seharoesnja ditarik pada vaas tempat jang indah ada di atas medja jang baik lagi mengkilap; boekan patoetnja boenga jang demikian itoe ditaroeh pada tempat sembarangan. Walaoepoen bouquet jang elok poen tidak akan berharga boenga itoe.

Adapoen kewadjiban orang perempoean dan lelaki akan menoentoet ilmoe pengetahoean dan mengerdjakan (amal) kebadjikan sama sadjalah haknja, tidak sepatahpoen dikoerangkan akan haknja, terlebih poela dalam erti melakukan agamanja.

Kepada njonja-njonja dan toean-toean jang beloem mengerti akan seloek-beloeknja agama kita Islam ada jang bertanja demikian: apakah sebabnja Islam mengadakan peratoeran bermadoe, dan thalaq itoe ada di atas kekoeasaanja orang lelaki ? Boekankah ini ada sesoeatoe djalan perendahan bagi kaoem perempoean ?

Kalaoe ada oerang jang bertanja demikian, maka kami poen timboel pertanjaan kepadanja: adakah kebadjikan dan kehargaan bagi perempoean jang diboeat permainan, tertimbang dengan perempoean itoe dikawinnja?

Saoedara-saoedara,

Moedah-moedahan dalam pembitjaraan saja ini tidak salah terima, boekan sama sekali saja bermaksoed menggerakkan permadoean, dan tidak poela mengandjoeri pikiran kaoem lelaki bermadoe; fehak perempoean dengan suka ridla menerima permadoean ini. Pertanjaan itoe karena timboel dari beberapa dakwa-dakwa jang tidak sebenarnja kepada agama kita Islam, dikatakan bahwa Islam merendahkan deradjat perempoean sebab Islam memperkenankan bermadoe, dan bahwa thalaq ada pada tangan lelaki.

Fehak perempoean tidak memegang thalaq, itoe soedah pada tempatnja. Pada galibnja sifat perempoean itoe sangat tergesa-gesa barang apa jang mendjadi hadjadnja, koerang sabar dan tahan, lemah gampang sakit hati, dan seteroesnja. Tidak koerang-koerang perempoean jang menentang soeaminja meminta thalaq dengan seketikanja. Oentoeng bahwa lelaki jang bersifat sabar dan koeat fikirnja memegang thalaq itoe. Djika tidak, nistjaja moengkin terdjadi tiap-tiap boelan sekali bertjerai: dan seoempama fehak perempoean jang memegang itoe maka bolehlah dipastikan tiap-tiap pekan bertjerai. Tjelakanja dari fehak perempoean, bahwa lantaran dari lemah fikirnja itoe dan dari sebab tergesa-gesa sebarang hadjatnja, maka moengkinlah kemenjesalan hatinja atas perboeatannja terseboet. Fehak lelaki memegang thalaq, artinja bahwasanja thalaq ataoe perempoean itoe dalam tangannja si lelaki, bolehlah ia berboeat barang apa jang diperkenankan menoeroet hoekoem agama dan sesoenggoehnja Toehan Allah Soebhannahoewata’ala itoe tidak senang melihat sikap lelaki jang gegabah melepaskan thalaq kepada isterinja, hendaklah fehak lelaki berhati-hati dengan bidjaksana melepas itoe, maka tidak akan mendjadi sebab akan sesoeatoe hal jang sangat penting lagi menghalang-halangi akan hidoep bersama antara lelaki dan isteri. Sebaliknja bagi fehak perempoean, sekiranja ditimbang-timbang dengan seksamanja bahwa hidoep mereka dalam soeami bini itoe tidak membawa manfaat dan bahagia maka tidak halangannja fehak perempoean minta thalaq kepada soeaminja, dan si soeami haroes meloeloeskan.

Saoedara-saoedara,

Kami seroekan pidato saja ini dengan koeat-koeat ke hadapan saoedara-saoedara, teroetama pemimpin bangsa kami, perempoean Indonesia jang hendak memperdjoeangkan peridaran doenia perempoean agar soepaja “moelia dan oetama”, hendaknjalah dengan teliti lagi seksama mempeladjari sesoeatoe masalah, dan dapat menimbang sendiri manakah jang baik dan djelek, sebab keterangan saja ini sangat singkatnja, sehingga oentoek memberi sesoeloeh jang loeas nistjaja tidak pada tempatnja diterangkan pada madjelis ini, hanjalah sekedar perloe mendjadi pemandangan bagi gerak ladjoenja kita poenja “Congres Perempoean Indonesia”.

Sekianlah pidato ini saja koentjikan dengan meminta banjak maaf barang apa jang koerang ataoe djanggalnja perkataan saja.

Wassalamoe ‘alaikoem warochmatoellohi wabarakatoeh.

Lihat pula

Keterangan

  1. ^ Dalam birokrasi kerajaan, penghulu dan seluruh aparatnya dinamakan dengan abdi dalem pamethakan (abdi dalem putihan), sedangkan Kantor Kepenghuluan Kesultanan Yogyakarta dinamakan dengan Kawedanan Reh Pengulon (Darban 2000, hlm. 10). Apabila dibandingkan dengan penghulu yang ada di daerah-daerah, penghulu Kesultanan Yogyakarta dianggap sebagai penghulu ageng (penghulu tertinggi) dalam struktur kepenghuluan. Selain berfungsi sebagai penasehat dewan daerah, tugas dan wewenang penghulu meliputi berbagai macam urusan keagamaan secara umum, yaitu pernikahan, perolehan nafkah, talak (gugatan cerai), rujuk, wasiat/warisan, hibah, dan sebagainya (Kartodirdjo, dkk 1975, hlm. 244). Sebagai pimpinan ulama birokrat, penghulu Kesultanan Yogyakarta juga bertugas mengurusi upacara keagamaan keraton, pernikahan keluarga sultan, penasehat sultan, mengurus tempat ibadah dan makam, serta sebagai lembaga fatwa tentang hukum-hukum agama. Ketika pemerintah Belanda berkuasa, sistem kepenghuluan berada dalam ranah raad agama dan priester raad (pengadilan surambi) (Pijper 1984, hlm. 73).
  2. ^ Anak-cucu dari Haji Hasyim Ismail pada dasarnya banyak yang berkiprah di perserikatan Muhammadiyah atau Aisyiyah setelah sebelumnya mendapatkan pendidikan dari Ahmad Dahlan dan istrinya. Namun, kiprah tersebut menurut Anshoriy lebih dikarenakan oleh kemampuan atau kapasitas yang mereka miliki. Dia menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak mengakui peran istimewa para ulama yang secara genealogis terhubung dengan Nabi Muhammad Saw atau Ahmad Dahlan, tetapi gerakan ini sangat jelas meletakkan elite ahli syariat atau ahli agama sama pentingnya dengan ulama (Anshoriy 2010, hlm. 29–30).
  3. ^ Pada waktu itu di Kauman terdapat lima langgar, yaitu Langgar Lor, Langgar Wetan, Langgar Faqih, Langgar Kidul, dan Langgar Dhuwur (Langgar Kulon) (Darban 2000, hlm. 36).
  4. ^ Berdasarkan perhitungan umurnya, Siti Bariyah terpaut delapan tahun dengan Siti Munjiyah, tetapi Bariyah justru yang terpilih sebagai ketua pertama Aisyiyah di kemudian hari. Faktor pemilihan yang dilakukan oleh Siti Walidah bukan dikarenakan Bariyah lebih pandai dibandingkan dengan Munjiyah, tetapi Bariyah dirasa lebih menonjol dalam bidang organisasi dan kepemimpinan. Munjiyah baru dipercaya sebagai ketua pasca kepemimpinan Siti Aisyah Hilal, yaitu pada 1932 (Setyowati & Mu'arif 2014, hlm. 80).
  5. ^ Muballighin merupakan embrio dari Fakultas Ilmu Agama Jurusan Dakwah (FIAD) yang menjadi cikal bakal berdirinya Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada 1980-an (Mulkhan 2013, hlm. 8).
  6. ^ Pada 1920, Ahmad Dahlan dan para dermawan yang berada di Kauman mendirikan sebuah asrama untuk menampung para murid di Al-Qismul Arqo yang terus bertambah. Gedung baru disiapkan di Kauman, tepatnya di depan rumah H. Syuja’. Setelah menempati gedung baru dan menggunakan sistem klasik, kelas Al-Qismul Arqo mulai diklasifikasi secara berjenjang dari kelas satu sampai kelas tiga. Jenjang kelas satu menampung murid sebanyak 20 orang, kelas dua sebanyak 10 orang, dan kelas tiga sebanyak 6 orang. Nama Al-Qismul Arqo lantas diganti dengan nama Pondok Muhammadiyah dan kurikulum umum, seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah Belanda, turut diberikan di sekolah ini (Setyowati & Mu'arif 2014, hlm. 84–85). Pada perkembangan selanjutnya, sekolah tersebut berganti nama lagi sebanyak tiga kali, yaitu Hoogere Muhammadiyah School (Sekolah Tinggi Muhammadiyah), Kweekschool Islam, dan Kweekschool Muhammadiyah atau Kweekschool Istri (Hamzah 1962, hlm. 69). Adapun murid-murid wanita dari Kweekschool Istri mulai dipisahkan dengan murid-murid laki-laki dari Kweekschool Muhammadiyah sejak tahun 1929. Pada 1932, pemerintah Belanda mengeluarkan Wilde Schoolen Ordonantie (Ordonansi Sekolah Liar 1932). Ordonansi tersebut mengatur keberadaan sekolah liar (sekolah yang diselenggarakan oleh kaum pribumi, yang gurunya tidak mau bekerja di sekolah milik pemerintah Belanda) dengan melarang pemakaian nama persamaan sekolah Belanda, termasuk Muhammadiyah dan Taman Siswa. Hal inilah yang membuat Kweekschool Muhammadiyah dan Kweekschool Istri akhirnya namanya diubah menjadi Madrasah Muallimin Muhammadiyah dan Madrasah Mualimat Muhammadiyah (Suminto 1985, hlm. 59).

Rujukan

  1. ^ "Moendjijah". Pimpinan Pusat Aisyiyah. Diakses tanggal 5 April 2020. 
  2. ^ Kutoyo (1983), hlm. 30–31
  3. ^ a b Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 77
  4. ^ Anis (1969), hlm. 9
  5. ^ "Siti Bariyah: Perempuan Pertama Penafsir Ideologi Muhammadiyah". Redaksi Ibtimes. Diakses tanggal 5 April 2020. 
  6. ^ Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 79
  7. ^ Suratmin (1990), hlm. 43–44
  8. ^ a b Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 81–82
  9. ^ Darban (2000), hlm. 36
  10. ^ a b Mulyati (2021), hlm. 144
  11. ^ Suratmin, dkk (1991), hlm. 20
  12. ^ Suratmin (1990), hlm. 99
  13. ^ a b Suratmin, dkk (1991), hlm. 19–20
  14. ^ a b Mulyati (2021), hlm. 145
  15. ^ Fauzan (2001), hlm. 78
  16. ^ Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 94
  17. ^ Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 80
  18. ^ Darban (2000), hlm. 47
  19. ^ "Para Gadis Kauman Perintis Perubahan". Redaksi Ibtimes. Diakses tanggal 6 April 2020. 
  20. ^ Suratmin (1990), hlm. 16
  21. ^ a b c d Mulyati (2021), hlm. 146
  22. ^ Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 82–83
  23. ^ "Organisasi Otonom". Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-04-01. Diakses tanggal 8 April 2020. 
  24. ^ Nashir, dkk (2010), hlm. 120
  25. ^ Sudja (1989), hlm. 39
  26. ^ Nashir, dkk (2010), hlm. 122
  27. ^ Mulkhan (2013), hlm. 8
  28. ^ Suratmin (1990), hlm. 44
  29. ^ Noer (1988), hlm. 90
  30. ^ a b c Mulyati (2021), hlm. 147
  31. ^ Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 83
  32. ^ Darban (2000), hlm. 44
  33. ^ a b Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 75–76
  34. ^ Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 92–92
  35. ^ a b Mulyati (2021), hlm. 148
  36. ^ Febriansyah, dkk (2013), hlm. 85–86
  37. ^ Darban (2000), hlm. 41
  38. ^ Suratmin, dkk (1991), hlm. 29

Daftar pustaka

Buku

  • Amini, Mutiah (2021). Sejarah Organisasi Perempuan Indonesia (1928–1998). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ISBN 978-602-3869-60-2. 
  • Anshoriy, Muhammad Nasruddin (2010). Matahari Pembaruan: Rekam Jejak K.H. Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher. ISBN 978-602-9703-21-4. 
  • Arifin, M.T. (1990). Muhammadiyah Potret yang Berubah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. ISBN 978-602-6268-01-3. 
  • Baha'uddin, dkk (2010). Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Sebuah Tinjauan Awal. Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. ISBN 978-979-1407-21-2. 
  • Blackburn, Susan (2007). Kongres Wanita Pertama: Tinjauan Ulang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV. ISBN 978-979-4616-10-9. 
  • Burhanudin, Jajat, dkk (2002). Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-6866-44-1. 
  • Darban, Ahmad Adaby (2000). Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah. Yogyakarta: Tarawang. ISBN 978-979-8681-26-4. 
  • Dzuhayatin, Siti Ruhaini (2015). Rezim Gender Muhammadiyah: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi. Yogyakarta: Suka Press UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. ISBN 978-602-2295-85-3. 
  • Fauzia, Amelia; Fathurahman, Oman (2004). Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta. ISBN 978-979-2210-55-2. 
  • Harnoko, Darto, dkk (2014). Rumah Kebangsaan Ndalem Jayadipuran Periode 1900–2014 (PDF). Yogyakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta. ISBN 978-602-1222-23-2. 
  • Mulkhan, Abdul Munir (2013). Marhaenis Muhammadiyah: Ajaran dan Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Galang Pustaka. ISBN 978-602-9431-27-8. 
  • Nakamura, Mitsuo (1983). Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin: Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ISBN 978-602-6268-02-0. 
  • Nashir, Haedar, dkk (2010). Profil 1 Abad Muhammadiyah. Jakarta: Lembaga Pustaka dan Informasi PP. Muhammadiyah. ISBN 978-979-7094-98-0. 
  • Noer, Deliar (1988). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES. ISBN 978-019-6382-54-8. 
  • Setyowati, Hajar Nur; Mu'arif (2014). Srikandi-Srikandi Aisyiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. ISBN 978-979-3708-97-3. 
  • Soeratno, Siti Chamamah, dkk (2009). Muhammadiyah Sebagai Gerakan Seni dan Budaya: Suatu Warisan Intelektual yang Terlupakan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-8479-49-3. 
  • Suminto, Husnul Aqib (1985). Politik Islam Hindia-Belanda. Jakarta: LP3ES. ISBN 978-979-8015-10-6. 

Buku lama

  • Anis, Junus (1969). Haji Fachrodin. Yogyakarta: PT. Percetakan Persatuan. 
  • Benda, Harry Jindrich (1985). Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya. 
  • Fauzan, Al (2001). Kitab Tauhid. Jakarta: Yayasan Al-Sofwa. 
  • Hamzah, Amir (1962). Pembaruan Pendidikan dan Pengajaran Islam yang Diselenggarakan Oleh Pergerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penyelenggara Publikasi Pembaruan Pendidikan/Pengajaran Islam. 
  • Kartodirdjo, Sartono, dkk (1975). Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  • Kutoyo, Sutrisno (1983). Kyai Haji Ahmad Dahlan. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 
  • Ohorella, G.A.; Sutjiatiningsih, Sri; Ibrahim, Muchtaruddin (1992). Peranan Wanita Indonesia pada Masa Pergerakan Nasional (PDF). Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 
  • Pijper, Guillaume Frédéric (1984). Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900–1950. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 
  • Sudja (1989). Muhammadiyah dan Pendirinya. Yogyakarta: PP. Muhammadiyah Majelis Pustaka. 
  • Suratmin (1990). Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional: Amal dan Perjuangannya. Yogyakarta: PP. Aisyiyah Seksi Khusus Penerbitan dan Publikasi. 
  • Suratmin, dkk (1991). Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama (PDF). Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 
  • Suryochondro, Sukanti (1984). Potret Pergerakan Wanita di Indonesia. Jakarta: Rajawali dan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. 

Dokumen resmi

  • Congresnummer: Congres Perempoean Indonesia jang Pertama 22–25 December 1928 di Mataram. 1928. 

Jurnal

Pranala luar

Didahului oleh:
Siti Aisyah Hilal
Ketua Umum Pimpinan Pusat 'Aisyiyah
1932–1936
Diteruskan oleh:
Siti Aisyah Hilal