Indianisasi Asia Tenggara

penyebaran budaya India di Asia Tenggara

Sejak abad 1 Masehi, budaya india mulai menyebar di wilayah Asia Tenggara dan sebagai dampaknya. Penyebaran ini dikenal dengan istilah 'Indianisasi' .[1] Istilah ini pertama kali digunakan oleh seorang Arkeologis dari Prancis, George Coedes dalam bukunya, Histoire ancienne des états hindouisés d'Extrême-Orient. Dia mengartikan istilah indianisasi sebagai ekspansi dari sebuah budaya yang terorganisir yang berdasar dari sistem kerajaan yang ada di India dengan ciri-ciri pengaruh Hinduisme, Buddhisme, negara-negara hasil indianisasi aliran Asia tenggara, mitologi dalam Purana serta Dharmasastra yang menyebar dalam bahasa sanskerta.[2] Fenomena ini pun menyebabkan sanskritisasi di Asia tenggara,[3] kemunculan kerajaan dengan corak india, [4] penyebaran agama Hindu[5] dan perdagangan sutra.[6]

Prasasti Võ Cạnh adalah prasasti tertua yang pernah ditemukan di Asia Tenggara. Prasasti ini ditemukan di desa Võ Cạnh dekat kota Nha Trang, Provinsi Khanh Hoa, Vietnam. Replikanya ada di Museum Khanh Hoa.

Karena Indianisasi, diduga bahwa honorifik India juga diserap di wilayah Asia Tenggara dalam penggunaan kata b/vraḥ dalam bahasa Khmer tua yang merupakan turunan dari kata brā́hmaṇa (Dewanagari: ब्राह्मण; , ब्राह्मण, ब्राह्मण) sebagai honorifik untuk dewa atau anggota kerajaan.[7] Penggunaan honorifik India lain juga ditemukan di kerajaan Funan dalam bentuk penambahan kata -varman sebagai bagian dari nama raja yang berkuasa. [8]

Penyebaran indianisasi

Ada beragam teori tentang bagaimana Indianisasi menyebar di Asia Tenggara yang semua pendapat terbagi dalam pembagian kasta yang menjadi penyebar utama dari Bahasa dan budaya India ke Asia Tenggara.

Teori pedagang dari kasta waisya

Pada studi kasus di Negara Indonesia, teori pertama berfokus pada kemungkinan Indianisasi dibawa oleh kasta waisya sebagai pedagang. Postulat ini menekankan bahwa para pedagang menggunakan cara pénétration pacifique atau menggunakan penetrasi damai.[9] Penetrasi damai adalah masuknya kebudayaan kepada suatu wilayah yang tidak menghasilkan konflik sehingga tidak menghapus budaya satu sama lain dan bertujuan memperkaya keberagaman budaya wilayah tersebut.[10]

Para pedagang ini datang ke Asia Tenggara, khususnya Indonesia karena reputasi daerah ini sebagai Daratan Emas atau juga dikenal sebagai Subarnavumi yang mampu membuat mereka bisa kaya tujuh turunan.[11] Mereka menikah dengah dengan wanita setempat dan membangun lokasi perdagangan[12]Menurut Nicolaas Johannes Krom, para pedagang ini memamerkan artefak serta pencapaian kebudayaan untuk bisa masuk dan menyatu dengan para elit di wilayah tersebut sehingga mampu membuat budaya mereka masuk ke wilayah ini.[3] Selain Krom, Coedes juga merupakan pendukung teori ini, dia berkata bahwa para pedagang yang menikah dengan keluagra setempat ini menjadi pemimpin populasi setempat, lalu menjadi raja dengan nuansa India. Lalu, dengan berkuasanya para pemimpin ini, para brahmana pun datang ke daerah tersebut untuk dipekerjakan dalam menggabungkan kepercayaan setempat dengan Agama Hindu dan juga menciptakan sebuah kepercayaan bahwa para penguasa tersebut merupakan Awatara.[12]

Namun, teori memiliki beberapa kritik: [12]

  1. Para pedagang tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk menyebarkan budaya tinggi ataupun melakukan kontak dengan para bangsawan.
  2. Mereka hanya fasih dalam berkomunikasi dengan bahasa vernakular, bukan bahasa sanskerta yang menjadi bahasa yang digunakan dalam pengajaran Bahasa Hindu.
  3. Ciri skolastik terhadap Budaya India dipelajar secara independen dan tidak dibawa oleh Bangsa India.
  4. Bila para pedagang memiliki peran besar dalam penyebaran ini, maka seharusnya pusat awal peradaban India ditemuka di wilayah pesisir, sedangkan penemuan-penuman ini ditemukan di bagian dalam Pulau Jawa dan lagipula tempat tinggal para bangsawan tidak berada di wilayah pesisir.
  5. Kontak perdagangan tidak akan cukup untuk melakukan perpindahan peradaban.

Daftar pustaka

  1. ^ Acharya, Amitav (2008), The "Indianization of Southeast Asia" Revisited: Initiative, Adaptation and Transformation in Classical Civilizations (PDF), diarsipkan dari versi asli tanggal 24 November 2021 – via Univerzita Karlova 
  2. ^ Coedes, George (1975). Vella, Walter R, ed. The Indianized States of Southeast Asia (PDF) (dalam bahasa Inggris). Diterjemahkan oleh Cowing, Susan Brown. Canberra: Australian National University Press. hlm. 15–16. ISBN 0708101402. 
  3. ^ a b Mabbett, I. W. (1977). "The 'Indianization' of Southeast Asia: Reflections on the Historical Sources". Journal of Southeast Asian Studies. 8 (2): 143–161. ISSN 0022-4634. JSTOR 20070221. 
  4. ^ Coedes & George, hlm. xvii.
  5. ^ "Hinduism in Bali". Indianisation in SEA. Diakses tanggal 26 Agustus 2022. 
  6. ^ Bellina, Bérénice; Favereau, Aude; Dussubieux, Laure (2019). "Southeast Asian early Maritime Silk Road trading polities' hinterland and the sea-nomads of the Isthmus of Kra". Journal of Anthropological Archaeology (dalam bahasa Inggris). 54: 102–120. doi:10.1016/j.jaa.2019.02.005. ISSN 0278-4165. 
  7. ^ Pain, Frédéric (2019). ""Brāhmaṇa" as an honorific in "Indianized" mainland Southeast Asia: a linguistic approach". Bulletin of the School of Oriental and African Studies (dalam bahasa Inggris). 82 (1): 111–141. doi:10.1017/S0041977X19000284. ISSN 0041-977X. 
  8. ^ Hall, Kenneth R. (1985). The “Indianization” of Funan, Southeast Asia’s First State. University of Hawai'i Press. hlm. 52–84. doi:10.2307/j.ctv9zckps.10. ISBN 978-0-8248-0843-3. 
  9. ^ Lukas, Helmut (2004). Theories of Indianization Exemplified by Selected Case Studies. Wien: Verlag der Österreichischen Akademie der Wissenschaften. hlm. 1. doi:10.1553/soawp1. 
  10. ^ Sriyana (2020). Antropologi Sosial Budaya. Klaten: Lakeisha. hlm. 231. ISBN 978-623-6573-69-3. 
  11. ^ Sharmin, Akhtar; Khondaker, M. Shahidul Islam (2021). "Mapping Bengal's factors and Indianization of Southeast Asia". Journal of Arts & Humanities. 10 (1): 19–30. doi:10.18533/jah.v10i01.2029. 
  12. ^ a b c Mishra, Patit Paban (1997). "Critique od Indianization Theory". Proceedings of the Indian History Congress. 58: 799–807. ISSN 2249-1937.