Perdukunan
Perdukunan adalah sebuah aktivitas mistis yang dilakukan oleh dukun dan berkaitan dengan supranatural, sehingga menyebabkan seorang dukun dapat memahami hal tak kasat mata serta mampu berkomunikasi dengan arwah dan alam gaib, yang dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah di masyarakat, seperti penyakit, gangguan sihir, kehilangan barang, kesialan, dan lain-lain.[1]
Sejarah
Istilah dukun biasanya digunakan di daerah pedesaan, sedangkan orang pintar atau paranormal, untuk menyatakan hal yang sama, digunakan lebih umum diantara populasi perkotaan. Penerimaan sosial terhadap istilah orang pintar pun biasanya lebih positif dibandingkan penggunaan istilah dukun.
Sebab, meskipun memiliki persamaan karakteristik dengan dukun dalam hal bantuan yang diberikan, merujuk pada penggunaan istilah orang pintar biasanya tidak meminta imbalan atas jasa yang diberikan dan tak seperti tipikal dukun dalam penggunaannya secara istilah, keberadaan orang pintar di dalam masyarakat, tak berbeda dengan anggota komunitas lainnya.[1]
Selain menarik bayaran untuk keuntungan pribadi serta kurang berinteraksi dan berbaur dengan komunitas masyarakat, konotasi negatif yang muncul apabila istilah dukun yang digunakan, yaitu cenderung bersifat oportunistik dan menjalani praktik-praktik tidak bermoral, dengan dalih sebagai bagian dari treatment.[2]
Dukun dalam pengertiannya yang asli dan tak dibedakan dari istilah orang pintar, mempunyai peranan signifikan dalam masyarakat.[1] Adanya pengobatan medis modern dan asuransi kesehatan, terutama di daerah pelosok, tidak dapat menyingkirkan eksistensi pengobatan alternatif melalui dukun. Penyembuhan penyakit secara non-medis tersebut masih dipraktikkan dan masih menjadi pilihan utama masyarakat karena lebih murah dan lebih mudah.
Di Kediri, dukun yang membantu menyembuhkan penyakit sangat dibutuhkan dan dihormati di masyarakat, sehingga mereka memegang peranan sosial yang cukup penting. Para pasien yang datang untuk berobat ke sana tidak hanya terbatas dari dalam Kediri saja, tetapi juga dari luar Kediri, hingga luar provinsi, bahkan luar pulau Jawa.[3]
Di samping peran signifikannya, keberadaan aktivitas perdukunan sering kali menjadi kontroversi.[1] Berdasarkan hasil penelitian tentang fenomena dukun yang dilakukan di Madura, dapat diketahui bahwa melalui dukun adalah salah satu strategi yang digunakan untuk mendapatkan kedudukan sosial, ekonomi, dan politik di masyarakat.
Penggunaan kekuatan yang berasal dari sumber gaib sebagai cara terpenting maupun sebagai cara alternatif untuk mencapai keinginan dan tujuan pribadi secara seketika, yang mana agama tak menjanjikan keinstanan tersebut, telah ada di Madura sejak bertahun-tahun lalu. Hal-hal pribadi yang diinginkan melalui perantara kekuatan gaib itu meliputi keinginan meningkatkan kedudukan sosial, mencapai kuota dan target bisnis, kemajuan karier, kesuksesan pendidikan, kesehatan, hingga asmara.
Beberapa orang Madura mengidentifikasikan diri sebagai Muslim dan mengamalkan ajaran serta kepercayaan agama, tetapi pada saat yang sama melibatkan diri dengan aktivitas yang berhubungan dengan alam gaib yang tidak diperbolehkan sekaligus dibenarkan dalam agama dan kepercayaan tersebut.[4]
Dukun dan perdukunan merupakan suatu dilema. Pada satu sisi dipandang sebagai profesi dan aktivitas yang kotor, tetapi pada sisi yang lain setidaknya memainkan peran dinamis dalam sistem sosial, budaya, dan hubungan politik. Dalam terminologi yang oleh sosiologis Prancis, Pierre Bourdieu, sebut sebagai cultural capital, yang diakumulasikan untuk mendominasi masyarakat.
Istilah dukun yang populer di daerah pedesaan itu pada perkembangannya menjadi jarang digunakan. Sebagai gantinya digunakan kata yang lebih halus atau yang lebih mengindikasikan orientasi keagamaan seperti Ki atau Aki, Abah, Haji, Kyai, atau Ustaz, agar secara konsensus sosial tak berbahaya, sehingga dapat mengganggu aktivitas atau kebutuhan mereka.[4]
Kemajuan peradaban yang salah satunya diukur dengan keikutsertaan sebuah bangsa pada modernisasi yang berdasarkan rasionalitas, menyebabkan cara hidup tradisional yang dipandang sebagai sebuah kemandegan, harus ditinggalkan. Termasuk di dalam cara hidup tradisional adalah praktik dukun dalam membantu proses melahirkan.
Tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan di Indonesia memberikan kesadaran untuk lebih meningkatkan upaya kesehatan ibu, antara lain dengan cara menempatkan tenaga bidan di setiap desa, yang sedikit demi sedikit mulai menggeser peran dukun.[5]
Referensi
- ^ a b c d Sartini, Sartini; Ahimsa-Putra, Heddy Shri (2017-02-27). "Redefining The Term of Dukun". Humaniora (dalam bahasa Inggris). 29 (1): 46–60. ISSN 2302-9269.
- ^ "Something Wicked This Way Comes - Indonesia Expat". Indonesia Expat (dalam bahasa Inggris). 2012-10-23. Diakses tanggal 2017-11-02.
- ^ Arini, Ratih Tyas; Alimi, Moh Yasir; Gunawan, Gunawan (2016-08-22). "The Role of Dukun Suwuk and Dukun Prewangan in Curing Diseases in Kediri Community". KOMUNITAS: INTERNATIONAL JOURNAL OF INDONESIAN SOCIETY AND CULTURE (dalam bahasa Inggris). 8 (2): 328–338. doi:10.15294/komunitas.v8i2.4461. ISSN 2460-7320.
- ^ a b Haryanto, Bangun Sentosa D. (2015-12-31). "The Dukuns of Madura: Their Types and Sources of Magical Ability in Perspective of Clifford Geertz and Pierre Bourdieu". Hubs-Asia (dalam bahasa Inggris). 9 (1): 107–118. ISSN 2406-9183.
- ^ Prabowo, Dhanu Priyo (2013-12-30). "Marginalisasi Profesi Dukun Bayi dalam Puisi "NiniNini Dukun Bayi" Karya Iman Budhi Santosa". ATAVISME. 16 (2): 195–203. doi:10.24257/atavisme.v16i2.93.195-203. ISSN 2503-5215.[pranala nonaktif permanen]