Tenggelamnya Kapal Van der Wijck

novel karya Hamka
Revisi sejak 11 Desember 2022 05.26 oleh Nyilvoskt (bicara | kontrib)

Tenggelamnja Kapal van der Wijck (EYD: Tenggelamnya Kapal van der Wijck) adalah sebuah novel yang ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Hamka. Novel ini mengisahkan persoalan adat yang berlaku di Minangkabau dan perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian.

Artikel ini tersedia dalam versi lisan
Dengarkan versi lisan dari artikel ini (21 menit)
noicon
Ikon Wikipedia Lisan
Berkas suara ini dibuat berdasarkan revisi dari artikel ini per tanggal 17 Agustus 2022 (2022-08-17), sehingga isinya tidak mengacu pada revisi terkini.
Tenggelamnya Kapal van der Wijck
PengarangHamka
NegaraIndonesia
BahasaBahasa Indonesia, Melayu
GenreNovel
Penerbit(lihat di bawah)
Tanggal terbit
1938
Jenis mediaCetak (kulit keras & lunak)
Halaman224 (cetakan ke-22)
ISBNISBN 978-979-418-055-6 (cetakan ke-22) Invalid ISBN
OCLC246136296

Novel ini pertama kali ditulis oleh Hamka sebagai cerita bersambung dalam sebuah majalah yang dipimpinnya, Pedoman Masyarakat pada tahun 1938. Dalam novel ini, Hamka mengkritik beberapa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu terutama mengenai kawin paksa. Kritikus sastra Indonesia, Bakri Siregar menyebut Tenggelamnya Kapal van der Wijck sebagai karya terbaik Hamka, meskipun pada tahun 1962 novel ini dituding menjiplak karya Jean-Baptiste Alphonse Karr berjudul Sous les Tilleuls (1832).

Diterbitkan sebagai novel pada tahun 1939, Tenggelamnya Kapal van der Wijck terus mengalami pencetakan ulang sampai sekarang. Novel ini juga diterbitkan dalam bahasa Melayu sejak tahun 1963 dan telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.

Latar belakang

 
Haji Abdul Malik Karim Amrullah, penulis novel

Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau lebih dikenal dengan singkatan Hamka, adalah ulama asal Minangkabau yang dibesarkan dalam kalangan keluarga yang taat beragama. Ia memandang tradisi yang ada dalam masyarakat di sekitarnya sebagai penghambat kemajuan agama, sebagaimana pandangan ayahnya, Abdul Karim Amrullah.[1][2] Setelah melakukan perjalanan ke Jawa dan Mekkah sejak berusia 16 tahun untuk menimba ilmu, ia bekerja sebagai guru agama di Deli, Sumatra Utara, lalu di Makassar, Sulawesi Selatan.[3] Dalam perjalanan ini, terutama saat di Timur Tengah, Hamka banyak membaca karya dari ahli dan penulis Islam, termasuk karya penulis asal Mesir Mustafa Lutfi al-Manfaluti hingga karya sastrawan Eropa yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.[4][5] Pada tahun 1935, Hamka meninggalkan Makassar untuk pergi ke Medan. Di kota itu, ia menerima permintaan untuk menjadi pemimpin redaksi majalah Pedoman Masjarakat, yang dalam majalah ini untuk pertama kalinya nama pena Hamka diperkenalkan.[2] Di sela-sela kesibukannya, Hamka menulis Tenggelamnya Kapal van der Wijck; karya yang diilhami sebagian dari tenggelamnya suatu kapal pada tahun 1936.[6]

Alur

Perdebatan mengenai harta warisan antara Pendekar Sutan dengan mamaknya berujung pada kematian. Pendekar Sutan diasingkan dari Batipuh ke Cilacap selama dua belas tahun karena membunuh mamaknya. Setelah bebas, Pendekar Sutan memilih menetap di Makassar dan menikah dengan Daeng Habibah. Akan tetapi, setelah memperoleh seorang anak bernama Zainuddin, Daeng Habibah meninggal dan, tak lama setelah itu, Zainuddin menjadi yatim piatu.

Ketika beranjak remaja, Zainuddin meminta izin kepada pengasuhnya, Mak Base untuk berangkat ke Minangkabau; ia telah lama ingin menjumpai tanah asal ayahnya di Batipuh. Namun, kedatangan Zainuddin tidak mendapatkan sambutan baik di tengah-tengah masyarakat yang menarik struktur kekerabatan dari ibu. Ia dianggap tidak memiliki pertalian darah lagi dengan keluarganya di Minangkabau karena, meskipun berayah Minang, ibunya berasal dari Bugis. Akibatnya, ia merasa terasing dan melalui surat-surat ia kerap mencurahkan kesedihannya kepada Hayati, perempuan keturunan bangsawan Minang yang prihatin terhadapnya.

Setelah Zainuddin dan Hayati sama-sama mulai jatuh cinta, Zainuddin memutuskan pindah ke Padang Panjang karena mamak Hayati memintanya untuk keluar dari Batipuh. Sebelum berpisah, Hayati sempat berjanji kepada Zainuddin untuk selalu setia. Sewaktu Hayati berkunjung ke Padang Panjang karena hendak menjumpai Zainuddin, Hayati sempat menginap di rumah sahabatnya, Khadijah. Namun, sekembali dari Padang Panjang, Hayati dihadapkan oleh permintaan keluarganya yang telah sepakat untuk menerima pinangan Azis, kakak Khadijah; Aziz, yang murni keturunan Minang dan berasal dari keluarga terpandang, lebih disukai keluarga Hayati daripada Zainuddin. Meskipun masih mencintai Zainuddin, Hayati akhirnya terpaksa menerima dinikahkan dengan Aziz.

Mengetahui Hayati telah menikah dan mengkhianati janjinya, Zainuddin yang sempat berputus asa pergi ke Jawa bersama temannya, Muluk, tinggal pertama kali di Batavia sebelum akhirnya pindah ke Surabaya. Di perantauan, Zainuddin menjadi penulis yang terkenal. Pada saat yang sama, Aziz juga pindah ke Surabaya bersama Hayati karena alasan pekerjaan, tetapi rumah tangga mereka akhirnya menjadi berantakan. Setelah Aziz dipecat, mereka menumpang ke rumah Zainuddin, tetapi Aziz lalu bunuh diri dan dalam sepucuk surat ia berpesan agar Zainuddin menjaga Hayati. Namun, Zainuddin tidak memaafkan kesalahan Hayati. Hayati akhirnya disuruh pulang ke Batipuh dengan menaiki kapal van der Wijck. Di tengah-tengah perjalanan, kapal yang dinaiki Hayati tenggelam, dan setelah Zainuddin mendengar berita itu ia langsung menuju sebuah rumah sakit di Tuban. Sebelum kapal tenggelam, Muluk yang menyesali sikap Zainuddin memberi tahu Zainuddin bahwa Hayati sebetulnya masih mencintainya. Namun, tidak lama setelah Zainuddin datang, Hayati meninggal. Sepeninggal Hayati, Zainuddin menjadi sakit-sakitan sampai akhirnya meninggal. Jasadnya dimakamkan di dekat pusara Hayati.

Tema

Seperti novel Hamka sebelumnya, Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal van der Wijck ditulis untuk mengkritik beberapa tradisi dalam adat Minang yang berlaku saat itu, seperti perlakuan terhadap orang berketurunan blasteran dan peran perempuan dalam masyarakat. Hal tersebut dimunculkan dengan usaha Hayati menjadi istri yang sempurna biarpun Aziz tidak menghargainya.[7][8] Hamka beranggapan bahwa beberapa tradisi adat tersebut tidak sesuai dengan dasar-dasar Islam ataupun akal budi yang sehat.[7] Melalui Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Hamka mengobarkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa demi tercapainya kemerdekaan dengan tidak melebarkan perbedaan antar suku dan budaya.

Hamka melalui simbol Zainuddin mempertanyakan ketimpangan adat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Meskipun seorang anak berayah orang Minangkabau, jika suku ibunya bukan Minangkabau, maka ia adalah orang lain. Selain itu, Hamka mengkritik adat Minangkabau yang tidak memberikan tempat pada laki-laki dalam struktur keluarga. Adat Minangkabau yang menempatkan perempuan sebagai pewaris harta dalam keturunannya membuat laki-laki termarginalkan. Hamka menulis, sangatlah malang bagi seorang laki-laki jika tidak mempunyai saudara perempuan karena membuat harta warisan kedua orangtuanya akan diurus oleh mamak, saudara laki-laki dari keluarga ibu.[butuh rujukan]

Hayati mewakili potret perempuan Minangkabau yang harus tunduk pada stuktur adat, meskipun harus berjuang keras melawan keinginannya sendiri. Aziz adalah simbol kewibawaan tetapi berperilaku buruk. Keluarga Hayati menerima lamaran Aziz untuk meminang Hayati dan menolak lamaran Zainuddin karena Zainuddin dianggap tidak punya adat dan suku, meskipun memiliki perilaku yang baik.[butuh rujukan]

Rilis dan penerimaan

Tenggelamnya Kapal van der Wijck pertama kali diterbitkan sebagai cerita bersambung dalam majalah Islam mingguan Hamka di Medan, Pedoman Masjarakat pada tahun 1938.[9] Menurut Yunan Nasution, salah satu karyawan majalah tersebut, ketika majalah itu dikirimkan ke Kutaraja, Aceh (kini Banda Aceh), banyak pembaca yang telah menunggu di stasiun kereta api agar bisa membaca bab berikutnya secepat mungkin. Hamka juga menerima surat dari beberapa pembaca, yang beranggapan bahwa novel itu mencerminkan kehidupan mereka. Namun, beberapa orang Muslim konservatif menolak Tenggelamnya Kapal van der Wijck; mereka menyatakan bahwa seorang ulama harusnya tidak mengarang cerita tentang percintaan.[6]

Setelah mendapat sambutan yang hangat itu, Hamka memutuskan untuk menerbitkan Tenggelamnya Kapal van der Wijck sebagai novel dengan usaha penerbitan milik temannya, M. Syarkawi; dengan menggunakan penerbit swasta Hamka tidak dikenakan sensor seperti yang berlaku di Balai Pustaka. Cetakan kedua juga dengan penerbit Syarkawi. Lima cetakan berikutnya, mulai pada tahun 1951, dengan Balai Pustaka. Cetakan kedelapan pada tahun 1961, diterbitkan oleh Penerbit Nusantara di Jakarta; hingga tahun 1962, novel ini telah dicetak lebih dari 80 ribu eksemplar. Cetakan setelah itu kemudian diterbitkan oleh Bulan Bintang.[9][10] Novel Hamka ini juga pernah diterbitkan di Malaysia beberapa kali.[6]

Kritikus sastra Indonesia beraliran sosialis, Bakri Siregar menyebut Tenggelamnya Kapal van der Wijck sebagai karya terbaik Hamka.[3] Kritikus lain, Maman S. Mahayana, berpendapat bahwa novel ini mempunyai karakterisasi yang baik dan penuh ketegangan; Maman beranggapan bahwa ini mungkin karena novel ini awalnya diterbitkan sebagai cerita bersambung.[11]

Tuduhan penjiplakan

Pada bulan September 1962, Abdullan S.P.—nama samaran dari Pramoedya Ananta Toer—yang memuat tulisannya ke dalam koran Bintang Timur menyebutkan bahwa novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dijiplak dari Sous les Tilleuls (1832) karya Jean-Baptiste Alphonse Karr, melalui terjemahan berbahasa Arab oleh Mustafa Lutfi al-Manfaluti; sebenarnya desas-desus penjiplakan sudah lama ada.[12][13] Hal ini menjadi polemik luas dalam pers Indonesia.[14] Sebagian besar orang yang menuduh Hamka berasal dari Lekra, sebuah organisasi sastra sayap kiri yang berafiliasi dengan PKI.[a] Sementara itu, penulis di luar sayap kiri melindungi Hamka.[12][15] Beberapa kritikus menemukakan beberapa kesamaan antara dua buku tersebut, baik dari segi alur maupun teknik penceritaan.[16]

Ahli dokumentasi sastra H.B. Jassin, yang membandingkan kedua karya itu dengan menggunakan terjemahan Sous les Tilleuls berbahasa Indonesia yang diberi judul Magdalena, menulis bahwa novel ini tidaklah mungkin hasil penjiplakan, sebab cara Hamka mendeskripsikan tempat itu sangat mendalam dan sesuai dengan gaya bahasanya dalam tulisan sebelumnya.[17] Jassin juga menegaskan bahwa novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck membahas masalah adat Minang, yang tidak mungkin ditemukan dalam suatu karya sastra luar.[7] Akan tetapi, Bakri Siregar beranggapan bahwa terdapat banyak kesamaan antara Zainuddin dan Steve, serta Hayati dan Magdalena, yang menandai adanya penjiplakan.[3] Kritikus sastra asal Belanda, A. Teeuw menyatakan bahwa tanpa berpendapat kalau kesamaan yang terkandung dalam novel itu dilakukan secara sadar, memang terdapat banyak hal yang mirip di antara kedua karya itu, tetapi Tenggelamnya Kapal van der Wijck sesungguhnya mempunyai tema yang murni dari Indonesia.[13]

Keterangan

  1. ^ Lekra banyak menentang agama. Oleh sebab itu, Hamka, yang merupakan ulama, dianggap sebagai salah satu target penting.[12]

Rujukan

Catatan kaki
  1. ^ Siregar 1964, hlm. 60.
  2. ^ a b Teeuw 1980, hlm. 104.
  3. ^ a b c Siregar 1964, hlm. 61.
  4. ^ Jassin 1985, hlm. 46.
  5. ^ Jassin 1985, hlm. 47.
  6. ^ a b c Tempo 2008, Hamka Menggebrak Tradisi.
  7. ^ a b c Jassin 1985, hlm. 63.
  8. ^ Mahayana 2007, hlm. 169.
  9. ^ a b Mahayana 2007, hlm. 168.
  10. ^ Siregar 1964, hlm. 123.
  11. ^ Mahayana 2007, hlm. 170.
  12. ^ a b c Mahayana, Sofyan & Dian 1995, hlm. 78–79.
  13. ^ a b Teeuw 1980, hlm. 105.
  14. ^ Kompas 2012, Palagan Hamka.
  15. ^ Jassin 1985, hlm. 59.
  16. ^ Jassin 1985, hlm. 65-66.
  17. ^ Jassin 1985, hlm. 61.
Daftar pustaka