Chaerul Saleh

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan, Ketua MPR RI ke-1
Revisi sejak 27 Desember 2022 14.06 oleh Agus Damanik (bicara | kontrib) (Masa penjajahan Jepang: menambahkan konten)

Jendral TNI HOR Chaerul Saleh gelar Datuk Paduko Rajo (13 September 1916 – 8 Februari 1967)[1] adalah seorang pejuang dan tokoh politik Indonesia yang pernah menjabat sebagai wakil perdana menteri, menteri, dan ketua MPRS dari tahun 1957 sampai 1966. Ia juga mengajukan ide negara kepulauan dengan batas teritorial 12 mil laut yang di­sahkan pada 13 Desember 1957. Atas jasa-jasanya, Chaerul dianugerahi gelar kehormatan Jenderal TNI.

Chaerul Saleh
Chairul Saleh
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Indonesia Ke-1
Masa jabatan
1960–1966
PresidenSoekarno
Sebelum
Pendahulu
Tidak Ada
Sebelum
Menteri Perindustrian Dasar & Pertambangan Indonesia
Masa jabatan
10 Juli 1959 – 27 Agustus 1964
PresidenSoekarno
Sebelum
Pendahulu
Suharto
Pengganti
Hadi Thayeb
Armunanto
Sebelum
Menteri Negara Urusan Veteran Indonesia ke-3
Masa jabatan
9 April 1957 – 6 Juli 1959
PresidenSoekarno
Perdana MenteriDjoeanda Kartawidjaja
Sebelum
Pengganti
Sambas Atmadinata
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1916-09-13)13 September 1916
Belanda Sawahlunto, Sumatra Barat, Hindia Belanda
Meninggal8 Februari 1967(1967-02-08) (umur 50)
Jakarta, Indonesia
Suami/istriYohana Siti Menara Saidah
HubunganAchmad Saleh (ayah)
Zubaidah binti Ahmad Marzuki (ibu)
Lanjumin Dt. Tumangguang (mertua)
PekerjaanPolitisi
Karier militer
Pihak Indonesia
Dinas/cabang TNI Angkatan Darat
Pangkat Jenderal TNI (Kehormatan)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Masa awal kehidupan

Masa Kecil

Chaerul lahir pada tanggal 13 September 1916 di Sawahlunto, Sumatra Barat.[2] Dia merupakan anak tunggal dari seorang dokter bernama Achmad Saleh yang pernah dicalonkan menjadi anggota Volksraad dan Zubaidah binti Ahmad Marzuki.[3] Pada usia dua tahun, orang tuanya bercerai dan ia dibawa pulang oleh ibunya ke Lubuk Jantan, Lintau, Tanah Datar. Karena ibunya sakit, Chaerul diasuh oleh pamannya yang bernama Sulaeman Raja Mudo hingga berumur empat tahun. [4]Di usia empat tahun, ayahnya membawa Chaerul ke Medan dan menyekolahkannya di sebuah sekolah rakyat di sana.[5] Setelah ayahnya berpindah tugas ke Bukittinggi, ia melanjutkan sekolahnya di Europeesche Lagere School yang ada di sana dan akhirnya lulus pada tahun 1931.[6]

Setelah lulus dari ELS, Ia kemudian melanjutkan sekolahnya ke Hoogere Burgerschool (HBS) -Bagian B di Medan dan diasuh oleh Suwis.[7] Selama sekolah di Medan, dia sering pulang ke Bukittingi yang juga mempertemukannya dengan Yohana Siti Menara Saidah putri Lanjumin Dt. Tumangguang yang akan menjadi istrinya nanti. Karena Yohana, Chaerul pindah ke Batavia[3] Chaerul hanya bersekolah selama tiga tahun di sini dan melanjutkan sekolah di Koning Willem III School te Batavia di umur 18 tahun.[8] Selama di Koning, Chaerul menjadi ketua dari sebuah organisasi yang beranggotakan orang Indonesia saja bernama Oesaha Kita.[9] Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di Rechtshoogeschool te Batavia pada tahun 1937 sampai 1942. [3]

Pergerakan sebagai mahasiswa

Saat masih menjadi mahasiswa, Chaerul merupakan penggemar dari Mohammad Yamin. Bahkan, dia pernah mengajak temannya, Zainal Sabaruddin Nasution mengunjungi Jalan Pejambon yang menjadi lokasi gedung Kementerian Luar Negeri pada saat ini untuk mendengarkan pidato dari Yamin saat menghadiri sidang Volksraad. Chaerul juga pernah diundang untuk mengunjungi rumah Yamin bersama Sabaruddin, Suyono Siegfried, Achmad Astrawinata dan Soepeno di Pecenongan, Sawah Besar. Mereka berdiskusi tentang para pribumi yang didiskriminasi, kemerdekaan serta masalah politik. Akibat perisitiwa inii, sebuah surat dari Rechtshoogeschool te Batavia terbit dan memberitahukan agar para mahasiswa untuk tidak mengikuti kegiatan politik dan hanya harus fokus dengan kegiatan akademik mereka. [9]

Selama menjadi pelajar di Rechtshoogeschool te Batavia, Chaerul bergabung dengan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia dan dalam waktu singkat menjasi sekretaris I[10]. Kemudian pada tahun 1939, dia pun terpilih menjadi ketua [11] Pada masa jabatannya, Chaerul melakukan perubahan yang radikal untuk organisasinya. Pada masa jabatannya, dia menyelenggarakan Studenten Kamp, pendirian Club Huis (balai pertemuan), dan mengatur ,edia cetak Indonesia Raya yang merupakan media cetak PPPI terbit secara teratur. Pada penerbitan ini jugalah, Chaerul menerbitkan artikelnya yang berjudul " Verbrokkelingen" yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi "tercerai-berai" yang membahas tentang kurang eratnya hubungan antar partai politik sehingga tidak mampu melaksankan tugasnya sebagai partai politik.[10]

Sebagai bagian dari PPPI, Saleh bersama dengan PPPI menolak Petisi Soetardjo.[12] Meskipun pada petisi itu, Indonesia diajukan untuk memiliki pemerintahan otonom kepada Ratu Wilhelmina dari Belanda, meskipun pada akhirnya ditolak dengan alasan pemerintah Indonesia dinilai belum matang untuk melakukan pemerintahan sendiri.[13] Meskipun petisi ini mengajukan pemerintahan otonom untuk Negara Indonesia, tapi pemerintahan Indonesia saat itu diajukan sebagai dominion, sedangkan Chaerul menginginkan Indonesia sebagai negara merdeka.[12]

Aspirasinya untuk Indonesia sebagai bagian PPPI terus berlanjut dan dilanjutkan dalam rapat Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada tahun 1940. GAPI memiliki aspirasi untuk menmbuat Indonesia berparlemen. Indonesia Berparlemen merupakan sebuah aspirasi untuk menuntut pembentukan parlemen atau lembaga legislatif yang terdiri dari anggota yang berasal dari Indonesia dan pemerintah bertanggung jawab terhadap parlemen yang didirikan.[14] Untuk memperkuat aspirasi ini agar disetujui, pada rapat tersebut, delegasi PPPI yang dipimpin Chaerul mengajukan mosi agar para anggota yang juga menjadi berisikan suatu sanksi bahwa bila usul Indonesia Berparlemen ditolak oleh Pemerintah Hindia Belanda, maka para anggota partai politik yang tergabung dalam GAPI akan keluar meninggalkan jabatannya sebagai pegawai Hindia Belanda. Namun, mosi itu pun ditolak oleh GAPI dan berakhir kepada utusan PPPI yang meninggalkan ruang rapat, tetapi masih menjadi bagian Kongres Rakyat Indonesia.[15] Pada waktu Bataviase Studenten Corps ingin mengajukan sebuah pernyataan setia terhadap Pemerintah Hindia Belanda pada saat Kerajaan Belanda berperang melawan Jerman, Italia, Jepang pada Perang Dunia II. Mereka mengajak Unitas Studisorum Indonesiensis, Indonesisch Verbond van Studeerenden, Christen Studenten Vereeniging, Roman Catholic Students Association Saint Bellarminus, Studenten Islam Studieclub, TASHOH dan PPPI. Satu-satunya oganisasi yang menolak ajakan ini adalah PPPI. Chaerul bersama Soepeno dan Astrawinata yang keduanya menjadi wakil ketua. menyatakan tujuannya adalah kemerdekaan Indonesia dan perang yang terjadi tidak ada hubungannya dengan tujuan yang ingin mereka capai.[15]Pada tahun 1940, dalam masa kepemimpinan Chaerul, mereka menyewa (club huis) balai pertemuan di Jalan Laan Kadiman No. 9 yang sekarang menjadi Jalan Gunung Sahari.[16]

Masa penjajahan Jepang

Pada awal pergantian kekuasaan antara Belanda dan Jepang, pimpinan PPPI berniat melakukan penyambutan terhadap tentara jepang di Jakarta sekaligus pernyataan syukur atas kalahnya Belanda kepada Jepang sehingga berakhirnya kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Rencana ini dibicarakan pada tanggal 13 Maret 1942, dalam rapat anggota luar biasa di Club Huis yang telah pindah ke Gang Kernolong No. 11, Kramat sejak Januari 1942. Rencana ini pun mendapat penolakan pada rapat oleh Rusmali, Soedarisman Poerwokoesoemo dan Abu Hanifah karena mereka menganggap Jepang dan Belanda memiliki cara politik yang sama . Walaupun mendapat penolakan, rencana ini pun tetap dilaksanakan oleh Chaerul, Soepeno dan Astrawinata. Pada tanggal 15 Maret 1942, mereka berangkat bersama dengan 200 orang menuju Hotel Des Galerih melalui simpang harmoni dengan membawa bendera merah putih untuk menyambut kedatangan Jepang.[17]

 
Gedung Joang 45

Akan tetapi, dugaan Rusmali, Poerwokoesoemo dan Hanifah ternyata bena. Tidak lama setelah itu, pada tanggal 21 Maret 1942, Jepang mengeluarkan keputusan untuk membubarkan semua organisasi yang bergerak di bidang politik.[18] Seiiring surat keputusan inilah, PPPI akhirnya bubar di bawah kepemimpinan Chaerul sebagai ketua terakhir. [19] Namun pergerakannya tidak langsung berhenti, dia menjadi anggota dari Jawatan Propaganda Jepang atau yang dikenal dengan nama Sendenbu.[20] Dia menjabat sebagai penasihat (sanyo) untuk Barisan Pelopor di bawah kepemimpinan Soekarno.[21] Selama bekerja untuk Jepang, Chaerul dipercaya juga memimpin kursus yang bernama Angkatan Baru Indonesia bersama Sukarni. Kursus inilah yang menjadi cikal bakal dari Asrama Angkatan Baroe Indonesia atau Asrama Menteng 31. [22] Lokasi asrama berada di Jalan Menteng No. 31, RT 01/RW 10 Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat yang menjadi bekas dari Hotel Schomper yang dimiliki oleh L.C. Schomper yang diambil paksa oleh pemerintah Jepang setelah kekalahan Hindia Belanda. Saat ini, gedung Asrama ini digunakan sebagai Gedung Joang 45.[23]

Asrama ini didirikan oleh Hitoshi Shimizu dan disponsori oleh Sendenbu ini awalnya diperuntukkan untuk mendidik pengetahuan politik pemuda-pemuda Indonesia demi kepentingan Jepang. Akan tetapi, kesempatan ini dimanfaatkan Chaerul dan rekan-rekannya untuk memberikan pendidikan tentang semangat nasionalisme. Anggota dari Asrama ini terdiri dari 50-60 orang setiap angkatannya.[24]Pada awalnya mereka menyusun susunan kepemimpinan asrama yang terdiri dari Soekarni sebagai ketua, Chairul sebagai wakil ketua, A.M. Hanafi sebagai sekretaris dan Ismail Wijaya sebagai bendahara. Para pemberi materi untuk kegiatan di asrama ini terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, Sunario Sastrowardoyo, Mohammad Yamin, Amir Syarifoeddin.[25] Selain tokoh Indonesia, beberapa tokoh dari Jepang juga memberikan materi pembelajaran seperti Bakki yang mengajarkan geopolitik, Makatani mengajar Bahasa Jepang, serta Shimizu mengajar pengetahuan umum.[26]

Ia menjadi panitia Seinendan dan anggota Angkatan Muda Indonesia. Kemudian ia berbalik arah menjadi anti-Jepang dan ikut membentuk Barisan Banteng serta menjadi anggota Putera pimpinan Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan Kyai Haji Mas Mansyur.[5]

Chaerul merupakan salah satu tokoh penting dibalik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bersama Sukarni, Wikana, dan pemuda lainnya dari Menteng 31, ia menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok. Mereka menuntut agar kedua tokoh ini segera membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1946, Chaerul bergabung dengan Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka. Kelompok ini menuntut kemerdekaan 100% dan berdiri sebagai pihak oposisi pemerintah. Oleh karenanya pada tanggal 17 Maret 1946, beberapa tokoh kelompok ini ditangkap termasuk diantaranya Chaerul. Pada tanggal 6 Juli 1948, Tan Malaka mendirikan Gerakan Rakyat Revolusioner dan menunjuk Chaerul Saleh sebagai sekretaris pergerakan.

Setelah kematian Tan Malaka, Chaerul bersama Adam Malik dan Sukarni berhimpun di dalam Partai Murba. Tahun 1950, Chaerul memimpin Laskar Rakyat di Jawa Barat untuk menentang hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Ia kemudian ditangkap oleh Abdul Haris Nasution dan dibuang ke Jerman. Disana ia kemudian melanjutkan studinya ke Fakultas Hukum Universitas Bonn dan mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI).[27]

Pemerintahan

Pada bulan Desember 1956 sepulangnya dari Jerman, Chaerul ditunjuk oleh pemerintah untuk menjadi Wakil Ketua Umum Legiun Veteran RI. Satu tahun kemudian, ia masuk Kabinet Djuanda dan menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Veteran. Chaerul dikenal sebagai tokoh sosialis yang cemerlang. Karena kepandaiannya itu ia beberapa kali menjadi orang kepercayaan Presiden Soekarno, dan sebagai penyeimbang tokoh-tokoh PKI di kabinet. Pada tahun 1959, ia ditunjuk sebagai Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan pada Kabinet Kerja I. Di kabinet berikutnya, Kabinet Kerja II dan Kabinet Kerja III Chaerul menjadi Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan. Pada tahun 1960 hingga 1966, ia juga menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.

Sebagai orang kepercayaan Soekarno, Chaerul memiliki keberanian untuk menantang lawan-lawan politiknya. Tanggal 3 April 1961, Chaerul berkeliling Sumatra Barat dan berpidato di muka umum. Ia menentang para pemimpin Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia seperti Natsir dan Syafruddin Prawiranegara, yang dianggapnya menyetujui hasil KMB.

Tahun 1963 kariernya menanjak dan ia dipercaya sebagai Wakil Perdana Menteri III. Pada bulan April 1964, Chaerul terlibat dalam intrik kekuasaan. Ia mencoba untuk menduduki posisi Wakil Perdana Menteri I yang saat itu dijabat oleh Soebandrio. Perhitungannya adalah jika Soekarno lengser maka ia yang akan naik menjadi Perdana Menteri. Untuk menyingkirkan Soebandrio dari kedudukannya sebagai Menteri Luar Negeri, ia juga akan menyodorkan Adam Malik. Selain berusaha menggeser Soebandrio, ia juga membendung Hatta yang sewaktu-waktu bisa saja naik menjadi Wakil Perdana Menteri I. Untuk itu ia menginstruksikan Selo Soemardjan untuk membentuk organisasi intelijen yang mengkonsolidasi kedudukannya. Pada masa itu selain orang-orang Murba, Angkatan Darat dan PKI juga memposisikan dirinya sebagai pengganti Soekarno.[28]

Untuk menjatuhkan wibawa PKI di mata Soekarno, pada sidang kabinet di akhir tahun 1964 Chaerul mengeluarkan sebuah dokumen yang menyatakan PKI akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Dokumen yang berjudul "Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa Ini" itu, menyatakan bahwa revolusi Agustus 1945 telah gagal. Dan PKI harus mengambil tindakan untuk merebut pimpinan revolusi. Pembahasan dokumen itu terus berlanjut ke pertemuan partai politik di Bogor tanggal 12 Desember 1964. Disitu pimpinan PKI DN Aidit menuduh Chaerul telah membuat berita bohong dan sebagai antek-Nekolim. Dari pertemuan itu kemudian terbit Deklarasi Bogor yang meminta partai-partai politik untuk tetap setia kepada pimpinan besar revolusi, Soekarno.[29]

Dalam Gerakan 30 September, semula nama Chaerul termasuk salah seorang tokoh yang akan diculik. Namun Aidit mencoret namanya karena pada tanggal 30 September Chaerul sedang berada di Peking, China. Tanggal 18 Maret 1966, Chaerul Saleh ditahan oleh Soeharto tanpa melalui proses peradilan. Ia dianggap sebagai menteri yang mendukung kebijakan Soekarno yang pro-komunis.[29] Ia meninggal pada tanggal 8 Februari 1967 dengan status tahanan politik. Hingga sekarang tidak pernah ada penjelasan resmi dari pemerintah mengenai alasan penahanannya.

Kehidupan pribadi

Pada awalnya, hubungan pernikahan Yohana dan Chaerul tidak mendapatkan restu dari orang tua Chaerul karena keluarga yohana memiliki penyakit genetik dan merupakan anak dari Tumanggung yang mengalahkan ayahnya dalam pemilihan Voolksraad. Namun, pada akhirnya mereka berdua tetap menikah pada tahun 1940 di Jalan Kesehatan II /25.[30]

Karya

  • Perlawanan Rakyat Sumatra Barat terhadap Kolonialisme Belanda, 1962

Referensi

  1. ^ "Tak setuju perintis terima uang" Diarsipkan 2017-04-04 di Wayback Machine., Tempointeraktif, 7 Mei 1977.
  2. ^ Nisa, Amirul (13 Desember 2022). "Profil 4 Tokoh Golongan Muda yang Terlibat Peristiwa Rengasdengklok - Bobo". bobo.grid.id. Diakses tanggal 24 Desember 2022. 
  3. ^ a b c Satyadarma (6 November 2021). "Chaerul Saleh, Pahlawan Bangsa yang Mati dalam Penjara". Koran Sulindo. Diakses tanggal 24 Desember 2022. 
  4. ^ Soewito, Irna Hanny Nastoeti Hadi (1993). Chairul Saleh, tokoh kontroversial. Jakarta: Tim Penulis. hlm. 22. 
  5. ^ a b "Politisi Murba, Jenderal Kehormatan". Tokoh Id (dalam bahasa Inggris). 20 April 2012. Diakses tanggal 25 Desember 2022. 
  6. ^ Abidin, Mas'oed (2005). Ensiklopedi Minangkabau. Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau. hlm. 109. ISBN 978-979-3797-23-6. 
  7. ^ Soewito 1992, hlm. 8.
  8. ^ Ningsih, Widya Lestari (14 Desember 2022). "Chaerul Saleh, Pejuang Kemerdekaan yang Mati Tanpa Kejelasan Halaman all". Kompas. Diakses tanggal 25 Desember 2022. 
  9. ^ a b Soewito 1992, hlm. 13.
  10. ^ a b Soewito 1992, hlm. 14.
  11. ^ Rahman, Momon Abdul; Darmansyah; Wardoyo, Kusumo; Winarti, Siti Sugi (2006). Pergerakan Mahasiswa Pada Masa Hindia Belanda (PDF). Jakarta: Museum Sumpah Pemuda. hlm. 58. 
  12. ^ a b Mukthi, M.F. (28 Oktober 2020). "Penggalan Akhir Kiprah PPPI". Historia. Diakses tanggal 25 Desember 2022. 
  13. ^ Adryamarthanino, Verelladevanka (12 Agutus 2021). Nibras Nada, Nailufar, ed. "Petisi Sutardjo: Latar Belakang, Isi, Reaksi, dan Penolakan Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 25 Desember 2022. 
  14. ^ Gama Prabowo, Prabowo (22 Desember 2020). Gischa, Serafica, ed. "Sejarah Gabungan Politik Indonesia (GAPI)". KOMPAS.com. Diakses tanggal 25 Desember 2022. 
  15. ^ a b Rahman et al. Misman, hlm. 58.
  16. ^ Soewito 1992, hlm. 15.
  17. ^ Soewito 1992, hlm. 18.
  18. ^ Syarifuddin (2022). Bahan Pembelajaran Sejarah Nasional Indonesia VI. Palembang: Bening Media Publishing. hlm. 23. 
  19. ^ Rahman et al. Misman, hlm. 61.
  20. ^ Nurjanah, Rina (15 Agustus 2017). Kusumadewi, Anggi, ed. "Menuju Merdeka: Sebaran dan Gerakan Pemuda Radikal di Menteng". kumparan. Diakses tanggal 26 Desember 2022. 
  21. ^ Soewito 1992, hlm. 19.
  22. ^ Soewito 1992, hlm. 19-20.
  23. ^ Walid, Wildan Ibnu (18 Februari 2019). Pradewo, Bintang, ed. "Gedung Menteng 31, Saksi Bisu Perjalanan Pemuda Indonesia". JawaPos.com. Diakses tanggal 27 Desember 2022. 
  24. ^ Maulana, Doni (18 April 2018). "Angkatan Baru Indonesia, Asrama" (dalam bahasa Inggris). Dinas Kebudayaan Jakarta. Diakses tanggal 27 Desember 2022. 
  25. ^ Adryamarthanino, Verelladevanka (20 Mei 2022). "Asrama Angkatan Baru Indonesia atau Asrama Menteng 31". KOMPAS. Diakses tanggal 27 Desember 2022. 
  26. ^ Kurniadi, H. Eddy (1987). Peranan pemuda dalam pembangunan politik di Indonesia: analistis studi berdasarkan pendekatan sejarah dan sosio kultural. Angkasa. hlm. 94. ISBN 978-979-404-240-3. 
  27. ^ http://www.harianhaluan.com Chaerul Saleh: Si Bengal dari Lubuk Jantan
  28. ^ Rosihan Anwar; Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik, 1961-1965; Yayasan Obor Indonesia; 2006
  29. ^ a b Julius Pour, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang, Kompas, 2010
  30. ^ Soewito 1992, hlm. 16-17.
Jabatan politik
Posisi baru Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
1960—1966
Diteruskan oleh:
Abdul Harris Nasution
Didahului oleh:
F.J. Inkiwang
sebagai Menteri Perindustrian
Menteri Perindustrian Dasar & Pertambangan Indonesia
1959—1964
Diteruskan oleh:
Hadi Thayeb
sebagai Menteri Perindustrian Dasar
Diteruskan oleh:
Armunanto
sebagai Menteri Pertambangan