Hyang
Hyang (bahasa Bali: ᬳ᭄ᬬᬂ; bahasa Jawa: ꦲꦾꦁ; bahasa Sunda: ᮠᮡᮀ; Osing: Iyang) adalah nama ilahiah dalam berbagai agama wadi pribumi Jawa dan Bali; yakni Kapitayan (ꦏꦥꦶꦠꦪꦤ꧀), Kejawen (ꦏꦼꦗꦮꦺꦤ꧀), Wiwitan (ᮝᮤᮝᮤᮒᮔ᮪), maupun Gamatirta (ᬕᬫᬢᬶᬃᬢ). Secara hakikatnya, Hyang pada mulanya merujuk kepada entitas (baik itu berupa roh maupun arwah leluhur) penghuni pegunungan di pulau Jawa yang disembah (entah itu Pegunungan Iyang di Jawa Timur ataupun Parahyangan di Jawa Barat).
Terminologi
Istilah Hyang secara etimologis berakar dari bahasa kuno Jawa–Sunda (bahasa kuno serumpun pribumi Jawa), yang memiliki arti "sosok yang disembah" atau "tuhan", yang mana secara hakikatnya merujuk kepada sosok sembahan bersifat tak kasat mata yang menetap di suatu lokasi maupun obyek. Lebih lanjut, istilah hyang itu sendiri dalam bahasa Jawa kuno juga dapat bermakna "[suara yang] keras" atau "bising", yang mana dapat merujuk kepada firman Hyang yang pernah disampaikan kepada umat manusia dalam rupa suara yang keras (secara pendengaran duniawi manusia). Istilah tersebut masih lestari dalam bahasa Baduy, Bali, Jawa, Osing, Sunda, dan Tengger yang digunakan oleh masyarakat etnis Baduy, Bali, Jawa, Osing, Sunda, dan Tengger hingga masa kini.
Peribadatan
Bentuk peribadatan untuk memuja atau menyembah Hyang biasanya disebut sebagai Sembahyang, yang mana tersusun dari dua kata Jawa kuno, yakni "sĕmbah" dan "Hyang". Kosakata bahasa Jawa seperti ꦱꦶꦩ꧀ꦧꦃ (simbah) dan ꦲꦺꦪꦁ ([h]èyang) yang umum digunakan pada masa kini untuk merujuk sosok (orang tua; nenek dan kakek) yang dihormati juga memiliki kaitan terminologi yang sama.
Angembang
Angembang merupakan salah satu bentuk Sembahyang dengan menggunakan bunga (disebut sebagai kembyang dalam bahasa Osing) sebagai sarana atau media pemujaan terhadap Hyang. Di Bali, Angembang lebih dikenali sebagai ᬜᭂᬓᬃ (Nyekar), yang mana merujuk kepada hal serupa.
Selama prosesi Angembang, dilakukan perapalan doa atau mantra yang kerap disebut sebagai Tembang (dieja sebagai Tembyang dalam bahasa Osing); berakar dari kata "tĕmu" dan "Hyang" dalam bahasa kuno Jawa–Sunda, yang bermakna "[pujian untuk] mendekatkan diri ke Hyang".
Kahyangan
Tempat dimana para Hyang bernaung atau bertempat tinggal secara umum disebut Kahyangan, kata tersebut sejatinya berakar dari kata Hyang itu sendiri, namun telah diberi konfiks khas Jawa–Sunda ‘ka--an’ sehingga memiliki arti "keilahian" atau "kedewaan". Parahyangan dan Pegunungan Iyang merupakan dua areal pegunungan sakral yang dipercayai sebagai tempat dimana para Hyang bernaung, dan kata Hyang (atau juga dieja sebagai Iyang menurut bahasa Osing) diduga diserap dari nama kedua pegunungan tersebut, yang mana keduanya dianggap sebagai kahyangan ("tempat Hyang berdiam") oleh masyarakat pulau Jawa pada umumnya.
Seni budaya
Selain dalam bentuk peribadatan yang khusyuk, penyembahan akan Hyang juga dapat disalurkan dalam bentuk kesenian yang kemudian berkembang menjadi budaya dan diinterpretasikan secara berbeda dalam masing-masing etnis pulau Jawa dan Bali.
Di Bali
Di Bali, masyarakat etnis Bali (termasuk juga Bali Aga) mengembangkan beraneka ragam bentuk kesenian yang melambangkan peribadatan akan Hyang, ataupun semata-mata untuk merepresentasikan keagungan Hyang dalam berbagai bidang ke-maha-anNya. Diantaranya, yakni:
- Tari Sang Hyang
- Tari Sang Hyang Jaran
- Tari Sang Hyang Penyalin
- Tari Sang Hyang Sengkrong
- Mabuncing Sang Hyang Dong Ding
Di Jawa Barat
Di wilayah Jawa Barat, masyarakat etnis Sunda memiliki beberapa jenis interpretasi untuk memuja dan menelisik Hyang. Diantaranya, yakni:
- Sasakala Curug Sang Hyang Taraje
- Ngalokat Cai Situ Sang Hyang
- Nyangku
Di Jawa Tengah dan Timur
Di Jawa Tengah dan Timur, masyarakat etnis Jawa baik dari yang usia muda maupun tua memiliki bentuk kebudayaan unik yang berkembang sebagai bentuk wujud pengagungan akan Hyang. Diantaranya, yakni:
- Kembar Mayang
- Sekar Puyang