Prasasti Rumatak

Revisi sejak 5 Januari 2023 11.36 oleh Arya-Bot (bicara | kontrib) (Ciri fisik: clean up)

Prasasti Rumatak atau Prasasti Geger Hanjuang adalah salah satu dari prasasti peninggalan Kerajaan Galuh. Selain itu, prasasti Rumatak juga merupakan sumber otentik adanya Kerajaan Galunggung. Lokasi penemuannya terletak di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya yang termasuk area Gunung Galunggung, pada tahun 1877. Prasasti ini kini disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor inventaris D.26.

Ciri fisik

Prasasti ini dipahatkan pada batu pipih berukuran 85 x 62 cm2. Isinya pendek, dengan tiga baris tulisan dalam aksara Kawi dan bahasa Sunda Kuno. Dilihat dari bentuk hurufnya, para ahli sejarah menganggap huruf pada prasasti ini lebih tua dari huruf yang terdapat pada Prasasti Kawali. Telaahan terhadap prasasti Rumatak dilakukan oleh K.F. Holle (l877), Saleh Danasasmita (l975; l984), Atja (l990), Hasan Djafar (l991), dan Richadiana Kartakusuma (l991).

Isi teks

Prasasti ini berisi tiga baris tulisan dalam aksara Kawi. Transkripsi dari tulisan tersebut adalah sebagai berikut:

tra ba I gune apuy na
sta gomati sakakala rumata
k disusuk ku batari hyang pun

Artinya: (pada tahun) 1033 (Saka) (ibukota) Ruma(n)tak diperkuat (pertahanannya) oleh Batari Hyang.

Maksud dari tulisan tersebut adalah mengenai pendirian pusat kerajaan (nu nyusuk) di Rumatak oleh Batara Hiyang. Pertanggalannya dituliskan dalam kalimat candrasangkala yang berbunyi gune apuy nasta gomati yang oleh Saleh Danasamita, juga oleh Atja, disebutkan bernilai 1033 Saka = 1111 Masehi. Sebaliknya, Hasan Djafar (l991) membacanya sebagai ba – guna- apuy- diwwa yang diartikan sebagai 1333 Saka atau 1411 Masehi.

Batari Hyang memperkuat benteng pertahanan di ibukota Kerajaan Galunggung, yaitu Rumantak, yang dilakukan pada tahun 1033 Saka atau 1111 Masehi. Memperkuat pertahanan tersebut dengan cara membuat parit (nyusuk atau marigi). Peristiwa nyusuk ini juga diberitakan dalam naskah Amanat Galunggung yang berbunyi: Rahyang nyusuk na Pakwan. Kemudian dalam prasasti Kawali disebutkan Prabu Raja Wastu marigi sakuriling dayeuh Kawali. Dalam prasasti Batutulis, disebutkan Sri Baduga Maharaja nyusuk na pakwan. Kalimat tersebut dalam naskah Nagara Kertabumi diartikan amagehing (memperkokoh) Pakwan.

Artinya, peristiwa nyusuk atau membuat perigi ini dilakukan oleh para penguasa kerajaan di tatar Sunda, untuk memperkuat pertahanan, sebagai tindakan preventif yang wajar dilakukan pada masa itu, terlepas dari ada atau tidaknya ancaman pada kerajaan. Membuat parit atau perigi dilakukan juga sebagai tanda adanya pemerintahan yang baru, setelah penobatan raja dilakukan. Bukan tidak mungkin, setiap raja melakukan hal yang sama, dan raja berikutnya yang baru dinobatkan membuat atau memperbaiki perigi yang sudah ada, karena perigi lama dianggap sudah tak memadai atau dangkal. Seperti halnya dilakukan oleh Sri Baduga pada tahun 1482. Pakuan yang sudah disusuk oleh Rakeyan Banga pada tahun 739, disusuk kembali oleh Sri Baduga, karena keadaan kota Pakuan sudah jauh lebih luas dari batas parit semula.

Melihat isi dari prasasti Geger Hanjuang, ada dua hal utama yang menjadi isi teks prasasti tersebut. Yakni, Rumantak sebagai ibukota kerajaan, serta Batari Hyang sebagai penguasanya. Sebelum Galunggung menjadi kerajaan pada masa Batari Hyang, bisa dipastikan bahwa Rumantak adalah juga pusat dari kabuyutan Galunggung. Di sanalah para batara atau rajaresi memimpin kabuyutannya, serta menerima tetamu agung dari kerajaan seperti Galuh. Bahkan bukan tidak mungkin, di Rumantak pulalah para rajaresi yang wafat diupacarakan.

Lihat pula

Rujukan

  1. Richadiana Kartakusuma (1991), Anekaragam Bahasa Prasastidi Jawa Barat Pada Abad Ke-5 Masehi sampai Ke-16 Masehi: Suatu Kajian Tentang Munculnya Bahasa Sunda. Tesis (yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Arkeologi). Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia.