Kasuami
Kasuami, soami atau sangkola adalah makanan khas daerah Sulawesi Tenggara (Buton, Muna dan Wakatobi). Kasuami memiliki arti makanan dari ubi kayu yang diolah dengan uap panas (soa).[1] Orang Buton dan Muna menyebutnya kasuami, sementara orang Wakatobi menyebutnya soami dan segelintir orang lainnya menyebutnya sangkola. Namun, umumnya makanan tersebut memiliki bentuk yang sama, yaitu menyerupai tumpeng dan berwarna putih kekuning-kuningan.
Kasuami | |
---|---|
Nama lain | Soami, sangkola |
Sajian | Utama |
Tempat asal | Indonesia |
Daerah | Sulawesi Tenggara |
Dibuat oleh | Suku Buton, Muna dan Wakatobi |
Suhu penyajian | Panas atau suhu ruangan |
Bahan utama | Singkong |
Sunting kotak info • L • B |
Menurut warga setempat, kasuami menyimbolkan persaudaran dan keakraban. Oleh sebab itu, kasuami biasanya dihidangkan saat acara besar seperti hajatan maupun penyambutan sanak saudara yang pulang ke kampung halaman. Hingga kini, kasuami masih menjadi makanan pokok dan umumnya disajikan bersama ikan parende (sop ikan khas buton).[2]
Pada Kendari Food Festival 2018, Komunitas Kuliner Kendari (Tripelka) menghidangkan kasuami yang memecahkan rekor MURI sebagai kasuami tertinggi dengan tinggi 250 cm dan diameter 180 cm. Kasuami tersebut menghabiskan 1,2 ton tepung tapioka dan dimasak oleh 40 juru masak yang dibantu 20 asisten dalam waktu lebih dari 12 jam.[3][4]
Sejarah
Kasuami dikenal di Sulawesi Tenggara sebagai hidangan nenek moyang suku Wakatobi yang menyebar ke pulau Buton.[5] Kasuami diperkirakan menjadi konsumsi sehari-hari oleh warga nelayan dan petani sebab desanya tidak bisa ditumbuhi tanaman padi. Di dua wilayah tersebut, tanaman singkong yang menjadi bahan dasar kasuami, tumbuh subur dan menjadi makanan pokok sehari-hari.[6]
Karena kasuami tidak mudah basi, para pelaut menjadikannya bekal dan makanan khas mereka. Kasuami dapat dikonsumsi hingga 14 sampai 20 hari, tapi jika singkong parut yang digunakan belum dikukus, kasuami bisa bertahan sampai 30 hari. Karena ketahanannya, pelaut-pelaut Buton dapat membawa makanan ini sampai ke Singapura, pesisir Malaysia hingga Filipina.
Pembuatan
Kasuami berbahan utama singkong dan diolah dengan cara mengukus parutan singkong yang sudah dikeringkan. Orang Wakatobi menghilangkan kandungan air dari singkong dengan cara digepe atau diperas menggunakan kain warna putih yang bahannya cukup tipis. Parutan ubi lalu ditaruh dalam kain tipis, lalu dibentuk bundar, menyerupai ban vespa. Orang Wakatobi biasa menyebut adonan tersebut ka’opi.[5] Pemisahan air juga dapat dilakukan dengan menggunakan saringan yang terbuat dari anyaman bambu yang menyerupai ayakan beras. Lubang ayakan yang kecil berfungsi sebagai penahan parutan kasar agar tidak bercampur dengan parutan halus.
Setelah itu, parutan singkong yang telah terpisah dimasukkan kedalam cetakan berbentuk kerucut yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Parutan singkong yang sudah dicetak tadi lalu dikukus selama kurang lebih 15 menit.
Apabila adonan kasuami kering telah dibuat namun belum hendak dimasak, adonan tersebut bisa disimpan dengan cara dibungkus dengan daun pisang. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar adonan tidak lembab dan terhindar dari debu atau serangan bakteri perusak. Selain itu, pembungkusan dengan daun pisang juga dilakukan agar aroma khas singkong tidak hilang.[5]
Varian
Dari segi bentuk dan warna, kasuami terdiri tiga jenis. Ada yang kerucut seperti tumpeng yang warnanya putih kekuning-kuningan dan ada juga yang berwarna hitam. Kasuami hitam memiliki sebutan hugu-hugu. Pembuatan hugu-hugu diawali dengan memilih singkong yang baik, merendamnya dengan air laut selama tiga hari, kemudian menjemurnya beberapa hari sampai kering dan berwarna kehitam-hitaman. Sedangkan kasuami yang berwarna putih kekuning-kuningan, diolah dari singkong segar dan langsung dijadikan kasuami.[7]
Di Baubau juga terdapat kasuami pepe yang biasanya di jual di pasar-pasar tradisional. Kasuami pepe dijual dalam bentuk seperti bolu gulung dan proses pembuatannya agak berbeda dengan kasuami pada umumnya. Sebelum dikukus, tepung parutan singkong dicampur dengan minyak kelapa dan sedikit garam. Setelah selesai, adonan dipipihkan seperti lembaran kertas, yang mana disebut dengan istilah pepe. Sebelum digulung, kasuami pepe dibubuhi bawang goreng untuk menambah cita rasa. Kasuami pepe biasa disantap bersama abon atau ampas kelapa kering dan juga dengan teh atau kopi.[8]
Referensi
- ^ Ramadhan, Bagus. "Mengenal Kasoami, Pangan Masyarakat Buton, Sudah Mencoba?". www.goodnewsfromindonesia.id. Diakses tanggal 2022-08-15.
- ^ "Sangkola atau Kasuami Makanan Khas Buton". Suarakendari.com. 2022-03-19. Diakses tanggal 2022-08-15.
- ^ SemiColonWeb. "Sajian Kasuami Tertinggi". https://www.muri.org/Website/Rekor_detailsajiankasuamitertinggi (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-08-15. Hapus pranala luar di parameter
|website=
(bantuan) - ^ "Even Kendari Food Festival (KFF) Kuliner Kasuami Masuk Museum Rekor Indonesia". www.teropongsultra.com. Diakses tanggal 2022-08-15.
- ^ a b c "Kasuami, Makanan Khas Pelaut Buton yang Terus Bertahan". Diakses tanggal 2022-08-15.
- ^ Fua, Ahmad Akbar (2018-12-06). Hida, Ramdania El, ed. "Sarapan Pagi dengan Kasuami Khas Wakatobi". Liputan6.com. Diakses tanggal 2022-08-15.
- ^ R, Rahmadi (2022-06-27). "Kasoami, Makanan Legendaris Buton Berbahan Singkong". Mongabay.co.id. Diakses tanggal 2022-08-15.
- ^ Malliuri, Al Amin (8 Februari 2021). "Kasuami Pepe Kuliner Khas Leluhur Bau-Bau yang Masih Eksis". KabarMakassar.Com - Rujuken Berita Makassar dan Sulawesi Selatan. Diakses tanggal 2022-08-15.