Di Indonesia, antraks—penyakit akibat infeksi bakteri Bacillus anthracis pada manusia dan hewan, terutama herbivor—telah dilaporkan sejak masa kolonial saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Spora B. anthracis mampu bertahan selama puluhan tahun di tanah sehingga daerah yang pernah melaporkan kasus penyakit ini digolongkan sebagai daerah endemik dan kasus antraks dapat muncul sewaktu-waktu di daerah-daerah tersebut.

Kejadian antraks pada manusia ditangani oleh instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan kesehatan, yang biasanya menetapkan kemunculan penyakit ini sebagai kejadian luar biasa (KLB). Sementara itu, kasus pada hewan ditangani oleh instansi pemerintah yang menangani urusan peternakan dan kesehatan hewan.

Daftar kejadian

Antraks diduga masuk ke Hindia Belanda melalui impor sapi perah asal Eropa dan sapi ongole asal Asia Selatan yang didatangkan pada abad ke-19.[1] Urutan kejadian antraks di Indonesia secara kronologis dituangkan dalam tabel berikut ini.

Tahun Lokasi Keterangan Ref.
1832 Kolaka, Sulawesi Tenggara [2]
1884 Teluk Betung, Lampung Dugaan pada kerbau [1]
1885 Buleleng, Bali; Palembang; dan Lampung [1]
1886 Sumatra (Bengkulu, Padang, Palembang, Tapanuli); Jawa (Banten, Karawang, Probolinggo); Madura; Kalimantan Barat; Kalimantan Timur; Pulau Rote [1]
1910 Jambi dan Palembang [1]
1914 Padang, Bengkulu, dan Palembang [1]
1927/28 Padang, Bukittinggi, Palembang, dan Jambi [1]
1930 Palembang, Sibolga, dan Medan [1]
1906–1957 Sumatra (Jambi, Palembang, Padang, Bengkulu, Bukittinggi, Sibolga, dan Medan); Kalimantan; P. Jawa dan Madura (Jakarta, Purwakarta, Bogor, Parahyangan, Banten, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surakarta, Banyumas, Madiun, dan Bojonegoro); Bali; Nusa Tenggara (P. Lombok, Sumbawa, Sumba, dan Flores); dan Sulawesi (Sulawesi Selatan, Manado, Donggala, dan Palu) Sapi, kerbau, kambing, domba [3]
1969 Kolaka, Sulawesi Tenggara 36 orang meninggal dunia [2]
1973 Kolaka, Sulawesi Tenggara 7 orang meninggal dunia [2]
1975 Jambi, Jawa Barat, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara Morbiditas tertinggi di Jambi (53 per 100.000 ternak) sedangkan morbiditas terendah di Jawa Barat (0,1 tiap 100.000 ternak) [3]
1976 Bima, NTB Antraks tipe kulit pada manusia [4]
1977 Sumbawa Besar dan Dompu, NTB [4]
1980 Sumba Timur, NTT Urutan hewan terinfeksi terbanyak yaitu kuda, sapi, kerbau, babi, dan anjing [5]
1985 Paniai, Irian Jaya Antraks pada ribuan babi; 11 orang meninggal dunia [4]
1986 Sumatra Barat [6]
1989 Jambi [6]
1990 Jawa Tengah (Boyolali, Salatiga, Semarang, dan Demak) Antraks pada sapi perah eks impor dari Amerika Serikat. KLB dengan 48 infeksi pada manusia [4][5]
1999 Purwakarta, Jawa Barat Sebanyak 150 burung unta terinfeksi dan kemudian 3.324 ekor burung unta dimusnahkan. KLB pada 32 orang yang kemudian sembuh. [5][7]
2001 Bogor, Jawa Barat KLB dengan kasus 22 orang dan 2 di antaranya meninggal dunia [4]
2003 DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah [6]
2007 Sumba Barat, NTB KLB dengan kasus 13 orang dan 5 di antaranya meninggal dunia [4]
2010 Sulawesi Selatan (Gowa, Pangkajene dan Kepulauan, Maros) dan di Jawa Tengah (Sragen) [5]
2011 Jawa Tengah (Boyolali, Sragen) dan di NTT (P. Sabu) [5]
2012 Sulawesi Selatan (Takalar) [5]
2013 Sulawesi Selatan (Maros, Takalar) [5]
2014 Sulawesi Selatan (Gowa, Maros, Barru, Sidenreng Rappang, Bone) dan Jawa Timur (Blitar) [8]
2015 Sulawesi Selatan (Gowa, Maros, Sidenreng Rappang) [8]
2016 Sulawesi Selatan (Gowa, Pinrang, Maros, Sidenreng Rappang), Sulawesi Barat (Polewali Mandar), Gorontalo (Kota Gorontalo, Kab. Gorontalo, Bone Bolango); Jawa Timur (Pacitan) [8]

Pengendalian penyakit

Pada setiap kejadian atau dugaan antraks pada hewan harus segera dilaporkan kepada Dokter Hewan yang berwenang dan Dinas Peternakan setempat. Hal ini karena dampaknya bisa sangat luas apabila dilakukan penanganan yang salah. Untuk memutus rantai penularan, bangkai ternak tersangka antraks dan semua material yang diduga tercemar misalnya karena pernah bersinggungan dengan hewan harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur dalam-dalam serta bagian atas dari lubang kubur dilapisi batu kapur secukupnya. Area penguburan hendaknya diberi tanda supaya semua pengembalaan hewan di area sekitar menjauhi lokasi penguburan.[9][10]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ a b c d e f g h Dirkeswan 2016, hlm. 3.
  2. ^ a b c Subdit Zoonosis 2017, hlm. 8.
  3. ^ a b Dirkeswan 2016, hlm. 4.
  4. ^ a b c d e f Subdit Zoonosis 2017, hlm. 9.
  5. ^ a b c d e f g Dirkeswan 2016, hlm. 5.
  6. ^ a b c Subdit Zoonosis 2017, hlm. 11.
  7. ^ Hardjoutomo, S.; Poerwadikarta, M.B.; Barkah, K. (2002). "Kejadian Antraks pada Burung Unta di Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia" (PDF). Wartazoa. 12 (3): 114–120. 
  8. ^ a b c Dirkeswan 2016, hlm. 6.
  9. ^ Dharmojono. 2000. Anthrax, Penyakit Ternak Mengejutkan Tetapi Tidak Mengherankan. Infovet Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan; Ed 67, Pebruari 2000.
  10. ^ Martindah, Eny (2017). "Faktor Risiko, Sikap dan Pengetahuan Masyarakat Peternak dalam Pengendalian Penyakit Antrak". Wartazoa Indonesian Bulletin of Animal and Veterinary Sciences. 27 (3): 135–144. doi:10.14334/wartazoa.v27i3.1689. ISSN 2354-6832. 

Daftar pustaka