Goembrek

dokter di Hindia Belanda

Raden Mas Goembrek (28 Juni 1885 – 19 Januari 1968) adalah salah satu pendiri Boedi Oetomo asal Banyumas, Jawa Tengah.[2] ia juga menerima gelar dokter Jawa dari School tot Opleiding van Inlandsche Artsen STOVIA-gelar ini diberikan untuk orang-orang Boemiputra setelah lulus dari STOVIA.

Goembrek
Potret. Gumbrek (tokoh Boedi Utomo 1908)
Lahir(1885-06-28)28 Juni 1885
Kebumen, Jawa Tengah, Hindia Belanda
Meninggal19 Januari 1968(1968-01-19) (umur 82)
Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia
KebangsaanIndonesia (Jawa)
Almamater
  • School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA)
  • Eropeeshe Lagere School (ELS)
PekerjaanDokter
Dikenal atas
  • Salah satu pendiri Boedi Oetomo-sebagai Komisaris. [1]
  • Dokter Boemiputra lulusan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA)
Suami/istriRaden Adjeng Samsidah
Orang tua
  • Raden Mas Padmokoesoemo (ayah)
  • Raden Adjeng Marsidah Padmokoesoemo (ibu)

Riwayat Hidup

Raden Mas Goembrek dilahirkan pada permulaan wuku gumbreg 28 Juni 1885, dari pasangan Raden Mas Padmokoesoemo, Onderkolektur Karanganyar (1897-1913) dengan Raden Adjeng Marsidah. Ayahnya pernah menjabat asisten wedana (camat) Purwodadi Kawedanan (kabupaten) Kutoarjo, yang kemudian dengan beslit 15 Desember 1886 diangkat menjadi Wedana (bupati) Ambal Kebumen, ibu kota kabupaten, selama 11 tahun. Di sinilah ketika masih kecil Goembrek bersaudara telah menjadi anak yatim. Kedua kakeknya adalah bupati di Karesidenan Bagelen. Perkawinan kedua orang tuanya merupakan besanan antara dua rekan sejawat elite birokrat (pejabat teras), bukan perkawinan keluarga yang menjadi prioritas tradisional masa itu. Ayahnya, Raden Mas Padmokoesoemo, terlahir dengan nama Raden Mas Soeseno dari pasangan Raden Adipati Tjokronagoro II, bupati Purworejo II (1856- 1876)[3] dengan istri Padmi (Bendara Raden Adjeng Tjokronagoro II) yang merupakan cucu turunan dari Susuhunan Pakubuwono IV, raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat (1788-1820). Kakeknya adalah putra bupati pertama cikal bakal pendiri Kabupaten Purworejo, seorang veteran Kolone Kerajaan Surakarta, bernama Raden Adipati Tjokronagoro I. Sedangkan ibunya, Raden Adjeng Marsidah dari pasangan Raden Adipati Kartanegara I, bupati Karanganyar II (1864-1885) dengan istri Padmi (Raden Adjeng Kartanegara I), putra dari Raden Adipati Tjakrawedana II, Bupati Cilacap keturunan langsung dari Raden Adipati Tjakrawedana I, bupati Banyumas XIII (1815-1831). Kakek Goembrek dari garis ibu ini adalah putra Raden Adipati Poerbonegoro, bupati Ambal (Kebumen) (1832-1971). Kemungkinan besar perkawinan orang tua Goembrek itu terjadi setelah pengangkatan Bupati Karanganyar Tahun 1864. Mengingat suksesi bupati pada masa itu umumnya berdasarkan atas asas keturunan, maka para trah bupati ini dapat mendominasi  jabatan daerah yang penting di Karesidenan Bagelen. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa Goembrek merupakan keturunan para pejabat teras di Banyumas pada masa itu.

Goembrek adalah putra ke- 7 dari 8 bersaudara. Ketika ibunya meninggal di Kebumen, Goembrek masih kecil. Kemudian ayahnya menikah lagi dengan adik kandung ibunya, bernama Raden Adjeng Marsiyah, dikaruniai lima putra. Goembrek tumbuh dalam keluarga besar yang santun dalam adat istiadat Jawa. Sesuai perhitungan tarikh Jawa, Goembrek dilahirkan di tahun 1885. Namun dalam matrikulasi (STOVIA), kelahirannya tertulis 21 Juni 1886. Mungkin itu data kelahiran yang sudah disesuaikan dengan tarikh Masehi. Generasi sekarang mungkin mempertanyakan atau bahkan mempertanyakan nama Goembrek, karena terdengar asing dan aneh. Namun bagi generasi masa peralihan abad yang lalu, kata ‘Goembrek’ sama sekali tidak asing, karena kata itu adalah salah satu nama wuku, salah satu kalender Jawa, yaitu wuku ke-6, yang biasa disebut lebih tegas gumbreg.

Masa kecil dr. RM. Goembrek, ketika bayi hingga menjelang sekolah dihabiskan di Kebumen. Ayahnya Raden Mas Padmokoeseomo diangkat sebagai wedana (bupati) Kebumen (1886-1897). Saat itu, sekolah dasar Belanda Eropeeshe Lagere School (ELS) hanya terdapat di ibu kota karesidenan, Purworejo. Maka ketika Goembrek mendapatkan fasilitas untuk mengikuti pendidikan ELS dan harus bersekolah di purworejo, ia mondok di tempat pakdhenya, Bupati Purworejo Raden Mas Tumenggung Tjokronagoro II. Goembrek dapat menyelesaikan sekolahnya di ELS tahun 1901.

Sebenarnya ayahnya menginginkan ia dapat menjadi  pangreh praja. Pada saat itu pendidikan dokter tidak menjadi favorit bagi orang tua kalangan pangreh praja, karena letak geografis sekolah yang cukup jauh, di Batavia, dan biaya sekolah termasuk pemondokan yang tinggi serta ketidakpastian akan kesuksesan di masa depan. Sementara untuk menjadi pangreh praja, tinggal mengikuti ujian klein ambtenaar (pegawai rendah) setelah tamat ELS, bagi anak cucu keturunan wedana (bupati) ada prioritas dan status sosial terjamin. Sejak muda, Goembrek sering menentang pendirian orang tuanya tersebut. Pada akhirnya memilih mengikuti jejak kakaknya, Raden Mas Arnad yang sejak tahun 1900 menjadi pelajar Inlandsch Arts (Sekolah Dokter Bumiputera). Goembrek mengikuti ujian matrikulasi dan berhasil lolos masuk STOVIA 25 Januari 1902, bersama Soewarno, dari Boyolali, juga sebagai salah satu pendiri Boedi Oetomo.

Goembrek memasuki STOVIA pada masa-masa pelajar yang sedang menuntut ilmu di sana mengalami gejolak menumbuhkan sikap nasionalis. Goembrek sebagai anak pangreh praja yang kental dengan feodalisme pada masa itu, telah merasakan langsung sistem kekolotan suksesi bupati berdasarkan keturunan. la tidak tinggal diam, bergabung dengan kelompok Soetomo yang baru masuk matrikulasi STOVIA pada tahun 1903 dan sering ikut berdiskusi masalah kebangsaan. Ketika organisasi modern pertama Boedi Oetomo diserukan pada tanggal 20 Mei 1908, Goembrek termasuk sebagai pendiri Boedi Oetomo dan duduk dalam kepengurusan sebagai komisaris. Pada rentang waktu dari pembentukan sampai menjelang kongres I Boedi Oetomo, para pelajar STOVIA pendiri perhimpunan ini sibuk mengobarkan dan mencari dukungan bagi gerakan. Dengan latar belakang yang kental dari keluarga besar keturunan bupati, Goembrek berperan penting dalam melakukan pendekatan dengan bupati-bupati yang sejalan dengan perjuangan untuk mendukung Boedi Oetomo.

Goembrek yang datang dari sarang feodalisme di daerah asalnya, aktif dan terus bergerak pada masa awal pergerakan. Dokter Wahidin Soedirohoesodo menyebutkan bahwa Goembrek bersama dengan Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Soewarno, Moechamad Saleh, dan Soelaiman, merupakan 6 orang pelajar STOVIA yang hendak mendirikan studiefonds. Dan Goenawan Mangoenkoesoemo dalam tulisan di bukunya, menyebutkan Soewamo, Goembrek, Saleh, dan Soelaiman adalah orang-orang yang selalu setia berada di sekeliling perjuangan Soetomo.

Pada tahun 1908, kakak Goembrek. Raden Mas Amad lulus dokter tepat waktu. Saat itu Goembrek masih mengalami bantuan pelajaran bahasa Jerman, karena sejak tahun 1909 didatangkan seorang dokter Jerman dari Siam (Thailand) sebagai salah satu staf pengajar. Karena kekurangan dokter dan ada pageblug pes di Malang yang menyebabkan puluhan ribu jiwa terjangkit, Goembrek bersama sembilan pelajar, yaitu Ramelan Tirtohoesodo, Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Mohamad Saleh, Latumeten, AB Andu, R Slamet, dan Mohamad Soelaiman diturunkan ke medan wabah pes, dan kemudian dilantik menjadi inlandsh arts (dokter bumiputera ), lulus tanpa ujian pada 11 April 1911.[4]

Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Selanjutnya dr RM Goembrek mengikuti program ikatan dinas, paling sedikit harus bekerja 10 tahun pada pemerintah Hindia Belanda. Setelah 10 tahun berlalu, ia tetap berada di bawah pengawasan pemerintah dan tidak pernah membuka praktik swasta. Data "Gunseikanbu" (kelompok eksekutif) 19 Juli 1943 hanya menyebutkan secara singkat, dr RM Goembrek bekerja pada pemerintah Hindia Belanda sejak lulus 1911 sampai masa pensium tahun 1941. Pada masa itu, ia pernah bertugas di 34 kota. Sebagai dokter bumiputra, ia menjadi anggota VIG "Vereeniging voor Inlandsche Artsen" (asosiasi dokter dalam negri) yang didirikan pada 29 September 1911.

Ada pengalaman menarik yang tak terlupakan dan selalu diceritakan kepada teman-teman terdekat, yaitu saat bertugas di daerah Banten yang waktu itu dijangkiti penyakit malaria. Saat itu rakyat Banten tidak menyadari adanya wabah, dan banyak korban yang meninggal karena kecurigaan sebagai perbuatan setan. Sehingga usaha pengobatan yang akan dilakukannya ditentang rakyat. Bahkan Goembrek dilempari batu, hingga akhimya menyelamatakan diri dengan berlindung dalam gorong-gorong. Pada awal 9 tahun sebagai dokter, ia membujang, sampai akhirnya dijodohkan dengan Raden Adjeng Samsidah, kelahiran Banjarnegara 6 Januari 1920. la adalah putri bungsu patih Banjarnegara (1908-1920), Raden Mas Mangkoesoebroto. Pasangan ini menikah pada 22 Februari 1920. Ibu mertuanya adalah adik kandung ibunya. Tahun 1925, Goembrek bertugas di Wonosobo sebagai dokter BGD merangkap dokter pemerintah yang diperbantukan pada rumah sakit "Zending van Gereformeerde Kerken" (misi gereja reformasi). Tahun (1925-1926), ia ditugaskan di Semarang. Setelah itu di Kendal, tahun (1926-1941), hingga pensiun dan kembali ke daerah Banyumas. Tugasnya, seperti yang disebutkan dalam memori Residen Semarang, Johannes Bijleveld, bahwa Goembrek sebagai pemimpin pemberantasan penyakit cacing pita dan propaganda kesehatan higinis. Tiap tahun beberapa ribu orang diobati.

Dalam sidang "Vereeniging" (asosiasi) "Afdeeling" Semarang (sebuah wilayah administratif pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda setingkat Kabupaten) 12 April 1933, dr. RM. Goembrek termasuk salah satu pembicara yang memaparkan pekerjaannya. Prestasi kegiatan higinis Kabupaten Kendal selalu paling tinggi. Juni 1941, pada usia 55 tahun ia pensiun sebagai "hoofd-gouvernements Indisch arts" (kepala dokter pemerintahan Hindia) diperbantukan di Kabupaten Kendal. Lalu pindah ke Yogyakarta, di Jl Setasiun 5. Sejak Juli 1941, posisinya di Kendal berteman dengan temannya yang tidak asing lagi, dr. Angka Prodjosoedirdjo, yang baru dimutasi dari Boyolali.

Masa Pemerintahan Dai Nippon

Setelah Pemerintah Jepang berkuasa, kedua sekolah dokter pendidikan di bekas wilayah Hindia Belanda di Batavia dan Surabaya ditutup. Pemerintah Bala Tentara Dai Nippon kekurangan dokter, 200 orang dokter Belanda ditawan, sedangkan penggantinya dokter Jepang tidak sebanyak itu. Pemerintah membuka kembali sekolah dokter 29 April 1943 di Jakarta saja, tetapi hanya satu, yaitu Djakarta Ika Daigaku (Sekolah Thabib Tinggi Djakarta). Karena dr Soemedi, pimpinan PPPOK (Poesat Pertjontohan dan Pendidikan tentang Oesaha Kesehatan), sebuah instansi pelayanan jasa kesehatan bidang preventif, yang hanya terdapat di Kabupaten Banyumas, diangkat sebagai dosen Djakarta Ika Daigaku, dr. RM. Goembrek untuk kedua kalinya pada tahun 1943 diangkat menjadi pegawai negeri Karesidenan Banyumas, sebagai Pemimpin PPPOK (1943-1948), menggantikan dr Soemedi.

Masa Pemerintahan RI

Dokter Goembrek tetap bekerja pada pemerintah dengan jabatan seperti semula. Bahkan pada 1 Desember 1945, ia diangkat menjadi pegawai tinggi: dokter karesidenan di PPPOK dan sekolah mantra kesehatan di Banyumas. Ketika diadakan gencatan senjata RI-Belanda pasca-persetujuan Linggarjati, dan tak lama kemudian Belanda secara sepihak melawan perjanjian tersebut, Banyumas menduduki tentara Belanda, sejak 31 Juli 1947. Seluruh karesidenan Banyumas berhasil menguasai Belanda kecuali Kabupaten Banjarnegara. Namun dr. RM. Goembrek tidak mengungsi dan tetap bertahan di Kota Banyumas.

Pada masa pendudukan Belanda di Banyumas, dr. RM. Goembrek kemudian bekerja di Pemerintah Recomba. Sejak 1 Agustus 1947 ditetapkan sebagai Gouvernements Arts Iste Klasse, Plaatselijke Gezondheidsdienst (Kelas I Dokter Pemerintah, Dinas Kesehatan Daerah) di Banyumas, termasuk tunjangan tidak praktik, tetap sebagai pemimpin Demonstratie Centrum. Antara 4 Agustus 1947 sampai 16 Juni 1948, ia dibantu oleh penggantinya di Kendal pada tahun 1941, dr. Raden Angka Prodjosoedirdjo, yang selanjutnya dimutasikan ke RSU Purwokerto. Setelah setahun bekerja, dr. RM. Goembrek secara resmi pensiun per 1 Agustus 1948, pada usia 62 tahun.

Setelah penyerahan gelar Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), jadi setelah menjalani masa pensiun selama 2 tahun lebih, dr. RM. Goembrek melaksanakan pengabdian lagi kepada Pemerintah RI. Sejak 1 Desember 1950, ia ditetapkan sebagai pegawai bayaran bulanan Dokter Kelas 1 Sementara, Sanatorium Karangmangu, tetap berdomisili di Banyumas. Sebagai dokter yang tidak berpraktik swasta, ia tidak dapat menolak pasien berobat di luar jam dinas, tetapi menolak dibayar.

Sejak 3 Maret 1952, dr. RM. Goembrek (ketika itu berusia 66 tahun) tampil sebagai Pemimpin Sanatorium Karangmangu. Pada 18 Desember 1955 sampai dengan 21 Desember 1956 merangkap jabatan sebagai pemimpin RSU Banyumas. Tanggal 1 Juli 1957, ia pensiun sebagai Pemimpin Sanatorium Karangmangu, dan sejak 1 Desember 1960 diangkat sebagai tenaga pensiunan, Pemimpin Poliklinik RSU Banyumas. Sejak 1 Oktober 1964, dalam usia 78 tahun berhenti sebagai dokter pengawas LP Banyumas. Perjalananan pengabdian di bidang kedokteran yang sangat panjang telah dijalankannya, ditempuh tanpa henti dan berliku. Demikian besar kecintaannya pada dunia kedokteran dan pengabdian masyarakat, hingga menjelang akhir hayatnya tahun 1967 pun masih secara sukarela bekerja di RSU Banyumas.

Dokter Goembrek meninggal 19 Januari 1968 pada usia 82 tahun, di rumahnya Jl Pangeranan Banyumas, dan tidak meninggalkan keturunan. Dimakamkan di samping makam istrinya, yang lebih dulu wafat pada saat dr. RM. Goembrek berusia 69 tahun, di Pasarean Dawuhan Banyumas, di pemakaman keluarga besar trah bupati.

Referensi

  1. ^ Para pendiri "Boedi OEtomo" : Para pelajar STOVIA, a.l. R. Soetomo, M. Goenawan, Moh. Saleh, M. Goembrek, dan R. Angka. Mereka adalah para pendiri Boedi Oetomo yang merupakan awal Kebangkitan Nasional. Jakarta : Yayasan Idayu, 1908. [1]
  2. ^ 9 Tokoh Pendiri Boedi Oetomo.[2]
  3. ^ Daftar Nama Bupati Purworejo.[[3]]
  4. ^ M. Goembrek : pelajar STOVIA dan pendiri "Boedi Oetomo" pada tanggal 20 Mei 1908, sebagai Komisaris. Jakarta : Yayasan Idayu, 1908.[4]