Masjid Raya Piladang

masjid di Indonesia
Revisi sejak 10 Februari 2023 03.52 oleh LuthfiRazzaq (bicara | kontrib) (pranala)

Masjid Raya Piladang adalah sebuah masjid yang berada di Lurah Sandiang, Jorong Piladang, Koto Tangah Batu Hampa, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Menurut catatan Kementerian Agama Republik Indonesia, masjid ini didirikan oleh Syekh Muhammad Salieh pada tahun 1884.[1][2] Sementara itu, sumber lain menyebutkan pembangunannya sudah dimulai sejak 1879.[3]

Masjid Raya Piladang
Masjid Raya Piladang pada 2020
PetaKoordinat: 0°15′38″S 100°34′3″E / 0.26056°S 100.56750°E / -0.26056; 100.56750
Agama
KepemilikanWakaf
Lokasi
LokasiLurah Sandiang, Jorong Piladang, Nagari Koto Tangah Batu Hampar, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, Indonesia.
Arsitektur
TipeMasjid
Gaya arsitekturMinangkabau
Dibuat olehSyekh Muhammad Salieh Piladang 1826 - 1910 M / 1248 - 1332 H (Suku Guci)
Menara1

Masjid ini berdiri di atas lahan seluas 1.600 m² dengan luas bangunan 900 m².[2] Pada 30 September 2009, bangunannya mengalami kerusakan akibat gempa bumi yang mengguncang Sumatra Barat. Setelah itu, dilakukan renovasi pada bangunan meliputi pemasangan plafon, perbaikan kubah, perbaikan dinding, dan penggantian keramik.[3]

Sejarah

Pembangunan

Masjid ini dibangun Oleh Syekh Muhammad Salieh diantara tahun. 1871, 1879, 1884, 1886 . dulunya tak sebesar yang berdiri saat ini. Ihwal pembangunannya seiring dengan pendirian kampung yang kini dikenal dengan Piladang oleh masyarakat adat dari beberapa kaum. "Ceritanya dulu, sama-sama duduk ninik mamak, datuak di sini, baru dibangun masjid," Berkonstruksi utama kayu, masjid ini awalnya dibangun dengan ukuran 10x10 meter.[1]

Menggunakan atap ijuk, Masjid Raya Piladang ini dulunya ditumpang dengan tiang kayu dari pohon utuh berukuran besar. Di bagian tengah masjid terdapat satu tiang yang lebih besar dari tiang lainnya atau dikenali dengan "Tunggak Macu". Tiang itu ukurannya sebesar 3 kali rangkulan tangan orang dewasa. Kayu-kayu tersebut dicari oleh warga di kawasan hutan Sungai Baringin. Kemudian kayu yang telah ditebang diangkut secara gotong royong ke lokasi pembangunan masjid melalui aliran sungai. Pembangunan masjid pun dilakukan secara gotong royong. Mulai dari membentuk arsitektur masjid hingga bangunan jadi.

 
Bagian Dalam Masjid pada tahun 2020

Tak seperti masjid-masjid tua pada umumnya, masjid ini didirikan tidak dengan atap yang berundak-undak atau bertingkat. Pada saat dibangun, masjid ini diberikan nama Masjid Piladang, dan beberapa tahun setelah merdeka berganti menjadi Masjid Raya Piladang. "Atapnya baru sekarang dibuat bertingkat seperti ini, setelah direnovasi," Masjid ini sudah mengalami sejumlah renovasi dan perubahan besar-besaran sejak dibangun. Salah satunya saat bangunan masjid mengalami kerusakan berat akibat guncangan gempa pada 30 September 2009 silam di Sumbar. Namun kala itu, masjid ini cukup lama digunakan dalam kondisi memprihatinkan karena dindingnya banyak yang retak. Pada 2017, masjid ini baru direnovasi, meliputi pemasangan plafon, perbaikan kubah, perbaikan dinding, dan penggantian keramik.[3]

Kini, berdasarkan catatan Kementerian Agama, Masjid Raya Piladang berdiri kokoh di atas tanah seluas 1.600 meter persegi dengan luas bangunan 900 meter persegi. Di sekeliling masjid terdapat beberapa kolam ikan. Di area masjid juga terdapat bak air berukuran besar yang dijadikan masyarakat setempat sebagai tempat mandi. Saat ini, pada sisi barat sejajar dengan mihrab, terdapat bangunan berupa menara memanjang bertingkat dua yang merupakan bangunan awal masjid.[2]

Pada Masa Agresi Militer Belanda II 1948

 
Acara Khatam Al-Quran di Masjid Raya Piladang pada tahun 1960an

Shalat Jum'at Berlangsung ditengah dentuman Peluru Belanda di Masjid Raya Piladang

Sehari setelah pembentukan dan pengumuman Kabinet Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) tanggal 22 Desember 1948. Selain Bukittinggi beberapa kota kecil di Sumatera juga di serang oleh Belanda, salah satunya adalah Payakumbuh. Beberapa nagari yang dekat dengan Kota Payakumbuh diserang dari udara dengan pesawat Catalina sehingga mengakibatkan hancurnya beberapa fasilitas dan mengenai beberapa penduduk pada tanggal 23 Desember 1948.

Sebelumnya pada hari Minggu, 19 Desember 1948 sekitar jam 09.00 pagi terlihat tiga buah pesawat tempur milik pasukan tentara Belanda dengan sangat cepat dan begitu rendahnya menuju arah Piobang lalu melepaskan tembakan serta menjatuhkan Bom tepat Lapangan terbang Piobang Payakumbuh.

Seperti yang diungkapkan oleh Sekretaris Kapupaten Limapuluh, Anwar ZA (1993) Sebagai berikut: “tembakan dari pesawat udara yang dilancarkan Belanda mengenai dua buah bis yang bermuatan penuh: sebuah bis terkena tembakan di Jorong Piladang (arah barat kota payakumbuh) dan seluruh penumpangnya menjadi korban dan satu lagi di Batang Tabik juga mengorbankan seluruh penumpang bis . Semua korban itu diangkat ke RSU Payakumbuh dan dibaringkan di kamar jenazah,ada yang pontong badannya, pecah kepalanya, putus kaki dan sebagainya.

Pada 23 Desember tersebut sekitar jam 11.00 siang terlihat beberapa kendaraan serta Tank baja milik pasukan Belanda menggunakan senjata lengkap sampai di Simpang Batu Hampar. setelah itu, mereka langsung menembaki Rakyat dan ada juga yang selamat dari serangan tersebut bagi yang bisa meloloskan diri dengan cara bersembunyi. Lalu pasukan belanda kembali ke Posko mereka di Bukit Tinggi, namun tak lama kemudian sekitar jam 15.00 sore pasukan Belanda kemabali datang ke arah Payakumbuh dari Kota Bukitinggi. Melihat pasukan Belanda itu datang rakyat langsung pontang-panting lari untuk bersembunyi demi menyelamatkan diri. Pada malam harinya terlihat api yang sangat berkobar diarah Payakumbuh sekitar Jam 19.00. Lalu, setidaknya ada 13 orang pemuda Jorong Piladang berangkat menuju Payakumbuh untuk melakukan perang gerilya dengan membawa senjata seadanya yaitu bambu runcing.

 
Masjid Raya Piladang 1960an - Luthfi Razzaq & Desmiarti.jpg Foto ini diambil oleh almarhum bapak dari ibu Desmiarti yang berada di Lurah Sandiang, Piladang pada tahun 1960an.

Keesokan harinya pada Jum'at, 24 Desember 1948 dalam keadaan yang sangat genting ditengah-tengah ancaman nyawa dari tentara Belanda sehingga Pasar Jum'at Nagari Piladang waktu itu terpaksa ditutup serta rumah-rumah warga harus di kosongkan dan ditinggalkan untuk menyelamatkan diri. Pada pelaksanaan Ibadah Shalat Jum'at walaupun Pasukan tentara belanda tetap berkeliaran menyerang warga dengan senjata Api dan Bom tapi tidak menyusutkan keimanan Masyarakat Jorong Piladang waktu itu mereka tetap melaksanakan Ibadah Shalat Jum'at di Masjid Raya Piladang. Walaupun diluar Masjid tentara Belanda masih saja melepaskan tembakannya kerumah-rumah warga.

Sampai sekarang secerca sejarah pada hari Jum'at tersebut masih tertulis di dinding Masjid Raya Piladang dengan tujuan agar masyarakat tidak buta dengan sejarah. Apalagi, sejarah perjuangan mempertahan Negara Indonesia ini. Masjid Raya Piladang terletak di belakang pasar Jum'at Piladang sekitar 400 Meter dari pasar tersebut dibangun pada tahun 1879 M. Letusan bermacam ragam dari darat dan udara, tak dapat sambutan dari pihak kita. Tentera KNIL-KL Belanda menduduki Kota Payakumbuh tanpa perlawanan. PDRI dan Belanda pun ibarat berkejaran dengan maut. Tak lama setelah anggota petinggi PDRI melewati kota Payakumbuh, maka Belanda pun menguasai penuh kota Payakumbuh pada tanggal 24 Desember sore.

Keesokan harinya Pesawat Capung milik pasukan tentara Belanda tersebut masih terlihat terbang diatas Wilayah Jorong Piladang. Rakyat waktu itu masih bisa tenang karena pasukan tentara tersebut tidak melepaskan serangan tapi hanya melakukan pantauan.

Khutbah Jum'at dilaksanakan dengan penuh Jihad oleh Chatib Arifin di Masjid Raya Piladang (Jum'at, 25 Februari 1949)[4]

Kekejaman Belanda yang menelan banyak korban

Pagi itu sekitar jam 7.30 Tentara Belanda yang terdiri dari 15 Orang mendarat & melakukan pengacauan serta menembaki warga yang tak bersalah. Awalnya mereka masuk ke Guguak Nunang lalu terus ke Lurah Songsang untuk menggeledah dan menembak orang tua yang tidak bersalah. Mereka terus berjalan ke Tanjuang Taranjak, Jorong Sungai Cubadak dan menangkap seorang pemuda yang bernama Biran, dan juga menembak seorang laki-laki tua yang bernama Malin Rusin. Setelah itu, mereka terus ke Lurah Parit disana mereka memergoki seorang pemuda dengan sigap pemuda tersebut memukulnya sehingga seorang tentara belanda jatuh ke tanah. Namun, pemuda tersebut ditembak dengan sangat kejam

Warga yang saat itu menjadi korban : - Haji Talib, 60 tahun (Piladang) - Muhammad, 40 tahun (Sungai Cubadak) - M.Rusin, 45 tahun (Sungai Cubadak) - Rifa'i, 25 Tahun (Piladang) - Nazar, 25 Tahun (Mungka)

Kemudian belanda kembali ke Simpang Batu Sangkar Piladang yang kendaraannya telah menunggu. Sekitar jam 12.00 siang mereka kembali datang dengan melepas tembakan ke arah rumah-rumah warga dan sampailah pada waktu masuk Sholat Jum’at.

Warga yang saat itu walaupun berada dalam situasi perang melawan Belanda tapi tidak menyurutkan Imanu Billah tetap melaksanakan Ibadah Shalat Jum'at di Masjid Raya Piladang meski dengan kewaspadaan ketat tapi khutbah yang di sampaikan oleh Chatib Arifin waktu itu dengan semangat Jihad yang membakar semangat warga Melawan Pasukan Tentara Belanda.

Seusai shalat dilaksanakan secara berjama'ah warga tidak langsung pulang. Karena akan ada acara Renungan Suci (Tafakkur) mengenang kekejaman Belanda yang menelan Banyak Korban Jiwa sambil memberikan semangat pantang menyerah dan terus mengobarkan semangat perlawanan serta petunjuk untuk mengatasi kesulitan yang sedang dihadapi.

Sekitar jam 14.00 siang kembali 2 Unit Kendaraan Serdadu Belanda melepaskan Tembakan dengan membabi Buta di sepanjang jalan raya Payakumbuh menuju tempat peristirahatan mereka di Bukittinggi. Sejenak warga mulai tenang dengan kepergian Belanda Namun hanya berselang 3 Jam setelah itu tentara Belanda kembali meluncur ke Payakumbuh, dengan sedikit tenang namun warga tetap waspada.[4]

Referensi

  1. ^ a b "Masjid Raya Piladang Limapuluh Kota Sumbar, Masjid Tua Saksi Bisu Agresi Militer Belanda II". TribunPekanbaru Travel. Diakses tanggal 2023-01-05. 
  2. ^ a b c "Sistem Informasi Masjid". simas.kemenag.go.id. Diakses tanggal 2021-10-22. 
  3. ^ a b c "SELAMATKAN MASJID 138 TAHUN YANG MULAI RETAK". Insan Bumi Mandiri. Diakses tanggal 2021-10-22. 
  4. ^ a b Piladang 1949. 

Pranala luar