Keresidenan Besuki

wilayah administratif di Hindia Belanda

Keresidenan Besuki atau bekas (eks) Karesidenan Besuki atau wilayah tapal kuda yaitu wilayah administratif pemerintahan zaman Hindia Belanda yang meliputi wilayah Jawa Timur bagian timur dengan pembagian:

  1. Kabupaten Banyuwangi
  2. Kabupaten Bondowoso
  3. Kabupaten Jember
  4. Kabupaten Situbondo

Dalam administrasi kendaraan bermotor, wilayah Eks-Karesidenan Besuki diberi kode Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) dengan huruf P.

Komoditas

Sebelum masa penjajahan Belanda, wilayah di Keresidenan Besuki merupakan salah satu penghasil bahan pangan yang terbesar di Indonesia.[1] Bahan pangan diekspor ke wilayah-wilayah di luar Jawa. Namun selama masa penaklukan Belanda atas wilayah Besuki, wilayah ini tidak lagi mampu menghasilkan bahan pangan dalam jumlah banyak. Penyebabnya adalah terjadinya konflik dengan Belanda yang berakhir dengan peperangan yang berkepanjangan yang menyebabkan lahan pertanian diabaikan. Pemilik lahan meninggalkannya untuk migrasi ke wilayah lain atau lahan ditinggal mati pemiliknya. Penduduk di wilayah Besuki harus mengimpor beras dari daerah lain, khususnya Bali.[2]

Migrasi penduduk Besuki ke wilayah lain selama peperangan dengan Belanda membuat kawasan Besuki kembali ditumbuhi vegetasi alami. Pada pertengahan abad ke-19 M, wilayah Besuki tetap menjadi kawasan hutan terluas di Pulau Jawa dengan penduduk terjarang. Pada masa kolonial Belanda, wilayah Besuki dianggap sebagai wilayah yang tidak terlalu penting dibandingkan dengan wilayah lainnya. Kawasannya dianggap sebagai tempat persembunyian para penjahat dan perompak yang berbahaya bagi kekuasaan Belanda.[3]

Setelah Belanda menjadikan wilayah Besuki sebagai bagian dari jajahannya sejak tahun 1870, stabilitas politik di wilayah ini kembali normal. Sehingga eksploitasi ekonomi diperluas dengan pembukaan perkebunan-perkebunan dengan sistem Cultuurstelsel maupun oleh pihak swasta. Kondisi ini mengembalikan peran wilayah Besuki sebagai penghasil pangan di wilayah Indonesia sekaligus menambahkan komoditas perkembunan sebagai komoditas wilayahnya.[3]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Nawiyanto 2012, hlm. 77.
  2. ^ Nawiyanto 2012, hlm. 77-78.
  3. ^ a b Nawiyanto 2012, hlm. 78.

Daftar pustaka

Lihat pula