Stigma sosial terkait Covid-19


Umum

Corona virus disease 2019 (Covid-19) pertama kali dideteksi pada akhir desember 2019 di Kota Wuhan, Hubei, Tiongkok dan menyebabkan 762.201.169 kasus di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai 6.893.190 kasus. Di Indonesia sendiri tercatat sebanyak 6.750.183 orang yang pernah terinfeksi virus ini, sebanyak 0,1% masih terjangkit aktif, sebanyak 2,4% di antaranya meninggal dunia, dan 97,5% telah dinyatakan sembuh.[1] Meski angka pasien sembuh lebih tinggi dari kasus aktif dan angka kematian, hal tersebut tidak membuat orang-orang terlepas dari stigma sosial terkait Covid-19.

Di tengah wabah Covid-19, muncul satu fenomena sosial yaitu stigma sosial atau asosiasi negatif terhadap seseorang atau kelompok yang mengalami gejala maupun menderita penyakit ini.[2] Para pasien terkadang mendapatkan label, stereotipe, diskriminasi, bahkan sampai diperlakukan secara terpisah dan kehilangan status sosial karena berhubungan baik secara langsung maupun tidak dengan penderita.[3]

Tidak jarang stigma sosial menjadikan individu tersebut sebagai sasaran rasisme, kebencian, xenofobia, sampai serangan fisik.[4] Bahkan, tindakan ekstrem para pelaku stigma sosial juga menolak penggunaan masker dan penentangan secara terbuka untuk tidak menaati protokol pencegahan Covid-19. Kelompok yang paling rentan menjadi korban dari stigma sosial ialah orang-orang Asia, khususnya mereka yang memiliki keturunan atau berpenampilan Asia Timur dan Asia Tenggara[5]. Kelompok lainnya yang juga terdampak atau menjadi sasaran stigma sosial adalah orang-orang yang telah bepergian ke luar negeri, mereka yang baru saja menyelesaikan karantina, bahkan profesional kesehatan, dan para pekerja layanan darurat. Merespon hal ini, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga India (MOHFW) sampai mengeluarkan siaran pers yang bertujuan untuk membatasi ketakutan masyarakat terkait stigma sosial tersebut.

Sebab dan akibat dari stigma sosial

Ada banyak penyebab yang akhirnya memunculkan berbagai stigma sosial di tengah kalangan masyarakat. Pertama, sebagai suatu penyakit baru, masih banyak yang belum diketahui mengenai pandemi Covid-19. Secara naluri, manusia cenderung lebih takut akan sesuatu yang belum diketahui dan cenderung lebih mudah menghubungkan rasa takut tersebut pada subjek lain yang berbeda.[6] Karena hal ini, akhirnya muncul diskriminasi terhadap etnis tertentu dan juga pihak-pihak yang dianggap mempunyai keterkaitan dengan virus ini.

Kedua, sebagai suatu penyakit baru yang ditemukan di era modern, maka belum banyak penelitian maupun rujukan dalam penanganan penyakit ini. Di samping daya tahan dan mutasi virus yang berkembang lebih cepat dari perkiraan[6], banyak juga orang yang belum bisa mendapatkan akses pemeriksaan untuk penyakit ini secara bebas. Dalam situasi ini, pengembangan obat juga masih dalam tahap penyempurnaan. Situasi ini yang menyebabkan peningkatan jumlah penderita Covid-19 meningkat secara drastis dan tidak terkontrol.[7] [6]

Ketiga, di tengah kepanikan dunia saat mengalami pandemi, keadaan tersebut rentan terjadinya kesalahan informasi yang berujung banyaknya duga sangka dari berbagai pihak. Termasuk di antaranya beberapa kelompok dan aktivis daring yang mulai menyebarkan teori konspirasi dan klaim tanpa dasar yang semakin memperumit situasi dunia.

Dari ketiga penyebab tersebut, kohesi sosial mengalami kerusakan dan memungkinkan terjadinya kepanikan massal baik dari pihak terdampak maupun yang belum. Terlebih, jika satu sama lain saling mencari bantuan atau layanan medis untuk mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan. Kesempatan ini juga turut berkontribusi pada situasi di mana virus lebih mungkin menyebar dan menyebabkan masalah kesehatan yang parah serta kesulitan dalam mengendalikan wabah penyakit.

Selain itu, dengan adanya stigma ini, memungkinkan seseorang untuk memilih lebih baik tidak dipantau dan diperiksa daripada diperiksa kemudian mendapatkan diskriminasi.[8] Sikap tidak mau didiskriminasi ini kemudian memunculkan tindakan yang salah. Mereka yang sebenarnya dapat digolongkan sebagai orang tanpa gejala (OTG) kemudian tetap berkumpul dan berinteraksi di tengah masyarakat sebagaimana biasanya. Akibatnya, risiko kemungkinan penyebaran virus semakin tidak dapat diduga.

Namun, tindakan menjauhi penderita dan keluarga secara sosial juga merupakan tindakan yang juga kurang tepat. Begitu juga terhadap tenaga medis yang bekerja menangani pasien Covid-19 di rumah sakit.[9] Ada prosedur yang ketat terhadap pakaian dan alat pelindung diri (APD) yang mereka gunakan untuk penanganan pasien. Sebelum mereka pulang, mereka diwajibkan untuk mandi dan mengganti pakaian untuk pulang ke rumah, sehingga kecil kemungkinan adanya virus yang menempel dan terbawa keluar rumah sakit.

Begitu pula dengan prosedur pemakaman jenazah pasien positif Covid-19. Prosedur yang digunakan telah sesuai dengan standar operasional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu dengan cara kremasi mayat yang sebelumnya telah dibungkus dengan bahan tertentu sehingga kecil kemungkinan terjadinya penyebaran virus secara luas. Dengan prosedur ini, sebagaimana menurut pakar mikrobiologi dan kedokteran forensik menyebutkan bahwa virus tersebut juga akan mati setelah sel-sel dalam tubuh jenazah mati.[6] Tanah pemakaman dan lingkungan tempat pasien dikuburkan juga tidak akan membahayakan.

Dengan beberapa prosedur tersebut, tidak ada lagi alasan untuk tetap berstigma pada penderita Covid-19 atau pihak-pihak yang berhubungan dengan penderita virus ini.

Langkah mengatasi stigma sosial

Langkah awal dari diri sendiri yang sebaiknya dilakukan untuk menunjang keberhasilan penanganan Covid-19 adalah dengan membangun kepercayaan pada sarana dan layanan kesehatan yang ada. Selain itu, mengganti rasa antipati dengan empati terhadap para pasien terdampak dan memahami serta mengadopsi langkah-langkah yang tepat dalam penanganan pertama jika mengalami gejala Covid-19. Dengan begitu, diharapkan dapat meminimalisir penyebaran Covid-19. Selain cara-cara tersebut, organisasi Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) juga merekomendasikan beberapa langkah untuk mengatasi stigma sosial[2]:

  • Penggunaan bahasa “orang pertama” atau people-first[10]. Alih-alih membicarakan “apa” yang terjadi, penggunaan bahasa orang pertama lebih menghormati individu terdampak sekaligus berbicara mengenai penyakit dengan nada positif di seluruh media komunikasi, seperti:
  1. Tidak melampirkan nama etnis atau nama lokasi setelah kata penyakit, seperti 'virus Cina', 'virus Wuhan' atau 'virus Asia' dan menggunakan nama resmi Covid-19 atau dalam konteks sehari-hari Koronavirus atau Korona.
  2. Menggunakan frasa "orang yang terinfeksi Covid-19", bukan "kasus Covid-19", "Korban Covid-19", atau "Tersangka Covid-19".
  3. Menggunakan terminologi seperti, orang 'memperoleh' atau 'tertular' Covid-19 daripada orang 'menularkan Covid-19', 'menginfeksi orang lain' atau 'menyebarkan virus' karena menyiratkan penularan yang disengaja dan menyalahkan.
  4. Menahan diri dari menggunakan terminologi yang tidak manusiawi dengan cara yang mungkin menciptakan kesan bahwa mereka yang menderita penyakit ini telah melakukan sesuatu yang salah, sehingga memberi stigma.
  5. Berbicara fakta tentang Covid-19 secara akurat, berdasarkan data ilmiah dan saran kesehatan resmi terbaru.
  6. Tidak mengulangi atau menyebarkan rumor yang belum dikonfirmasi dan menghindari penggunaan istilah berlebihan seperti 'wabah' dan 'kiamat' untuk menunjukkan pandemi.
  7. Menekankan efektivitas tindakan pengobatan dan pencegahan, daripada memikirkan dampak negatif ke depannya.
  • Menyebarkan fakta yang akurat dan terbaru, seperti:
  1. Menggunakan bahasa sederhana dan menghindari terminologi klinis yang rumit.
  2. Melibatkan influencer sosial, seperti pemimpin agama, politikus, dan selebritas untuk memperkuat pesan dengan cara yang sesuai budaya dan geografis.
  3. Memperkuat cerita dengan gambaran masyarakat setempat yang telah pulih atau mendukung orang yang dicintai melalui pemulihan dari Covid-19.
  4. Penggambaran kelompok etnis yang berbeda dan penggunaan simbol serta format yang netral. Tidak tersugesti dari kelompok etnis mana pun.
  5. Mempraktikkan etika jurnalisme. Hindari laporan yang berfokus pada tanggung jawab pasien karena dapat meningkatkan stigma bagi orang-orang yang mungkin menderita penyakit ini. Berita yang berspekulasi sumber Covid-19 di setiap negara, misalnya, dapat meningkatkan stigma terhadap individu tersebut.
  6. Menghubungkan ke inisiatif lain yang mengurangi stigma sosial dan stereotipe.
  • Perhatikan juga tips dalam berkomunikasi:
  1. Perbaiki suatu kesalahpahaman, dengan tetap mengakui bahwa perasaan orang tersebut dan tindakan yang harus dilakukan selanjutnya merupakan hal yang nyata.
  2. Sebar luaskan cerita dan narasi simpatik yang memanusiakan perjuangan individu dan kelompok yang terdampak Covid-19.
  3. Komunikasikan dukungan bagi mereka yang bekerja di garis depan.

Menurut Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA), bidan memainkan peran penting dalam mengurangi dan melawan stigma yang menyebar mengenai fasilitas kesehatan harus dihindari[11]. [9]

Referensi

  1. ^ "Dashboard situasi Covid-19". Media Informasi Resmi Terkini Penyakit Infeksi Emerging. Diakses tanggal 8 April 2023. 
  2. ^ a b "Social stigma associated with COVID-19". Wikipedia. Diakses tanggal 8 April 2023. 
  3. ^ "Mental health and psychosocial considerations during the COVID-19 outbreak" (PDF). World Health Organization. Diakses tanggal 8 April 2023. 
  4. ^ "Stigma Sosial terkait dengan COVID-19" (PDF). World Health Organization. Diakses tanggal 8 April 2023. 
  5. ^ DAI, Nilam Fitriani (2020). "Stigma masyarakat terhadap pandemi covid-19". Prosiding Nasional Covid-19: 66–73. 
  6. ^ a b c "Stigma selama pandemi COVID-19". Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada. Diakses tanggal 8 April 2023. 
  7. ^ "Ketahui, bahaya stigma sosial corona dalam masyarakat". Indonesia Baik. Diakses tanggal 8 April 2023. 
  8. ^ "Stop Stigma Negatif Covid-19 Bukan Aib dan Bisa Disembuhkan". Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Baturaja. Diakses tanggal 8 April 2023. 
  9. ^ Wanodya, Kartika Sari (2020). "Literature review: stigma masyarakat terhadap covid–19". Preventia: The Indonesian Journal of Public Health. 5.2: 107–111. 
  10. ^ "People-first Language". Wikipedia. Diakses tanggal 8 April 2023. 
  11. ^ "COVID-19 Technical Brief for Maternity Services". United Nations Population Fund. Diakses tanggal 8 April 2023.