Badak jawa

spesies mamalia
Revisi sejak 13 April 2023 04.35 oleh Rvy09 (bicara | kontrib)

Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), disebut juga Badak sumbu [2], Badak sunda (sesuai dengan nama latinnya) atau badak bercula satu kecil, adalah sebuah anggota famili Rhinocerotidae dan merupakan salah satu dari lima spesies badak yang masih ada. Badak India, yang berbagi genus yang sama, memilki kulit bermozaik yang menyerupai baju baja, yang memiliki kemiripan dengan badak Jawa meskipun ukurannya lebih besar. Badak Jawa memiliki badan dengan panjang 3,1–3,2 m dan tinggi 1,4–1,7 m. Badak Jawa memiliki ukuran cula terkecil dibandingkan dengan cula spesies-spesies badak lainnya, sedangkan Badak Jawa betina tidak memiliki cula sama sekali.

Badak jawa
Periode Pleistosen Awal - Sekarang 1.5–0 jtyl
Rhinoceros sondaicus Edit nilai pada Wikidata

Edit nilai pada Wikidata
Status konservasi
Terancam kritis
IUCN19495 Edit nilai pada Wikidata
Taksonomi
KelasMammalia
OrdoPerissodactyla
FamiliRhinocerotidae
GenusRhinoceros
SpesiesRhinoceros sondaicus Edit nilai pada Wikidata
Desmarest, 1822
Subspesies
Distribusi

Edit nilai pada Wikidata

Populasi Badak Jawa

Badak Jawa pernah menjadi salah satu badak yang tersebar luas di Asia, di mana populasinya tersebar luas di Asia Tenggara, India, dan Tiongkok. Kini, status badak Jawa adalah terancam kritis karena populasinya yang sedikit di alam bebas dan ketiadaannya di kebun binatang manapun. Badak Jawa kemungkinan adalah mamalia terlangka di bumi.[3] Terdapat 50-60 badak Jawa yang hidup di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, Indonesia. Populasi badak Jawa di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam dinyatakan punah di 2011.[4] Berkurangnya populasi badak Jawa dapat diakibatkan oleh pemburuan, terutama karena culanya yang dianggap berharga dalam pengobatan tradisional Tionghoa, yang dapat bernilai AS$30.000 per kilogram di pasar gelap.[3]

Berkurangnya populasi badak ini juga disebabkan oleh kehilangan habitat, yang terutama diakibatkan oleh perang, seperti perang Vietnam di Asia Tenggara juga menyebabkan berkurangnya populasi badak Jawa dan menghalangi pemulihan.[5] Tempat yang tersisa hanya berada di dua daerah yang dilindungi, tetapi badak Jawa masih berada pada risiko diburu, peka terhadap penyakit dan menciutnya keragaman genetik menyebabkannya terganggu dalam berkembang biak. WWF Indonesia mengusahakan untuk mengembangkan kedua bagi badak Jawa karena jika terjadi serangan penyakit atau bencana alam seperti tsunami, letusan gunung berapi Krakatau dan gempa bumi, populasi badak Jawa akan langsung punah.[6] Selain itu, karena invasi langkap (arenga) dan kompetisi dengan banteng untuk ruang dan sumber, maka populasinya semakin terdesak.[6] Kawasan yang diidentifikasikan aman dan relatif dekat adalah Taman Nasional Halimun di Gunung Salak, Jawa Barat yang pernah menjadi habitat badak Jawa.[6]

Badak Jawa dapat hidup selama 30-45 tahun di alam bebas. Badak ini hidup di hutan hujan dataran rendah, padang rumput basah dan daerah daratan banjir besar. Badak Jawa kebanyakan bersifat tenang, kecuali untuk masa kenal-mengenal dan membesarkan anak, walaupun suatu kelompok kadang-kadang dapat berkumpul di dekat kubangan dan tempat mendapatkan mineral. Badak dewasa tidak memiliki hewan pemangsa sebagai musuh. Badak Jawa biasanya menghindari manusia, tetapi akan menyerang manusia jika merasa diganggu. Peneliti dan pelindung alam jarang meneliti binatang itu secara langsung karena kelangkaan mereka dan adanya bahaya mengganggu sebuah spesies terancam. Peneliti menggunakan kamera dan sampel kotoran untuk mengukur kesehatan dan tingkah laku mereka. Badak Jawa lebih sedikit dipelajari daripada spesies badak lainnya.

Taksonomi dan penamaan

Penelitian pertama badak Jawa dilakukan oleh para penyelidik alam dari luar daerah pada tahun 1787, ketika dua binatang ditembak di Jawa. Tulang badak Jawa dikirim kepada para penyelidik alam Belanda Petrus Camper, yang meninggal tahun 1789 sebelum sempat menerbitkan penemuannya bahwa badak Jawa adalah spesies tersendiri. Badak Jawa lainnya ditembak di Pulau Sumatra oleh Alfred Duvaucel yang mengirim spesimennya ke ayah tirinya, Georges Cuvier, ilmuwan Prancis yang terkenal. Cuvier menyadari binatang ini sebagai spesies tersendiri tahun 1822, dan pada tahun yang sama diidentifikasi oleh Anselme Gaëtan Desmarest sebagai Rhinoceros sondaicus. Spesies ini adalah spesies badak terakhir yang diidentifikasi.[7] Desmarest pada awalnya mengidentifikasi badak ini berasal dari Jawa, tetapi nantinya mengubah dan mengatakan spesimennya berasal dari pulau Jawa.[8]

Nama genusnya Rhinoceros, yang di dalamnya juga terdapat badak India, berasal dari bahasa Yunani: rhino berarti hidung, dan ceros berarti tanduk; sondaicus berasal dari kata Sunda, daerah yang meliputi pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan dan kepulauan kecil disekitarnya. Badak Jawa juga disebut badak bercula-satu kecil (sebagai perbedaan dengan badak bercula-satu besar, nama lain badak India).

Terdapat tiga subspesies, yang hanya dua subspesies yang masih ada, sementara satu subspesies telah punah:

  • Rhinoceros sondaicus sondaicus, tipe subspesies yang diketahui sebagai badak Jawa Indonesia' yang pernah hidup di Pulau Jawa dan Sumatra. Kini populasinya hanya sekitar 40-50 di Taman Nasional Ujung Kulon yang terletak di ujung barat Pulau Jawa. Satu peneliti mengusulkan bahwa badak Jawa di Sumatra masuk ke dalam subspesies yang berbeda, R.s. floweri, tetapi hal ini tidak diterima secara luas.[9][10]
  • Rhinoceros sondaicus annamiticus, diketahui sebagai Badak Jawa Vietnam atau Badak Vietnam, yang pernah hidup di sepanjang Vietnam, Kamboja, Laos, Thailand dan Malaysia. Annamiticus berasal dari deretan pegunungan Annam di Asia Tenggara, bagian dari tempat hidup spesies ini. Kini populasinya diperkirakan lebih sedikit dari 12, hidup di hutan daratan rendah di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Analisis genetika memberi kesan bahwa dua subspesies yang masih ada memiliki leluhur yang sama antara 300.000 dan 2 juta tahun yang lalu.[10][11]
  • Rhinoceros sondaicus inermis, diketahui sebagai Badak Jawa India, pernah hidup di Benggala sampai Burma (Myanmar), tetapi dianggap punah pada dasawarsa awal tahun 1900-an. Inermis berarti tanpa cula, karena karakteristik badak ini adalah cula kecil pada badak jantan, dan tak ada cula pada betina. Spesimen spesies ini adalah betina yang tidak memiliki cula. Situasi politik di Burma mencegah taksiran spesies ini di negara itu, tetapi keselamatannya dianggap tak dapat dipercaya.[12][13][14]

Evolusi

 
Badak India berhubungan dekat dengan badak Jawa; mereka adalah dua anggota tipe genus badak.

Leluhur badak pertama kali terpisah dari Perissodactyl lainnya pada masa Eosen awal. Perbandingan DNA mitokondria memberikan kesan bahwa leluhur badak modern terpisah dari leluhur Equidae sekitar 50 juta tahun yang lalu.[15] Famili yang masih ada, Rhinocerotidae, pertama kali muncul pada Eosen akhir di Eurasia, dan leluhur spesies badak modern muncul dari Asia pada awal Miosen.[16]

Badak Jawa dan badak India adalah satu-satunya anggota genus Rhinoceros yang pertama kali muncul pada rekaman fosil di Asia sekitar 1,6 juta-3,3 juta tahun yang lalu. Perkiraan molekul memberikan kesan bahwa spesies telah terbentuk lebih awal, sekitar 11,7 juta tahun yang lalu.[15][17] Walaupun masuk ke dalam tipe genus, badak Jawa dan India dipercaya tidak berhubungan dekat dengan spesies badak lainnya. Penelitian berbeda telah mengeluarkan hipotesis bahwa mereka mungkin berhubungan dekat dengan Gaindetherium atau Punjabitherium yang telah punah. Analisis klad Rhinocerotidae meletakkan Rhinoceros dan Punjabitherium yang telah punah pada klad dengan Dicerorhinus, badak Sumatra. Penelitian lain mengusulkan bahwa badak Sumatra lebih berhubungan dekat dengan dua spesies badak di Afrika.[18] Badak Sumatra mungkin terpisah dari badak Asia lainnya 15 juta tahun yang lalu.[3][16]

Deskripsi

Badak Jawa lebih kecil daripada Badak India, dan memiliki besar tubuh yang dekat dengan badak hitam. Panjang tubuh badak Jawa (termasuk kepalanya) dapat mencapai 3,1–3,2 m dan tinggi 1,4–1,7 m. Badak dewasa dilaporkan memiliki berat antara 900 dan 2.300 kilogram. Penelitian untuk mengumpulkan pengukuran akurat badak Jawa tidak pernah dilakukan dan bukan prioritas.[3] Tidak terdapat perbedaan besar antara jenis kelamin, tetapi ukuran tubuh Badak Jawa betina dapat lebih besar. Badak di Vietnam lebih kecil dibandingkan di Jawa berdasarkan penelitian bukti melalui foto dan pengukuran jejak kaki mereka.[19]

Seperti sepupunya di India, badak Jawa memiliki satu cula (spesies lain memiliki dua cula). Culanya adalah cula terkecil dari semua badak, biasanya lebih sedikit dari 20 cm dengan yang terpanjang sepanjang 27 cm. Badak Jawa jarang menggunakan culanya untuk bertarung, tetapi menggunakannya untuk memindahkan lumpur di kubangan, untuk menarik tanaman agar dapat dimakan, dan membuka jalan melalui vegetasi tebal. Badak Jawa memiliki bibir panjang, atas dan tinggi yang membantunya mengambil makanan. Gigi serinya panjang dan tajam; ketika badak Jawa bertempur, mereka menggunakan gigi ini. Di belakang gigi seri, enam gigi geraham panjang digunakan untuk mengunyah tanaman kasar. Seperti semua badak, badak Jawa memiliki penciuman dan pendengaran yang baik tetapi memiliki pandangan mata yang buruk. Mereka diperkirakan hidup selama 30 sampai 45 tahun.[19]

Kulitnya yang sedikit berbulu, berwarna abu-abu atau abu-abu-coklat membungkus pundak, punggung dan pantat. Kulitnya memiliki pola mosaik alami yang menyebabkan badak memiliki perisai. Pembungkus leher badak Jawa lebih kecil daripada badak india, tetapi tetap membentuk bentuk pelana pada pundak. Karena risiko mengganggu spesies terancam, badak Jawa dipelajari melalui sampel kotoran dan kamera. Mereka jarang ditemui, diamati atau diukur secara langsung.[20]

Penyebaran dan habitat

 
Taman Nasional Ujung Kulon di Jawa adalah habitat bagi sisa badak Jawa yang masih hidup.

Perkiraan yang paling optimistis memperkirakan bahwa lebih sedikit dari 100 badak Jawa masih ada di alam bebas. Mereka dianggap sebagai mamalia yang paling terancam; walaupun masih terdapat badak Sumatra yang tempat hidupnya tidak dilindungi seperti badak Jawa, dan beberapa pelindung alam menganggap mereka memiliki risiko yang lebih besar. Badak Jawa diketahui masih hidup di dua tempat, Taman Nasional Ujung Kulon di ujung barat pulau Jawa dan Taman Nasional Cat Tien yang terletak sekitar 150 km sebelah utara Kota Ho Chi Minh.[10][21]

Binatang ini pernah menyebar dari Assam dan Benggala (tempat tinggal mereka akan saling melengkapi antara badak Sumatra dan India di tempat tersebut[14]) ke arah timur sampai Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, dan ke arah selatan di semenanjung Malaya, serta pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan.[22] Badak Jawa hidup di hutan hujan dataran rendah, rumput tinggi dan tempat tidur alang-alang yang banyak dengan sungai, dataran banjir besar atau daerah basah dengan banyak kubangan lumpur. Walaupun dalam sejarah badak Jawa menyukai daerah rendah, subspesies di Vietnam terdorong menuju tanah yang lebih tinggi (diatas 2.000 m), yang disebabkan oleh gangguan dan perburuan oleh manusia.[12]

Tempat hidup badak Jawa telah menyusut selama 3.000 tahun terakhir, dimulai sekitar tahun 1000 SM, tempat hidup di utara badak ini meluas ke Tongkok, tetapi mulai bergerak ke selatan secara kasar pada 0.5 km per tahun karena penetap manusia meningkat di daerah itu.[23] Badak ini mulai punah di India pada dekade awal abad ke-20.[14] Badak Jawa diburu sampai kepunahan di semenanjung Malaysia tahun 1932.[24] Pada akhir perang Vietnam, badak Vietnam dipercaya punah sepanjang tanah utama Asia. Pemburu lokal dan penebang hutan di Kamboja mengklaim melihat badak Jawa di Pegunungan Cardamom, tetapi survey pada daerah tersebut gagal menemukan bukti.[25] Populasi badak Jawa juga mungkin ada di pulau Kalimantan, walaupun spesimen tersebut mungkin merupakan badak Sumatra, populasi kecil yang masih hidup di sana.[22]

Sifat

Badak Jawa adalah binatang tenang dengan pengecualian ketika mereka berkembang biak dan apabila seekor inang mengasuh anaknya. Kadang-kadang mereka akan berkerumun dalam kelompok kecil di tempat mencari mineral dan kubangan lumpur. Berkubang di lumpur adalah sifat umum semua badak untuk menjaga suhu tubuh dan membantu mencegah penyakit dan parasit. Badak Jawa tidak menggali kubangan lumpurnya sendiri dan lebih suka menggunakan kubangan binatang lainnya atau lubang yang muncul secara alami, yang akan menggunakan culanya untuk memperbesar. Tempat mencari mineral juga sangat penting karena nutrisi untuk badak diterima dari garam. Wilayahi jantan lebih besar dibandingkan betina dengan besar wilayah jantan 12–20 km² dan wilayah betina yang diperkirakan 3–14 km². Wilayah jantan lebih besar daripada wilayah wanita. Tidak diketahui apakah terdapat pertempuran teritorial.[26]

Jantan menandai wilayah mereka dengan tumpukan kotoran dan percikan urin. Goresan yang dibuat oleh kaki di tanah dan gulungan pohon muda juga digunakan untuk komunikasi. Anggota spesies badak lainnya memiliki kebiasaan khas membuang air besar pada tumpukan kotoran badak besar dan lalu menggoreskan kaki belakangnya pada kotoran. Badak Sumatra dan Jawa ketika buang air besar di tumpukan, tidak melakukan goresan. Adaptasi sifat ini diketahui secara ekologi; di hutan hujan Jawa dan Sumatra, metode ini mungkin tidak berguna untuk menyebar bau.[26]

Badak Jawa memiliki lebih sedikit suara daripada badak sumatra; sangat sedikit suara badak Jawa yang diketahui. Badak Jawa dewasa tidak memiliki musuh alami selain manusia. Spesies ini, terutama sekali di Vietnam, adalah spesies yang melarikan diri ke hutan ketika manusia mendekat sehingga sulit untuk meneliti badak.[5] Ketika manusia terlalu dekat dengan badak Jawa, badak itu akan menjadi agresif dan akan menyerang, menikam dengan gigi serinya di rahang bawah sementara menikam keatas dengan kepalanya.[26] Sifat anti-sosialnya mungkin merupakan adaptasi tekanan populasi; bukti sejarah mengusulkan bahwa spesies ini pernah lebih berkelompok.[10]

Makanan

Badak Jawa adalah hewan herbivora dan makan bermacam-macam spesies tanaman, terutama tunas, ranting, daun-daunan muda dan buah yang jatuh. Kebanyakan tumbuhan disukai oleh spesies ini tumbuh di daerah yang terkena sinar matahari: pada pembukaan hutan, semak-semak dan tipe vegetasi lainnya tanpa pohon besar. Badak menjatuhkan pohon muda untuk mencapai makanannya dan mengambilnya dengan bibir atasnya yang dapat memegang. Badak Jawa adalah pemakan yang paling dapat beradaptasi dari semua spesies badak. Badak diperkirakan makan 50 kg makanan per hari. Seperti badak Sumatra, spesies badak ini memerlukan garam untuk makanannya. Tempat mencari mineral umum tidak ada di Ujung Kulon, tetapi badak Jawa terlihat minum air laut untuk nutrisi sama yang dibutuhkan.[19]

Reproduksi

Sifat seksual badak Jawa sulit dipelajari karena spesies ini jarang diamati secara langsung dan tidak ada kebun binatang yang memiliki spesimennya. Betina mencapai kematangan seksual pada usia 3-4 tahun sementara kematangan seksual jantan pada umur 6 tahun. Kemungkinan untuk hamil diperkirakan muncul pada periode 16-19 bulan. Interval kelahiran spesies ini 4–5 tahun dan anaknya membuat berhenti pada waktu sekitar 2 tahun. Empat spesies badak lainnya memiliki sifat pasangan yang mirip.[26]

Konservasi

 
Lukisan tahun 1861 menggambarkan perburuan badak Jawa.

Faktor utama berkurangnya populasi badak Jawa adalah perburuan untuk culanya, masalah yang juga menyerang semua spesies badak. Cula badak menjadi komoditas perdagangan di Tiongkok selama 2.000 tahun yang digunakan sebagai obat untuk pengobatan tradisional Tiongkok. Secara historis kulitnya digunakan untuk membuat baju baja tentara Tiongkok dan suku lokal di Vietnam percaya bahwa kulitnya dapat digunakan sebagai penangkal racun untuk bisa ular.[27] Karena tempat hidup badak mencakupi banyak daerah kemiskinan, sulit untuk penduduk tidak membunuh binatang ini yang dapat dijual dengan harga tinggi.[23] Ketika Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora pertama kali diberlakukan tahun 1975, badak Jawa dimasukan kedalam perlindungan Appendix 1: semua perdagangan internasional produk badak Jawa dianggap ilegal.[28] Survey pasar gelap cula badak telah menentukan bahwa badak Asia memiliki harga sebesar $30.000 per kilogram, tiga kali harga cula badak Afrika.[3]

Hilangnya habitat akibat pertanian juga menyebabkan berkurangnya populasi badak Jawa, walaupun hal ini bukan lagi faktor signifikan karena badak hanya hidup di dua taman nasional yang dilindungi. Memburuknya habitat telah menghalangi pemulihan populasi badak yang merupakan korban perburuan untuk cula. Bahkan dengan semua usaha konservasi, prospek keselamatan badak Jawa suram. Karena populasi mereka tertutup di dua tempat kecil, mereka sangat rentan penyakit dan masalah perkembangbiakan. Ahli genetika konservasi memperkirakan bahwa populasi 100 badak perlu perlindungan pembagian genetika spesies.[21]

Ujung Kulon

 
Pemburu Eropa dengan R. s. sondaicus yang terbunuh di Ujung Kulon, 1895

Semenanjung Ujung Kulon dihancurkan oleh letusan gunung Krakatau tahun 1883. Badak Jawa mengkolonisasi kembali semenanjung itu setelah letusan, tetapi manusia tidak pernah kembali pada jumlah yang besar, sehingga menjadi tempat berlindung.[21] Pada tahun 1931, karena badak Jawa berada di ambang kepunahan di Sumatra, pemerintah Hindia Belanda menyatakan bahwa badak merupakan spesies yang dilindungi, dan masih tetap dilindungi sampai sekarang.[12] Pada tahun 1967 ketika sensus badak dilakukan di Ujung Kulon, hanya 25 badak yang ada. Pada tahun 1980, populasi badak bertambah, dan tetap ada pada populasi 50 sampai sekarang. Walaupun badak di Ujung Kulon tidak memiliki musuh alami, mereka harus bersaing untuk memperebutkan ruang dan sumber yang jarang dengan banteng liar dan tanaman Arenga[6] yang dapat menyebabkan jumlah badak tetap berada dibawah kapasitas semenanjung.[29] Ujung Kulon diurus oleh menteri Kehutanan Republik Indonesia.[12] Ditemukan paling sedikit empat bayi badak Jawa pada tahun 2006.[30][31]

Foto induk Badak Jawa beserta bayinya, diperkirakan berumur sekitar 4 – 6 bulan, berhasil diabadikan oleh tim WWF pada November 2007. Ketika difoto, bayi badak tersebut sedang menyusu ibunya. Keberadaan badak tersebut diketahui ketika ditemukan jejak badak berukuran 15/16 cm di sekitar daerah aliran sungai Citadahan pada tanggal 30 Oktober 2007. Hal ini merupakan kabar gembira karena membuktikan adanya kelahiran badak baru di Ujung Kulon.[31]

Pertumbuhan populasi badak Jawa di Ujung Kulon
Tahun Minimum Maksimum Rata-rata
1967 21 28 24.5
1968 20 29 24.5
1971 33 42 37.5
1982 53 59 56
1993 35 58 47
Sumber: Strategi Konservasi Badak Indonesia - Dirjen PHPA Dephut RI.[32]

Cat Tien

Sedikit anggota R.s. annamiticus yang tersisa hidup di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Badak ini pernah menyebar di Asia Tenggara. Setelah perang Vietnam, badak Jawa dianggap punah. Taktik digunakan pada pertempuran menyebabkan kerusakan ekosistem daerah: penggunaan Napalm, herbisida dan defolian dari Agen Oranye, pengeboman udara dan penggunaan ranjau darat. Perang juga membanjiri daerah dengan senjata. Setelah perang, banyak penduduk desa miskin, yang sebelumnya menggunakan metode seperti lubang perangkap, kini memiliki senjata mematikan yang menyebabkan mereka menjadi pemburu badak yang efisien. Dugaan kepunahan subspesies mendapat tantangan ketika pada tahun 1988, seorang pemburu menembak betina dewasa yang menunjukan bahwa spesies ini berhasil selamat dari perang. Pada tahun 1989, ilmuwan meneliti hutan Vietnam selatan untuk mencari bukti badak lain yang selamat. Jejak kaki badak segar yang merupakan milik paling sedikit 15 badak ditemukan di sepanjang sungai Dong Nai.[33] Karena badak, daerah tempat mereka tinggal menjadi bagian Taman Nasional Cat Tien tahun 1992.[27] Pada awal tahun 2000-an, populasi mereka dikhawatirkan telah sangat berkurang di Vietnam; beberapa pelindung alam memperkirakan hanya 3-8 badak saja yang masih bertahan hidup, dan mungkin tidak ada yang jantan.[21][30] Para pelindung alam memperdebatkan apakah badak Vietnam memiliki kemungkinan selamat; beberapa berdebat bahwa badak dari Indonesia harus dibawa masuk untuk menyelamatkan populasi di Vietnam, dan lainnya berdebat bahwa populasinya dapat pulih kembali.[5][34]

Di penangkaran

Tidak terdapat satupun badak Jawa di kebun binatang. Pada tahun 1800-an, setidaknya empat badak dipamerkan di Adelaide, Kolkata dan London. 22 badak Jawa telah didokumentasikan dan disimpan di penangkaran, dan mungkin jumlahnya lebih besar karena spesies ini terkadang dikira sebagai badak India.[35] Badak Jawa tidak pernah ditangani dengan baik di penangkaran: badak tertua yang hidup hanya mencapai usia 20 tahun, sekitar setengah dari usia yang dapat dicapai badak di alam bebas. Badak Jawa terakhir yang ada di penangkaran mati di Kebun Binatang Adelaide, Australia tahun 1907, tempat spesies tersebut sedikit diketahui karena telah ditunjukkan sebagai badak India.[19] Akibat dari program panjang dan mahal tahun 1980-an dan 1990-an untuk mengembangbiakkan badak Sumatra di kebun binatang gagal, usaha untuk melindungi badak Jawa di kebun binatang tidak dapat dipercaya.[3]

Usaha persiapan habitat kedua

Badak Jawa yang hidup berkumpul di satu kawasan utama sangat rentan terhadap kepunahan yang dapat diakibatkan oleh serangan penyakit, bencana alam dan lain sebagainya. Selain itu, badak ini juga kekurangan ruang jelajah dan sumber akibat invasi langkap (arenga) dan kompetisi dengan banteng.

Penelitian awal WWF mengidentifikasi habitat yang cocok, aman dan relatif dekat adalah Taman Nasional Halimun di Gunung Salak, Jawa Barat, yang dulu merupakan habitat Badak Jawa. Jika habitat kedua ditemukan, maka badak yang sehat, baik, dan memenuhi kriteria di Ujung Kulon akan dikirim ke wilayah yang baru. Habitat ini juga akan menjamin keamanan populasinya.[6]

Catatan kaki

  1. ^ van Strien, N.J., Steinmetz, R., Manullang, B., Sectionov, Han, K.H., Isnan, W., Rookmaaker, K., Sumardja, E., Khan, M.K.M. & Ellis, S. (2008). "Rhinoceros sondaicus". IUCN Red List of Threatened Species. Version 2008. International Union for Conservation of Nature. Diakses tanggal 28 November 2008. 
  2. ^ https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/badak_sumbu
  3. ^ a b c d e f Dinerstein, Eric (2003). The Return of the Unicorns; The Natural History and Conservation of the Greater One-Horned Rhinoceros. New York: Columbia University Press. ISBN 0-231-08450-1. 
  4. ^ Brook, S. M.; Dudley, N.; Mahood, S. P.; Polet, G.; Williams, A. C.; Duckworth, J. W.; Van Ngoc, T.; Long, B. (2014). "Lessons learned from the loss of a flagship: The extinction of the Javan rhinoceros Rhinoceros sondaicus annamiticus from Vietnam" (PDF). Biological Conservation (dalam bahasa Inggris). 174: 21–29. doi:10.1016/j.biocon.2014.03.014. 
  5. ^ a b c Santiapillai, C. (1992). "Javan rhinoceros in Vietnam". Pachyderm. 15: 25–27. 
  6. ^ a b c d e "Mempersiapkan rumah kedua badak jawa". WWF. 12 Juni 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-01-29. Diakses tanggal 2007-10-16. 
  7. ^ Rookmaaker, Kees (2005). "First sightings of Asian rhinos". Dalam Fulconis, R. Save the rhinos: EAZA Rhino Campaign 2005/6. London: European Association of Zoos and Aquaria. hlm. 52. 
  8. ^ Rookmaaker, L.C. (1982). "The type locality of the Javan Rhinoceros (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822)". Zeitschrift fur Saugetierkunde. 47 (6): 381–382. 
  9. ^ Asian Rhino Specialist Group (1996). "Rhinoceros sondaicus ssp. sondaicus". IUCN Red List of Threatened Species. Version 2007. International Union for Conservation of Nature. Diakses tanggal 16 Oktober 2007.  Diakses pada 16 Oktober 2007.
  10. ^ a b c d Fernando, Prithiviraj (2006). "Genetic diversity, phylogeny and conservation of the Javan hinoceros (Rhinoceros sondaicus)". Conservation Genetics. 7 (3): 439–448. 
  11. ^ Asian Rhino Specialist Group (1996). "Rhinoceros sondaicus ssp. annamiticus". IUCN Red List of Threatened Species. Version 2007. International Union for Conservation of Nature. Diakses tanggal 16 Oktober 2007.  Diakses pada 16 Oktober 2007.
  12. ^ a b c d Foose, Thomas J. (1997), Asian Rhinos – Status Survey and Conservation Action Plan., IUCN, Gland, Switzerland, and Cambridge, UK, ISBN 2-8317-0336-0 
  13. ^ Rookmaaker, Kees (1997). "Records of the Sundarbans Rhinoceros (Rhinoceros sondaicus inermis) in India and Bangladesh". Pachyderm. 24: 37–45. 
  14. ^ a b c Rookmaaker, L.C. (2002). "Historical records of the Javan rhinoceros in North-East India". Newsletter of the Rhino Foundation of Nature in North-East India (4): 11–12. 
  15. ^ a b Xu, Xiufeng. "The Complete Mitochondrial DNA Sequence of the Greater Indian Rhinoceros, Rhinoceros unicornis, and the Phylogenetic Relationship Among Carnivora, Perissodactyla, and Artiodactyla (+ Cetacea)". Molecular Biology and Evolution. 13 (9): 1167–1173. Diakses tanggal 2007-11-04. 
  16. ^ a b Lacombat, Frédéric (2005). "The evolution of the rhinoceros". Dalam Fulconis, R. Save the rhinos: EAZA Rhino Campaign 2005/6. London: European Association of Zoos and Aquaria. hlm. 46–49. 
  17. ^ Tougard, C. (2001). "Phylogenetic relationships of the five extant rhinoceros species (Rhinocerotidae, Perissodactyla) based on mitochondrial cytochrome b and 12s rRNA genes". Molecular Phylogenetics and Evolution. 19 (1): 34–44. 
  18. ^ Cerdeño, Esperanza (1995). "Cladistic Analysis of the Family Rhinocerotidae (Perissodactyla)" (PDF). Novitates. American Museum of Natural History (3143). ISSN 0003-0082. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2009-03-27. Diakses tanggal 2007-11-04. 
  19. ^ a b c d van Strien, Nico (2005). "Javan Rhinoceros". Dalam Fulconis, R. Save the rhinos: EAZA Rhino Campaign 2005/6. London: European Association of Zoos and Aquaria. hlm. 75–79. 
  20. ^ Munro, Margaret (10 Mei 2002). "Their trail is warm: Scientists are studying elusive rhinos by analyzing their feces". National Post. 
  21. ^ a b c d Derr, Mark (July 11, 2006). "Racing to Know the Rarest of Rhinos, Before It's Too Late". The New York Times. Diakses tanggal 2007-10-14. 
  22. ^ a b Cranbook, Earl of (2007). "The Javan Rhinoceros Rhinoceros Sondaicus in Borneo" (PDF). The Raffles Bulletin of Zoology. University of Singapore. 55 (1): 217–220. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-04-15. Diakses tanggal 2007-11-04. 
  23. ^ a b Corlett, Richard T. (2007). "The Impact of Hunting on the Mammalian Fauna of Tropical Asian Forests". Biotropica. 39 (3): 202–303. 
  24. ^ Ismail, Faezah (9 Juni 1998). "On the horns of a dilemma". New Straits Times. 
  25. ^ Daltry, J.C. (2000). Cardamom Mountains biodiversity survey. Cambridge: Fauna and Flora International. 
  26. ^ a b c d Hutchins, M. (2006). "Rhinoceros behaviour: implications for captive management and conservation". International Zoo Yearbook. Zoological Society of London. 40: 150–173. 
  27. ^ a b Stanley, Bruce (1993-6-22). "Scientists Find Surviving Members of Rhino Species". Associated Press. 
  28. ^ Emslie, R. (1999), African Rhino. Status Survey and Conservation Action Plan., IUCN/SSC African Rhino Specialist Group. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK, ISBN 2831705029 
  29. ^ Dursin, Richel (16 Januari 2001). "Environment-Indonesia: Javan Rhinoceros Remains At High Risk". Inter Press Service. 
  30. ^ a b Williamson, Lucy (1 September, 2006). "Baby boom for near-extinct rhino". BBC News. Diakses tanggal 2007-10-16. 
  31. ^ a b "Kamera Intai WWF Berhasil Abadikan Foto Induk Badak Jawa dan Anaknya". WWF. 16 Januari 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-01-22. Diakses tanggal 2007-10-16. 
  32. ^ "Pertumbuhan Populasi Badak Jawa di Semenanjung Ujung Kulon dari Data Hasil Sensus (1967 - 1993)". Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-11-08. Diakses tanggal 2007-11-26. 
  33. ^ Raeburn, Paul (24 April, 1989). "World's Rarest Rhinos Found In War-Ravaged Region of Vietnam". Associated Press. 
  34. ^ "Javan Rhinoceros; Rare, mysterious, and highly threatened". World Wildlife Fund. 2007-3-28. Diakses tanggal 2007-11-04. 
  35. ^ Rookmaaker, L.C. (2005). "A Javan rhinoceros, Rhinoceros sondaicus, in Bali in 1839". Zoologische Garten. 75 (2): 129–131. 

Pranala luar