Suku Mandailing
Mandailing (Surat Batak: ᯔᯉ᯲ᯑᯤᯞᯪᯰ) atau lazim juga disebut Batak Mandailing (Surat Batak: ᯅᯖᯄᯱ᯲ ᯔᯉ᯲ᯑᯤᯞᯪᯰ) merupakan kelompok etnik pribumi yang menghuni kawasan Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Mereka pernah berada di bawah pengaruh Kaum Padri dari Minangkabau, sehingga secara kultural suku ini dipengaruhi oleh budaya Islam.[2] Sebagian kecil etnis ini juga bermukim di Selangor dan Perak, Semenanjung Malaysia.
Jumlah populasi | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
± 1.500.000 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Daerah dengan populasi signifikan | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sumatra Utara | 1.035.000 | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sumatra Barat | 214.000 | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Riau | 210.000 | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Jakarta | 30.000 | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Kepulauan Riau | 11.000 | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Malaysia | 5.400[1] | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Bahasa | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Mandailing Melayu Indonesia Minangkabau | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Agama | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Islam (99%) Kristen (1%) | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Kelompok etnik terkait | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Batak Angkola Melayu Minangkabau Batak Toba |
Etimologi
Secara etimologi Mandailing berasal dari kata "Mandala Holing", sebuah federasi yang pernah hadir di Tapanuli Selatan pada abad ke-12. Kata ini tertera dalam Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga). Sebagian sosiolog juga berpendapat bahwa asal kata Mandailing berasal dari kata “Mande Hilang” dari Bahasa Minangkabau yang berarti “ibu yang hilang.”[3]
Sejarah
Dalam catatan Serat Tembaga Kalinga, bahwa di abad ke-12 pernah berdiri sebuah kerajaan di kawasan Mandailing yang merupakan salah satu dari federasi Kerajaan Kalingga. Wilayah kerajaan itu terbentang antara Portibi (Padang Lawas) hingga Panyabungan (Mandailing Godang). Dalam Kitab Nagarakertagama karya Empu Prapañca disebutkan bahwa ekspedisi Majapahit telah mencapai Mandailing pada tahun 1365.[4]
Pemukiman pertama etnis Mandailing diperkirakan berada di sepanjang Sungai Batang Gadis, yang berhulu di Gunung Kulabu dan bermuara di Samudera Hindia. Hal ini juga berdasarkan riwayat marga-marga di Mandailing yang mengaitkan kehidupan nenek moyang mereka di sungai ini. Seperti marga Lubis yang merupakan keturunan Sibaitang dan Silangkitang, serta marga Nasution yang berasal dari Sibaroar. Begitu juga riwayat marga Rangkuti dan Pulungan yang menyatakan bahwa asal mereka dari sehiliran Batang Gadis. Kelompok-kelompok masyarakat ini dipimpin oleh kepala suku yang bersifat otonom, sehingga mereka memiliki aturan adat masing-masing.[5] Di kawasan Mandailing Hulu (Mandailing Julu) banyak bermukim dan menjadi tempat asal klan Lubis, sedangkan di kawasan Mandailing Hilir (Mandailing Jae/Godang) dihuni oleh kelompok Nasution, Rangkuti, dan Pulungan.
Pada paruh pertama abad ke-19, Perang Padri berkecamuk di Sumatra Barat. Perang ini dipimpin oleh kelompok ulama puritan yang kemudian melakukan invasi ke Mandailing, hingga ke tepian Danau Toba. Akibat serangan itu, banyak masyarakat Mandailing yang dibawa dan dipekerjakan di Pasaman, Sumatra Barat. Sebagian kelompok lainnya ada yang bermigrasi ke Riau, Sumatra Timur, hingga Semenanjung Malaya.[2] Di Semenanjung Malaya, kelompok Mandailing dipimpin oleh Raja Asal, dan keponakannya Raja Bilah. Bersama dengan Sutan Puasa, mereka terlibat dalam Perang Klang antara tahun 1866 hingga 1873.[6]
Setelah Belanda berhasil menaklukkan pasukan Paderi, kawasan Mandailing dimasukkan ke dalam bagian administrasi Sumatra's Westkust yang berpusat di Padang.[7] Di pertengahan abad ke-19, Belanda mendirikan benteng pertahanan di Singengu dan Kotanopan. Hingga pendudukan Jepang, Belanda hanya menempatkan seorang kontroler di Mandailing, yakni di Kotanopan.
Marga
Marga (klan) dalam suku Mandailing diturunkan secara patrilineal dari ompu parsadaan (nenek moyang) yang sama. Para pendiri suatu marga biasanya adalah seorang tokoh kharismatik yang dipercaya merupakan nenek moyang klan tersebut. Dalam marga Nasution misalnya, seorang tokoh kharismatik yang dipercaya sebagai asal usul klan tersebut adalah Si Baroar Nan Sakti. Sibaroar diyakini adalah anak dari Batara Payung Tuanku Raja Nan Sakti, yang merupakan keluarga dari Kerajaan Pagaruyung yang merantau ke daerah Mandailing.[8][9]
Dalam perkembangannya, ada pula klan yang berasal dari satu nenek moyang namun terpecah menjadi beberapa marga, seperti marga Pulungan, Lubis, dan Harahap yang berasal dari Namora Pande Bosi; marga Rangkuti dan Parinduri yang merupakan keturunan Mangaraja Sutan Pane; serta marga Matondang dan Daulay yang merupakan anak cucu Parmato Sopiak. Setelah abad ke-16, marga Lubis dan Nasution merupakan dua klan yang memiliki keturunan terbanyak, dan para keturunannya menjadi raja-raja adat di Mandailing. Beberapa marga lainnya yang juga bagian dari suku Mandailing adalah: Batubara, Parinduri, Hasibuan, Dalimunthe, Mardia, dan Rambe.[3]
Kepercayaan
Suku Mandailing hampir keseluruhannya merupakan pemeluk Islam yang mendapatkan pengaruh dari Kaum Padri di abad ke-19.[10] Seperti halnya mayoritas masyarakat Nusantara, etnis ini menganut mazhab Syafi'i.
Sebagian kecil orang Mandailing juga ada yang beragama Kristen. Ajaran Kristen di Mandailing pertama berada di Pakantan yang dibawa oleh penginjil dari Swiss dan Rusia pada tahun 1821. Oleh karenanya, gereja tertua di Tapanuli terletak di Huta Bargot, Pakantan. Orang Kristen Mandailing saat ini hanya sekitar 1%, dan hampir semua Mandailing Kristen bersinode di GKPA, yang bersamaan dengan suku Angkola yang beragama Kristen. Hal ini dikarenakan ada beberapa kesamaan budaya antara Angkola dan Mandailing yang memungkinkan orang-orang Angkola dan Mandailing Kristen berada di bawah sinode Gereja yang sama.
Kontroversi
Pelabelan Batak terhadap etnis Mandailing umumnya tak dapat diterima oleh sebagian masyarakat etnis ini. Beberapa orang menganggap suku Mandailing memiliki ikatan darah, nasab, bahasa, aksara, sistem sosial, kesenian, adat, serta kebiasaan tersendiri yang berbeda dengan Batak. Meski sebagian masih mengakui dirinya bagian dari suku Batak.[11]
Lihat pula
Referensi
- ^ viva.co.id Didata Malaysia, Tor-tor Tetap Milik Tapanuli Diarsipkan 2012-07-21 di Archive.is
- ^ a b Christine Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784–1847; 1983
- ^ a b Edi Nasution, Tulila: muzik bujukan Mandailing, 2007
- ^ Basyral Hamidy Harahap, Derap Langkah Mandailing-Natal, 1997
- ^ Abbas Pulungan, Perkembangan Islam di Mandailing, 2007
- ^ Abdul-Razzaq Lubis and Khoo Salma Nasution. Raja Bilah and the Mandailings in Perak: 1875–1911. Kuala Lumpur: Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society (MBRAS), 2003
- ^ Fadila, Zikri (2018). PENERBITAN MINANGKABAU MASA KOLONIAL: Sejarah Penerbitan Buku di Fort de Kock (Bukittinggi) 1901-1942. Gre Publishing. ISBN 978-602-7677-59-3.
- ^ Cut Nuraini, Permukiman suku Batak Mandailing, 2004
- ^ Dada Meuraxa, Sejarah Kebudayaan Suku-suku di Sumatra Utara, 1973
- ^ Ustad Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara, 2016
- ^ Leonard Y. Andaya (2002). "The Trans-Sumatra Trade and the Ethnicization of the 'Batak'". KITLV. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2 Maret 2012. Diakses tanggal 26 Oktober 2015.
Bacaan terkait
- Mangaradja Ihoetan (1926), Asal-Oesoelnja Bangsa Mandailing: Berhoeboeng dengan perkara tanah Wakaf bangsa Mandailing, di Soengei Mati - Medan, Sjarikat Tapanoeli
- Syahmerdan Lubis gelar Baginda Raja Muda (1997), Adat Hangoluan Mandailing, Tapanuli Selatan, S. Lubis, OCLC 6169347
- Zulkifli Lubis; Enni Syarifah Hrp; Lizar Andrian; Naga Sakti Harahap; Septian H. Lubis (2012), Kearifan Lokal Masyarakat Mandailing Dalam Tata Kelola Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sosial, Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh, ISBN 6-0294-5723-3