Raden Patah

pendiri dan sultan pertama Demak
Revisi sejak 30 Mei 2023 08.29 oleh Inayubhagya (bicara | kontrib) (Memaksakan Raden Patah sebagai anggota Walisongo adalah tidakan yang keliru)

Raden Patah alias Jin Bun (Jawa : ꦫꦢꦺꦤ꧀ꦦꦠꦃ, Hanzi : 靳文, Pinyin : Jìn Wén) bergelar Panembahan Jimbun (lahir: Palembang, 1455; wafat: Demak, 1518) adalah pendiri dan sultan Demak pertama yang memerintah tahun 1500-1518.

Raden Patah
靳文
Panembahan Jimbun
Sultan Syah Alam Akbar al-Fatah
Berkas:Illustration of Raden Patah.jpg
Ilustrasi imajiner Raden Patah
Sultan Demak ke-1
Berkuasa1478–1518
PenerusPati Unus
KelahiranRaden Bagus Kasan
Jin Bun
1455
Palembang, Majapahit
Kematian1518
Bintoro, Demak
Pasangan
  • Dewi Murthasimah binti Sunan Ampel
  • Solekha binti Randu Sanga
Keturunan
  • Raden Kikin
  • Ratu Mas Nyawa
  • Ratu Pembayun
  • Dewi Ratih
  • Raden Kanduruwan
Nama lengkap
Sultan Syah Alam Akbar al-Fatah
Nama takhta
Senapati Jimbun Ningrat Abdurrahman Panembahan Palembang Sayyidin Panatagama
AyahBhre Kertabhumi (Brawijaya)
IbuSiu Ban Ci
AgamaIslam

Menurut kronik Tiongkok dari Kuil Sam Po Kong Semarang, ia adalah keturunan Tionghoa dan memiliki nama kecil Jin Bun tanpa nama marga di depannya, karena hanya ibunya saja yang berdarah Tionghoa. Jin Bun memiliki arti orang yang kuat.[1]

Menurut sejarawan Belanda yaitu Pigeaud dan De Graaf, sejarahwan Australia M. C. Ricklefs menulis bahwa pendiri Demak adalah seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po (Pate Rodin senior). Ricklefs memperkirakan bahwa anaknya adalah orang yang oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental dijuluki Pate Rodin, mungkin maksudnya "Badruddin" atau "Kamaruddin" (meninggal sekitar tahun 1504). Putra atau adik Rodim dikenal dengan nama Trenggana (bertahta 1505-1518 dan 1521-1546), membangun keunggulan Demak atas Jawa.

Nama dan gelar

Nama

Nama Raden Fatah memiliki banyak nama, diantaranya Praba atau Raden Bagus Kasan (Hasan), yang memiliki nama Tionghoa Jin Bun (Hanzi: 靳文, Pinyin: Jìn Wén) sehingga disebut juga Senapati Jimbun[2] atau Panembahan Jimbun,[3] bergelar Sultan Shah Alam Akbar al-Fatah (1455–1518).

Nama Patah sendiri berasal dari kata al-Fatah, yang artinya "Sang Pembuka", karena ia memang pembuka kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.

Menurut kronik Tiongkok dari Kuil Sam Po Kong Semarang, ia memiliki nama Tionghoa yaitu Jin Bun tanpa nama marga di depannya, karena hanya ibunya yang berdarah Tionghoa. Jin Bun artinya orang kuat.[1]

Gelar

Menurut Babad Tanah Jawi, ia bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, sedangkan menurut Serat Pranitiradya, bergelar Sultan Syah Alam Akbar, dan dalam Hikayat Banjar disebut Sultan Surya Alam.

Asal usul

Terdapat berbagai versi tentang asal usul pendiri Kerajaan Demak.

Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah diduga adalah putra Brawijaya V raja terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang selir Tionghoa. Selir Tionghoa ini putri dari Kyai Batong (alias Tan Go Hwat). Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, Bhre Kertabhumi terpaksa memberikan selir Tiongkok kepada adipatinya di Palembang, yaitu Arya Damar. Setelah melahirkan Raden Patah, putri Tionghoa dinikahi Arya Damar (alias Swan Liong), melahirkan Raden Kusen (alias Kin San).

Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Tionghoa adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh Bantong (alias Kyai Batong).

Menurut Suma Oriental karya Tome Pires, pendiri Demak bernama Pate Rodin, cucu seorang masyarakat kelas rendah di Gresik.

Menurut kronik Tiongkok dari kuil Sam Po Kong, nama panggilan waktu Raden Patah masih muda adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi alias Brawijaya V) raja Majapahit (versi Pararaton) dari selir Tiongkok. Kemudian selir Tionghoa diberikan kepada seorang berdarah setengah Tionghoa bernama Swan Liong di Palembang. Swan Liong merupakan putra Yang-wi-si-sa (alias Hyang Purwawisesa) dari seorang selir Tiongkok. Dari perkawinan kedua itu lahir Kin San (alias Raden Kusen). Kronik Tiongkok ini memberitakan tahun kelahiran Jin Bun adalah 1455. Mungkin Raden Patah lahir saat Bhre Kertabhumi belum menjadi raja (memerintah tahun 1474-1478). Menurut Slamet Muljana (2005), Babad Tanah Jawi teledor dalam mengidentifikasi Brawijaya V sebagai ayah Raden Patah sekaligus ayah Arya Damar, yang lebih tepat isi naskah kronik Tiongkok Sam Po Kong terkesan lebih masuk akal bahwa ayah Swan Liong (alias Arya Damar) adalah Yang-wi-si-sa, berbeda dengan ayah Jin Bun (alias Raden Patah) yaitu Kung-ta-bu-mi atau Kertabhumi alias Brawijaya V.[1]

Menurut Sejarah Banten, Pendiri Demak bernama Cu Cu (Gan Eng Wan?), putra (atau bawahan) mantan perdana menteri Tiongkok (Haji Gan Eng Cu?) yang pindah ke Jawa Timur. Cu Cu mengabdi ke Majapahit dan berjasa menumpas pemberontakan Arya Dilah bupati Palembang. Berita ini cukup aneh karena dalam Babad Tanah Jawi, Arya Dilah adalah nama lain Arya Damar, ayah angkat Raden Patah sendiri. Selanjutnya, atas jasa-jasanya, Cu Cu menjadi menantu raja Majapahit dan dijadikan bupati Demak bergelar Arya Sumangsang (Aria Suganda?).

Berdirinya Kesultanan Demak

Babad Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah menolak menggantikan Arya Damar menjadi Adipati Palembang. Ia kabur ke pulau Jawa ditemani Raden Kusen (Husain). Sesampainya di Jawa, keduanya berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Raden Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Glagahwangi menjadi sebuah pesantren.

Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Brawijaya di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah.

Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit. Brawijaya (diidentifikasi sebagai Brawijaya V) merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara.

Menurut kronik Tiongkok, Jin Bun pindah dari Surabaya ke Demak tahun 1475. Kemudian ia menaklukkan Semarang tahun 1477 sebagai bawahan Demak. Hal itu membuat Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi) di Majapahit resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anak, dan meresmikan kedudukannya sebagai bupati di Bing-to-lo (ejaan Tionghoa untuk Bintoro).

Konflik Demak dan Majapahit

Versi Perang antara Demak dan Majapahit diberitakan dalam naskah babad dan serat, terutama Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Dikisahkan, Sunan Ampel melarang Raden Patah memberontak pada Majapahit karena meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah. Namun sepeninggal Sunan Ampel, Raden Patah tetap menyerang Majapahit. Brawijaya moksa dalam serangan itu. Untuk menetralisasi pengaruh agama lama, Sunan Giri menduduki takhta Majapahit selama 40 hari.

Versi Kronik Tiongkok dari kuil Sam Po Kong juga memberitakan adanya perang antara Jin Bun melawan Kung-ta-bu-mi tahun 1478. Perang terjadi setelah kematian Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel). Jin Bun menggempur ibu kota Majapahit. Kung-ta-bu-mi alias Bhre Kertabhumi ditangkap dan dipindahkan ke Demak secara hormat. Sejak itu, Majapahit menjadi bawahan Demak dengan dipimpin seorang Tionghoa muslim bernama Nyoo Lay Wa sebagai bupati.

Versi Prof. Dr. N. J. Krom dalam buku “Javaansche Geschiedenis” dan Prof. Moh. Yamin dalam buku “Gajah Mada” mengatakan bahwa bukanlah Demak yg menyerang Majapahit pada masa Prabu Brawijaya V, tetapi adalah Prabu Girindrawardhana. Kemudian pasca serangan Girindrawardhana atas Majapahit pada tahun 1478 M, Girindrawardhana kemudian mengangkat dirinya menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Brawijaya V, Kekuasaan Girindrawardhana tidak begitu lama, karena Patihnya melakukan kudeta dan mengangkat dirinya sebagai Prabu Brawijaya VI. Perang antar Demak dan Majapahit terjadi pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya VI bukan pada masa Raden Fatah dan Prabu Brawijaya V.[4]

Pada tahun 1485 Nyoo Lay Wa mati karena pemberontakan kaum pribumi. Maka, Jin Bun mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru bernama Pa-bu-ta-la, yang juga menantu Kung-ta-bu-mi.

Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya yang menerbitkan prasasti Jiyu tahun 1486 dan mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri.

Selain itu, Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan prasasti Petak yang berkisah tentang perang melawan Majapahit. Berita ini melahirkan pendapat kalau Majapahit runtuh tahun 1478 bukan karena serangan Demak, melainkan karena serangan keluarga Girindrawardhana.

Pemerintahan

Pada tahun 1479 ia meresmikan Masjid Agung Demak sebagi pusat pemerintahan. Ia juga memperkenalkan pemakaian Salokantara sebagai kitab undang-undang kerajaan. Kepada umat beragama lain, sikap Raden Patah sangat toleran. Kuil Sam Po Kong di Semarang tidak dipaksa kembali menjadi masjid, sebagaimana dulu saat didirikan oleh Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam.

Raden Patah juga tidak mau memerangi umat Hindu dan Buddha sebagaimana wasiat Sunan Ampel, gurunya. Meskipun naskah babad dan serat memberitakan ia menyerang Majapahit, hal itu dilatarbelakangi persaingan politik memperebutkan kekuasaan pulau Jawa, bukan karena sentimen agama. Lagi pula, naskah babad dan serat juga memberitakan kalau pihak Majapahit lebih dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di Gresik.

Tome Pires dalam Suma Oriental memberitakan pada tahun 1507 Pate Rodin alias Raden Patah meresmikan Masjid Agung Demak yang baru diperbaiki. Lalu pada tahun 1512 menantunya yang bernama Pate Unus bupati Jepara menyerang Portugis di Malaka.

Tokoh Pate Unus ini identik dengan Yat Sun dalam kronik Tiongkok yang diberitakan menyerang bangsa asing di Moa-lok-sa tahun 1512. Perbedaannya ialah, Pate Unus adalah menantu Pate Rodin, sedangkan Yat Sun adalah putra Jin Bun. Kedua berita, baik dari sumber Portugis ataupun sumber Tiongkok, sama-sama menyebutkan armada Demak hancur dalam pertempuran ini.

Keluarga Raden Fatah

Menurut naskah babad dan serat, Raden Patah memiliki tiga orang istri. Yang pertama adalah Syarifah Asyiqah yang merupakan putri bungsu Sunan Ampel melahirkan Pati Unus dan Sultan Trenggana.

Istri kedua ialah Solekha melahirkan Raden Kikin alias Surowiyoto, Ratu Mas Nyawa, Ratu Pembayun dan Dewi Ratih.

Istri yang ketiga seorang putri dari Randu Sanga, melahirkan Raden Kanduruwan. Raden Kanduruwan ini pada masa pemerintahan Sultan Trenggana berjasa menaklukkan Sumenep.

Ketika Pangeran Sabrang Lor meninggal tahun 1521, Putra Mahkota Pangeran Surowiyoto dan adik ipar dari Pati Unus Raden Trenggana bersaing memperebutkan takhta.

Pangeran Surowiyoto alias Raden Kikin akhirnya mati dibunuh putra sulung Raden Trenggana yang bernama Raden Mukmin alias Sunan Prawata, di tepi sungai Lasem. Oleh karena itu, Raden Kikin pun dijuluki Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya bunga yang gugur di sungai.

Kronik Tiongkok hanya menyebutkan dua orang putra Jin Bun saja, yaitu Yat Sun dan Tung-ka-lo, yang masing-masing identik dengan Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana.

Dalam Suma Oriental, Tomé Pires menulis bahwa Pate Rodin memiliki putra yang juga bernama Pate Rodim, dan menantu bernama Pate Unus. Berita versi Portugis ini menyebut Pate Rodin Yunior lebih tua usianya daripada Pate Unus. Dengan kata lain Sultan Trenggana disebut sebagai kakak ipar Pangeran Sabrang Lor.

Dalam budaya populer

Kutipan

  1. ^ a b c (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 89. ISBN 9798451163. ISBN 978-979-8451-16-4 Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Muljana" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  2. ^ menurut Babad Tanah Jawi
  3. ^ menurut Serat Kanda
  4. ^ MB. Rahimsyah. Legenda dan Sejarah Lengkap Walisongo. (Amanah, Surabaya, tth). Hal. 50.

Referensi

Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Kertabhumi
Sultan Demak
1475—1518
Diteruskan oleh:
Pati Unus