Al-Farabi

ilmuwan Muslim di bidang filsafat, kedokteran, matematika, musik, dan sosiologi

Al-Fārābi (bahasa Persia: ابونصر محمد بن محمد فارابی; 259 H/872 M – Rajab 339 H/951 M) adalah seorang ilmuwan dan filsuf muslim yang berasal dari Farab, Turkistan.[6] Dalam beberapa sumber ia bernama lengkap Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al-Farabi, namun lebih dikenal dengan nama singkat Abū Nasir al-Fārābi, atau hanya Al-Farabi, di mana dari nama inilah dia dikenal sebagai Alpharabius di dunia Latin (Barat).[7]

Abū Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Fārābi
Lahir872[1]
Otrar
Meninggal951
Damaskus
EraZaman kejayaan Islam
KawasanFilsafat Islam
AliranAristotelianisme, Neoplatonisme,[2] idealisme[3]
Minat utama
Metafisika, Filsafat politik, hukum, logika, musik, sains, etika, tasawuf,[1] epistemologi

Al-Farabi menulis karya yang beragam, mulai dari epistemologi, metafisika, logika, matematika, sains (filsafat alam), ilmu politik, tata bahasa, dan musik.[6] Namun, minat Al-Farabi yang terbesar adalah soal pendidikan.[6] Karyanya yang berjudul Ihsa Al-'Ulum (Indonesia: Klasifikasi Ilmu; Latin: De Scientiis) merupakan pemikirannya yang paling banyak dikutip dan diterjemahkan dalam bahasa asing. Selain karena karya-karyanya, Al-Farabi dijuluki sebagai "Guru Kedua" (Al-Mu'allim al-Tsani) setelah Aristoteles karena dipandang sebagai komentator terbaik "Guru Pertama".[8][9]

Biografi

Dalam kitab Wafayat karya Ibnu Khallikan (wafat 1282), penulis muslim abad ke-13, dikatakan bahwa Al-Farabi lahir pada 259 H/872M di dusun kecil bernama Wasij, dekat provinsi Farab, Turkistan (sekarang sekitar Otrar, Khazakstan) dari orang tua berdarah Turkik.[10] Namun, Ibnu Abi Usaibah (wafat 1270), ilmuwan dari kurun yang sama, mengatakan ayah Al-Farabi adalah keturunan Persia,[11] dan ayahnya adalah komandan tentara Turkik.[6][11][12][13]

Tidak ada kisah otentik yang menceritakan kehidupan masa kecil Al-Farabi, selain kisah-kisah rekaan. Diperkirakan Al-Farabi sudah belajar bahasa, sastra, dan aritmetika, selain ilmu-ilmu agama, saat masih berada di kampung halamannya.[14] Al-Farabi dikabarkan pindah ke Baghdad, mungkin sekitar usia 50 tahun,[14] dan bertemu Yūhannā bin Haylān (wafat 328 H/941 M), seorang Nestorian, untuk belajar logika,[11] di antaranya Eisagoge karya Porphyry, serta Kategorisasi, Interpretasi, serta Prior Analitik dan Posterior Analitik dari Organon karya Aristoteles.[13] Ibnu Khallikan mengatakan bahwa Al-Farabi juga belajar pada Abu Bishr Matta bin Yunus (wafat 329 H/942 M), dan Ibnu Abi Usaibah mengatakan dia juga belajar tata bahasa pada Ibnu al-Sarraj (wafat 316 H/929 M).[13]

Setelah sempat mengembara ke Damaskus dan Harran untuk belajar, di mana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil,[14] Al-Farabi kembali Baghdad hingga Dinasti Buyid menaklukan kota itu. Al-Farabi terpaksa melarikan diri ke Aleppo tahun 330 H/945 M,[15] kemudian menetarp di Damaskus hingga wafat pada bulan Rajab 339 H (Desember 950 M) pada masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’ di Baghdad.[9]

Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang ulung di dunia Islam.[7] Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik.[9] Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik.[9] Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa.[9] Selain itu, ia juga dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.[9]

 
Al Farabi, seorang Filsuf Islam

Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.[9] Ada yang mengatakan Al-Farabi sebagai pengikut Syi’ah Imamiyah,[16] tetapi pendapat ini tidak kuat dan hanya didasarkan pada teks dalam salah satu karyanya yang mengatakan seorang filsuf-raja sama dengan seorang imam, terlebih fakta bahwa Al-Farabi memilih pergi saat Dinasti Buyid yang Syiah menguasai Baghdad.

Al-Farabi hidup pada daerah otonomi di bawah pemerintahan Sayf al Dawla[9] dan pada zaman pemerintahan dinasti Abbasiyyah, yang berbentuk Monarki yang dipimpin oleh seorang Khalifah.[9] Ia lahir dimasa kepemimpinan Khalifah Mu’tamid (869-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muthi’ (946-974 M) di mana periode tersebut dianggap sebagai periode yang paling kacau karena ketiadaan kestabilan politik.[7]

Dalam kondisi demikian, al-Farabi berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dari para ahli Filsafat Yunani seperti Plato dan Aristoteles dan mencoba mengkombinasikan ide atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan pemikiran Islam untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal (Negara Utama).[14]

Buah Pemikiran

Karya

Selama hidupnya Al-Farabi banyak berkarya. Jika ditinjau dari Ilmu Pengetahuan, karya-karya Al-Farabi dapat ditinjau menjadi 6 bagian[7]

  1. Logika
  2. Ilmu-ilmu Matematika
  3. Ilmu Alam
  4. Teol
  5. Ilmu Politik dan kenegaraan
  6. Bunga rampai (Kutub Munawwa’ah).
  7. Musik.

Di antara karya tulis Al-Farabi adalah :

  1. al Musiqi al Kabir yang di dalamnya terdapat pemaparan tentang dasar musik, teori, dan praktiknya.
  2. Ihsha'u al -Iqa
  3. Kalam Fi al-Musiqi
  4. Ihsha'u al-Ulum wa at-Ta'rif bi Aghradhiha
  5. Fush al-Muntaziah (kadang disebut Fush al-Madani) yang merupakan terjemahan lepas dari Nicomachean Ethics karya Arsitoteles
  6. Jawami as-Siyasah[17]

Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rejim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam.[7] Filsafat politik Al-Farabi, khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama mencerminkan rasionalisasi ajaran Imamah dalam Syi'ah.[7]

Pemikiran tentang Asal usul Negara dan Warga Negara

Menurut Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat terbentuknya negara.[18] Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan (asosiasi). Kemudian, dalam proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu Negara.[18] Menurut Al-Farabi, negara atau kota merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan, papan, dan keamanan, serta mampu mengatur ketertiban masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah.[14] Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata, menurut al-Farabi, adalah Negara Utama.[14]

Menurutnya, warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara.[14] yang diikuti dengan segala prinsip-prinsipnyaprinsip-prinsipnya (mabadi) yang berarti dasar, titik awal, prinsip, ideologi, dan konsep dasar.[19]

Keberadaan warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat, corak serta jenis negara.[14] Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan oleh warga negaranya.[14] Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna di antara mereka.[14]

Negara Utama dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara alami, pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna.[14] Ada tiga klasifikasi utama:

  • Pertama, jantung. Jantung merupakan organ pokok karena jantung adalah organ pengatur yang tidak diatur oleh organ lainnya.[14]
  • Kedua, otak. Bagian peringkat kedua ini, selain bertugas melayani bagian peringkat pertama, juga mengatur organ-ogan bagian di bawahnya, yakni organ peringkat ketiga, seperti: hati, limpa, dan organ-organ reproduksi.[14]
  • Organ bagian ketiga. Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung dan melayani organ dari bagian atasnya.[14]

Al-Farabi membagi negara ke dalam lima bentuk,[20] yaitu:

  1. Negara Utama (Al-Madinah Al-Fadilah): negara yang dipimpin oleh para nabi dan dilanjutkan oleh para filsuf; penduduknya merasakan kebahagiaan.
  2. Negara Orang-orang Bodoh (Al-Madinah Al-Jahilah): negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
  3. Negara Orang-orang Fasik: negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negara orang-orang bodoh.
  4. Negara yang Berubah-ubah (Al-Madinah Al-Mutabaddilah): pada awalnya penduduk negara ini memiliki pemikiran dan pendapat seperti penduduk negara utama, tetapi kemudian mengalami kerusakan.
  5. Negara Sesat (Al-Madinah Ad-dallah): negara yang dipimpin oleh orang yang menganggap dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya.

Pemikirannya Tentang Pemimpin

Dengan prinsip yang sama, seorang pemimpin negara merupakan bagian yang paling penting dan paling sempurna di dalam suatu negara.[18] Menurut Al Farabi, pemimpin adalah seorang yang disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas).[18]

Disebutkan adanya pemimpin generasi pertama (the first one – dengan segala kesempurnaannya (Imam) Selanjutnya al-Farabi mengingatkan bahwa walaupun kualitas lainnya sudah terpenuhi, tetapi kalau kualitas seorang filsufnya tidak terpenuhi atau tidak ambil bagian dalam suatu pemerintahan, maka Negara Utama tersebut bagai “kerajaan tanpa seorang Raja”.[14] Oleh karena itu, Negara dapat berada diambang kehancuran.[14] dan karena sangat sulit untuk ditemukan (keberadaannya) maka generasi kedua atau generasi selanjutnya sudah cukup, yang disebut sebagai (Ra’is) atau pemimpin golongan kedua.[14]

Referensi

  1. ^ a b c d e Corbin, Henry; Hossein Nasr (2001). History of Islamic Philosophy. Kegan Paul. ISBN 978-0-7103-0416-2.  Artikel dengan pernyataan yang tidak disertai rujukan[dibutuhkan verifikasi sumber]
  2. ^ Al Farabi Founder Of Islamic Neoplatonism
  3. ^ Laurence S. Moss, ed. (1996). Joseph A. Schumpeter: Historian of Economics: Perspectives on the History of Economic Thought. Routledge. hlm. 87. ISBN 9781134785308. Ibn Khaldun drited away from Al-Farabi's political idealism. 
  4. ^ Dhanani, Alnoor (2007). "Fārābī: Abū Naṣr Muḥammad ibn Muḥammad ibn Tarkhān al‐Fārābī". Dalam Thomas Hockey; et al. The Biographical Encyclopedia of Astronomers. New York: Springer. hlm. 356–7. ISBN 978-0-387-31022-0.  (PDF version)
  5. ^ Brague, Rémi; Brague, Remi (1998). "Athens, Jerusalem, Mecca: Leo Strauss's "Muslim" Understanding of Greek Philosophy". Poetics Today. 19 (2): 235–259. doi:10.2307/1773441. ISSN 0333-5372. JSTOR 1773441. 
  6. ^ a b c d Al-Tālbī, Ammār (1993). "Al-Fārābī" (PDF). Prospects: The Quarterly Review of Comparative Education (dalam bahasa Inggris). Paris: UNESCO: International Bureau of Education. 23 (1): 353–372. doi:10.1007/BF02195045. ISSN 1573-9090. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17/01/2001. 
  7. ^ a b c d e f Anwarudin Harahap. 1981. “Posisi Abu Nasr Al Farabi dalam Dunia Islam”, skripsi sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
  8. ^ Naṣr, Ḥusain (2014). "Why was al-Farabi called the Second Teacher?". Dalam Razavi, Mehdi Amin. The Islamic intellectual tradition in Persia. London: Routledge. hlm. 59–64. ISBN 978-0-7007-0314-2. There are those who say that since al-Farabi was the most learned philosopher after Aristotle, and since he was a great commentator of the 'First Teacher', he was called the 'Second Teacher'. Among the advocates of this view, one can name Muhammad Lu!fi Jum'ah, the contemporary Egyptian writer, and the Dutch scholar T. J. de Boer. 
  9. ^ a b c d e f g h i H. Sirajuddin Zar, 2004. “Filsafat Islam”. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  10. ^ Rescher, Nicholas (1963-09-15). Al-Farabi's Short Commentary on Aristotle's Prior Analytics (dalam bahasa Inggris). University of Pittsburgh Pre. ISBN 978-0-8229-7553-3. 
  11. ^ a b c Usaybi'a, Ibn Abi (1981). 'Uyun al-anabas fi tabaqat al-'atibbas (dalam bahasa Arab). Dar al-Taqafa. 
  12. ^ Fakhry, Majid (2002). Al-Fārābi, founder of Islamic neoplatonism: his life, works and influence. Great Islamic thinkers. Oxford: Oneworld. ISBN 978-1-85168-302-4. 
  13. ^ a b c Gutas, Dimitri (1999). "Fārābī". Encyclopaedia Iranica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-06-01. 
  14. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Eduarny Tarmiji. 2004. “Konsep Al-Farabi tentang Negara Utama”, thesis magister. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia
  15. ^ Shamas Malik Nanji, "Alfarabi philosophy of education", hal. 6, sebuah tesis doktoral di Universitas McGiIl, Montreal, Kanada.
  16. ^ Anthony Black. 2006. “Pemikiran Politik Islam”. Jakarta. Serambi
  17. ^ Gaudah, Muhammad Gharib. (2007). 147 ilmuwan terkemuka dalam sejarah Islam. Mas Rida, H. Muhyiddin. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. ISBN 978-979-592-410-4. OCLC 953648911. 
  18. ^ a b c d (Inggris) Al-Farabi, Abu Nasr. ” Mabadi Ara Ahl Al-Madina Al Fadila”, (diterjemahkan oleh R. Walzer.” Al-Farabi on The Perfect State”), Oxford: Claendon Press, 1985
  19. ^ (Inggris) Hans Wehr, A Dictionary of Moddern Written Arrabic ( Arabic- English), Ed. By: J Milton Cowan (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1979)
  20. ^ Hujjatul Islam: Al Farabi, Pemikir Besar Muslim Abad Pertengahan (Bagian 4)

Lihat pula