Ibnu Sina
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Artikel ini ditulis dengan gaya bahasa yang berbunga-bunga atau dengan nada yang sangat memuji subjek artikel sehingga dapat tidak sesuai dengan prinsip kenetralan Wikipedia. Wikipedia bukanlah tempat untuk mempopulerkan subjek artikel. |
Ibnu Sina (980 – Juni 1037 M), yang di Barat dikenal dikenal sebagai Avicenna, adalah seorang polimat yang dipandang sebagai dokter, astronomer, dan penulis terpenting dari Zaman Keemasan Islam;[4] dan dianggap sebagai filsuf paling berpengaruh di era pra-modern.[5] Bagi banyak orang, dia adalah "Bapak Kedokteran Modern". Dari sekitar 450 judul yang ditulisnya, 240 di antaranya selamat dan bertahan hingga hari ini, yang di antaranya terdapat 240 judul dalam bidang filsafat dan 40 judul dalam pengobatan.[6] Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Qānūn fī al-Thibb (Buku Pengobatan), sebuah ensiklopedia medis yang menjadi buku rujukan dan standar di bidang kedokteran pada berbagai universitas dan terus digunakan selama berabad-abad hingga sekitar tahun 1650.[7]
Avicenna (Ibn Sīnā ابن سینا) | |
---|---|
Lahir | ca 980 Afshona, Peshkunskiy, Bukhara, Dinasti Samaniyah |
Meninggal | Juni 1037 (umur 56–57) Hamadan, Emirat Kakuyid |
Tempat tinggal | |
Nama lain |
|
Latar belakang akademis | |
Dipengaruhi | |
Karya akademis | |
Era | Zaman Keemasan Islam |
Minat utama | |
Karya terkenal | |
Memengaruhi | |
Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husain bin ‘Abdullāh bin Sīnā (Persia ابوعلى سينا Abu Ali Sina, Arab : أبو علي الحسين بن عبد الله بن سينا). Ibnu Sina lahir pada 980 di Afsyanah daerah dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan, dan meninggal bulan Juni 1037 di Hamadan, Persia (sekarang Iran). Pada masa itu Kesultanan Samaniyah di Bukhara dan Dinasti Abbasiyah di Baghdad merupakan pusat budaya dan ilmu pengetahuan dunia Islam.[8]
Biografi
Ibnu Sina menulis sebuah autobiografi untuk muridnya yang bernama Abu Ubayd Al-Juzjani, yang kemudian dilengkapi oleh muridnya tersebut dengan bab penutup.[9] Naskah autobiografi ini kemudian dimasukkan oleh Ibnu Abi Ashaybi’ah dalam karyanya yang berjudul ’Uyūn al-Anbā’ fī Thabaqāt al-Athibbā’ (Sejarah Literatur Bidang Kedokteran).[10][11] Inilah yang menjadi rujukan utama kisah hidup Ibnu Sina, di luar catatan-catatan lain yang diberikan para penulis muslim.
Menurut penuturan Ibnu Sina, ayahnya berasal dari Balkh di wilayah Mazar-i Syarif (sekarang Afghanistan), yang pindah ke Bukhara pada masa pemerintahan Nuh bin Mansyur (berkuasa 976 – 997).[4][11] Di sana ayahnya diangkat sebagai gubernur Harmaytsan, sebuah propinsi di Bukhara; dan di sana pula ayahnya bertemu dengan ibunya hingga akhirnya menikah.
Nuh bin Mansyur naik tahta pada 976 Masehi, Kesultanan Samaniyah sedang menghadapi gejolak internal dan eksternal. Selain harus menghadapi persaingan kekuasaan antar pangeran, Nuh bin Mansyur juga harus menghadapai pertempuran di utara dan selatan. Di utara, Khanat Kara-Khanid menyerang dan mengambil tambang perak Samanid di Lembah Zarafshan, dan terus mengambil wilayah Isijab pada 980. Sementara itu di selatan, Dinasti Buyid (Buwaihi) yang telah menguasai Baghdad dan menjadikan Abbasiyah hanya sebagai simbol kekhalifahan, tengah dipimpin 'Adud al-Dawla yang sangat kuat. Nuh bin Mansyur mencoba melakukan ekspedisi melawan Dinasti Buwaihi pada 982, tetapi berhasil dipatahkan 'Adud al-Dawla. Tetapi setahun kemudian 'Adud al-Dawla dan Dinasti Buwaihi mulai mengalami keruntuhan.
Kehidupan Awal dan Pendidikan
Ayah Ibnu Sina berasal dari Balkh, yang pindah ke Bukhara dan menjadi gubernur sebuah wilayah penting bernama Harmaytsan.[4] Di dekat Harmaytsan, terdapat sebuah desa bernama Afsyanah di mana ayah dan ibunya bertemu, kemudian menikah dan menetap di sana. Di desa itulah Ibnu Sina lahir pada tahun 980, dan tidak lama disusul oleh adiknya. Pada kurun itu ketegangan antara Kesultanan Samaniyah dengan Khanat Kara-Khanid di utara dan Dinasti Buwaihi di selatan tengah memanas.
Ketika Ibnu Sina cukup besar, keluarga itu pindah ke Bukhara. Di ibukota Samaniyah itu Ibnu Sina mulai mendapat pendidikan yang lebih baik. Ayahnya mendatangkan guru khusus Al-Quran dan guru Sastra Arab (Adab, Literatur) untuk mengajar kedua putranya. Menurut Ibnu Sina, saat dirinya genap berusia 10 tahun, dia telah hapal Al-Quran serta berbagai teks sastra lainnya.[10][11]
Perkenalan awal Ibnu Sina dengan filsafat terjadi karena sering mendengarkan perdebatan ayahnya yang kerap didatangi orang-orang Mesir pengikut Ismailiyah,[4][11] dan dari mereka itulah ayahnya, Ibnu Sina, dan adiknya mulai mengenal istilah-istilah jiwa dan akal dalam perspektif Ismailiyah. Sebagaimana diceritakan Ibnu Sina:[11]
Mungkin karena saya kerap mendengar mereka berdiskusi maka saya pun mulai memahami pembicaraan pengikut Ismailiyah ini, namun jiwa saya tidak kunjung dapat menerima apa yang mereka bicarakan. Karena itu mereka pun mulai mengajak saya berdiskusi tentang berbagai hal [terutama terkait jiwa dan akal] melalui berbagai pendekatan filsafat, geometri, dan aritmetika Hindia. Ayah tampaknya kurang senang melihat hal itu, sehingga untuk sementara waktu ayah mengirimku kepada seorang pedagang herbal yang menguasai aritmetika Hindia sehingga aku pun dapat mempelajari ilmu tersebut darinya.
Selain belajar aritmetika Hindia, Ibnu Sina juga kerap mendatangi Ismail al-Zahid, seorang sufi dan ulama madzhab Hanafi yang terkenal di Bukhara, untuk belajar fiqih dan yurisprudensi, hingga mahir untuk melakukan pembelaan hukum sesuai kebiasaan zaman itu.[10][11] Tidak lama dari itu, setelah pendidikan agamanya dirasa cukup, seorang filsuf bernama Abu Abdullah An-Natili datang ke Bukhara dan tinggal di rumah keluarga Ibnu Sina atas undangan ayahnya, dengan imbalan mengajar filsafat kepada Ibnu Sina. Darinya Ibnu Sina mulai belajar Isagoge karya Porfirios, yang merupakan standar pengajaran filsafat sebelum masuk ke logika Aristoteles.[4] Setelah itu Ibnu Sina mempelajari logika (ilmu mantiq) dari Organon karya Aristoteles, namun An-Natili hanya memberikan pengantar dan Ibnu Sina harus mempelajarinya sendiri; demikian pula saat mempelajari Stoicheia karya Euclid dan Almagest karya Ptolemeaus, An-Natili hanya mengajarnya bab-bab awal dan sisanya dipelajari seorang diri.[10][11]
Menyadari bahwa Ibnu Sina lebih mahir dalam penguasaan filsafat dari dirinya, An-Natili kemudian meninggalkan Bukhara menuju Gurganja,[11] guna mencari murid lain yang lebih membutuhkannya.[4] Maka sejak itu Ibnu Sina mempelajari filsafat seorang diri, mulai dari Fisika (filsafat alam) dan Metafisika karya Aristoteles, berikut berbagai karya pengantar tentangnya, juga berbagai karya tentang pengobatan secara luas dan mendalam. Dan ketika Ibnu Sina berusia 16 tahun, sebagaimana tradisi di Bukhara bagi anak yang menjelang akil baligh, dia pun mulai mendalami fiqih secara khusus.
Satu setengah tahun kemudian, atau saat berusia 17 tahun lebih, Ibnu Sina mengulang pelajaran filsafat dari awal, dimulai dari Organon hingga Fisika dan Metafisika. Dalam autobiografinya dikatakan:[11]
Hampir setiap malam saya selalu berada di kamarku dengan lampu yang menyala, dan menghabiskan waktu untuk membaca dan menulis. Manakala merasa ngantuk atau lelah, biasanya saya istirahat sejenak dan menghabiskan segelas sirup [herbal] hingga kekuatan saya kembali pulih, dan kemudian saya akan meneruskan melahap buku-buku. Setiap kali saya tertidur karena kantuk, saya kerap memimpikan masalah-masalah yang sedang dihadapi hingga ke akarnya. Dan sungguh, betapa banyak masalah menjadi jelas duduk perkaranya dalam mimpi (ru'ya) saya. Semua itu saya jalani hingga saya benar-benar menguasai berbagai cabang filsafat, dan saya memahaminya sejauh yang bisa dicapai oleh seorang manusia.
Satu-satunya topik filsafat yang tidak dikuasai Ibnu Sina adalah Metafisika Aristoteles. Hingga pada suatu hari, saat sedang berjalan-jalan di sebuah pasar, dia menemukan sebuah buku karya Al-Farabi berjudul Fi Agrādhi Kitāb Mā Ba’da al-Thabi’ah (Penjelasan atas Kitab Metafisika). Dari karya Al-Farabi itulah akhirnya Ibnu Sina bisa memahami Metafisika.[10][11] Dengan bacaannya yang luas dan intensif, pada akhirnya membawa Ibnu Sina menjadi tabib penguasa Nuh bin Mansyur, yang kemudian memberikan izin bagi pemuda ini untuk memasuki perpustakaan besar Samaniyah di Bukhara sebagai imbalan atas pengobatan yang diberikannya. Di perpustakaan itu Ibnu Sina menemukan banyak sekali literatur di setiap bilik ruang perpustakaan yang didedikasikan untuk bidang pengetahuan yang berbeda. Di sana, kata Ibnu Sina, dia membaca karya-karya orang zaman dahulu (al-awa'il) yang belum pernah dia temui sebelumnya dan tidak pernah dia lihat lagi di kemudian hari, [4] hingga akhirnya Ibnu Sina berkata:[10]
Saya membaca buku-buku yang ada, menguasai berbagai pengajaran di dalamnya, serta mengetahui martabat setiap penulis dan penguasaan ilmunya. Maka pada saat saya mencapai usia delapan belas tahun, saya telah melakukan studi di semua cabang ilmu yang ada. Namun demikian, meski saat itu saya telah menguasainya, di usia [tua] sekarang saya merasa lebih matang dalam memahami apa-apa yang telah saya pelajari sebelumnya. Sungguh, ilmu yang telah saya ketahui tidak banyak berubah, tidak ada lagi ilmu baru yang saya dapati setelah dewasa.
Masa Dewasa dan Karir
Bab atau bagian ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. |
Pada suatu ketika Amir Bukhara, Nuh bin Mansyur, menderita sakit yang membuat para tabib istana menyerah. Karena Ibnu Sina telah dikenal sebagai kutu buku, para tabib istana memberanikan diri mengajukan namanya agar diminta menghadap ke istana. Maka Ibnu Sina pun datang memenuhi undangan, dan bersama para tabib istana berhasil menyembuhkan sang sultan.[10] Atas keberhasilan itu, para tabib kemudian meminta pangeran Nuh bin Mansyur agar mengizinkan Ibnu Sina mengakses perpustakaan kerajaan, dan sang sultan pun mengizinkannya.
Ibnu Sina berhasil mendapat akses ke perpustakaan kerajaan Samaniyah. Ketika perpustakaan dihancurkan oleh api tidak lama setelah itu, musuh-musuh Ibnu Sina menuduhnya membakar perpustakaan dan dituduh menyembunyikan sumber pengetahuannya hanya untuk dirinya. Sementara itu, ia membantu ayahnya dalam pekerjaannya, tetapi tetap meluangkan waktu untuk menulis beberapa karya paling awal.
Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun, ia kehilangan ayahnya. Dinasti Samanid telah berakhir pada bulan Desember 1004. Ibnu Sina tampaknya telah menolak tawaran Mahmud dari Ghazni dan menuju kearah Barat ke Urgench di Turkmenistan modern, di mana wazir, dianggap sebagai teman sarjana, memberinya uang saku bulanan yang kecil. Ibnu Sina lalu mengembara dari satu tempat ke tempat lain melalui distrik Nishapur dan Merv ke perbatasan Khorasan. Qabus, penguasa yang murah hati di Tabaristan, dirinya seorang penyair dan sarjana, yang mana Ibnu Sina mengharapkan menemukan suaka, pada sekitar tanggal tersebut (1012) mati kelaparan oleh pasukannya yang memberontak. Ibnu Sina sendiri pada saat ini dilanda penyakit parah. Akhirnya, di Gorgan, dekat Laut Kaspia, Ibnu Sina bertemu dengan seorang teman, yang membeli sebuah rumah di dekat rumahnya sendiri di mana Ibnu Sina belajar logika dan astronomi. Beberapa risalah Ibnu Sina ditulis untuk pelindung ini dan permulaan dari buku Canon of Medicine juga ditulis saat ia menetap di Hyrcania.
Ibnu Sina kemudian menetap di Rey, di sekitar Teheran modern, kota asal Rhazes; mana Majd Addaula, putra dari Buwaihi emir terakhir, adalah penguasa nominal di bawah Kabupaten ibunya (Seyyedeh Khatun). Sekitar tiga puluh karya Ibnu Sina dikatakan telah disusun dalam Rey. permusuhan konstan yang berkecamuk antara bupati dan putra keduanya, Shams al-Daulah, bagaimanapun, memaksa sarjana untuk berhenti tempat. Setelah tinggal singkat di Qazvin ia lulus arah selatan ke Hamadan mana Shams al-Daulah, Buwaihi emir lain, telah memantapkan dirinya. Pada awalnya, Ibnu Sina mengadakan pelayanan seorang wanita tinggi lahir; tetapi emir, mendengar kedatangannya, memanggilnya sebagai petugas medis, dan mengirimnya kembali dengan hadiah ke tempat tinggalnya. Ibnu Sina bahkan diangkat ke kantor wazir. emir memutuskan bahwa ia harus dibuang dari negeri. Ibnu Sina, bagaimanapun, tetap tersembunyi selama empat puluh hari di rumah syekh Ahmed Fadhel, sampai serangan segar penyakit yang disebabkan emir untuk mengembalikan dia ke posnya. Bahkan selama terganggu ini, Ibnu Sina bertahan dengan studi dan ajaran-Nya. Setiap malam, ekstrak dari karya-karya besarnya, Canon dan Sanatio, ungkapkan dan menjelaskan kepada murid-muridnya. Pada kematian emir, Ibnu Sina berhenti menjadi wazir dan bersembunyi di rumah seorang apoteker, di mana, dengan ketekunan intens, ia melanjutkan komposisi karya-karyanya.
Sementara itu, ia telah menulis untuk Abu Ya'far, prefek kota dinamis Isfahan, menawarkan jasanya. Emir baru Hamadan, mendengar korespondensi ini dan menemukan di mana Ibn Sina bersembunyi, dipenjara dia di sebuah benteng. Sementara perang terus antara penguasa Isfahan dan Hamadan; di 1024 mantan ditangkap Hamadan dan kota-kota, mengusir tentara bayaran Tajik. Ketika badai berlalu, Ibnu Sina kembali dengan emir ke Hamadan, dan dilakukan pada tenaga kerja sastra. Kemudian, ditemani oleh saudaranya, murid favorit, dan dua budak, Ibnu Sina melarikan diri dari kota menggunakan gaun bernuansa Sufi. Setelah perjalanan berbahaya, mereka mencapai Isfahan, menerima sambutan terhormat dari pangeran.
Sisa hidup
Sisa sepuluh atau dua belas tahun hidup Ibnu Sina ini dihabiskan dalam pelayanan kepada Muhammad bin Rustam Dushmanziyar pemimpin Kakuyid (juga dikenal sebagai Ala al-Dawla), yang ia dampngi sebagai dokter, penasihat sastra, dan ilmiah, bahkan dalam berbagai kampanyenya.
Selama tahun ini ia mulai belajar hal-hal sastra dan filologi. Sakit kolik parah menyerangnya saat di barisan tentara menuju Hamadan, Ia diberi obat yang begitu keras sehingga Ibnu Sina nyaris tak bisa berdiri. Pada kesempatan yang sama penyakit itu kembali; dengan susah payah ia mencapai Hamadan, di mana, menemukan dasar dari penyakitnya, ia menolak untuk meneruskan cara hidup selama ini yang dipakainya, dan mengundurkan dirinya.
Teman-temannya menyarankan dia untuk tenang dan mengambil hidup cukup. Dia menolak, bagaimanapun, menyatakan bahwa:. "Saya memilih umur pendek tapi penuh makna dan karya, daripada umur panjang yang hampa". Ia banyak menyesal sebelum akhir hayatnya; semua barangnya diserahkan kepada orang miskin, dipulihkan keuntungan yang tidak adil, membebaskan budak, dan membaca Al-Quran setiap tiga hari sampai akhir hayatnya. Ia meninggal pada Juni 1037, pada usia lima puluh delapan, di bulan Ramadan dan dimakamkan di Hamadan, Iran.
Filsafat
Ibnu Sina menulis secara ekstensif pada filsafat Islam awal, terutama mata pelajaran logika, etika, dan metafisika, termasuk risalah bernama Logika dan Metafisika. Sebagian dari karya-karyanya ditulis dalam bahasa Arab - maka bahasa ilmu di Timur Tengah - dan beberapa dalam bahasa Persia. Signifikansi linguistik bahkan sampai hari ini adalah beberapa buku yang ia tulis dalam bahasa Persia hampir murni (terutama Danishnamah-yi 'Ala', Filsafat untuk Ala 'ad-Dawla').
Buku tentang Penyembuhan menjadi tersedia di Eropa dalam terjemahan Latin parsial beberapa puluh tahun setelah komposisi, dengan judul Sufficientia, dan beberapa penulis telah mengidentifikasi "Latin Avicennism" sebagai berkembang untuk beberapa waktu, sejalan dengan lebih berpengaruh Latin Averroism, tetapi ditekan oleh dekret Paris dari 1210 dan 1215. psikologi dan teori pengetahuan Avicenna dipengaruhi William dari Auvergne, Uskup Paris dan Albertus Magnus, sementara metafisika berdampak pada pemikiran Thomas Aquinas.
Metafisik
Filsafat dan Islam metafisika Islam awal, dijiwai karena dengan teologi Islam, membedakan lebih jelas daripada Aristotelianisme antara esensi dan eksistensi. Sedangkan keberadaan adalah domain dari kontingen dan disengaja, esensi bertahan dalam makhluk luar disengaja. Filsafat Ibnu Sina, terutama bagian yang berkaitan dengan metafisika, berutang banyak al-Farabi. Pencarian untuk filsafat Islam definitif terpisah dari okasionalisme dapat dilihat pada apa yang tersisa dari karyanya.
Setelah memimpin al-Farabi, Ibnu Sina memulai penyelidikan penuh ke dalam pertanyaan dari makhluk, di mana ia membedakan antara esensi (Mahiat) dan keberadaan (Wujud). Dia berargumen bahwa fakta keberadaan tidak dapat disimpulkan dari atau dicatat dengan esensi dari hal-hal yang ada, dan bentuk yang dan materi sendiri tidak dapat berinteraksi dan berasal gerakan alam semesta atau aktualisasi progresif hal yang ada. Keberadaan harus, karena itu, disebabkan agen-penyebab yang mengharuskan, mengajarkan, memberikan, atau menambah eksistensi ke esensi. Untuk melakukannya, penyebabnya harus menjadi hal yang ada dan hidup berdampingan dengan efeknya.
Pertimbangan Ibnu Sina dari pertanyaan esensi-atribut dapat dijelaskan dalam hal analisis ontologis tentang modalitas menjadi; yaitu kemustahilan, kontingensi, dan kebutuhan. Ibnu Sina berpendapat bahwa makhluk tidak mungkin adalah bahwa yang tidak bisa eksis, sementara kontingen sendiri (mumkin bi-dhatihi) memiliki potensi untuk menjadi atau tidak menjadi tanpa yang melibatkan kontradiksi. Ketika diaktualisasikan, kontingen menjadi 'ada diperlukan karena apa yang selain itu sendiri' (wajib al-wujud bi-ghayrihi). Jadi, kontingensi dalam dirinya adalah potensi beingness yang akhirnya bisa diaktualisasikan oleh penyebab eksternal selain itu sendiri. Struktur metafisik kebutuhan dan kontinjensi berbeda. makhluk diperlukan karena itu sendiri (wajib al-wujud bi-dhatihi) benar dalam dirinya sendiri, sedangkan makhluk kontingen adalah 'palsu dalam dirinya sendiri' dan 'benar karena sesuatu yang lain selain itu sendiri'. Yang diperlukan adalah sumber keberadaan sendiri tanpa adanya dipinjam. Ini adalah apa yang selalu ada.
The Necessary ada 'karena-to-Its-Self', dan tidak memiliki hakikat / esensi (mahiyya) selain keberadaan (wujud). Selanjutnya, Ini adalah 'One' (wahid ahad) [37] karena tidak bisa ada lebih dari satu 'Diperlukan-yang Ada-karena-to-Hakikat' tanpa differentia (fasl) untuk membedakan mereka dari satu sama lain. Namun, untuk meminta differentia mensyaratkan bahwa mereka ada 'karena-to-diri' serta 'karena apa yang selain diri mereka sendiri'; dan ini bertentangan. Namun, jika tidak ada differentia membedakan mereka dari satu sama lain, maka tidak ada rasa di mana ini 'Existent' tidak satu dan sama. [38] Ibnu Sina menambahkan bahwa 'Diperlukan-yang Ada-karena-to-Hakikat' tidak memiliki genus (jins), atau definisi (hadd), maupun rekan (nTambahkan) atau berlawanan (melakukan), dan terlepas (bari) dari materi (madda), kualitas (kayf), kuantitas (kam), tempat (ain ), situasi (segumpal), dan waktu (waqt).
Teologi
Ibnu Sina adalah seorang Muslim yang taat dan berusaha untuk mendamaikan filsafat rasional dengan teologi Islam. Tujuannya adalah untuk membuktikan keberadaan Tuhan dan ciptaan-Nya dari dunia ilmiah dan melalui akal dan logika. [43] Pandangan Ibnu sina tentang teologi Islam (dan filsafat) yang sangat berpengaruh, membentuk bagian dari inti kurikulum di sekolah-sekolah agama Islam sampai abad ke-19. [44] Ibnu Sina menulis sejumlah risalah singkat berurusan dengan teologi Islam. Ini risalah disertakan pada nabi (yang ia dipandang sebagai "filsuf terinspirasi"), dan juga pada berbagai penafsiran ilmiah dan filosofis dari Quran, seperti bagaimana Quran kosmologi sesuai dengan sistem filsafat sendiri. Secara umum risalah ini terkait tulisan-tulisan filosofis ide-ide agama Islam; misalnya, akhirat tubuh.
Ada petunjuk singkat sesekali dan sindiran dalam bukunya lagi bekerja namun yang Ibnu Sina dianggap filsafat sebagai satu-satunya cara yang masuk akal untuk membedakan nubuatan nyata dari ilusi. Dia tidak menyatakan ini lebih jelas karena implikasi politik dari teori semacam itu, jika nubuat bisa dipertanyakan, dan juga karena sebagian besar waktu ia menulis karya pendek yang berkonsentrasi pada menjelaskan teori-teorinya tentang filsafat dan teologi jelas, tanpa menyimpang ke mempertimbangkan hal-hal epistemologis yang hanya bisa dipertimbangkan oleh filsuf lain. [45]
Kemudian interpretasi dari Ibnu Sina filsafat dibagi menjadi tiga sekolah yang berbeda; mereka (seperti al-Tusi) yang terus menerapkan filosofinya sebagai sistem untuk menafsirkan peristiwa politik kemudian dan kemajuan ilmiah; mereka (seperti al-Razi) yang dianggap karya teologis Ibnu Sina dalam isolasi dari keprihatinan filosofis yang lebih luas; dan mereka (seperti al-Ghazali) yang selektif digunakan bagian dari filsafat untuk mendukung upaya mereka sendiri untuk mendapatkan wawasan spiritual yang lebih besar melalui berbagai cara mistis. Itu interpretasi teologis diperjuangkan oleh orang-orang seperti al-Razi yang akhirnya datang untuk mendominasi di madrasah. [46]
Ibnu Sina menghafal Al Qur'an pada usia sepuluh, dan sebagai orang dewasa, ia menulis lima risalah mengomentari surah dari Al-Qur'an. Salah satu teks-teks ini termasuk Bukti Nubuat, di mana dia komentar pada beberapa ayat-ayat Alquran dan memegang Quran di harga tinggi. Ibnu Sina berpendapat bahwa nabi Islam harus dianggap lebih tinggi dari filsuf. [47]
Eksperimen pikiran
Sementara ia dipenjarakan di kastil Fardajan dekat Hamadhan, Ibnu Sina menulis yang terkenal "Mengambang Man" nya - benar jatuh man - percobaan berpikir untuk menunjukkan manusia kesadaran diri dan kekukuhan dan tidak material jiwa. Ibnu Sina percaya nya "Mengambang Man" eksperimen pikiran menunjukkan bahwa jiwa adalah substansi, dan mengklaim manusia tidak dapat meragukan kesadaran mereka sendiri, bahkan dalam situasi yang mencegah semua input data sensorik. Pikiran percobaan kepada pembacanya untuk membayangkan diri mereka diciptakan sekaligus sementara ditangguhkan di udara, terisolasi dari semua sensasi, yang mencakup tidak ada kontak sensorik bahkan dengan tubuh mereka sendiri. Dia berargumen bahwa, dalam skenario ini, kita masih akan memiliki kesadaran diri. Karena dapat dibayangkan bahwa seseorang, ditangguhkan sementara udara terputus dari pengalaman rasa, masih akan mampu menentukan eksistensi sendiri, poin pemikiran percobaan untuk kesimpulan bahwa jiwa adalah kesempurnaan, independen dari tubuh dan immaterial zat. The conceivability ini "Mengambang Man" menunjukkan bahwa jiwa dianggap intelektual, yang mencakup keterpisahan jiwa dari tubuh. Avicenna disebut kecerdasan manusia hidup, terutama intelek aktif, yang ia percaya untuk menjadi hypostasis yang melaluinya Tuhan berkomunikasi kebenaran kepada pikiran manusia dan menanamkan ketertiban dan kejelasan dengan alam.
Karya Ibnu Sina
Jumlah karya yang ditulis Ibnu Sina (diperkirakan antara 100 sampai 250 buah judul). Kualitas karyanya yang begitu luar biasa dan keterlibatannya dalam praktik kedokteran, mengajar, dan politik, menunjukkan tingkat kemampuan yang luar biasa. Beberapa Karyanya yang sangat terkenal di antara lain :
- Qanun fi Thib (Canon of Medicine) (Terjemahan bebas : Aturan Pengobatan)
- Asy Syifa (terdiri dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan)
- An Najat
- Mantiq Al Masyriqin (Logika Timur)
Selain karya filsafatnya tersebut, Ibnu Sina meninggalkan sejumlah esai dan syair. Beberapa esainya yang terkenal adalah :
- Hayy ibn Yaqzhan
- Risalah Ath-Thair
- Risalah fi Sirr Al-Qadar
- Risalah fi Al- 'Isyq
- Tahshil As-Sa'adah
Dan beberapa Puisi terpentingnya yaitu :
- Al-Urjuzah fi Ath-Thibb
- Al-Qasidah Al-Muzdawiyyah
- Al-Qasidah Al- 'Ainiyyah
Referensi
- ^ Di Bukhara (19 tahun) kemudian Gurgānj, Khwarezmia (13 tahun).
- ^ In Gorgān, 1012–14.
- ^ In Ray (1 tahun), Hamadān (9 tahun) dan Isfahān (13 tahun). "D. Gutas, 1987, ''AVICENNA ii. Biography'', Encyclopædia Iranica". Iranicaonline.org. Diakses tanggal 2012-01-07.
- ^ a b c d e f g Wisnovsky, Robert (2004). Adamson, Peter; Taylor, Richard C., ed. Avicenna and the Avicennian Tradition. Cambridge Companions to Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 92–136. doi:10.1017/ccol0521817439.006. ISBN 978-0-521-81743-1.
- ^ Rizvi, Sajjad H. "Avicenna (Ibn Sina) | Internet Encyclopedia of Philosophy" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-06-09.
- ^ O'Connor, J. J.; Robertson, E. F. (November 1999). "Abu Ali al-Husain ibn Abdallah ibn Sina (Avicenna)". Maths History (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-06-09.
- ^ Lilly Library (Indiana University, Bloomington) (2004-08-31). "Medicine : an exhibition of books relating to medicine and surgery from the collection formed by J.K. Lilly. An Exhibition: a machine-readable transcription". Lilly Library (Indiana University, Bloomington). Diakses tanggal 2023-06-09.
- ^ Afary, Janet (2007). "Iran". Encyclopædia Britannica Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-08-13. Diakses tanggal 2012-03-03. Teks "accessdate16 Desember 2007" akan diabaikan (bantuan)
- ^ Adamson, Peter; Adamson, Peter (2018). Philosophy in the Islamic world. A history of philosophy without any gaps (edisi ke-Paperback edition). New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-957749-1.
- ^ a b c d e f g Ushaybi’ah, Ibnu Abi (1981). 'Uyūn al-Anbā' fī Thabaqāt al-Athibbā' (dalam bahasa Arab). Dar al-Taqafa. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-06-12.
- ^ a b c d e f g h i j Ibnu Sina: Sebuah Autobiografi. Dicuplik dari ’Uyūn al-Anbā’ fī Thabaqāt al-Athibbā’ karya Ibnu Abi Ashaybi’ah. Penerjemah: Zaenal Muttaqin (2021). Medium. Diakses tanggal 2023-06-09.