Orang Ocu

kelompok etnis di Indonesia
Revisi sejak 10 Juni 2023 12.47 oleh Ariyanto (bicara | kontrib) (Mengembalikan suntingan oleh Rahmat Fadillahh (pembicaraan) ke revisi terakhir oleh 112.215.236.157)

Orang Kampar adalah kelompok etnis yang mendiami Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.[1] Bahasa-bahasa lokal yang digunakan meliputi dialek-dialek lokal dari bahasa Melayu d; dengan penutur dialek lokal bahasa Melayu .[2]

Adat dan budaya

Bahasa

Terdapat setidaknya dua bahasa daerah di Kampar yakni dialek-dialek lokal dari bahasa Melayu . Penutur dialek lokal bahasa Melayu terdapat di Desa Kuok, Salo, Bangkinang, Air Tiris, dan Rumbio.[2] .[3] Dialek bahasa Minang-nya ini berlainan aksen dengan dialek Bahasa Minang yang dipakai oleh masyarakat Luhak Agam, Luhak Tanah Datar maupun kawasan pesisir Minangkabau lainnya. Dialek tersebut juga memiliki kemiripan dengan dialek Kuantan dan Rokan yang bersebelahan wilayah dengan Kampar.[4]

Kesenian

Alat musik yang biasa dimainkan orang Kampar yaitu Calempong dan Oguong.

Salah satu lagu daerah orang Kampar yang terkenal berjudul Kutang Barendo. Lagu ini berisi tentang nasihat dari seorang ibu kepada anak yang sedang ditimangnya. Lagu ini juga populer bagi orang Minang dengan lirik yang telah disesuaikan kata-katanya.

Rumah adat

 
Rumah Lontiok di Kompleks MTQ, Pekanbaru.

Rumah Pelancangan atau Rumah Lontiok adalah rumah adat orang Kampar. Lontiok atau Lontik dalam Bahasa Indonesia berarti Lentik. Hal ini dikarenakan bentuk atap yang melengkung lentik. Rumah Lontiok merupakan rumah panggung dan berfungsi sebagai rumah adat dan tempat tinggal. Dibangun dalam satu prosesi panjang yang melibatkan masyarakat luas.

Bentuk rumah Lontiok dikatakan berasal dari bentuk perahu, hal ini tercermin dari sebutan pada bagian-bagian rumah tersebut seperti: bawah, tengah, ujung, pangkal, serta turun, naik. Dinding depan dan belakang dibuat miring keluar dan kaki dinding serta tutup didinding dibuat melengkung sehingga bentuknya menyerupai sebuah perahu yang diletakkan di atas tiang-tiang.

Konstruksi panggung pada rumah Lontiok dipilih untuk menghindari bahaya binatang buas dan banjir. Kolong rumah, biasanya digunakan untuk kandang ternak, wadah penyimpanan perahu, tempat bertukang atau tempat bermain anak-anak, dan gudang kayu untuk persiapan bulan puasa. Pemakaian tangga pada rumah Lontiok memiliki kententuan adat. Jumlah anak tangga ganjil dan menyediakan tempayan air didekatnya untuk mencuci kaki di pangkal tangga. Ketentuan adat juga menyatakan bahwa penghuni perempuan cukup berpakaian sedada tanpa baju (kemban) di dalam rumah atau tidur-tidur dirumah tanpa adanya penyekat/pelindung ruang. Kalau rumah dibangun rendah atau “melekat” di atas tanah, maka keadaan di dalam rumah akan kelihatan dari luar rumah.

Dinding luar rumah Lontik seluruhnya miring keluar, berbeda dengan dinding dalam yang tegak lurus. Balok tumpuan dinding luar depan melengkung keatas, dan kalau disambung dengan ukiran sudut-sudut dinding, kelihatan seperti bentuk perahu. Balok tutup atas dinding juga melengkung meskipun tidak semelengjung balok tumpuan. Lengkungannya mengikuti lengkung sisi bawah bidang atap. Kedua ujung perabung diberi hiasan yang disebut Sulo Bayung. Sedangkan Sayok Lalangan merupakan ornamen pada keempat sudut cucuran atap. Bentuk hiasan beragam, ada yang menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, taji dan sebagainya

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-07-03. Diakses tanggal 2018-07-03. 
  2. ^ a b Said, C., (1986), Struktur bahasa Minangkabau di Kabupaten Kampar, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Halaman: 2
  3. ^ Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI. Bahasa Minangkabau di Provinsi Riau. Pada: Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. 2017 [1] Diarsipkan 2018-08-12 di Wayback Machine.
  4. ^ Witrianto dan Arfinal, 2011. Bahasa Ocu: Akulturasi antara Bahasa Minangkabau dengan Bahasa Melayu Riau di Kabupaten Kampar. Seminar Internasional Forum Ilmiah VII FPBS UPI “Pemikiran-pemikiran Inovatif dalam Kajian Bahasa, Sastra, Seni, dan Pembelajarannya” Bandung. 30 November 2011: 1-18. [2]