Cacarakan
Cacarakan adalah Carakan yang dimodifikasi untuk menulis bahasa Sunda dialek Parahyangan. Aksara ini digunakan di keresidenan Priangan sejak abad ke-17 hingga awal abad ke-20.[4] Aksara ini terutama digunakan oleh kaum ménak akibat pengaruh politik dinasti Mataram.[5] Namun begitu, banyak masyarakat Sunda (khususnya kaum santri) pada periode waktu yang sama lebih umum menggunakan abjad Pegon yang diadaptasi dari abjad Arab.[6]
Cacarakan ꦕꦕꦫꦏꦤ꧀ Aksara Sunda Cacarakan[1] Aksara Sunda Basisir Kalér[2] Aksara Sunda Jawa[3] | |
---|---|
Jenis aksara | |
Bahasa | Bahasa Sunda Priangan |
Periode | abad ke-17 hingga paruh pertama abad ke-20 |
Aksara terkait | |
Silsilah | Menurut hipotesis hubungan antara abjad Aramea dengan Brahmi, maka silsilahnya sebagai berikut:
Dari aksara Brahmi diturunkanlah:
|
Aksara kerabat | Carakan Madura |
Cacarakan juga digunakan dalam surat-surat resmi Pemerintah Hindia Belanda.[7] Upaya untuk memasyarakatkan penggunaan cacarakan telah dilakukan pemerintah sejak 1860-an dengan penerbitan berbagai bahan bacaan dan bahan ajar berbahasa Sunda, seperti Soendasch spel- en lees boek, met Soendasche letter (1862) dan Dongèng-dongèng Pieunteungeun (1867).
Kini, keberadaan Cacarakan tergantikan oleh aksara Latin dan Sunda Baku. Walaupun begitu, penggunaan aksara ini masih dapat ditemui di beberapa tempat, seperti di kampung adat Cireundeu, Cimahi.[8]
Etimologi
Dalam bahasa Sunda, cacarakan memiliki makna "meniru-niru aksara Jawa". Dari sudut pandang tata bahasa Sunda, istilah "cacarakan" tebentuk dari kata dasar "caraka" yang mengalami proses reduplikasi dengan dwipurwa yang ditambah akhiran -an.[9]
Seiring dengan masifnya penggunaan Cacarakan di Tatar Sunda, aksara ini mulai disebut sebagai "aksara Sunda" (bahasa Belanda: Soendasche Letter).[10]
Bentuk
Bentuk cacarakan sendiri terdiri dari aksara ngalagena (aksara nglegena), aksara gedé (aksara murda), dan aksara panambah (aksara swara). Terdapat pula sandangan (sandhangan) dan pada (pada).[10]
Aksara
Aksara (ꦔ꦳ꦏ꧀ꦱꦫ) adalah aksara konsonan dengan vokal inheren /a/. Dari 33 aksara yang terdapat dalam aksara Jawa, bahasa Sunda hanya menggunakan 18 bunyi konsonan dan 18 aksara dasar yang kemudian disebut sebagai aksara ngalegena (ꦔ꦳ꦏ꧀ꦱꦫꦔꦊꦒꦼꦤ). Sebagian aksara yang tersisa kemudian dialihfungsikan sebagai aksara gedé (ꦔ꦳ꦏ꧀ꦱꦫꦒꦼꦝꦺ) untuk menuliskan gelar dan nama yang dihormati.[10]
Aksara Panambah
Aksara panambah (ꦔ꦳ꦏ꧀ꦱꦫꦥꦤꦩ꧀ꦧꦃ) adalah aksara tambahan yang digunakan untuk menulis suku kata yang tidak memiliki konsonan di awal, atau dalam kata lain suku kata yang hanya terdiri vokal. Bentuk aksara panambah diambil dari aksara swara.
Bahasa Sunda mengenal 8 aksara vokal. Walau begitu, Cacarakan tidak membedakan vokal eu [ɨ] dan e [ə]. Cacarakan juga hanya mengambil bentuk aksara swara i (ꦆ), sisanya diganti dengan nga cecek tilu (ꦔ꦳) + sandangan.[10] Selengkapnya dapat dilihat sebagaimana berikut:[10]
Velar | Palatal | Labial | Retrofleks | Dental | Velar-Palatal | Velar-Labial | |||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Aksara | ꦔ꦳
a |
ꦆ
i |
ꦔ꦳ꦸ
u |
ꦉ
ṛ/re[1] |
ꦊ
ḷ/le[2] |
ꦔ꦳ꦺ
é[3] |
ꦔ꦳ꦴ
o |
ꦔ꦳ꦼ
e/eu[4] |
ꦔ꦳ꦼꦴ
eu[5] |
Pasangan | ꧀ꦲ꦳ | ꧀ꦲ꦳ꦶ | ꧀ꦲ꦳ꦸ | ꧀ꦉ | ꧀ꦭꦼ | ꧀ꦲ꦳ꦺ | ꧀ꦲ꦳ꦴ | ꧀ꦲ꦳ꦼ | ꧀ꦲ꦳ꦼꦴ |
Catatan |
Sandangan
Sandangan (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀) adalah tanda diakritik yang digunakan untuk mengubah vokal inheren /a/ menjadi vokal lainnya dan/atau menutup suatu suku kata dengan konsonan, sebagaimana berikut:[10][11][3]
-a | -i | -u | -é[1] | -o[4] | -e[2][2a] | -eu[3] | -ng | -r | -h | -r- | -y- | pemati |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
- | ꦶ |
ꦸ |
ꦺ |
ꦴ |
ꦼ |
ꦼꦴ |
ꦁ |
ꦂ |
ꦃ |
ꦿ |
ꦾ |
꧀ |
- | panghulu | panyuku | panéléng | panolong | pamepet | paneuleung | panyecek | panglayar | pangwisad | panyakra | pamingkal | pamaéh |
ka | ki | ku | ké | ko | ke | keu | kang | kar | kah | kra | kya | k |
ꦏ | ꦏꦶ | ꦏꦸ | ꦏꦺ | ꦏꦴ | ꦏꦼ | ꦏꦼꦴ | ꦏꦁ | ꦏꦂ | ꦏꦃ | ꦏꦿ | ꦏꦾ | ꦏ꧀ |
Catatan
|
Pada
Teks tradisional Sunda ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dan memiliki sejumlah tanda baca yang disebut pada (ꦥꦝ). Cacarakan menggunakan pada lungsi (꧉) sebagai pemisah antar kalimat dan pada lingsa (꧈) sebagai pemisah antar anak kalimat. Selain itu tidak ada perbedaan yang signifikan antara tanda baca Cacarakan dengan aksara Jawa.[10]
Contoh teks
Berikut penggunaan carakan dalam Dongéng-dongéng Pieunteungeun disertai dengan ejaan bahasa Sunda modern.[12]
Bahasa Sunda | Bahasa Indonesia | |
---|---|---|
Cacarakan | Latin | |
꧄ ꦠꦸꦮꦤ꧀ ꦮꦶꦤ꧀ꦠꦼꦂꦗꦸꦫꦸꦧꦱ꧈ ꦗꦼꦤꦼꦁꦔꦤ꧀ꦤꦤꦤꦸꦔꦁꦒꦶꦠ꧀꧈ ꦩꦶꦤ꧀ꦝꦃꦏꦼꦤ꧀ꦏꦧꦱꦗꦮ꧈ | Tuwan Winter jurubasa, Jenenganana nu nganggit, Mindahkeun ka basa Jawa, | Tuwan Winter sang ahli bahasa, Beliau yang menulis, Yang menerjemahkan ke bahasa Jawa, |
ꦔ꦳ꦪꦼꦤꦝꦶꦱꦭꦶꦤ꧀ꦝꦆ꧈ ꦝꦶꦱꦸꦤ꧀ꦝꦏꦼꦤ꧀ꦱꦏꦭꦶ꧈ ꦏꦸꦏꦮꦸꦭꦔ꦳ꦸꦫꦁꦒꦫꦸꦠ꧀꧈ | Ayeuna disalin deui, Disundakeun sakali, Ku kawula urang Garut, | Sekarang disalin lagi, Diterjemahkan ke bahasa Sunda, Oleh saya orang Garut, |
ꦔ꦳ꦫꦶꦔ꦳ꦤꦸꦝꦶꦥꦭꦂ꧈ ꦔ꦳ꦸꦫꦁꦱꦸꦤ꧀ꦝꦠꦩ꧀ꦧꦃꦫꦗꦶꦤ꧀꧈ ꦫꦺꦪꦕꦿꦶꦠꦧꦫꦶꦱ꧀ꦲ꦳ꦼꦤ꧀ꦠꦼꦁꦏꦭꦏꦸꦮꦤ꧀꧉ | Ari anu dipalar, Urang Sunda tambah rajin, Réa crita baris eunteung kalakuan. | Tujuannya, Orang Sunda tambah rajin, Banyak cerita yang menggambarkan tingkah laku. |
UDHR
Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 1:[13]
Sakumna jalma gubrag ka alam dunya téh sipatna merdika jeung boga martabat katut hak-hak anu sarua. Maranéhna dibéré akal jeung haté nurani, campur-gaul jeung sasamana aya dina sumanget duduluran.
꧄ꦱꦏꦸꦩ꧀ꦤꦗꦭ꧀ꦩꦒꦸꦧꦿꦒ꧀ꦏꦔ꦳ꦭꦩ꧀ꦝꦸꦤ꧀ꦚꦠꦺꦃꦱꦶꦥꦠ꧀ꦤꦩꦼꦂꦝꦶꦏꦗꦼꦴꦁꦧꦴꦒꦩꦂꦠꦧꦠ꧀ꦏꦠꦸꦠ꧀ꦲꦏ꧀ꦲꦏ꧀ꦲ꦳ꦤꦸꦱꦫꦸꦮ꧉ ꦩꦫꦤꦺꦃꦤꦝꦶꦧꦺꦫꦺꦔ꦳ꦏꦭ꧀ꦗꦼꦴꦁꦲꦠꦺꦤꦸꦫꦤꦶ꧈ ꦕꦩ꧀ꦥꦸꦂꦒꦔ꦳ꦸꦭ꧀ꦗꦼꦴꦁꦱꦱꦩꦤꦔ꦳ꦪꦝꦶꦤꦱꦸꦩꦔꦼꦠ꧀ꦝꦸꦝꦸꦭꦸꦂꦫꦤ꧀꧉
Galeri
Contoh-contoh penggunaan Cacarakan | |
|
Lihat pula
Rujukan
Catatan kaki
- ^ Rosyadi 1997, hlm. 16.
- ^ Rosyadi 1997, hlm. 51.
- ^ a b Coolsma 1985, hlm. 7.
- ^ Permadi 2019, hlm. 262.
- ^ Moriyama 1996, hlm. 166.
- ^ Moriyama 1996, hlm. 167.
- ^ "Kitab Undang-undang Hindia-Belanda dalam Bahasa Sunda – Kairaga.com". Diakses tanggal 2023-04-13.
- ^ "Aksara – Kairaga.com". Diakses tanggal 2023-04-13.
- ^ Ekadjati 1999.
- ^ a b c d e f g Holle 1862.
- ^ Coolsma 1985, hlm. 6.
- ^ Moesa (.R.Hadji.), Moehamad (1867). Dongeng-dongeng pingĕntĕngĕn (dalam bahasa Lao).
- ^ "OHCHR | Universal Declaration of Human Rights - Sundanese". OHCHR (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-04-12.
Daftar pustaka
- Holle, K F (1862). Soendasch spel- en lees boek, met Soendasche letter. Batavia: Landsdrukkerij.
- Rosyadi (1997). Pelestarian Dan Usaha Pengembangan Aksara Daerah Sunda (PDF). Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Pusat Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan.
- Ekadjati, Edi S. (1999). Direktori Edisi Naskah Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Masyarakat Pernaskahan Nusantara. ISBN 9794613347.
- Coolsma, Sierk (1985) [1904]. Tata Bahasa Sunda. Diterjemahkan oleh Widjajakusumah, Rusyana, Husein, Yus. Jakarta: (Penerbit Asli) Fa. A.W. Sijthoff. OCLC 13986971.
- Moriyama, Mikihiro (Juni 1996). "Discovering the 'Language' and the 'Literature' of West Java: An Introduction to the Formation of Sundanese Writing in 19th Century West Java" (PDF). Southeast Asian Studies. 34 (1): 151–183.
- Tim Unicode Aksara Sunda (2008). Direktori Aksara Sunda untuk Unicode (PDF). Bandung: Dinas Pendidikan Pemprov Jawa Barat.
- Permadi, Tedi (2019). "Struktur dan Komponen Tiga Surat Segel Tanah di Priangan". Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara. 9 (261). doi:10.37014/jumantara.v9i2.252 .
- Republik Indonesia (2014). "Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah". jabarprov.go.id.
Naskah digital
- Dongèng-dongèng Pieuntengen (1867) kumpulan dongeng berbahasa Sunda dan beraksara Jawa yang dikompilasikan oleh Muhammad Musa
Pranala luar
- Pedoman Ejaan Bahasa Sunda Yang Disempurnakan
- Kamus Sunda-Indonesia Repositori Kemdikbud
- Kamus Bahasa Sunda-Inggris oleh F.S. Eringa
- Konverter Aksara Latin-Aksara Sunda di kairaga.com
- Tabel Karakter Unicode Aksara Sunda di unicode-table.com