Suku Tumi

suku bangsa yang telah punah di Indonesia

Suku Tumi (Lampung: Jeghema Tumi) adalah suku purba yang diyakini merupakan nenek moyang dari orang Lampung saat ini. Orang Tumi kemungkinan berasal dari India Selatan yang datang ke Nusantara beberapa milenium sebelum masehi. Suku Tumi dahulu bermukim di wilayah sekitar lereng gunung Pesagi dan danau Ranau di Kabupaten Lampung Barat.[2] Diketahui ada dua suku yang mendiami puncak gunung Pesagi Kecil yaitu suku Kenyangan yang datang dari barat daya Asia sejak SM.[3]

Suku Tumi
Jeghema Tumi
Bahasa
Tumi (kemungkinan)
Sanskerta
Agama
Animisme, dinamisme (hingga abad ke-3)
Corak Hindu (abad ke-3 sampai abad ke-12)
Islam (setelah abad ke-13)[1]
Kelompok etnik terkait
Tamil (diyakini sebagai asal-usul orang Tumi)
Lampung (diyakini sebagai keturunan orang Tumi)

Etimologi

Menurut Ahmad Safei, Saibatin Kepaksian Buay Belunguh, nama Tumi berasal dari kata Tamil yakni sebuah suku bangsa yang mendiami India bagian selatan dan diyakini orang Tumi merupakan bagian dari orang Tamil yang mendiami wilayah Lampung dahulu.[4] Terdapat dalam buku pusaka Lampung, ada dua suku bermukim di puncak gunung pesagi memiliki sikap yang berbeda dengan suku tumi, kedua suku ini merupakan kelompok yang membuka diri terhadap masuknya ajaran Islam, selain suku tumi dan suku kenyangan terdapat juga suku nekhima[3].

Sejarah

Dari hasil musyawarah yang dilakukan oleh para keturunan dari Kepaksian Sekala Brak pada tahun 2001, mengakui La Laula sebagai raja pertama kerajaan ini sejak awal abad ke-3 Masehi. La Laula bukanlah penduduk asli. Ia bersama pengikutnya tiba di Sekala Brak dari daratan Indochina (antara Vietnam dan Kamboja) pada awal abad ke-3 Masehi dengan menggunakan kapal kano. Meskipun demikian, Kepaksian Sekala Brak membenarkan eksistensi suku Tumi yang telah ada sebelum kedatangan La Laula yang mendirikan Kerajaan Sekala Brak.[5]

La Laula tiba di sebuah negeri yang dipenuhi pohon sekala di mana, di sana telah berdiam suatu entitas masyarakat yang dikenal sebagai orang Tumi. Suku Tumi merasa terdesak dengan kehadiran La Laula yang lambat laun berhasil menarik pengikut dari kalangan masyarakat lokal. Setelah melalui pertempuran yang cukup lama, La Laula dan pengikutnya berhasil menaklukkan suku Tumi serta menyatakan dirinya sebagai Raja pertama Kerajaan Sekala Brak.

Kebudayaan

Kebudayaan Lampung tidak bisa dipisahkan dari dua hal, yakni keberadaan suku Tumi di gunung Pesagi, dan kedatangan penyebar Islam di bawah perintah Ratu Ngegalang Paksi beserta keempat putranya, yaitu Umpu Belunguh, Umpu Bejalan Diwai, Umpu Pernong, dan Umpu Nyerupa.[6] Suku Tumi yang beragama Hindu Bhirawa datang membawa seperangkat adat dan budaya. Suku Tumi kemudian dikalahkan oleh para Umpu yang juga membawa adat serta budaya yang bersumber dari ajaran Islam.[7] Keempat umpu yang mengalahkan Ratu Sekekhumong, pemimpin terakhir suku Tumi, seperti para walisongo di Pulau Jawa, penyebaran agama Islam di Lampung dilakukan dengan melakukan akulturasi kebudayaan yang telah ada sebelumnya.[8] Penduduk suku tumi yang belum memeluk agama Islam dan saat itu mereka memilih mengungsi ke pesisir menyebrang ke pulau Jawa dan sebagian mengungsi ke pulau sunda kecil[9]

Kepercayaan

Sejarah Daerah Lampung, Depdikbud (1997) menyebut bahwa dahulu masyarakat suku Tumi masih menganut kepercayaan animisme atau dinamisme sebelum kedatangan agama Hindu dari daratan India sejak abad ke-3 Masehi. Beberapa kelompok masyarakat dari ketiga suku ini tidak menerima Islam sebagai agama karena sebagian dari mereka merasa tidak menerima ajaran tentang asal usul manusia, mengaku bukan keturunan Nabi Adam AS, namun ada tiga anak perempuan dari suku tersebut yang kemudian menikah dengan para umpu penyebar Islam[3]. Menurut mereka tuhan menurunkan mereka melalui seorang bernama Ratu Pesagi yang sudah berada di Gunung Pesagi[3]

Peninggalan

 
Batu kepampang, tempat eksekusi mati peninggalan suku Tumi.

Keberadaan Kepaksian Sekala Brak yang dihuni oleh suku Tumi dibuktikan dengan ditemukannya sejumlah peninggalan, seperti prasasti, batu-batu, tapak kaki, altar upacara, hingga tempat untuk eksekusi mati yang disebut batu kepampang.[10] Louis-Charles Damais (1995) dalam Epigrafi dan Sejarah Nusantara menyimpulkan, prasasti tersebut merupakan peninggalan Kerajaan Sekala Brak pada era Suku Tumi.[11]

Referensi