Prabu Siliwangi

tokoh semi-mitologis dalam tradisi Sunda

Prabu Siliwangi atau Raja Siliwangi (bahasa Sunda: ᮕᮨᮛᮨᮘᮥᮞᮤᮜᮤᮂᮝᮍᮤ, translit. Perebu Silih Wangi) adalah tokoh legendaris yang digambarkan sebagai raja agung Kerajaan Sunda Pajajaran.[1]:415

Lukisan perwujudan Prabu Siliwangi di Keraton Kasepuhan Cirebon.

Dia adalah tokoh populer dalam tradisi lisan pantun Sunda, sastra Sunda, dongeng, cerita rakyat, sandiwara, dan legenda yang menggambarkan masa pemerintahannya sebagai masa keemasan masyarakat Sunda. Tradisi Sunda menyebutkan beliau sebagai raja yang sakti, cakap, gagah perkasa, adil, dan bijaksana yang berhasil membawa rakyat dan kerajaannya menuju era kejayaan dan kemakmuran.

Tokoh Prabu Siliwangi adalah tokoh yang sangat dikagumi karena tradisi lisan Sunda menyebutkan raja agung Sunda sebagai "Prabu Siliwangi" yang sangat lengkap dengan era atau kurun waktu sejarahnya.

Sumber-sumber tertulis dengan mudah ditemukan, baik yang bersumber dari dalam negeri, yaitu kumpulan Naskah Wangsakerta, Babad Tanah Jawi, Carita Parahyangan dan lainnya.

Demikian pun sumber naskah terverifikasi dari bangsa Eropa yaitu Portugis maupun naskah termashur dari negeri Tiongkok, hasil penjelahan Laksamana Ceng Ho pada abad 15 hingga 16 masehi.

Jadi sangat mudah mengidentifikasi siapakah tokoh sejarah yang dimaksudkan sebagai Prabu Siliwangi yang legendaris ini. Apalagi tokoh tersebut dijadikan nama Divisi TNI yang sangat setia mengawal dan mempertahankan Republik Indonesia

Kisah mengenai raja legendaris ini membentang dari era mitologi yang terkait kisah dewa-dewi Sunda kuno, hingga ke zaman kemudian saat datangnya ajaran Islam ke Tatar Sunda menjelang keruntuhan kerajaan Sunda Pajajaran.

Beberapa pihak telah mengajukan pendapat mengenai siapa tokoh sejarah nyata yang menginspirasi kisah Prabu Siliwangi ini. Penafsiran paling populer mengaitkan Prabu Siliwangi dengan tokoh sejarah raja Sunda bernama Sri Baduga Maharaja[2][3] yang disebutkan bertakhta di Pajajaran pada kurun 1482–1521. Prabu Siliwangi adalah tokoh sejarah raja Sunda sebelumnya yang bernama Niskala Wastu Kancana, yang disebutkan memerintah selama 104 tahun dari kurun 1371–1475.[1]:415

Kontroversi

Kemajuan fenomenal dalam bidang ekonomi, infrastruktur spektakuler, lebih maju dan lebih dulu berkembang di Tatar Sunda (Prov. DKI Jaya, Prov. Banten dan Prov. Banten, daripada di daerah lainnya di Indonesia. Menimbulkan cemoohan, kritikan, hujatan hingga gangguan, hambatan secara fisik, verbal dan non verbal terhadap penduduk di wilayah tiga provinsi tersebut.

Hal tersebut dapat dimaklumi, mengingat betapa tingginya penghargaan, kebanggaan dan keterikatan tanah leluhur bagi warga tertentu di Nusantara, yang sejak tahun 1945 menjadi Indonesia ini.

Sehingga kecemburuan sosial terhadap pembangunan di Tanah Sunda tercetus ke berbagai bidang kehidupan. Bila abad 21 masehi, cemoohan berupa non verbal melalui hujatan netizen berbagai di media sosial/media massa terhadap pembangunan industri, jalan tol – LRT – MRT yang lebih dulu terbangun di Tanah Sunda karena kebutuhan dinamika masyarakat yang sangat besar.

Maka pada abad 20 masehi lalu, sejak proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 yang terwujud di Sunda Kalapa (Jakarta, sekarang), kecemburuan tak henti-hentinya dibuktikan dengan berbagai pemberontakan bersenjata beralibi ideologi, dalih ketidakadilan ekonomi hingga ketokohan yang tidak sedaerah. Pemberontakan bersenjata berlangsung paska proklamasi kemerdekaan tahun 1945 di berbagai daerah, hingga tahun 1970-an.

Abad 14 – 17 masehi perkembangan di Tatar Sunda yang demikian mencengangkan dalam bidang ilmu pengetahuan, budaya menulis tinggi dengan hasil karya-karya legendaris sangat menggelisahkan bagi sebagai warga di wilayah lainnya.

Tulisan yang menuliskan kemajuan peradaban dan ekonomi Tatar Sunda dapat dibaca pada hasil penjejalahan Laksamana Ceng Ho di Nusantara, tentang Wunta dan Sunta.

Penulis-penulis Portugis pada abad 15 masehi yang mengunjungi Kerajaan Sunda, secara lebih lengkap menuliskan berbagai aspek kemajuan masyarakat Sunda pada abad-abad tersebut.

Termasuk tentang kepemimpinan Raja-nya. Tome Pires mencatat kemajuan zaman keemasan pemimpin besar Sri Baduga yang menjabat Raja waktu itu dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are honest men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).

Kecemburuan ekonomi, budaya, sosial pada abad 16 masehi tersebut berujung pada perebutan Banten, Sunda Kalapa, Cianjur, hingga Sumedang dengan berdarah-darah.

Perpecahan di Tatar Sunda akibat kekacauan keamanan, rebutan pengaruh budaya dan hegemoni kekuasaan membuka peluang masuknya kolonialisme Barat. Hingga Soekarno menyebutkan 350 tahun adalah masa keterjajahan akibat Kolonialisme dan Imprealisme di Nusantara.

Etimologi

Sebuah teori kebahasaan menyebutkan bahwa nama Siliwangi berasal dari istilah dalam bahasa Sunda Silih Wangi, yang berarti pengganti atau penerus Raja Wangi. Raja Wangi sendiri berarti seorang raja yang memiliki nama yang harum (wangi).

Menurut Kidung Sunda dan Carita Parahyangan, Raja Wangi diidentifikasi sebagai Maharaja Linggabuana, seorang raja Sunda yang gugur di Majapahit pada 1357 dalam peristiwa Perang Bubat. Dikisahkan Raja Hayam Wuruk, raja Majapahit, berniat mempersunting Dyah Pitaloka Citraresmi, putri raja Sunda. Keluarga kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk menikahkan putrinya dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi, Gajah Mada, mahapatih Majapahit, melihat peristiwa ini sebagai kesempatan untuk menuntut takluknya kerajaan Sunda di bawah Majapahit. Dia menuntut bahwa sang putri tidak akan dijadikan sebagai permaisuri Majapahit, melainkan hanya akan diperlakukan sebagai selir, sebagai tanda persembahan taklukknya kerajaan Sunda sebagai kerajaan bawahan dari Majapahit.

Murka akibat penghinaan Gajah Mada ini, keluarga kerajaan Sunda berjuang belapati melawan balatentara Majapahit sampai mati demi membela kehormatan mereka. Setelah kematiannya, Raja Lingga Buana diberikan gelar Wangi (raja yang harum namanya) karena aksi keberanian dan kepahlawanannya dalam mempertahankan kehormatan kerajaan.

Keturunannya yang memiliki keagungan yang setara disebut dengan gelar Silihwangi (penerus Raja Wangi). Setelah mangkatnya Raja Wangi (Prebu Maharaja), terdapat tujuh raja penerusnya, yang secara teknis semuanya dianggap pewaris Raja Wangi (Silihwangi).

Sementara sejarahwan lain berpendapat bahwa nama Siliwangi berasal dari istilah Sunda Asilih Wewangi, yang berarti berganti gelar.[4]

Legenda Prabu Siliwangi

 
Sebuah candi dipersembahkan untuk memuliakan Prabu Siliwangi yang terletak di Pura Parahyangan Agung Jagatkarta di Bogor, Jawa Barat.

Sebuah legenda Sunda menyebutkan mengenai kisah Pangeran Jayadewata, putra Prabu Anggalarang, raja Kerajaan Galuh, yang memerintah di keraton Surawisesa di kota Kawali. Pangeran Jayadewata juga dikenal dengan gelar Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana.[2]

Pada saat mudanya, pangeran Jayadewata dikenal dengan panggilan Raden Pamanah Rasa (pemanah rasa cinta). Nama ini menunjukkan bahwa sang pangeran memiliki paras sangat tampan dan mempesona, sehingga semua orang sangat mudah jatuh hati kepadanya. Tradisi Sunda menyebutkan sang pangeran adalah siswa yang cerdas dalam hal kesusastraan, musik, tari, dan seni, termasuk mahir dalam seni bela diri pencak silat, serta keterampilan khas kebangsawanan seperti seni perang dan panahan.

Seorang tokoh di dalam kerajaan berniat jahat menggulingkan Raja Anggalarang dan akhirnya berhasil membunuhnya dan merebut takhta. Sementara Pangeran Jayadewata diracuni dan disihir dengan menggunakan ilmu hitam yang mengakibatkan dia menjadi hilang ingatan bahkan menjadi sinting. Pangeran yang sakti namun kurang waras ini kemudian berkelana ke penjuru negeri menimbulkan kegaduhan di desa-desa. Akhirnya, Ki Gedeng Sindangkasih, kepala desa Sindangkasih, berhasil menjinakannya. Berkat cinta Nyi Ambetkasih, putri Ki Gedeng, sang pangeran akhirnya berhasil disembuhkan dari sakit ingatannya. Pangeran Jayadewata kemudian mengawini Nyi Ambetkasih. Kemudian, Pangeran Jayadewata berhasil menghimpun dukungan rakyat dan berhasil menuntut kembali haknya atas takhta kerajaan Sunda.

Harimau Siliwangi

 
Lambang Harimau Divisi Siliwangi.

Tradisi Sunda mengaitkan Prabu Siliwangi dengan satwa mistis harimau juga macan hitam dan putih, yang dianggap sebagai satwa gaib pengawalnya. Menurut legenda Sunda, ketika bala tentara Cirebon dan Banten menyerbu Dayeuh (ibu kota kerajaan) Pakuan Pajajaran, sang raja menolak berpindah keyakinan masuk Islam. Namun dia juga enggan melawan tentara Muslim yang menyerbu dari Cirebon, karena bagaimanapun Cirebon adalah kerajaan anaknya. Menurut kisah rakyat, setelah jatuhnya ibu kota Pakuan, raja Sunda terakhir dengan ditemani pengiringnya mengundurkan diri ke Gunung Salak yang terletak di selatan ibu kota untuk menghindari pertumpahan darah. Kemudian sang raja ngahyang (menghilang atau moksa) menjadi hyang atau roh kedewaan. Konon dia berubah menjadi satwa mistis berwujud harimau suci. Sementara kisah lain menyebutkan bahwa sang raja menghilang di Leuweung (hutan) Sancang, di dekat laut selatan di Kabupaten Garut.[5]

Pada abad ke-17, lebih dari seratus tahun setelah runtuhnya Kerajaan Sunda, kota Pakuan Pajajaran telah ditinggalkan penghuninya. Perlahan-lahan kota ini telantar, lapuk, dan rusak ditelan semak belukar dan aneka tanaman tropis, sehingga berubah menjadi hutan lebat yang menjadi sarang harimau. Ekspedisi perdana oleh orang Belanda ke pedalaman Jawa Barat dilakukan pada 1687 yang dipimpin Pieter Scipio van Oostende. Dia membawa tim ekspedisi untuk menjelajahi hutan di selatan Batavia menuju bekas ibu kota Pakuan dan akhirnya mencapai Wijnkoopsbaai (kini Palabuhanratu).[6][7] Salah satu anggota ekspedisi ini tewas diterkam harimau di daerah ini dua hari sebelumnya. Scipio mendapat keterangan dari anak buah Letnan Tanuwijaya dari Sumedang, bahwa reruntuhan itu adalah bekas ibu kota kerajaan Pakuan Pajajaran.

Pada 23 Desember 1687, Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs menulis laporan; "di bekas istana yang tanahnya ditinggikan, dekat tablet (prasasti Batutulis) berwarna perak peninggalan Raja Pajajaran yang dikeramatkan, kawasan ini dijaga oleh banyak harimau."[8] Penampakan harimau juga dilaporkan oleh warga Kedung Halang dan Parung Angsana yang mengawal Scipio dalam ekspedisi ini. Mungkin peristiwa inilah yang menjadi sumber legenda lokal yang percaya bahwa Raja Pajajaran beserta segenap bangsawan Sunda dan pengawalnya telah berubah menjadi harimau mistis.[8]


Catatan Portugis tentang Sunda

Menurut penulis Portugis Tomé Pires tersebut, Kalapa adalah pelabuhan terbesar di Tanah Sunda Wilayah kekuasaan Prabu Siliwangi.

Selain Sunda (Banten), Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk yang juga dimiliki Pajajaran. Sunda Kelapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern sekarang: dayeuh berarti kota) dalam tempo dua hari.

Nama Dayo didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata dayeuh bila bermaksud menyebut ibu kota dalam percakapan sehari-hari.

Pelabuhan ini telah dipakai sejak zaman Tarumanagara dan diperkirakan sudah ada sejak abad ke-5 dan saat itu disebut Sundapura. Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk milik Kerajaan Sunda, yang memiliki ibu kota di Pakuan Pajajaran atau Pajajaran yang saat ini menjadi Kota Bogor.

Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.

Seperti diketahui pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, para penjelajah Eropa mulai berlayar mengunjungi sudut-sudut dunia. Bangsa Portugis berlayar ke Asia dan pada tahun 1511, mereka bahkan bisa merebut kota pelabuhan Malaka, di Semenanjung Malaka. Malaka dijadikan basis untuk penjelajahan lebih lanjut di Asia Tenggara dan Asia Timur.

Tome Pires sendiri adalah salah seorang penjelajah Portugis, mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa antara tahun 1512 dan 1515. Ia menggambarkan bahwa pelabuhan Sunda Kelapa ramai disinggahi pedagang-pedagang dan pelaut dari luar seperti dari Sumatra, Malaka, Sulawesi Selatan, Jawa dan Madura. Menurut laporan tersebut, di Sunda Kelapa banyak diperdagangkan lada, beras, asam, hewan potong, emas, sayuran serta buah-buahan.

Laporan Portugis menjelaskan, bahwa (Sunda) Kalapa terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang Melayu, Jepang dan Tionghoa.

Di samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut dengan lanchara, yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih 150 ton.

Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis berpotensi munculnya ancaman yang sama di pesisir terhadap Kerajaan Sunda. Maka pada 1512 Kerajaan Sunda menjalin hubungan dengan Portugis (Graaf & Pigeaud, 1985:146–147).

Ketika itu Jayadewata mengirim utusan yang dipimpin Ratu Samiam melakukan diplomasi perdagangan kepada Alfonso d’Albuquerque. Sebagai balasan pada 1522 pihak Portugis di Malaka ketika itu yang menjadi gubernur Jorge d’Albuquerque, mengirim perutusan yang dipimpin Henrique Lemé untuk mengadakan perjanjian dengan raja Sunda. Ketika yang bertahta adalah Samiam (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:394).

Maka pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa, sedangkan (Sunda) Kalapa akan menerima barang-barang yang diperlukan.

Raja Sunda akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Sebuah batu peringatan atau padraõ dibuat untuk memperingati peristiwa itu. (Djajadiningrat, 1983:79–80).

Padrao dimaksud disebut sebagai layang salaka domas dalam cerita rakya Sunda Mundinglaya Dikusumah. Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.

Dalam perjanjian itu pihak Portugis diwakili Henrique Leme sedangkan Raja Sunda didampingi oleh tiga orang menteri yaitu Mandari Tadam, Tamungo Sague de Pate, dan Bengar. Menurut Guillot, perjanjian antara Leme dan pihak Raja Sunda dilakukan di Banten dan selanjutnya pihak Portugis akan mendirikan benteng di Cidigy atau Cheguide. Lokasi Cheguide menurut buku pedoman pelayaran dapat ditentukan terletak di antara Pontang dan Tangerang. Tepatnya antara Tanjung Kait dan Muara Cisadane.

Akhirnya Guillot menarik hipotesis bahwa Cheguide di mana Leme mendirikan padrao sebagai tanda lokasi akan dibangunnya benteng berada di muara Ci Sadane, tepi Kali Kramat sekarang. Pembangunan benteng dilaksanakan oleh Francisco de Sa. Ketika Francisco de Sa menuju Sunda, armadanya terserang badai.

Duarto Coelho salah seorang kapten armada tersebut berhasil sampai di pelabuhan tetapi kapalnya tengelam di situ. Semua pasukannya diserang oleh orang-orang Banten yang beberapa hari sebelumnya telah merebut kota itu dari Samiam (Guillot, 1992; Saptono, 1998:246–248).

Demak (di Jawa bagian tengah) saat itu menganggap perjanjian persahabatan Sunda-Portugal tersebut sebagai sebuah provokasi dan suatu ancaman bagi ekonomi kerajaannya.

Sehingga melakukan serangan loncat katak, melalui Banten (salah satu cucu Prabu Siliwangi) sebagai pijakan. Dengan pimpinannnya yaitu Fatahillah, seorang  menantu Sultan Demak namun juga menantu Sultan Gunung Jati dari Cirebon.

Fatahillah adalah tokoh dari Samudera Pasai yang mencari perlindungan di Cirebon, setelah Samudra Pasai dan Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511 masehi.

Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, “Summa Oriental (1513 – 1515)”, dia menuliskan bahwa:

The Sunda kingdom take up half of the whole island of Java; others, to whom more authority is attributed, say that the Sunda kingdom must be a third part of the island and an eight more. It ends at the river chi Manuk. They say that from the earliest times God divided the island of Java from that of Sunda and that of Java by the said river, which has trees from one end to the other, and they say the trees on each side line over to each country with the branches on the ground.

Tentang Kerajaan Sunda ini, Tome Pires menggambarkan bahwa, menurut berita lokal, Kerajaan Sunda luasnya setengah pulau Jawa dan ada juga yang menyebut luasnya sepertiga ditambah seperdelapan luas pulau Jawa.

Jadi, jelaslah bahwa perpaduan kedua kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Sunda.

Keterangan keberadaan kedua kerajaan tersebut juga terdapat pada beberapa sumber sejarah lainnya. Prasasti di Bogor banyak bercerita tentang Kerajaan Sunda sebagai pecahan Tarumanagara, sedangkan prasasti di daerah Sukabumi bercerita tentang keadaan Kerajaan Sunda sampai dengan masa Sri Jayabupati.

Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, pada tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.

Kerajaan Sunda sangat kaya. Kerajaan ini memiliki empat ribu kuda yang didatangkan dari Pariaman dan pulau-pulau lain. Raja memiliki empat puluh gajah. Emas enam karat juga ditemukan di kerajaan ini. Asam berlimpah yang berguna untuk dibuat cuka oleh penduduk.

Kota tempat raja berada disebut kota besar atau dayeuh. Kota tersebut memiliki bangunan-bangunan yang dibuat dengan baik dari kayu dan daun palem. Rumah raja memiliki 330 tiang kayu setebal drum anggur yang tingginya 8 meter. Kota tersebut dapat ditempuh selama 2 hari dari pelabuhan utama.

Raja Sunda merupakan olahragawan dan pemburu ulung. Tahta kerajaan turun dari ayah kepada anak laki-laki. Orang Sunda sangat jujur. Perempuan bangsawannya cantik-cantik. Penduduknya ramah (tidak garang). Mereka gemar akan senjata yang dihias. Kerisnya mengkilat.

Orang Sunda di pantai bergaul denga para pedagang dari pedalaman. Mereka terbiasa berdagang, Orang Sunda sangat sering datang ke Malaka. Mereka membawa lancara (kapal kargo yang beratnya seratus lima puluh ton). Kerajaan Sunda memiliki 6 kapal jung dan banyak lancara.

Sementara menurut catatan de Barros, Kerajaan Sunda mempunyai enam pelabuhan yaitu Chiamo, Xacatra atau Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan Bantam (Djajadiningrat, 1983:83).

Selain de Barros, Tomé Pires juga memberitakan bahwa Çumda mempunyai enam pelabuhan yaitu Bantam, Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa, dan Chemano (Cotesao, 1967:166). Keterangan antara Barros dan Pires sama-sama menyebutkan adanya enam pelabuhan. Kalau Barros menyebutkannya dari arah timur ke barat, sebaliknya Pires menyebutnya dari barat ke timur. Perbedaan yang ada selain ucapannya ialah bahwa Calapa yang disebut Pires, oleh Barros disebutnya Xacatra atau Caravam (Saptono, 1998:241).

Tomé Pires juga memberikan gambaran keadaan masing-masing pelabuhan tersebut (Cotesao, 1967:170–173). Bantam merupakan pelabuhan besar terletak di tepi sungai. Dari pelabuhan ini perdagangan berlangsung hingga Sumatra dan Kepulauan Maladewa. Barang-barang yang diperdagangkan antara lain beras dan lada.

Pomdam juga merupakan pelabuhan yang baik. Berada pada muara sungai. Kapal besar (junk) dapat berlabuh di sini. Barang dagangan berupa bahan makanan terutama beras dan lada. Cheguide merupakan pelabuhan bagus yang bisa didarati kapal besar. Pelabuhan ini merupakan pintu gerbang ke Jawa dari Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung dan tempat-tempat lain.

Barang-barang dagangan berupa beras, buah-buahan, lada, dan bahan makanan. Tamgaram juga merupakan pelabuhan dan kota dagang yang bagus. Barang dagangan sebagaimana pelabuhan yang lain. Calapa merupakan bandar yang paling bagus. Pelabuhan ini sangat penting dan terbagus di antara yang lain.

Jalinan perdagangannya sangat luas yaitu hingga Sumatra, Palembang, Laue, Tamjompura, Malaca, Makasar, Jawa dan Madura, serta beberapa tempat lain. Chemano merupakan pelabuhan yang cukup ramai meskipun kapal besar tidak dapat berlabuh di sini. Di kota ini sudah banyak warga muslim. Perdagangan yang dijalin hingga seluruh Jawa.

Barang komoditas utama Kerajaan Sunda adalah lada dengan kualitas tinggi. Produksi lada diperkirakan 1000 bahar per tahunnya. Selain lada komoditas penting Kerajaan Sunda adalah cabai dan buah asam. Kedua komoditas ini mampu memenuhi kebutuhan seribu kapal. Ketersediaan tenaga kerja ini selain dari lokal juga dipasok dari Kepulauan Maladewa. Perjalanan dari Sunda ke Maladewa ditempuh sekitar enam hingga tujuh hari. Dalam aktivitas perdagangan telah digunakan semacam mata uang terbuat dari emas yang dicetak dengan 8 mate, yaitu semacam goresan atau cetakan emas yang digunakan di Timur (Cotesao, 1967:172).

Hubungan dagang antara masyarakat pesisir dilakukan dengan perahu yang menyusuri laut pinggir pantai. Sebagaimana pemberitaan Tomé Pires, aktivitas perdagangan di pantai utara Jawa juga terjalin secara antar kota pelabuhan.

Berlangsungnya perdagangan semacam ini, di Indramayu ditandai dengan adanya temuan perahu di Desa Lombang, Juntinyuat. Perahu berukuran panjang 11,5 m dan lebar 3 m serta tinggi sekitar 1,5 m menunjukkan fungsinya sebagai sarana angkut dalam jarak yang tidak begitu jauh, dalam arti tidak untuk mengarungi samodra (Michrob, 1992).

Hubungan antar pemukiman di pedalaman dan pesisir dihubungkan dengan jaringan jalan raya. Jalan-jalan darat menghubungkan pusat kerajaan di Pakwan Pajajaran ke pemukiman-pemukiman di pedalaman dan pelabuhan-pelabuhan di pantai utara. Jaringan jalan ada dua yaitu ke arah timur dan barat. Jalan ke arah timur dari Pakwan Pajajaran menuju Karangsambung di tepi Ci Manuk melalui Cileungsi dan Cibarusah.

Dari Cibarusah menuju Tanjungpura di tepi Ci Tarum, Karawang kemudian terus ke Cikao, Purwakarta dan lanjut ke Karangsambung. Di Karangsambung jalan ini bercabang, satu jalur menuju Cirebon lalu berbelok ke arah Kuningan dan berakhir di Galuh atau Kawali. Jalur jalan lain dari Karangsambung menuju Sindangkasih, lalu ke Talaga dan berakhir di Galuh atau Kawali. Jalan ke arah barat dari Pakwan Pajajaran menuju Jasinga lalu ke Rangkasbitung dan berakhir di Banten.

Satu jalur lagi dari Pakwan Pajajaran ke arah Ciampea dan kemudian ke Rumpin. Dari Rumpin kemudian dilanjutkan menggunakan jalan sungai (Ci Sadane) menuju muara. Dengan menggunakan prasarana transportasi jalan darat ini, barang-barang komoditas dari pedalaman dan dari luar dapat dipertukarkan (diperdagangkan) dengan perantara pelabuhan-pelabuhan di pesisir (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:420).

Berdasarkan beberapa sumber dapat diketahui bahwa Kerajaan Sunda pada dasarnya merupakan kerajaan yang bercorak agraris khususnya pada sektor perladangan. Secara teoritis, kerajaan yang ditopang sektor perladangan akan tidak dapat berlangsung lama. Dalam kenyataannya Kerajaan Sunda bertahan pada kurun waktu antara abad ke-7 hingga ke-17. Bertahan lamanya Kerajaan Sunda ternyata didukung aktivitas kemaritiman berupa perdagangan insuler dan interinsuler.

Kerajaan Sunda merupakan penghasil lada dengan kualitas bagus. Selain itu terdapat barang-barang komoditas lain yang sangat laku di pasaran. Barang-barang komoditas tersebut adalah cabai jawa, asam, beras, sayur-mayur, daging (babi, kambing, domba, sapi), anggur, pinang, air mawar, dan emas. Komoditas yang masuk ke Sunda antara lain budak, kain/tekstil, dan akar-akaran.

Perdagangan secara insuler dilakukan dengan beberapa pelabuhan dagang di Pulau Jawa, sedangkan secara interinsuler dilakukan dengan beberapa daerah di Sumatera misalnya Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung, Palembang, Laue, dan Tanjungpura; di Sulawesi dengan Makasar; dan secara internasional dengan Malaka, Maladewa, Pagan, dan Cina. Distribusi barang dari pelabuhan ke beberapa lokasi di pedalaman melalui jaringan jalan darat.

Kerajaan Sunda yang sebagian besar masyarakatnya sebagai peladang sangat bergantung pada aktivitas kemaritiman untuk kelangsungannya. Dalam hal ini peran pelabuhan dagang sangat vital. Pelabuhan bukan sekedar tempat berlabuh tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu sebagai tempat berlabuh dengan aman, terlindungi dari ombak besar, serta terlindung dari angin dan arus yang kuat.

Tempat ideal untuk pelabuhan adalah muara sungai besar. Pada jaringan lalu lintas, fungsi pelabuhan juga sebagai penghubung antara jalan maritim dan jalan darat atau penghubung antara pelabuhan dengan kawasan pedalaman. Melalui sungai penduduk pedalaman dapat mengangkut hasil bumi ke pantai (Poesponegoro & Notosusanto, 2009 a:141). Pelabuhan sebagai kota pantai harus memiliki fungsi kelautan. Laut tidak hanya dilihat sebagai faktor distorsi mobilitas tetapi juga sebagai lintas enerji barang, manusia, dan informasi dari pelabuhan satu ke kota lainnya (Nurhadi, 1995:87).

Pada masa akhir Kerajaan Sunda, peran pelabuhan-pelabuhan dagang tersebut mengalami kemunduran. Dalam perkembangannya ada yang terus berlangsung tetapi ada pula yang surut dan berubah fungsi hanya sebagai pelabuhan nelayan saja. Keadaan pada 1775–1778 di Jawa Barat hanya ada tiga pelabuhan yaitu Bantan, Batavia, dan Cheribon (Stockdale, 1995:193). Penyebab menurunnya fungsi pelabuhan terjadi karena beberapa faktor. Hal yang umum terjadi karena adanya perebutan kekuasaan.

Salah satu contoh misalnya yang terjadi pada pelabuhan Cheguide.

Perebutan kekuasaan selain terjadi di Cheguide juga di Sunda Kelapa. Pada tahun 1527 masehi Sunda Kelapa direbut oleh pasukan Banten, cucu Prabu Siliwangi sendiri. Yang notabene dijadikan batu loncatan karena sudah terpengaruh oleh gerakan ekspansi Demak dalam persaingan dagang dan ekonomi yang terkalahkan oleh politik non blok Prabu Siliwangi.

Ekspansi Demak ke Banten dan Sunda Kalapa dipimpin oleh Fatahillah, menantu dari Sultan Cirebon sekaligus menantu Sultan Demak. Fatahillah adalah tokoh dari Samudra Pasai yang melarikan diri dan berlindung di Cirebon, setelah Malaka dan Kerajaan-kerajaan ujung Sumatra dikuasasi Portugis.

Kondisi seperti ini menyebabkan terputusnya hubungan antara kawasan pesisir dengan pusat Kerajaan Sunda di pedalaman. Jalan niaga Kerajaan Sunda satu persatu jatuh ke tangan pasukan Banten, sehingga raja hanya dapat bertahan di pedalaman (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:395).

Selain karena perebutan kekuasaan, tidak berfungsinya pelabuhan juga disebabkan faktor alam. Sebagai contoh adalah pelabuhan Chemanuk (Indramayu).

Lihat juga

Catatan

  1. ^ a b Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (2008). Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno. Balai Pustaka. ISBN 978-9794074084. OCLC 318053182. Diakses tanggal 17 June 2018. 
  2. ^ a b Moh. Amir Sutaarga. "Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharadja Ratu Hadji di Pakwan Padjadjaran, 1474-1513". Smithsonian Institution (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-06-21. 
  3. ^ "Sri Baduga Sangat Melegenda Dalam Kerajaan Sunda". Pikiran Rakyat. 1 November 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 June 2018. Diakses tanggal 19 June 2018. 
  4. ^ Kompasiana.com. "Napak Tilas Menelusuri Jejak Prabu Siliwangi oleh Diella Dachlan - Kompasiana.com". www.kompasiana.com. Diakses tanggal 2018-06-19. 
  5. ^ Teguh, Irfan. "Maung dan Prabu Siliwangi: Mitos atau Fakta? - Tirto.ID". tirto.id. Diakses tanggal 2018-06-19. 
  6. ^ Graaf, Hermanus Johannes de (1949-01-01). Geschiedenis van Indonesië (dalam bahasa Belanda). W. van Hoeve. 
  7. ^ Volkslectuur, Dutch East Indies Kantoor voor de (1926-01-01). Nederlandsch Indie: platen atlas met korten beschrijvenden tekst (dalam bahasa Belanda). Volkslectuur. 
  8. ^ a b "Saat Ditemukan, Singgasana Pajajaran Konon Dijaga Kawanan Harimau". Sportourism.id. Diakses tanggal 2018-06-19. 

Referensi

  • Atja (1968), Tjarita Parahijangan: Titilar Karuhun Urang Sunda Abad Ka-16 Masehi. Bandung: Jajasan Kebudajaan Nusalarang.
  • Berg, C.C., (1938), "Javaansche Geschiedschrijving" dalam F.W. Stapel (ed.,) Geschiedenis van Nederlandsch Indie. Jilid II:7-48. Amsterdam. Diterjemahkan oleh S.Gunawan (1974), Penulisan Sejarah Jawa, Jakarta: Bhratara.
  • Brandes, J.L.A., (1911) "Babad Tjerbon" Uitvoerige inhouds-opgave en Noten door Wijlen Dr.J.L.A.Brandes met inleiding en tekst, uitgegeven door Dr.DA.Rinkes. VBG. LIX. Tweede Druk. Albrecht & Co. -'sGravenhage.
  • Djoko Soekiman (1982), Keris Sejarah dan Funsinya. Depdikbud-BP3K Yogyakarta. Proyek Javanologi.
  • Girardet, Nikolaus et al. (1983),Descriptive Catalogue of the Javanese Manuscripts. Wiesbaden: Franz Steiner Verlag.
  • Graaf, H.J. (1953), Over het Onstaant de Javaanse Rijkskroniek. Leiden.
  • Olthof, W.L. ed., (1941), Poenika Serat Babad Tanah Djawi Wiwit Saking Adam Doemoegi ing Taoen 1647. 'Gravenhage.
  • Padmasusastra, Ki (1902), Sajarah Karaton Surakarta-Ngayogyak arta. Semarang-Surabaya: Van Dorp.
  • Pigeaud, Th. G.Th., (1967–1980), Literature of Java, 4 Jilid. The Hague: Martinus Nijhoff.
  • Pradjasujitna, R.Ng., (1956), Tjatatan Ringkas Karaton Surakarta. Cetakan Ketiga. Sala: Tigalima.
  • Ricklefts, M.C dan p. Voorhoeve (1977), Indonesian Manuscripts in Great Britain, Oxford university Press.
  • Sartono Kartodirdjo et al., (1975), Sejarah Nasional Indonesia II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. PN Balai Pustaka.
  • Sumodiningrat Mr.B.P.H., (1983), Pamor Keris. depdiknud BP3K. Yogyakarta: Proyek Javanologi.