Negara Sumatera Selatan

bekas negara bagian di Indonesia

Negara Sumatra Selatan adalah sebuah wilayah bentukan Belanda pada tanggal 30 Agustus 1948.[1][2] yang daerahnya meliputi Sumatera Selatan sekarang, Bengkulu, Lampung, dan Kepulauan Bangka Belitung.

Sumatra Selatan
Negara bagian RIS
1948–1950
Flag of NSS
Panji daerah

Sejarah
 • JenisNegara bagian
Sejarah 
• Didirikan
30 Agustus 1948
• Bergabung dengan Republik Indonesia
24 Maret 1950
Didahului oleh
Digantikan oleh
Republik Indonesia
Sumatra Selatan
Abdul Malik, Wali Negara Sumatra Selatan

Pada masa itu, setelah Belanda kembali ke Indonesia berkembang dua pemikiran bentuk kenegaraan yaitu bentuk negara kesatuan dan bentuk negara federasi. Republik Indonesia menginginkan bentuk negara kesatuan sedangkan Belanda menghendaki bentuk negara federasi. Perselisihan antara kedua negara itu mulai menemukan persamaan persepsi sejak persetujuan Linggarjati di paraf pada tanggal 15 November 1946. Sejak saat itu penyelesaian konflik antara Indonesia-Belanda selalu mengacu pada kerangka pembentukan negara serikat. Semenjak Belanda menginjakan kakinya untuk kedua kali di Indonesia, Belanda beranggapan bahwa bentuk bentuk negara yang paling cocok bagi Indonesia adalah adalah negara federal. Hal ini disebabkan karena perbedaan-perbedaan yang amat besar antara daerah satu dan lainnya di kepulauan Indonesia. Pandangan pemerintah Belanda ini bisa saja benar adanya karena negara federal memang cocok dengan masyarakat yang amat beragam dan bersifat majemuk dalam banyak hal seperti sosial, kultural, geografis, dan kekayaan sumber daya alam.

Sistem federal memberikan kesempatan kepada daerah-daerah yang berbeda-beda itu untuk mengatur diri sendiri tanpa harus tunduk kepada pemerintah pusat yang cenderung mengatur secara nasional dengan mengabaikan ciri-ciri khas yang ada di berbagai daerah. Akan tetapi, sejarah telah menunjukan bahwa negara federal telah digunakan oleh penguasa pemerintah kolonial Belanda untuk memecahbelah rakyat Indonesia. Karena Belanda tidak mampu membubarkan Republik Indonesia dan mengalahkan kekuatan militernya maka Belanda membentuk sejumlah negara bagian yang akan bergabung menjadi negara federal untuk mengalahkan Indonesia (Rauf, 1998: 2).

Pada tanggal 25 November 1945 dan kemudian dipakai sebagai dasar di dalam pembicaraan selama Konferensi Malino pada bulan Juli 1946. Dalam konferensi ini wakil – wakil Kalimantan dan Indonesia Timur berkesimpulan bahwa dalam tertib ketatanegaraan Indonesia, federalis harus menjadi dasar suatu kesatuan tata negara yang meliputi seluruh Indonesia jadi bentuknya Negara Indonesia Serikat. Keterkaitan negara federal dengan keinginan Belanda untuk mempertahankan kekuasaanya di Indonesia diperkuat oleh kenyataan bahwa batas negara-negara bagian yang dibentuk Belanda di Sumatra dan Jawa adalah garis gencatan senjata yang dibuat oleh Belanda dan Republik Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa negara bagian tersebut adalah rekayasa Belanda. Politik Belanda dalam menciptakan negara federal di Sumatra Selatan didukung keadaan politik di Palembang ketika elite poitik dalam keadaan lemah, hal ini mempermudah Belanda memasukan politik dengan mempengaruhi orang-orang dapat diajak kerjasama.

Dalam peraturan tata Negara Sumatra Selatan, wilayah yang termasuk dalam NSS adalah wilayah dalam keputusan pemerintah tanggal 30 Agustus 1948 nomor 4 (staadsblad nomor 204) yaitu wilayah Sumatra Selatan. Ibu kota negara adalah Palembang, bahasa resmi adalah bahasa Indonesia. Menurut Kahin, meskipun Sumatra Selatan mempunyai status negara bagian selama delapan bulan keadaan wilayahnya hanya meliputi Karesidenan Palembang, kira-kira seperempat wilayah Sumatra Selatan (Kahin, 1995: 485). Sementara itu Abdul Malik selaku Wali Negara mengatakan ada beberapa daerah yang akan dimasukan secara sukarela ke dalam wilayah NSS, wilayah itu adalah daerah-daerah di Palembang, Bengkulu dan Jambi. Walaupun wilayah ini tidak sepenuhnya meliputi daerah-daerah di Sumatra Selatan tetapi hal ini cukup mewakili daerah Sumatra Selatan. Penduduk daerah-daerah ini secara budaya terikat dengan Sumatra Selatan dan melalui ungkapan secara bebas dan demokratis menyatakan harapan untuk bergabung dengan NSS. Dengan demikian semua orang yang berada di wilayah negara memiliki hak dan perlindungan yang sama.

Meskipun NSS berdiri dan mendapat sambutan terutama dari kalangan federalis, namun sesungguhnya dukungan rakyat terhadap negara federal ini sangat lemah. Hal ini tampak jelas hampir semua negara federal di Indonesia tidak berkembang, setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) terbentuk tanggal 27 Desember 1949. Bentuk negara federal hasil persetujuan konferensi Meja Bundar itu pada dasarnya bukan bentuk yang berakar kepada kehendak penduduk. Negara Sumatra Selatan berakhir tanggal 18 Maret 1950, umur negara ini hanya 17 bulan. Pada masa NSS berdiri keadaan daerah Palembang masih diliputi dengan suasana yang tidak aman, proses politik dijalankan secara paksa. Kondisi sosial dan ekonomi daerah Sumatra Selatan pada pertengahan tahun 1948 tidak terlalu mengembirakan hal ini disebabkan oleh suasana perang. Rakyat mengalami kesulitan dalam menghadapi harga yang dirasakan cukup tinggi. Keadaan ini dapat mempengaruhi jalannya perekonomian di NSS yang mengandalkan hasil perkebunan karet, minyak dan batubara. Meskipun Abdul Malik mengaku harga karet cukup tinggi dan perdagangan mencapai kemajuan, ekspor karet perbulan mencapai 1,5 ton, ekspor minyak mencapai 400.000 ton perbulan dan ekspor batubara mencapai 30.000 ton (Pelita, 1 Maret 1949 halaman 1). Namun demikian pendapatan itu belum dapat memenuhi anggaran belanja NSS berjumlah f 70.000.000 pertahun, sedangkan pemasukan uang hanya f 15.000.000 pertahun.

Peran Palembang Sebagai Ibu Kota Negara Sumatra Selatan

Pada bulan-bulan terkahir tahun 1945, keamanan di Palembang menjadi sulit karena terjadi banyak peristiwa. Di wilayah lain umunya pemerintahan daerah dapat bekerja terus dengan beberapa perubahan seperti penggantian tenaga Jepang oleh tenaga Indonesia. Letak geografis Palembang, sejak masa sebelum revolusi amat menarik. Letaknya yang relatif dekat dengan Batavia, menyebabkan Palembang lebih terintegarsi ke dalam lingkaran pengaruh pusat atau Batavia. Kehidupan perdagangan di kota ini didukung dengan tersediahnya hasil alam sperti karet, kopi dan barang komoditas lainnya. Peranan kota Palembang lebih penting lagi dengan adanya pelabuhan samudra Boom Baru yang dapat menampung kapal-kapal yang masuk dan keluar.

Di samping itu terdapat juga stasiun kereta api Kertapati yang menjadi penghubung menuju Tanjung Karang, lewat stasiun ini barang-barang dapat dianngkut menuju pulau Jawa. Pada awal masa revolusi sudah terbuka jalan lewat darat dari arah selatan yaitu daerah Tanjung Karang dan Bengkulu. Selain itu dari daerah utara merupakan pintu masuk dari daerah Jambi dan daerah utara pulau Sumatra. Dengan lancarnya perhubungan ini, Palembang manjadi berkembang dalam bidang perdagangan. Posisi ini dapat menjadi kelebihan ataupun kerugian jika dilihat dari pendudukan bangsa asing di daerah ini. Karena itu dua bulan setelah proklamasi, tanggal 12 Oktober 1945 tentara Inggris telah mendarat di Palembang, di bawah pimpinan Letkol Carmichel. Kedatangan tentara ini dilengkapi pula dengan badan- badan pemerintahan seperti AMACAB (Allied Military Administration Civil Affair Branch) yaitu pemerintahan gabungan militer dan sipil sekutu bangsa Belanda dan Inggris. Bangsa Indonesia telah menduga kedatangan sekutu ini diboncengi tentara Belanda yang dilengkap dengan pemerintahan sipil yaitu NICA (Nederlandsn Indies Civil Administration) badan inilah yang dipersiapkan Belanda untuk menjajah Indonesia kembali. Masalah inilah nantinya menjadi pangkal perselisihan antara Indonesia dengan Belanda. Pasukan sekutu terus berkembang dengan cepat karena kedatangan mereka ke Palembang secara bergelombang. Rombongan yang kedua mendarat pada tanggal 13 Maret 1946 dipimpin oleh Brigadir Jenderal Hutchinson.

Catatan kaki

  1. ^ Ensiklopedi Umum, Penerbit Kanisius, Edisi Kedua dengan EYD, 1977, hal.412, ISBN 978-979-413-522-8
  2. ^ Indonesian States 1946-1950

Pranala luar