Selama menjalani karier politiknya, Fadli Zon juga mengarang puisi. Ini didukung oleh riwayat pendidikannya yang lulus dari Jurusan Sastra Kanada Fakultas Ilmu Pengetahuan BudayaUniversitas Indonesia.[1] Sampai saat ini, Fadli Zonk telah membuat 31 puisi, dengan rincian 8 puisi dibuat selama kampanye pemilihan umum presiden Indonesia 2014, 4 puisi dibuat pada 2016, 7 puisi dibuat pada 2017, 8 puisi dibuat pada 2018, dan 4 puisi dibuat pada 2019; Fadli tidak menulis satu puisi pun pada 2015. Fadli juga membuat 2 perlombaan membaca puisi di YouTube, yang pertama lomba membaca puisi "Tukang Gusur" pada 2016[2] dan yang terakhir lomba membaca puisi "Sajak Sang Penista" pada 2017.[3] Fadli Zon juga menerbitkan Memeluk Waktu yang berisi delapan puisi pilihan yang diterjemahkan ke dalam delapan bahasa, yaitu bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Inggris, Mandarin, Arab, Rusia, dan Prancis.[4]
Tidak jelas kepada siapakah hampir semua puisi dituju, tetapi, jika dilihat dari preferensi politik Fadli, puisi-puisi tersebut ditujukan kepada Joko Widodo dan pihak-pihak yang mendukungnya. Tjahjo Kumolo, dalam menanggapi puisi "Kaos dan Sepeda", menyebut bahwa pemimpin yang dimaksud adalah Joko dan Muhammad Jusuf Kalla.[5] Ini diperjelas dengan puisi "Menonton Kedunguan", yang mana Fadli membuat puisi tersebut kepada pihak yang berada di kubu yang berseberangan dengan Fadli.[6] Namun, terdapat sebuah puisi berjudul "Paman Donald Yang Mulia" yang jelas ditujukan kepada Donald Trump.[7]
Tanggapan mengenai puisi Fadli Zon beragam. Joko menyebut puisi yang ditujukan kepada dirinya merupakan hiburan rakyat.[8]Fadjroel Rachman dan Arbi Sanit menyebut bahwa puisi yang dibuat Fadli tergolong menyerang dan tidak disertai dengan bukti yang kuat.[9] Usman Kansong menyebut puisi karangan Fadli merogol khitah puisi yang semestinya penuh keindahan menjadi penuh kebencian karena syahwat politik Fadli lebih besar daripada cipta, rasa, dan karsa.[10]
Puisi ini menceritakan tentang seseorang yang membeli ikan kemepeng dari tetangganya yang lincah dan menarik perhatian banyak orang. Fadli tidak menyebutkan kepada siapakah puisi ini disampaikan; Fadli hanya tertawa.
Puisi ini dibacakan pada saat pengumuman pencalonan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno di rumah Prabowo Soebianto. Dalam puisi ini, Fadli tidak menyebut siapakah tukang gusur yang disebut. Berkenaan dengan puisi ini, Fadli menggelar lomba membaca puisi di YouTube.
Puisi ini menanggapi penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di Kepulauan Seribu pada 6 Oktober 2016. Berkenaan dengan puisi ini, Fadli menggelar lomba membaca puisi di YouTube. Lomba ini merupakan loma kedua yang digelar Fadli setelah lomba membaca puisi "Tukang Gusur" pada 2016. Puisi ini kemudian digubah menjadi lagu oleh Ahmad Dhani.
Puisi ini dibuat saat kunjungan kerja di Yerevan, Armenia. Puisi ini menyindir pemimpin yang kerap membagi-bagikan kaos dan sepeda, namun hal tersebut tak membuat hidup masyarakat semakin sejahtera. Dalam puisi ini, Fadli tidak menyebut siapakah pemimpin yang disebut, namun Tjahjo Kumolo menyebut bahwa pemimpin yang dimaksud adalah Joko dan Jusuf. Terdapat larik yang menyebut Raisa; pada hari yang sama Raisa menikahi Hamish Daud.
Puisi ini ditujukan kepada pihak yang berada di kubu yang berseberangan dengan Fadli. Dalam puisinya ini, Fadli menyindir maraknya berita bohong yang mengandung fitnah keji. Fadli juga melontarkan kritikan kepada pihak yang percaya diri meski keliru.
Puisi ini menanggapi keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengakuiYerusalem sebagai ibu kota Israel. Sebelum menulis puisi ini, Fadli ikut serta dalam Aksi Bela Palestina di Monumen Nasional.
Puisi ini menanggapi penyerangan ulama yang dilakukan oleh "orang gila". Menurut Fadli, hanya pada saat pemerintahan Joko, banyak "orang gila" menyerang ustaz dan ulama. Fadli menambahkan, "masyarakat" marah melihat fenomena ini.
Puisi ini menanggapi pernyataan Joko yang menyebut masyarakat harus bisa membedakan mana politikus yang baik dan politikus yang "sontoloyo". Puisi ini digubah ke dalam lagu oleh Alang dan dinyanyikan oleh Fadli, Alang dan Ahmad Dhani.
Puisi ini menanggapi pernyataan Joko yang menyebut masyarakat jangan sampai terpengaruh oleh politikus yang suka menakut-nakuti yang Joko sebut sebagai genderuwo.
Puisi ini menanggapi kesalahan pengucapan lirik pada lagu "Deen Assalam" karya Nissa Sabyan oleh Joko. Pengejaan sebenarnya adalah "zainuddin yahtiram".