Masalah budi–tubuh

Masalah dalam filsafat mengenai hubungan antara tubuh yang fisik dan budi yang abstrak
Revisi sejak 10 November 2023 10.53 oleh 111.94.35.41 (bicara)

Masalah budi-tubuh adalah masalah dalam filsafat yang terkait dengan hubungan antara budi dan materi, dan terutama hubungan antara kesadaran dengan otak.

Ilustrasi dualisme budi-tubuh oleh René Descartes.

Masalah ini diungkapkan oleh René Descartes pada abad ke-17, tetapi sudah pernah dibahas oleh filsuf-filsuf pra-Aristoteles,[1][2] Ibnu Sina,[3] dan tradisi Asia awal. Berbagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah ini telah diajukan. Pendekatan dualisme meyakini bahwa terdapat perbedaan antara budi dengan materi, sementara menurut monisme hanya terdapat satu substansi. Masing-masing pendekatan memiliki berbagai macam varian. Dua varian utama dualisme adalah dualisme substansi, yang menyatakan bahwa budi terbentuk oleh substansi yang berbeda dan tidak diatur oleh hukum fisika, dan dualisme properti, yang meyakini bahwa hukum fisika berlaku secara universal namun tak dapat digunakan untuk menjelaskan budi. Tiga varian utama monisme adalah fisikalisme, yang menyatakan bahwa budi dapat dijelaskan oleh materi; idealisme, yang meyakini bahwa hanya budi yang memang ada dan materi itu hanya ilusi; dan monisme netral, yang meyakini bahwa budi dan materi merupakan aspek dari suatu substansi yang berbeda.

Terdapat beberapa pendekatan filosofis yang menolak pemisahan antara budi dan tubuh, seperti materialisme sejarah Karl Marx yang menyatakan bahwa kesadaran dihasilkan oleh kontingensi materi suatu lingkungan,[4] dan strukturalisme Prancis.[5] Ketiadaan bukti empiris untuk keberadaan budi juga dipermasalahkan, sehingga banyak filsuf modern yang menyatakan bahwa budi sebenarnya tidak terpisah dari tubuh.[6] Pendekatan tersebut banyak digunakan dalam sains, terutama dalam bidang sosiobiologi, ilmu komputer, psikologi evolusioner, dan neurosains.[7][8][9][10]

Secara umum, keberadaan hubungan akal budi-tubuh ini tampaknya tidak bermasalah. Namun, masalah muncul ketika kita mempertimbangkan apa yang harus kita lakukan terhadap hubungan ini dari sudut pandang metafisik atau ilmiah. Refleksi semacam itu dengan cepat memunculkan sejumlah pertanyaan seperti:

  • Apakah pikiran dan tubuh adalah dua entitas yang berbeda, atau satu kesatuan?
  • Jika pikiran dan tubuh adalah dua entitas yang berbeda, apakah keduanya berinteraksi secara kausal?
  • Apa sifat dari interaksi ini?
  • Dapatkah interaksi ini menjadi objek studi empiris?
  • Jika pikiran dan tubuh adalah satu kesatuan, apakah peristiwa mental dapat dijelaskan dalam peristiwa fisik, atau sebaliknya?
  • Apakah hubungan antara peristiwa mental dan fisik merupakan sesuatu yang muncul secara de novo pada titik tertentu dalam perkembangan?

Dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan ini dan pertanyaan-pertanyaan lain yang membahas hubungan antara pikiran dan tubuh adalah pertanyaan-pertanyaan yang semuanya berada di bawah panji-panji "masalah akal budi-tubuh".

Konflik-konflik yang dapat memicu celetukan "Tubuh saya punya akalbudinya sendiri!" Rupanya, kadang-kadang, menggoda sekali untuk menggabungkan saja beberapa informasi yang terkandung itu menjadi satu akalbudi yang terpisah. Mengapa? karena tubuh terorganisasi sedemikian rupa sehingga terkadang dia menciptakan pemisah-misahan yang cukup mandiri, menimbang preferensi, membuat keputusan, menerapkan kebihakan yang bersaing dengan akalbudi Anda. Tubuh kita dapat membongkar keras rahasia yang susah payah kita simpan, misalnya dengan bersemu merah atau gemetar atau berkeringat. Tubuh dapat "memutuskan" bahwa terlepas dari rencana yang ada di akalbudi kita , sekarang adalah saat yang tepat untuk hubungan seks, bukan diskusi intelektual, lalu mengambil langkah-langkah memalukan dalam rangka persiapan kudeta. Dalam kesempatan lain, yang membuat kita semakin menderita dan frustasi, tubuh dapat menolak segala upaya kita sendiri untuk mengajaknya terlibat dalam kegiatan seksual, memaksa kita meninggikan volume, menekan-nekan tombol, mencoba segala cara bujuk rayu gila-gilaan untuk membujuk tubuh.

Namun, jika sudah punya akalbudinya sendiri, mengapa tubuh kita terus mengakuisisi akalbudi tambahan-akalbudi kita? Tidakkah satu akalbudi pertubuh sudah cukup? Tidak selalu. Seperti yang telah kita lihat, akalbudi berbasis tubuh lama telah melakukan pekerjaan solid dalam menjaga nyawa dan organ kita selama miliaran tahun, tapi dia relatif lambat dan kasar dalam memilah. Untuk keterlibatan yang lebih canggih dengan dunia, diperlukan akalbudi yang dapat menghasilkan masa depan lebih banyak dan lebih baik.[11]

Catatan kaki

  1. ^ Robert M. Young (1996). "The mind–body problem". Dalam RC Olby, GN Cantor, JR Christie, MJS Hodges, eds. Companion to the History of Modern Science (edisi ke-Paperback reprint of Routledge 1990). Taylor and Francis. hlm. 702–11. ISBN 0415145783. 
  2. ^ Robinson, Howard (Nov 3, 2011). Edward N. Zalta, ed, ed. "Dualism". The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2011 Edition). 
  3. ^ Henrik Lagerlund (2010). "Introduction". Dalam Henrik Lagerlund, ed. Forming the Mind: Essays on the Internal Senses and the Mind/Body Problem from Avicenna to the Medical Enlightenment (edisi ke-Paperback reprint of 2007). Springer Science+Business Media. hlm. 3. ISBN 9048175305. 
  4. ^ K. Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, Progress Publishers, Moscow, 1977, with some notes by R. Rojas.
  5. ^ Bryan S. Turner (2008). The Body and Society: Explorations in Social Theory (edisi ke-3rd). Sage Publications. hlm. 78. ISBN 1412929873. ...a rejection of any dualism between mind and body, and a consequent insistence on the argument that the body is never simply a physical object but always an embodiment of consciousness. 
  6. ^ Kim, Jaegwan (1995). "Emergent properties". Dalam Honderich, Ted. Problems in the Philosophy of Mind. Oxford Companion to Philosophy. Oxford: Oxford University Press. hlm. 240. 
  7. ^ Pinel, J. (2009). Psychobiology (edisi ke-7th). Pearson/Allyn and Bacon. ISBN 020554892X. 
  8. ^ LeDoux, J. (2002). The Synaptic Self: How Our Brains Become Who We Are. Viking Penguin. ISBN 88-7078-795-8. 
  9. ^ Russell, S. and Norvig, P. (2010). Artificial Intelligence: A Modern Approach (edisi ke-3rd). Prentice Hall. ISBN 0136042597. 
  10. ^ Dawkins, R. (2006). The Selfish Gene (edisi ke-3rd). Oxford University Press. ISBN 0199291144. 
  11. ^ Dennet, Daniel C (2021). Ragam Akalbudi. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). hlm. 99–100. ISBN 978-602-481-398-7. 

Bibliografi

Pranala luar