Sekularisme

filsafat yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang didasarkan pada akal dan sains, bukan pada agama dan takhayul
Revisi sejak 22 November 2023 09.17 oleh Mauliddin mutz (bicara | kontrib) (Dalam literatur, secularism, sebagai sebuah konsep, tidaklah bertujuan untuk memisahkan agama dari kehidupan.)

Sekularisme adalah sebuah prinsip yang bertujuan untuk menjalankan urusan-urusan manusia berdasarkan pertimbangan sekuler dan naturalistik. Sekularisme sering didefinisikan sebagai pemisahan agama dari urusan sipil dan negara. Hal ini dianggap sesuai dengan pluralisme agama yang melihat sekularisme sebagai netralitas (negara atau lembaga non-sektarian) pada isu-isu agama dibandingkan dengan penolakan terhadap agama di ruang publik secara keseluruhan, sementara pandangan lain dapat memperluasnya ke posisi tentang perlunya menghapus atau meminimalkan peran agama di ruang publik.[1] Istilah sekularisme memiliki arti yang luas yang dapat merangkum setiap pendirian yang mempromosikan posisi sekuler dalam konteks tertentu.[2][3] Hal ini dapat mempunyai konotasi antiklerikalisme, ateisme, antiteisme, naturalisme, non-sektarianisme, sekularitas, netralitas pada topik agama, atau penghapusan simbol agama dari lembaga-lembaga publik.[4]

Sebagai sebuah pandangan filsafat, sekularisme berusaha menafsirkan kehidupan berdasarkan prinsip-prinsip yang semata-mata berasal dari dunia material, tanpa merujuk kepada agama. Ini menggeser fokus dari agama menuju masalah "temporal" dan material.[5]

Terdapat tradisi sekularisme yang beragam di Barat, seperti model Prancis, Turki dan Anglo-Amerika, dan di luar Barat, seperti di India,[6] yang penekanannya lebih kepada kesetaraan di hadapan hukum dan netralitas negara dalam masalah agama dan kepercayaan, dibandingkan dengan pemisahan antara agama dan negara secara total. Tujuan dan argumen yang mendukung sekularisme sangat beragam, mulai dari pernyataan bahwa sekularisme adalah elemen penting dari modernisasi, hingga klaim bahwa sekularisme adalah satu-satunya prinsip yang dapat menjamin kebebasan beragama.

Istilah

 
Penulis Inggris George Holyoake (1817–1906) menggunakan istilah "sekularisme" pada tahun 1851[7]

Orang yang pertama menggunakan istilah "sekularisme" dalam pengertian modern adalah penulis agnostik Inggris George Holyoake pada tahun 1851. Dia menganggap "Ateisme" terlalu mengganggu. Dia kemudian mencari istilah yang menggambarkan sikap yang menganjurkan untuk menjalani hidup berdasarkan pertimbangan naturalistik (sekuler), tetapi tanpa harus menolak agama, sehingga memungkinkan kerjasama dengan orang-orang yang beragama.[8] Definisi Holyoake tentang sekularisme berbeda dari penggunaan istilah ini oleh penulis-penulis selanjutnya. Seperti yang tercatat dalam situs web the Humanist Heritage, Holyoake memberikan definisi sekularisme "yang sangat mirip dengan definisi modern humanisme ... lebih luas dari sekedar ateisme."[9] Definisi sekularisme yang lebih modern sering merujuk pada pemisahan gereja dan negara dibandingkan sebagai sebuah kepercayaan pribadi.

Sekularisme dapat dikategorikan menjadi dua jenis, "keras" dan "lunak". Sekularisme "keras" menganggap proposisi agama secara epistemologis tidak mempunyai keabsahan dan berusaha untuk menyangkalnya. Di sisi lain, sekularisme "lunak" menekankan pada posisi netralitas, toleransi, dan liberalisme;[10] ini melihat "kebenaran mutlak adalah mustahil untuk dicapai, dan oleh karena itu, skeptisisme dan toleransi harus menjadi prinsip dan nilai-nilai utama dalam diskusi sains dan agama".[11]

Sekularisme dalam kehidupan bernegara

 
Negara-negara dengan agama negara .

Dalam istilah politik, sekularisme adalah gerakan pemisahan antara agama dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterikatan antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan diskriminasi yang tidak adil atas dasar agama. Hal ini dikatakan untuk menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas.[12]

Pemisahan gereja dan negara hanyalah salah satu strategi yang mungkin dilakukan oleh pemerintah sekuler. Dari yang demokratis hingga yang otoriter, pemerintah itu bermaksud untuk membatasi sisi agama dalam hubungan antara agama dan negara. Setiap negara dapat mempunayi kebijakan uniknya sendiri dalam mengaplikasikan sekularisme. Hal ini mungkin termasuk pemisahan, pemantauan dan regulasi agama terorganisir seperti di Prancis, Turki, dan sebagainya.[13]

Pengaruh besar pada gagasan kebebasan beragama negara datang dari tulisan-tulisan John Locke, yang dalam A Letter Concerning Toleration, berargumen mendukung toleransi beragama. Dia berargumen bahwa pemerintah harus memperlakukan semua warga negara dan semua agama secara setara, dan bahwa negara dapat membatasi tindakan, tetapi bukan maksud religius di balik tindakan tersebut.[14]

Raja Ranjeet Singh dari Kerajaan Sikh pada paruh pertama abad ke-19 berhasil mendirikan pemerintahan sekuler di Punjab. Di bawah pemerintahannya, dia membentuk aturan sekuler yang menghormati semua anggota dari semua ras dan agama dan memungkinkan mereka untuk berpartisipasi tanpa diskriminasi di Durbar. Ranjeet Singh memiliki perwakilan dari kelompok Sikh, Muslim dan Hindu yang memimpin Durbar.[15] Ranjit Singh juga banyak mendanai pendidikan, agama, dan seni dari berbagai agama dan bahasa yang berbeda.[16]

Sekularisme, sering kali dikaitkan dengan Era Pencerahan di Eropa, dan mempunyai pengaruh yang besar dalam peradaban Barat. Prinsip utama Pemisahan gereja dan negara di Amerika Serikat, dan Laisisme di Prancis, didasarkan dari sekularisme. Negara-negara sekuler juga ada di dunia Islam selama Abad Pertengahan (lihat Islam dan sekularisme).[17]

Sesuai dengan pandangan pada pemisahan gereja dan negara, kelompok sekularis mendukung gagasan bahwa politisi membuat keputusan berdasarkan alasan sekuler, bukan berdasarkan alasan-alasan keagamaan.[18]

Beberapa fundamentalis dan cendekiawan Kristen (terutama di Amerika Serikat) menentang sekularisme dan sering mengklaim bahwa ada ideologi "sekularis radikal" yang diadopsi di zaman kita saat ini dan mereka melihat sekularisme sebagai ancaman terhadap "hak-hak orang Kristen"[19] dan keamanan nasional.[20]

Telah dikemukakan pula bahwa di AS, konsep sekularisme sering disalahartikan. Jacques Berlinerblau menulis bahwa "Sekularisme merupakan isme yang paling disalahpahami dan dihancurkan dalam leksikon politik Amerika", dan bahwa kelompok konservatif dengan sengaja menyamakannya dengan ateisme, komunisme, dan ideologi lain sejak tahun 1970-an.[21]

Kekuatan fundamentalisme agama yang paling signifikan di dunia kontemporer adalah fundamentalisme Kristen dan fundamentalisme Islam. Pada saat yang sama, terdapat aliran sekularisme yang datang dari kelompok minoritas agama yang melihat sekularisme pemerintahan dan politik sebagai bagian integral dari jaminan persamaan hak.[22]

Negara-negara yang umumnya dikenal sebagai sekuler di antaranya adalah Kanada, India, Prancis, Turki, dan Korea Selatan, walaupun tidak ada dari negara ini yang bentuk pemerintahannya sama satu dengan yang lainnya.

Beberapa negara yang sering dianggap "sekuler konstitusional" adalah Amerika Serikat,[23] Prancis,[24] Turki, India,[25] Meksiko,[26] dan Korea Selatan, meskipun tidak satu pun dari negara-negara ini memiliki kesamaan bentuk pemerintahan yang berkaitan dengan agama. Misalnya, di India, sekularisme meliputi keterlibatan negara dan pembatasan agama, sedangkan di Prancis, sekularisme melarang keterlibatan negara dalam agama.[27][28]

Masyarakat Sekuler

Dalam studi tentang agama, negara-negara demokrasi modern umumnya adalah sekuler. Hal ini disebabkan adanya pengakuan atas kebebasan beragama (keyakinan agama umumnya tidak dikenakan sanksi hukum atau sosial), dan kurangnya otoritas pemimpin agama atas keputusan politik. Namun demikian, survei yang dilakukan oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa orang Amerika pada umumnya lebih nyaman dengan agama mempunyai peran utama dalam kehidupan publik, sementara di Eropa, pengaruh gereja terhadap kehidupan publik semakin menurun.[29]

Sosiologi modern, sejak Max Weber, sering disibukkan dengan masalah otoritas dalam masyarakat sekuler, dan dengan sekularisasi sebagai proses sosiologis atau historis.[30] Cendekiawan abad kedua puluh yang karyanya telah berkontribusi untuk memahami masalah ini, termasuk Carl L. Becker, Karl Löwith, Hans Blumenberg, MH Abrams, Peter L. Berger, Paul Bénichou dan DL Munby.

Holyake memahami sekularisme sebagai aturan kewajiban yang berkaitan dengan kehidupan ini, yang didasarkan pada pertimbangan yang murni manusiawi, dan ditujukan terutama bagi mereka yang menganggap teologi tidak dapat terdefinisikan atau tidak memadai, tidak dapat diandalkan atau tidak dapat dipercaya. Prinsip-prinsip esensialnya ada tiga: (1) Peningkatan kehidupan ini dengan cara-cara material. (2) Ilmu pengetahuan itu adalah panduan yang tersedia bagi manusia. (3) Bahwa berbuat baik itu adalah baik. Apakah ada kebaikan lain atau tidak, kebaikan kehidupan saat ini adalah baik, dan mencari kebaikan itu adalah hal yang baik.[31]

Debat etika kontemporer di Barat pada umumnya dilakukan secara "sekuler". Karya para filsuf moral terkenal seperti Derek Parfit dan Peter Singer, dan bahkan seluruh bidang bioetika kontemporer, telah dideskripsikan secara sekuler atau non-religius.[32][33][34][35]

Sekularisme dalam filsafat politik

Banyak organisasi non pemerintah (LSM) untuk sekularisme yang memilih untuk mendefinisikan sekularisme sebagai landasan bersama bagi semua kelompok pandangan hidup, baik yang beragama atau ateis, untuk berkembang dalam masyarakat yang menghormati kebebasan berbicara dan hati nurani. Contohnya adalah National Secular Society di Inggris. Ini adalah pemahaman umum tentang apa yang diperjuangkan sekularisme di antara banyak aktivisnya di seluruh dunia. Namun, banyak sarjana Kristen dan politisi konservatif tampaknya menafsirkan sekularisme sebagai antitesis agama dan dan sebagai upaya untuk mendorong agama keluar dari masyarakat dan menggantinya dengan ateisme atau kekosongan nilai, nihilisme. Aspek ini telah menciptakan kesulitan dalam wacana politik tentang masalah ini. Sebagian besar ahli teori politik dalam filsafat yang mengikuti karya penting John Rawl, A Theory of Justice pada tahun 1971 dan buku berikutnya, Political Liberalism pada tahun 1993,[36] lebih suka menggunakan konsep overlapping consensus daripada sekularisme. Dalam Political Liberalism, Rawls mendukung gagasan tentang konsensus yang tumpang tindih sebagai salah satu dari tiga gagasan utama liberalisme politik. Dia berpendapat bahwa argumen sekuler tidak dapat diterapkan;

[37]

Tetapi apakah argumen sekuler itu? Beberapa orang menganggapnya sebagai argumen apa pun yang reflektif dan kritis, yang dapat dipahami secara publik dan rasional, sebagai argumen sekuler; [. . . ], Namun demikian, fitur utama dari liberalisme politik adalah bahwa ia memandang semua argumen seperti itu dengan cara yang sama memandang argumen agama, dan oleh karena itu doktrin filosofis sekuler ini tidak memberikan alasan publik. Konsep dan penalaran sekuler semacam ini termasuk dalam filsafat pertama dan doktrin moral, dan berada di luar domain politik.[38]

Namun, teori Rawls mirip dengan visi Holyoake tentang demokrasi toleran yang memperlakukan semua orang dengan beragam pandangan hidup secara sama. Gagasan Rawls adalah bahwa adalah kepentingan setiap orang untuk mendukung "demokrasi konstitusional yang masuk akal" dengan "prinsip-prinsip toleransi". Karyanya sangat berpengaruh pada para sarjana dalam filsafat politik dan istilahnya, konsensus yang tumpang tindih, tampaknya telah banyak menggantikan sekularisme di antara mereka. Dalam buku teks filsafat politik modern, seperti karya Colin Farelly, An Introduction to Contemporary Political Theory,[39] dan Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy,[40] istilah sekularisme bahkan tidak diindeks. Namun, tidak ada kekurangan diskusi dan liputan topik tentang sekularisme. Dalam The Oxford Handbook of Political Theory,[41] terdapat satu bab yang disebut "Political secularism", oleh Rajeev Bhargava. Karya Ini membahas sekularisme dalam konteks global, dan dimulai dengan kalimat ini: "Sekularisme adalah doktrin yang berada dalam situasi yang sulit."

Referensi

  1. ^ Luke W. Galen. The Nonreligious: Understanding Secular People and Societies. Oxford University Press, 2016. hlm. 22-23
  2. ^ Stephen Bullivant; Lois Lee, ed. (2016). A Dictionary of Atheism. Oxford University Press. 
  3. ^ John R. Shook, The Oxford Handbook of Secularism. Oxford University Press, 2017. hlm. 10
  4. ^ John L. Esposito, ed. (2009). The Oxford Encyclopedia of the Islamic World. Oxford University Press. ISBN 9780195305135. 
  5. ^ Yaniv Roznai citing Domenic Marbaniang in "Negotiating the Eternal: The Paradox of Entrenching Secularism in Constitutions", Michigan State Law Review 253, 2017, hlm. 324
  6. ^ John L. Esposito, ed. (2009). The Oxford Encyclopedia of the Islamic World. Oxford University Press. ISBN 9780195305135. 
  7. ^ Holyoake, G. J. (1896). English Secularism: A Confession of Belief. Library of Alexandria. ISBN 978-1-4655-1332-8. 
  8. ^ Shook, Zuckerman, hlm. 3-4.
  9. ^ "George Jacob Holyoake (1817-1906)". Humanist Heritage. Humanists UK. Diakses tanggal 8 October 2021. 
  10. ^ Kosmin, Barry A. "Hard and soft secularists and hard and soft secularism: An intellectual and research challenge." (PDF), diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal March 27, 2009, diakses tanggal 2011-03-24 
  11. ^ Barry Kosmin of the Institute for the Study of Secularism in Society and Culture, cited in Subhan, Jelis (March 16, 2016). "CONCEPT OF SECULARISM". SSRN. hlm. 1–2. 
  12. ^ Feldman, Noah (2005). hlm. 14. "[Legal secularists] claim that separating religion from the public, governmental sphere is necessary to ensure the full inclusion of all citizens."
  13. ^ Jacques Berlinerblau, "How to be Secular", Houghton Mifflin Harcourt, hlm. xvi.
  14. ^ Elissa B. Alzate, Religious Liberty in a Lockean Society, Palgrave Studies in Religion, Politics, and Policy, 2017, hlm. 32
  15. ^ K.S. Duggal, Ranjit Singh: A Secular Sikh Sovereign, Abhinav Publications (1989) ISBN 81-7017-244-6
  16. ^ Sheikh, Majid (2010-10-31). "Destruction of schools as Leitner saw them". Dawn. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-05-25. Diakses tanggal 4 June 2013. 
  17. ^ Ira M. Lapidus (October 1975). "The Separation of State and Religion in the Development of Early Islamic Society", International Journal of Middle East Studies 6 (4), hlm. 363–85.
  18. ^ Feldman Noah (2005). hlm. 6–8.
  19. ^ Lewis, Bob (2007-05-19). "'Jerry's Kids' Urged to Challenge 'Radical Secularism'". The Christian Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-05-21. Diakses tanggal 2018-08-03. 
  20. ^ Rev Jerry Falwell (2001-09-15). "Jerry Falwell – Quotations – Seventh quotation". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-11. 
  21. ^ Jacques Berlinerblau (2012-07-28). "Secularism Is Not Atheism". The Huffington Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-10-18. Diakses tanggal 2013-05-27. 
  22. ^ Feldman, Noah (2005). hlm. 13.
  23. ^ Mount, Steve. ""The Constitution of the United States", Amendment 1 – Freedom of Religion, Press". Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 August 2010. Diakses tanggal 22 April 2011. 
  24. ^ "Secularism and Religious Freedom in France". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-30. Diakses tanggal 2020-10-26. 
  25. ^ "Preamble of the Constitution of India". Indiacode.nic.in. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-16. Diakses tanggal 2011-03-24. 
  26. ^ See article 3 of the 1917 Mexican constitution, and CArticle 24. See also Schmitt (1962) and Blancarte (2006).
  27. ^ Das Acevedo, Veena (27 December 2018). "Secularism in the Indian Context". Law & Social Inquiry. 38: 139. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 November 2020. Diakses tanggal 15 May 2020. 
  28. ^ "LAÏCITÉ: A MODEL OR A THREAT FOR FREEDOM OF RELIGION?". Religious Freedom Institute (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-07. Diakses tanggal 2020-05-15. 
  29. ^ "Secular Europe and Religious America: Implications for Transatlantic Relations". Pew Research Center. 2005-04-21. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-07-04. Diakses tanggal 4 July 2018. 
  30. ^ The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Max Weber, London, Routledge Classics, 2001, hlm. 123–25.
  31. ^ Holyoake, G. J. (1896). hlm. 37 Diarsipkan 2020-02-06 di Wayback Machine..
  32. ^ Derek Parfit (1984). Reasons and persons. Oxford [Oxfordshire]: Clarendon Press. ISBN 978-0-19-824615-2. OL 3172889M. 0198246153{{inconsistent citations}} 
  33. ^ Brian Leiter, "Is "Secular Moral Theory" Really Relatively Young? Diarsipkan 2018-04-05 di Wayback Machine., Leiter Reports: A Philosophy Blog, June 28, 2009.
  34. ^ Richard Dawkins, "When Religion Steps on Science's Turf: The Alleged Separation Between the Two Is Not So Tidy Diarsipkan 2006-12-25 di Wayback Machine.", Free Inquiry vol. 18, no. 2.
  35. ^ Solomon, D. (2005). "Christian Bioethics, Secular Bioethics, and the Claim to Cultural Authority". Christian Bioethics. 11 (3): 349–59. doi:10.1080/13803600500501571. PMID 16423736. 
  36. ^ Inc., Recorded Books (2011-01-01). Political Liberalism: Expanded Edition. Columbia University Press. hlm. 457. ISBN 978-0-231-52753-8. OCLC 948824118. 
  37. ^ Inc., Recorded Books (2011-01-01). Political Liberalism: Expanded Edition. Columbia University Press. hlm. 457. ISBN 978-0-231-52753-8. OCLC 948824118. 
  38. ^ Inc., Recorded Books (2011-01-01). Political Liberalism: Expanded Edition. Columbia University Press. hlm. 457. ISBN 978-0-231-52753-8. OCLC 948824118. 
  39. ^ Patrick., Farrelly, Colin (2004-01-01). Contemporary political theory: a reader. Sage. ISBN 978-0-7619-4908-4. OCLC 290530058. 
  40. ^ Will., Kymlicka (2002). Contemporary political philosophy: an introduction. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-878274-2. OCLC 611694157. 
  41. ^ 1953-, Dryzek, John S.; Bonnie., Honig (2009-01-01). The Oxford handbook of political theory. Oxford University Press. hlm. 636. ISBN 978-0-19-927003-3. OCLC 474737332. 

Daftar bacaan

  • Cliteur, Paul (2010). The Secular Outlook: In Defense of Moral and Political Secularism. ISBN 978-1-4443-3521-7
  • Jacoby, Susan (2004). Freethinkers: a History of American Secularism. New York: Metropolitan Books. ISBN 0-8050-7442-2
  • Asad, Talal (2003). Formations Of The Secular: Christianity, Islam, Modernity. Stanford University Press. ISBN 0-8047-4768-7
  • Taylor, Charles (2007). A Secular Age. Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press. ISBN 978-0-674-02676-6
  • Kosmin, Barry A. and Ariela Keysar (2007). Secularism and Secularity: Contemporary International Perspectives. Institute for the Study of Secularism in Society and Culture. ISBN 978-0-9794816-0-4
  • Martin, David (2005). On Secularization: Towards a Revised General Theory. Aldershot: Ashgate. ISBN 0-7546-5322-6
  • Benson, Iain (2004). Considering Secularism in Farrows, Douglas(ed.). Recognizing Religion in a Secular Society McGill-Queens Press. ISBN 0-7735-2812-1
  • Berlinerblau, Jacques (2012) "How to be Secular: A Call to Arms for Religious Freedom" ISBN 978-0-547-47334-5
  • Cinar, Alev (2006). Modernity, Islam, and Secularism in Turkey: Bodies, Places, and Time. University of Minnesota Press. ISBN 0-8166-4411-X
  • Urban, Greg (2008). The circulation of secularism. International Journal of Politics, Culture and Society Diarsipkan 2020-11-02 di Wayback Machine., Vol. 21, (1–4), December. pp. 17–37.

Pranala luar