Komisi Penyiaran Indonesia

lembaga penyiaran televisi Indonesia
Revisi sejak 20 Desember 2023 07.31 oleh Randyradika (bicara | kontrib)

Komisi Penyiaran Indonesia (disingkat KPI) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi sebagai regulator penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Komisi ini berdiri sejak tahun 2002 berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. KPI terdiri atas Lembaga Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) yang bekerja di wilayah setingkat Provinsi. Wewenang dan lingkup tugas Komisi Penyiaran meliputi pengaturan penyiaran yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, dan Lembaga Penyiaran Komunitas.

Komisi Penyiaran Indonesia
KPI
Gambaran umum
SingkatanKPI
Didirikan2002
Dasar hukum pendirianUndang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
SifatIndependen
Struktur
Ketua merangkap AnggotaUbaidillah
Wakil Ketua merangkap AnggotaMohamad Reza
Anggota
  1. I Made Sunarsa
  2. Tulus Santoso
  3. Aliyah
  4. Muhammad Hasrul Hasan
  5. Amin Shabana
  6. Mimah Susanti
  7. Evri Rizqi Monarshi
SekretarisUmri
Kantor pusat
Jl. Djuanda No. 36, Gambir, Jakarta Pusat 10120[1]
DKI Jakarta, Indonesia
Situs web
kpi.go.id
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Latar belakang

Sebelum KPI terbentuk, Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran mengamanatkan terbentuknya Badan Pertimbangan dan Pengendalian Penyiaran Nasional (BP3N), suatu lembaga yang memiliki kewenangan atas penyiaran di Indonesia, yaitu dalam pemberi pertimbangan dalam pembuatan kebijakan penyiaran ke pemerintah (awalnya juga direncanakan diberi hak dalam perizinan siaran) dan diisi oleh tokoh masyarakat, ahli dan pemerintah.[2] Walau demikian, BP3N tidak sempat didirikan hingga penggantinya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disahkan.

Sebelum rencana pembentukan BP3N dan KPI, tercatat pengawasan penyiaran di Indonesia dilakukan oleh Departemen Penerangan (Deppen) dan lembaga turunannya. Terdapat beberapa lembaga yang tercatat pernah dibentuk oleh Deppen, seperti Dewan Penyantun Siaran Nasional (1975) dan Dewan Siaran Nasional (Mei 1980) yang keduanya bertugas memberikan masukan terhadap penyelenggaraan siaran radio dan televisi dan anggotanya terdiri dari berbagai sektor di masyarakat.[3][4][5] Pada awal kelahiran televisi swasta, sempat hadir juga Komisi Siaran (Daerah), di Jawa Barat dan Jawa Timur, yang bertugas mengawasi siaran masing-masing dari RCTI Bandung dan SCTV Surabaya agar sesuai prinsip lokal,[6][7] maupun komisi siaran kerjasama antara RCTI dan TVRI di tahun-tahun pertama ketika televisi swasta pertama tersebut bersiaran.[8][9]

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 merupakan dasar utama bagi pembentukan KPI. Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan. Hal ini berbeda dengan semangat dalam Undang-undang penyiaran sebelumnya, yaitu Undang-undang No. 24 Tahun 1997 pasal 7 yang berbunyi "Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah", menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang digunakan untuk semata-mata bagi kepentingan pemerintah.

Proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Sebesar-besarnya bagi kepentingan publik artinya adalah media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat. Informasi terdiri dari bermacam-macam bentuk, mulai dari berita, hiburan, ilmu pengetahuan, dll. Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah seperti yang tertuang dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yaitu Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan).

Kedua prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan oleh KPI. Pelayanan informasi yang sehat berdasarkan prinsip keberagaman isi adalah tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program. Sedangkan prinsip keberagaman kepemilikan adalah jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. Prinsip ini juga menjamin iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia.

Apabila ditelaah secara mendalam, Undang-undang no. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran lahir dengan dua semangat utama, pertama pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Kedua adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan.

Maka sejak disahkannya Undang-undang no. 32 Tahun 2002 terjadi perubahan fundamental dalam pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia, di mana pada intinya adalah semangat untuk melindungi hak masyarakat secara lebih merata. Perubahan paling mendasar dalam semangat UU ini adalah adanya limited transfer of authority dari pengelolaan penyiaran yang selama ini merupakan hak ekslusif pemerintah kepada sebuah badan pengatur independen (independent regulatory body) bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Independen yang dimaksudkan adalah untuk mempertegas bahwa pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan yang bebas dari intervensi modal maupun kepentingan kekuasaan. Belajar dari masa lalu di mana pengelolaan sistem penyiaran masih berada ditangan pemerintah (pada masa rezim orde baru), sistem penyiaran sebagai alat strategis tidak luput dari kooptasi negara yang dominan dan digunakan untuk melanggengkan kepentingan kekuasaan. Sistem penyiaran pada waktu itu tidak hanya digunakan untuk mendukung hegemoni rezim terhadap publik dalam penguasaan wacana strategis, tetapi juga digunakan untuk mengambil keuntungan dalam kolaborasi antara segelintir elitpenguasa dan pengusaha.

Terjemahan semangat yang kedua dalam pelaksanaan sistem siaran berjaringan adalah, setiap lembaga penyiaran yang ingin menyelenggarakan siarannya di suatu daerah harus memiliki stasiun lokal atau berjaringan dengan lembaga penyiaran lokal yang ada didaerah tersebut. Hal ini untuk menjamin tidak terjadinya sentralisasi dan monopoli informasi seperti yang terjadi sekarang. Selain itu, pemberlakuan sistem siaran berjaringan juga dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi daerah dan menjamin hak sosial-budaya masyarakat lokal. Selama ini sentralisasi lembaga penyiaran berakibat pada diabaikannya hak sosial-budaya masyarakat lokal dan minoritas. Padahal masyarakat lokal juga berhak untuk memperolah informasi yang sesuai dengan kebutuhan polik, sosial dan budayanya. Disamping itu keberadaan lembaga penyiaran sentralistis yang telah mapan dan berskala nasional semakin menghimpit keberadaan lembaga-lembaga penyiaran lokal untuk dapat mengembangkan potensinya secara lebih maksimal.

Struktur kelembagaan

Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2002, KPI terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah (tingkat provinsi). Anggota KPI Pusat (9 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan KPI Daerah (7 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat provinsi. Anggaran untuk program kerja KPI Pusat dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan KPI Daerah dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing provinsi. Masa jabatan setiap periode komisioner adalah 3 (tiga) tahun dengan batasan 2 (dua) kali masa jabatan berturut-turut maupun tidak berturut-turut pada setiap tingkatan komisi dan daerah. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPI dibantu oleh sekretariat tingkat eselon II yang stafnya terdiri dari staf pegawai negeri sipil (PNS) serta staf profesional non-PNS.

Daftar komisioner

  1. Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Periode Pertama (2003-2006, diperpanjang 1 tahun hingga 2007), terdiri atas:
  • Dr. Victor W. Menayang, M.A., Ph.D. (Ketua)
  • Dr. S. Sinansari Ecip (Wakil Ketua)
  • Bimo Sekundatmo Nugroho, M.Si. (Anggota)
  • Amelia Hezkasari Day (Anggota)
  • Dr. Sasa Djuarsa Sendjaja (Anggota)
  • Ilya Revianti Sudjono Sunarwinadi, M.Si. (Anggota)
  • Ade Armando, M.Sc. (Anggota)
  • Dr. Andrik Purwasito, DEA (Anggota)
  • Drs. Dedi Iskandar Muda (Anggota)
2. Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Periode Kedua (2007-2010) terdiri atas:
  • Prof. Dr. Sasa Djuarsa Sendjaja (Ketua)
  • Fetty Fajriati Miftach, M.A. (Wakil Ketua)
  • Prof. Dr. S. Sinansari Ecip (Anggota)
  • Mochamad Riyanto, S.H., M.Si. (Anggota)
  • Drs. Yazirwan Uyun (Anggota)
  • M. Izzul Muslimin, S.IP. (Anggota)
  • Dr. Amar Achmad, M.Si (Anggota)
  • Bimo Sekundatmo Nugroho, M.Si (Anggota)
  • Drs. Selamun Yoanes Bosko (Anggota)
3. Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Periode Ketiga (2010-2013) terdiri atas:
  • Dr. Dadang Rahmat Hidayat, S.H., M.Si. (Ketua)
  • Dr. Nina Mutmainnah Armando, M.Si. (Wakil Ketua)
  • Ezki Tri Rejeki Widianti, S.H,, M.A. (Anggota)
  • Dr. Muchamad Riyanto, S,H, M.Si. (Anggota)
  • Drs. Iswandi Syahputra, M.Si. (Anggota)
  • Dr. Judhariksawan, S.H, M.H. (Anggota)
  • Azimah Subagijo (Anggota)
  • Idy Muzayyad, M.Si. (Anggota)
  • Drs. Yazirwan Uyun (Anggota)
4. Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Periode Keempat (2013-2016) terdiri atas:
  • Dr. Judhariksawan, S.H., M.H. (Ketua)
  • Idy Muzayyad, M.Si. (Wakil Ketua)
  • Azimah Subagijo (Anggota)
  • Agatha Lily, S.Sos, M.Si (Anggota)
  • Sujarwanto Rahmat Muhammad Arifin, S.Si (Anggota)
  • Fajar Arifianto Isnugroho, S.Sos, M.Si (Anggota)
  • Bekti Nugroho (Anggota)
  • Danang Sangga Buwana, M.Si. (Anggota)
  • Dr. Amirudin, M.A. (Anggota)
5. Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Periode Kelima (2016-2019) terdiri atas:
  • Yuliandre Darwis (Ketua KPI Pusat)
  • Sujarwanto Rahmat Arifin (Wakil Ketua KPI Pusat)
  • Prof. H. Obsatar Sinaga (Anggota)
  • Ubaidillah (Anggota)
  • Agung Suprio (Anggota)
  • Hardly Stefano Fenelon Pariela (Anggota)
  • Nuning Rodiyah (Anggota)
  • Mayong Suryo Laksono (Anggota)
  • Dewi Setyarini (Anggota)
6. Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Periode Keenam (2019-2022) terdiri atas:
  • Agung Suprio (Ketua KPI Pusat)
  • Mulyo Hadi Purnomo (Wakil Ketua KPI Pusat)
  • Yuliandre Darwis (Anggota)
  • Hardly Stefano Fenelon Pariela (Anggota)
  • Nuning Rodiyah (Anggota)
  • Aswar Hasan (Anggota)
  • Irsal Ambia (Anggota)
  • Mimah Susanti (Anggota)
  • Mohamad Reza (Anggota)
7. Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Periode Ketujuh (2022-2025) terdiri atas:
  • Ubaidillah (Ketua KPI Pusat)
  • Mohamad Reza (Wakil Ketua KPI Pusat)
  • I Made Sunarsa (Koordinator Bidang Kelembagaan)
  • Tulus Santoso (Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran)
  • Aliyah (Anggota Bidang Pengawasan Isi Siaran)
  • Muhammad Hasrul Hasan (Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran)
  • Amin Shabana (Anggota Bidang Kelembagaan)
  • Mimah Susanti (Anggota Bidang Kelembagaan)
  • Evri Rizqi Monarshi (Anggota Bidang Kelembagaan)

Kritik dan kontroversi

Selama ini, cukup banyak pihak yang mengkritik KPI, karena kinerjanya dianggap tidak maksimal dalam pengawasan penyiaran di Indonesia. Menurut Remotivi, terdapat tiga masalah yang menghantui KPI, yaitu kurang berhasil mengawasi konten penyiaran, gagal menyusun Pedoman Perilaku dan Penyiaran Standar Program Siaran (P3SPS) yang berpihak kepada publik, dan kurang gesit menanggapi keluhan masyarakat.[10] Pada beberapa kasus, KPI bertindak justru setelah banyak diperbincangkan (viral) atau menjadi polemik di dunia maya.[11] KPI juga dinilai banyak diintervensi kepentingan politik-ekonomi dan banyak anggotanya yang kurang kompeten.[12] Ada yang berpendapat, KPI kini kehilangan arah utamanya yang digariskan undang-undang dengan lebih banyak mengeluarkan kontroversi di masyarakat.[13]

Pada awal kemunculnya, KPI memang dimaksudkan memiliki wewenang yang besar, khususnya dalam kontrol atas industri penyiaran dengan kewenangannya yang kuat di bidang perizinan, kepemilikan, teknik dan persyaratan, dll bersama pemerintah. Namun, hasil gugatan sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi pada 2004 lalu memangkas kebanyakan klausul mengenai wewenang tersebut, dengan menyerahkannya secara penuh ke pemerintah.[2] KPI kini tercatat hanya bisa memberikan sanksi administratif yang tidak bergigi, khususnya ketika menghadapi penyimpangan yang dilakukan industri penyiaran.[14][15]

Dipangkasnya kewenangan di bidang-bidang tersebut juga membuat posisi KPI hanya sebagai "pengawas isi siaran" acara-acara di televisi yang sayangnya tidak efektif.[16] Aspek yang lebih dikedepankan selama ini dalam pengawasan siaran tersebut adalah "moralitas", yang sayangnya tidak jelas (abstrak) dan cenderung bersifat klise semata; hal ini membuat publik saat ini banyak yang memandang KPI dengan kacamata yang negatif. Misalnya, ketika sibuk menegakkan aspek seperti larangan "pria berpenampilan kewanitaan", menertibkan 42 lagu yang dianggap berbahasa kasar, dan lainnya, KPI justru sempat tersandung kasus pelecehan seksual di institusinya dan membiarkan saat pelaku pelecehan seksual artis Saiful Jamil ditampilkan di layar televisi.[17][11] Lembaga ini juga dianggap tebang-pilih ketika melakukan sensor, seperti pernah memberi sanksi pada program SpongeBob SquarePants namun nampak "masa bodoh" akan sinetron di Indonesia yang selama ini dirasa tidak mendidik.[18] KPI pun kemudian juga banyak digunjingkan pada hal yang sebenarnya bukan kewenangannya, seperti dianggap ada di belakang sensor dan blur yang berlebihan (khususnya di acara serial animasi dan beberapa acara seperti lomba renang maupun film asing).[19][20]

Lihat juga

Referensi

Pranala luar