Dampak peternakan terhadap lingkungan

Dampak peternakan terhadap lingkungan merupakan isu yang menjadit treding sorotan publik saat ini, karena banyaknya dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan peternakan dalam konteks negatif maupun positif di lingkungan masyarakat, sehingganya kegiatan peternakan ini bisa menjadi salah satu masalah terhadap masyarakat ketika dampak yang ditimbulkan itu bersifat negatif dan bisa menjadi salah satu keuntungan bagi masyarakat ketika hal yang ditimbulkan itu bersifat positif.[1]

Latar Belakang

Menurut Undang-Undang no. 6/1967, ternak adalah “Hewan piaraan, atau hewan yang dipelihara oleh manusia yang hidupnya yakni mengenal tempatnya, makanannya dan perkembang-biakannya serta manfaatnya, diatur dan diawasi oleh manusia, dipellihara khusus sebagai penghasil bahan-bahan dan jasa-jasa yang berguna bagi kepentingan hidup manusia”.[2]

Sapi merupakan salah satu komoditas hewan animalia yang memiliki tubuh besar dan hidup di darat, sapi juga sering kali dijadikan oleh masyarakat sebagai hewan ternak, ini dikarenakan sapi merupakan hewan yang memiliki nilai jual yang tinggi. Oleh karena itu tidak sedikit masyarakat yang menjadikan sapi sebagai salah satu hewan ternak meraka

Dampak dari peternakan hewan terhadap lingkungan dapat, bervariasi karena beragamnya kegiatan pertanian yang dilakukan di seluruh dunia. Meskipun demikian, semua kegiatan pertanian diketahui memiliki banyak sekali dampak terhadap lingkungan sampai batas tertentu. Peternakan, khususnya produksi daging, dapat menyebabkan polusi, emisi gas rumah kaca, berkurangnya keanekaragaman hayati, penyakit, konsumsi lahan, makanan, dan air secara signifikan. Daging dapat diperoleh melalui berbagai metode, termasuk pertanian organik, peternakan bebas, produksi ternak intensif, dan pertanian subsisten. Sektor peternakan juga mencakup produksi wol, telur dan susu.

Dampak

Peternakan merupakan salah satu penghasil emisi gas rumah kaca yang cukup besar. Sapi, domba, dan hewan ruminansia lainnya mencerna makanannya melalui fermentasi enterik, dan sendawa mereka merupakan sumber utama emisi metana dari penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan. Bersama dengan metana dan dinitrogen oksida dari kotoran ternak, hal ini menjadikan peternakan sebagai sumber utama emisi gas rumah kaca dari kegiatan pertanian. Mengurangi konsumsi daging secara besar besaran sangat penting, karena cara ini dapat membantu mengurangi dampak perubahan iklim, terutama ketika populasi manusia diperkirakan meningkat sebesar 2,3 miliar pada pertengahan abad ini.[3]

sejarah ternak

Contoh kasus

Pada tahun 2006, Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) menerbitkan sebuah penelitian berjudul “Bayangan Panjang Peternakan (Livestock’s Long Shadow),” yang mendapat perhatian luas secara global. Disebutkan bahwa ternak memberikan kontribusi sebesar 18% emisi gas rumah kaca dunia. FAO menarik kesimpulan yang mengejutkan: Peternakan memberikan kontribusi yang lebih banyak dalam kerusakan lingkungan dibanding semua moda transportasi digabung. Hal itu mendorong setiap negara untuk memiliki kebijakan yang focus pada masalah degradasi lahan, perubahan iklim dan polusi udara, kekurangan air dan polusinya, serta berkurangnya biodiversitas.[4]

Referensi

  1. ^ Rebecca (2022-08-05). "The Environmental Cost of Animal Agriculture". IAPWA (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-12-18. 
  2. ^ "UU No. 6 Tahun 1967". Database Peraturan | JDIH BPK. Diakses tanggal 2023-12-21. 
  3. ^ Carrington, Damian; editor, Damian Carrington Environment (2018-10-10). "Huge reduction in meat-eating 'essential' to avoid climate breakdown". The Guardian (dalam bahasa Inggris). ISSN 0261-3077. Diakses tanggal 2023-12-28. 
  4. ^ "PB ISPI".